Anda di halaman 1dari 26

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Kunjungan pre-operative

Persiapan pre-operasi yang kurang memadai merupakan faktor penyebab

terjadinya kecelakaan atau kegagalan anestesia. Dokter spesialis anestesi

sebaiknya mengunjungi pasien sebelum dilakukan operasi, sehingga waktu pasien

dioperasi dalam keadaan baik.

Tujuan utama kunjungan pre operasi ialah untuk mengurangi angka

kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan. Oleh karena itu pada kunjungan pre-operasi harus dilakukan anamnesa

dan pemeriksaan fisik lengkap selanjutnya dapat ditentukan jenis anestesi yang

tepat dan diberikan obat-obat premedikasi untuk persiapan operasi.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan pada kunjungan pre-operasi adalah

sebagai berikut :

1) Memperkenalkan diri pada perawat ruangan ditempat pasien dirawat, dan

mengajak perawat untuk ikut dalam tindakan Pre operasi yang akan

dilakukan.

2) Persiapan :

- Memastikan kejelasan identitas pasien yang akan di pre operasi (dari

data statusnya atau dari data dari teman sejawat atau perawat yang

sudah memeriksa)

- Melihat diagnosa yang telah dibuat

- Melihat semua data pemeriksaan klinis dan laboratoris yang sudah ada.

1
- Memastikan prosedur bedah yang akan dilakukan

- Meminta perawat untuk memperkenalkan kita ke pasien sebelum kita

datang memeriksa pasien.

3) Datang ke pasien dengan salam, senyum dan sapa, memperkenalkan diri

ke pasien dan atau keluarga serta menjelaskan tujuan kita memeriksa

pasien

4) Membangun hubungan baik dengan pasien dan atau keluarganya, misalnya

dengan menanyakan pekerjaannya, anak-anak nya dll.

5) Anamnesis

- riwayat anestesi dan operasi sebelumnya.

- riwayat penyakit sistemik (diabetes melitus, hipertensi, kardiovaskuler,

TB, asma)

- pertanyaan yang ditujukan untuk riwayat penyakit jantung dan paru,

penyakit ginjal dan hati, penyakit susunan saraf pusat, penyakit otot yang

bersifat familial, kecenderungan perdarahan dan juga alergi

- pemakaian obat tertentu, seperti antidiabetik, antikoagulan,

kortikosteroid, antihipertensi secara teratur. Dua obat terakhir harus

diteruskan selama operasi dan anestesi, sedangkan obat yang lain harus

dimodifikasi.

- riwayat diet (kapan makan atau minum terakhir. jelaskan perlunya puasa

sebelum operasi)

- kebiasaan-kebiasaan pasien (perokok berat, pemakai alkohol atau obat

obatan)

- Riwayat penyakit keluarga

2
6) Pemeriksaan Fisik

berpatokan pada B6:

1. Breath

keadaan jalan nafas, bentuk pipi dan dagu, mulut dan gigi, lidah dan tonsil.

Apakah

jalan nafas mudah tersumbat? Apakah intubasi akan sulit? Apakah pasien ompong

atau menggunakan gigi palsu atau mempunyai rahang yang kecil yang akan

mempersulit laringoskopi? Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan

leher? Apakah ada pembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran

nafas bagian atas?

Tentukan pula frekuensi nafas, tipe napas apakah cuping hidung, abdominal atau

torakal, apakah terdapat nafas dengan bantuan otot pernapasan (retraksi kosta).

Nilai

pula keberadaan ronki, wheezing, dan suara nafas tambahan (stridor).

2. Blood

Tekanan nadi, pengisian nadi, tekanan darah, perfusi perifer. Nilai syok atau

perdarahan. Lakukan pemeriksaan jantung

3. Brain

GCS. adakah kelumpuhan saraf atau kelainan neurologist. Tanda-tanda TIK

4. Bladder

produksi urin. pemeriksaan faal ginjal

5. Bowel

Pembesaran hepar. Bsing usus dan peristaltik usus. cairan bebas dalam perut atau

massa abdominal?

3
6. Bone

Kaku kuduk atau patah tulang? Periksa bentuk leher dan tubuh. klainan tulang

belakang?

Derajat Keparahan Insufisiensi Jantung berdasarkan

New York Heart Association (NYHA)


NYHA I Penyakit jantung tanpa gejala
NYHA II Keluhan pada waktu melakukan kerja berat
NYHA III Keluhan pada waktu melakukan kerja ringan
NYHA IV Keluhan sudah dialami saat istirahat

Klasifikasi Angina Pektoris berdasarkan

Canadian Cardiovascular Society (CCS)


CCS I Tidak ada angina pectoris saat melakukan aktivitas ( kemungkinan

pada kerja sangat berat)


CCS II Angina pectoris saat melakukan kerja berat
CCS III Angina pectoris saat melakukan kerja ringan
CCS IV Angina pectoris timbul saat istirahat

Klasifikasi Mallampati (III dan IV : Kemungkinan Intubasi yang sulit )


I Langit langit lunak, uvula, kerongkongan, tonsil dapat terlihat

secara keseluruhan
II Langit langit lunak dan uvula terlihat
III Langit langit lunak dan dasar uvula terlihat
IV Hanya lidah dan langit langit keras yang terlihat
7) Pemeriksaan Laboratorium Dan Radiologi

a. Pemeriksaan standar yaitu darah rutin (kadar hemoglobin, leukosit, bleeding

time, clothing time atau APTT & PPT)

b. Pemeriksaan kadar gula darah puasa

c. Liver function test

d. Renal function test

e. Pemeriksaan foto toraks

f. Pemeriksaan pelengkap atas indikasi seperti gula darah 2 jam post prandial,

4
pemeriksaan EKG untuk pasien > 40 tahun, dan perubahan penting pada EKG :

perubahan ST, tanda tanda infark miokard (baru atau lama), fibrilasi atrium atau

flutter atrium, eksrasistol supraventricular dan ventricular, blok AV, bundle branch

block, tanda tanda hipertrofi jantung kanan, Sindrom Wolff-Parkinson-White

(WPW).

g. Pada operasi besar dan mungkin bermasalah periksa pula kadar albumin,

globulin, elektrolit darah, CT scan, faal paru, dan faal hemostasis.

8) Pemeriksaan Lanjutan (Hanya pada Indikasi yang sesuai )

- Indikasi untuk suatu spirometri sebelum operasi : petunjuk adanya

penyakit paru kronik, pasien dengan deformitas toraks dan tulang

belakang, operasi jantung dan paru, ventilasi paru intra operatif yang

direncanakan, adipositas permagna.

- Ekokardiografi pada penyakit katup jantung, insufisiensi jantung berat,

bising jantung yang belum diidentifikasi

- Konsultasi lebih lanjut (degan ahli kardiologi, hematologi dll). Tujuan

konsultasi adalah perbaikan keadaan pra-operasi dan perawatan pasca-

operasi yang lebih baik melalui pengenalan dan terapi penyakit yang

meningkatkan risiko operasi dan narcosis.

- Pemindahan waktu operasi, bila keadaan pasien membaik atau risiko

narcosis dan operasi dapat diturunkan.

9) Persiapan Penyulit yang Akan Terjadi

1. Penyakit Kardiovaskular

5
- Resiko serius : Terapi oksigen dan pemantauan EKG harus diteruskan

sampai pasca operasi.

- Zat anestesi membuat jantung sensitive terhadap kerja katekolamin yang

dilepaskan. Selanjutnya dapat terjadi kemunduran hemodinamik dan dapat

terjadi aritmia, takikardi ventricular sampai fibrilasi ventricular.

- Pada pasien dengan gagal jantung perfusi organ menjadi buruk. Ambilan

gas dan uap ihalasi terhalangi.

- Pada pasien hipertensi, terapi antihipertensi harus diteruskan sepanjang

operasi.

- Bahaya hipertensi balik dengan resiko gangguan kardiovaskular setelah

penghentian obat jauh lebih berat diandingkan dengan resiko karena

meneruskan terapi.

2. Penyakit Pernafasan

- Penyakit saluran nafas dan paru-paru mempengaruhi oksigenasi, eliminasi

karbondioksida, ambilan gas-gas inhalasi dan meningkatkan insidens

infeksi pascaoperasi.

- Bronkospasme berat yang mengancam jiwa kadang-kadang timbul pada

pasien asma atau pecandu nikotin.

- Penundaan operasi elektif pada pasien yang menderita infeksi saluran

nafas atas karena efek obat sedative dan atropine, dan penurunan respons

6
imunologi yang terjadi karena anestesi umum dapat meningkatkan resiko

infeksi dada pascaoperasi

3. Diabetes Mellitus

Hampir semua obat anestesi bersifat meningkatkan glukosa darah. Penderita

diabetes yang tidak stabil seharusnya tidak dianestesi untuk pembedahan elektif,

kecuali jika kondisi bedah itu sendiri merupakan penyebab ketidakstabilan

tersebut.

4. Penyakit Hati

Metabolisme obat-obatan anestesi akan terganggu akibat adanya gagal hati.

Obat-obatan analgesic dan sedative juga menjadi memiliki masa kerja yang

panjang karena metabolisme oleh otak juga berubah karena penyakit hati. Anestesi

pada pasien ikterus mempunyai dua resiko nyata. Pertama adalah perdarahan

akibat kekurangan protrombin. Resiko yang kedua adalah gagal ginjal akibat

bilirubin yang berakumulasi pada tubulus renalis

10) Persiapan Sebelum Pembedahan

Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :

1. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT. Lama puasa

pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam (stop ASI).

Pada

operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk

dekompresi lambung.

2. Pengosongan kandung kemih.

7
2. Informed consent (Surat izin operasi dan anestesi).

3. Pemeriksaan fisik ulang

4. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.

5. Premedikasi secara intramuskular . - 1 jam menjelang operasi atau secara

intravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi.

Klasifikasi status fisik*

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kondisi fisik seseorang

adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).

Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesi, karena efek samping

anestesia tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.

Tabel 1. Klasifikasi (ASA).

Klasifikasi Risiko Anastesi berdasarkan

American Society of Anesthesiologists (ASA)


ASA 1 Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik

selain penyakit yang akan dioperasi.


ASA 2 Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai

dengan sedang selain penyakit yang akan dioperasi.

Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol atau hipertensi

ringan
ASA 3 Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit

yang akan dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa.

Misalnya diabetes mellitus yang tak terkontrol, asma

bronkial, hipertensi tak terkontrol


ASA 4 Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam

jiwa selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma

8
bronkial yang berat, koma diabetikum
ASA 5 Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan

anestesi mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko

kematian tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi pada

pasien koma berat


ASA 6 Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana

organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai

organ donor bagi yang membutuhkan. Untuk operasi

darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency) atau

D (darurat), mis: operasi apendiks diberi kode ASA 1.E

1.2 Premedikasi

Premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi,

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi

diantaranya :

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.

2. Memperlancar induksi anestesi

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.

4. Meminimalkan jumlah obat anestesi.

5. Mengurangi mual dan muntah pasca bedah.

6. Membuat amnesia.

7. Mengurangi isi cairan lambung.

8. Mengurangi reflek yang membahayakan.

9
Hasil akhir yang diharapkan dari pemberian premedikasi adalah terjadinya

sedasi dari pasien tanpa disertai depresi pernapasan dan sirkulasi. Kebutuhan

premedikasi bagi masing-masing pasien dapat berbeda. Rasa takut dan nyeri harus

diperhatikan pada pre-operasi.

Reaksi fisiologis terhadap nyeri dan rasa takut terdiri atas bagian reaksi

somatic (voluntary) dan reaksi simpatetik (involuntary). Efek somatik ini timbul

didalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk bertahan atau

menghindari kejadian tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi

terhadap manifestasi efek somatik tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan

nampak tenang. Reaksi saraf simpatis terhadap rasa takut atau nyeri tidak dapat

disembunyikan oleh pasien. Rasa takut dan nyeri mengaktifkan syaraf simpatis

untuk menimbulkan perubahan system sirkulasi dalam tubuh. Perubahan ini

disebabkan oleh stimulasi efferen simpatis yang ke pembuluh darah, dan sebagian

karena naiknya katekolamin dalam sirkulasi. Impuls adrenergik dari rasa takut

timbul di korteks cerebri dan dapat ditekan dengan tidur atau dengan sedativa

yang mencegah kemampuan untuk menjadi takut. Reaksi kardiovaskular secara

neurologis berbeda dengan rasa takut, karena arcus reflek yang tersangkut

seluruhnya ada dibatang otak dibawah sensorus thalamus. Ini berarti pendekatan

klinis untuk menghilangkan kedua hal tersebut harus berbeda. Tanda akhir dari

reaksi adrenergik terhadap rasa takut ialah meningkatnya denyut jantung dan

tekanan darah. Maka umumnya tujuan pemberian obat premedikasi adalah

menghilangkan kecemasan, mendapat sedasi, mendapat analgesi, dan mendapat

amnesi. Disamping itu pada keadaan tertentu juga menaikkan pH cairan lambung,

mengurangi volume cairan lambung, dan mencegah terjadinya reaksi alergi.

10
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien

yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan pre-operasi. Dengan demikian

pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu memperhitungkan

umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat hospitalisasi

sebelumnya (terutama pada anak), riwayat reaksi terhadap obat premedikasi

sebelumnya (bila pasien pernah diberi anestesi sebelumnya), riwayat penggunaan

obat-obat tertentu yang kemungkinan dapat berpengaruh pada jalannya anestesi

(misal MAO inhibitor, kortikosteroid, antibiotik tertentu), perkiraan lamanya

operasi, jenis operasi (misal terencana, darurat, pasien rawat inap atau rawat jalan)

dan rencana obat anestesi yang akan digunakan.

Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai

obat premedikasi dapat digolongkan seperti dibawah ini. (Beberapa contoh yang

ada di Indonesia pada tabel 2)

Table 2. Obat-obat premedikasi anestesi

Golongan Obat Contoh


Barbiturate Luminal
Narkotik Petidin, Morfin
Benzodiazepine Diazepam, Midazolam
Butyrophenon Dehydrobenperidol
Antihistamin Prometazine
Antasida Gelusil
Anticholinergik Atropine
H2 receptor antagonis Cimetidin

Karena efek obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam praktek

sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapat hasil yang

diinginkan, misalnya :

- Kombinasi narkotik, benzodiazepine, dan anticholinergik

- Kombinasi narkotik, butyrophenon dan anticholinergik

11
- Kombinasi narkotik, antihistamin dan anticholinergik

- Pada keadaan tertentu perlu diberikan antasida.

Obat Premedikasi

a) Barbiturate

Kebanyakan pasien yang telah direncanakan untuk menjalani operasi

akan lebih baik bila diberikan hipnotik malam sebelum hari operasi, karena

rasa cemas, hospitalisasi atau keadaan sekitar yang tidak biasa dapat

menyebabkan insomnia. Untuk itu dapat digunakan golongan barbiturate per

oral sebelum waktu tidur. Selain itu barbiturate juga digunakan obat

premedikasi.

Keuntungan penggunaan obat ini ialah dapat menimbulkan sedasi, efek

terhadap depresi respirasi minimal (ini dibuktikan dengan tidak berubahnya

respon ventilasi terhadap CO2), depresi sirkulasi minimal dan tidak

menimbulkan efek mual dan muntah. Obat ini efektif bila diberikan peroral.

Premedikasi per oral belum dapat dibudayakan di Indonesia (terutama bagi

golongan menengah / bawah), karena masih ditakutkan bila disamping minum

obat, pasien tidak dapat menahan diri untuk tidak minum lebih banyak.

Kerugian penggunaan barbiturate termasuk tidak adanya efek

analgesia, terjadinya disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta

tidak ada antagonisnya. Barbiturate merupakan kontraindikasi untuk pasien

dengan akut intermitten porphyria.

12
b) Narkotik

Morfin dan pethidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan

untuk premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialah memudahkan

induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesi pra dan

pasca bedah, memudahkan melakukan pemberian pernapasan buatan, dapat

diantagonisir dengan naloxon. Morfin dan pethidin menimbulkan analgesia,

sedasi, euphoria, depresi nafas dan efek sentral lain.

Analgesia morfin timbul sebelum penderita tidur dan seringkali

analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Serupa dengan morfin, efek analgetik

petidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak

dalam 2 jam. Efek analgetik lebih cepat setelah pemberian subkutan atau

intramuscular yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan

masa kerjanya 3-5 jam. Efektivitas petidin 75-100 mg i.v kurang lebih sama

dengan morfin 10 mg.

Narkotik dapat menyebabkan vasodilatasi perifer dan pelepasan

histamin, sehingga dapat menyebabkan hipotensi ortostatik atau sinkop. Hal

ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan hipovolemia.

Morfin dan pethidin dapat menimbulkan depresi nafas secara primer terhadap

pusat nafas di batang otak. Pada dosis kecil morfin sudah menimbulkan

depresi nafas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis

toksik dapat menyebabkan frekuensi nafas 3-4 kali/menit. Pada depresi nafas

terjadi penurunan frekuensi nafas, volume semenit dan tidal exchange,

akibatnya PCO2 dalam darah dan alveolar meningkat dan kadar O2 dalam

darah menurun. Berbeda dengan morfin, pethidin terutama menurunkan tidal

13
volume, sedangkan frekuensi nafas kurang dipengaruhi. Kadar CO2 yang

tinggi akibat depresi nafas menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak

sehingga timbul kenaikan tekanan cairan cerebrospinal.

Morfin diberikan dengan dosis 0,1 0,2 mg/kbBB, sedang petidin

dengan dosis 1 2 mg/kgBB. Pada orang tua dan anak-anak diberikan dosis

lebih kecil.

c) Benzodiazepine

Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas

(anxiety) yang selektif pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi yang

berlebihan, depresi napas, mual dan muntah. Benzodiazepine bekerja pada

reseptor otak yang spesifik yaitu potensiasi inhibisi neuron dengan asam

gamma amino butirat (GABA) sebagai mediator. Sehingga obat ini

merupakan depresan yang relative aman, sebab depresi neuron yang

memerlukan transmitor bersifat self limiting. Diazepam dan midazolam dosis

preanestetik mendepresi ringan ventilasi alveolar dan menyebabkan asidosis

respiratorik, lebih karena perangsangan hipoksia daripada karena penurunan

rangsangan hiperkapnea. Diazepam yang diberikan pada waktu anestesi atau

diberikan bersama opioid dapat menimbulkan apnea. Kerugian penggunaan

diazepam untuk premedikasi pada orang tertentu dapat menyebabkan sedasi

yang berkepanjangan. Selain itu juga rasa sakit pada penyuntikan

intramuscular, serta absorbsi sistemik yang buruk setelah pemberian

intramuscular.

Benzodiazepine yang larut dalam air dan cepat diabsorbsi setelah

pemberian intramuscular, yaitu midazolam. Midazolam bekerja cepat karena

14
transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien orang

tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan

pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2

menit setelah penyuntikan. Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah

arteri, denyut nadi dan pernafasan umumnya hanya sedikit. Keuntungan obat

ini tidak menimbulkan rasa nyeri pada penyuntikan baik intramuscular atau

intravena.

Diazepam dapat diberikan pada orang dewasa dengan dosis 10 mg,

sedang pada anak kecil 0.2 0.5 mg/kgBB. Midazolam dosis premedikasi

dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur dan keadaan pasien.

Dosis lazim adalah 5 mg. Pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-

0,05 mg/kgBB.

d) Butyrophenon

Dari golongan ini droperidol dengan dosis 5,5 mg i.m digunakan

sebagai obat premedikasi dengan kombinasi narkotik. Keuntungan sangat

besar dari penggunaan obat ini ialah efek anti emetik yang sangat kuat, dan

bekerja secara sentral pada pusat muntah di medulla. Obat ini ideal untuk

digunakan pada pasien pasien dengan resiko tinggi, misal pada operasi mata,

pasien dengan riwayat sering muntah dan obesitas. Dapat juga diberikan

secara intravena dengan dosis 1 1,5 mg.

Kadang-kadang pada pasien tertentu droperidol ini dapat menimbulkan

dysphoria (pasien merasa takut mati). Droperidol juga mempunyai efek

blockade terhadap dopaminergik reseptor sehingga dapat menimbulkan gejala

extrapiramidal pada pasien yang normal. Selain itu juga mempunyai efek

15
alpha adrenergic antagonis yang ringan, sehingga menyebabkan vasodilatasi

pembuluh darah perifer. Efek ini dapat digunakan pada pasien hipertermi

sebelum diberikan kompres basah seluruh tubuh. Namun perlu di ingat akan

terjadinya relative hipovolemia. Pada pasien dengan riwayat alergi / rhinitis

vasomotorika sebaiknya penggunaan obat ini dihindari.

e) Antihistamin

Dari golongan ini yang sering digunakan sebagai obat premedikasi

ialah promethazin (phenergen) dengan dosis 12,5 25 mg i.m pada orang

dewasa. Digunakan pada pasien dengan riwayat asma bronkiale.

f) Antikholinergik

Atropine mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek

muskarinik dari asetylcholin. Atropine ini dapat menembus barier lemak

misalnya blood brain barrier, plasenta barrier dan tractus gastrointestinal.

Reaksi tersering dari pemakaian obat ini ialah menghasilkan efek anti

sialogoque, mengurangi sekresi ion asam lambung, menghambat reflek

bradikardia dan efek sedative dan amnestik (terutama scopolamine). Efek lain

yang merugikan adalah nadi yang meningkat, midriasis, cyclopegia, kenaikan

suhu, mengeringnya secret jalan napas dan pada CNS toxicity terjadi gelisah

dan agitasi. Perlu diingat bahwa obat ini tidak mencegah timbulnya

laringospame yang berkaitan dengan anestesi umum.

Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfat dalam ampul 0,25 mg dan

0,50 mg. Diberikan secara suntikan subkutis, intramuscular atau intravena

dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0,015 mg/kgBB untuk anak-anak.

g) Antasida

16
Pemberian antasida 15 30 menit prainduksi hampir 100% efektif

untuk menaikkan pH asam lambung diatas 2,5. Seperti diketahui, aspirasi

cairan asam lambung dengan pH yang rendah dapat menimbulkan acid

aspiration syndrome atau disebut juga Mendelson syndrome. Yang dianjurkan

ialah preparat yang mengandung Mg trisiklat.

h) Histamine H-reseptor antagonis

Obat ini akan melawan kemampuan histamine dalam meningkatkan

sekresi cairan lambung yang mengandung ion H tinggi. Dari kepustakaan

disebutkan bahwa pemberian cimetidine oral 300 mg, 1 1,5 jam pra induksi

dapat menaikkan pH cairan lambung diatas 2,5 sebanyak lebih dari 80%

pasien. Dapat pula diberikan secara intravena dengan dosis yang sama 2 jam

sebelum induksi dimulai.

i) Cedantron (Ondansentrone)

Suatu antagonis reseptor serotonin 5 HT 3 selektif. Baik untuk

pencegahan dan pengobatan mual, muntah pasca bedah. Efek samping berupa

hipotensi, bronkospasme, konstipasi dan sesak nafas. Dosis dewas 2-4 mg.

1.3 Ruang pulih (recovery room)

1.3.1 Definisi

Ruang pulih (recovery room), disebut juga sebagai post-anesthesia care

unit (PACU) yaitu ruangan pasien segera setelah dilakukan pembedahan sampai

pasien sadar kembali dari anesthesia dan memperoleh perawatan post operasi

untuk mencegah atau mendeteksi dini adanya komplikasi pembedahan.

1.3.2 Deskripsi

17
Pasien yang telah dilakukan pembedahan atau prosedur diagnostik yang

membutuhkan anestesi atau sedasi hendaknya dibawa ke ruang pulih, vital sign

(misal nadi, tekanan darah, suhu, saturasi oksigen) di monitor ketat sampai efek

anestesi hilang. Pasien mungkin mengalami disorientasi ketika sadar kembali,

perawat di ruang pulih bertugas mengurangi kecemasan pasien dan memberikan

ketenangan secara fisik maupun emosional.

Perawat di ruang pulih hendaknya juga memperhatikan status pernafasan

pasien. Jika saturasi oksigen terlalu rendah, suplemen oksigen mungkin perlu

diberikan melalui nasal kanul atau face mask. Cairan intravena juga perlu

diberikan pada pasien di ruang pulih. Karena general anestesi dapat menurunkan

suhu tubuh beberapa derajat, maka system pertahanan tubuh dan sirkulasi yang

bagus sangat berperan mencegah hipotermia. Pasien mungkin dapat diselimuti

agar suhu tubuh kembali normal. Cairan intravena yang diberikan juga harus

dihangatkan.

Ruang pulih (recovery room) berlokasi di dekat ruang operasi. Ruang pulih

bersifat pribadi, atau berukuran lebih besar dengan penyekat diantara satu pasien

dengan pasien lainnya. Tiap-tiap ruang harus dilengkapi dengan monitor status

kesehatan pasien.

Pada tahun 1993, the Association of Anaesthetists of Great Britain and

Ireland merekomendasikan standar yang dibutuhkan di ruang pulih (tabel 3).

Table 3: Association of Anaesthetists of Great Britain

and Ireland Guidelines 1993


Position of recovery situated as close as possible to the operating theatre to

minimise the risks of transporting unstable patients


Size and temperature an average of 1.5 recovery bays per operating theatre

18
(9.3m2 per bay) room temperature 21-22 oC, relative

humidity 38 - 45% and fifteen changes of air per

minute

gas scavenging system and six 13 ampere electricity

outlets per bay well lit with lighting approximating to

the daylight spectrum


Equipment in each bay - oxygen outlets, face masks and breathing systems

- pulse oximetry

- availability of blood pressure monitoring and ECG

- suction units with Yankaur ends

- a fully equipped anaesthetic machine with

ventilator

- drugs and intravenous fluids

- a paediatric equipment trolley containing

facemasks, airways, endotracheal tubes and

connectors in a range of paediatric sizes

1.3.3 Monitoring Pasien Di Ruang Pulih

Saat pasien tiba di ruang pulih :

19
a) Bebaskan jalas nafas

Posisi penderita diperhatikan (jalan nafas harus bebas), adanya

obstruksi jalan nafas dapat diketahui dari pergerakan dinding dada atau

supraclavicular yang dalam saat inspirasi atau adanya suara nafas yang khas.

Posisi yang baik adalah posisi miring ke kiri, posisi ini membuat lidah dan

20
palatum molle jatuh di depan menghindari oropharingeal yang terbuka. Posisi

ini juga menghindari terjadinya aspirasi atau laringospasme.

b) Respirasi

Dapat di monitor dari pergerakan dinding dada atau abdomen atau

dengan merasakan udara ekspirasi dari hidung atau mulut. Oksigenasi juga

dapat dipantau dari perubahan warna kulit pasien yang tampak jelas terlihat di

lidah atau sekitar bibir, jika tampak kebiruan (cyanosis) curigai pasien

mengalami hipoksia. Bradypnea disertai pupil kecil (pinpoint pupils) biasanya

disebabkan oleh penggunaan opioid selama operasi, kondisi ini dapat pulih

secara spontan seperti efek obat anestetik lainnya. Jika frekuensi nafas < 8

bpm/hipoksia, maka cobalah bangunkan pasien, jika gagal berikan naloxone

400 mcg dalam 10 ml saline dan 2 ml bolus intravena.

c) Sirkulasi

Nadi lemah atau cepat (tachycardia) menunjukkan pengurangan

volume darah, dan pengisian perifer (perfusi dingin menunjukkan hipovolemi

atau hipotermia selama operasi yang lama). Nadi normalnya antara 60-90

x/menit. Bradikardia biasanya terjadi karena anestesi yang dalam atau

terjadinya vagal reflex, kondisi ini butuh penanganan jika nadi < 40-50

x/menit atau jika disertai dengan hipotensi, berikan atropine 200-400 mcg.

21
Takikardia menunjukkan nyeri yang hebat atau adanya hipovolemik, tetapi

jarang disebabkan oleh atrial fibrilasi atau supraventricular takikardia. Terapi

utama harus berdasarkan penyebabnya (morphine atau penggantian cairan 250

ml). jika takikardia terus meningkat curigai adanya perdarahan yang

tersembunyi. Observasi luka jahitan operasi setiap beberapa menit untuk

memastikan adanya perdarahan atau hematom sedini mungkin.

d) Tingkat kesadaran

Observasi kesadaran pasien dengan melihat reflex yang muncul seperti

reflek bulumata, menelan, atau bersuara terhadap respon yang telah diberikan.

Saat pasien sadar dan merasakan nyeri, segera berikan analgesik intravena

(morphine 1-2 mg)

e) Kebutuhan oksigen

Semua pasien yang telah pulih dari anestesi harus diberikan oksigen 4

L/menit (face mask). Pemberian oksigen sesuai dengan kebutuhan pasien,

pada pasien dewasa muda sehat dengan bedah minor bisa tanpa pemberian

oksigen. Pasien beresiko mengalami hipoksia post-operasi jika diberikan

halothane, opioid atau nitrous oxide dan pasien yang sebelumnya memiliki

riwayat penyakit paru. Bila oksigen dapat diberikan, minimal 2 L/menit via

nasal kanul atau face mask cukup untuk mencegah atelectasis (absorpsi kolaps,

mucus yang terjebak, atau hypoventilati yang lama), penurunan fungsi

kapasitas residu dengan anestesi atau posisi terlentang, bersihan mucosa yang

buruk (tidak adanya reflek batuk dan fungsi silia yang terganggu), dan

hipovolemik atau edema pulmonum. Jika memungkinkan, pasien dengan

22
resiko tinggi post bedah mayor sebaiknya diberikan oksigen selama 48-72

jam.

1.3.4 Monitoring Peralatan

Monitor yang paling berguna di ruang pulih adalah pulse oximeter dan

sphygmomanometer, kedua alat ini untuk memantau oksigen sistemik dalam

darah dan mengetahui status kardiovaskuler pasien post-operasi. Beberapa hal

lainnya yang perlu dimonitor selama pasien di ruang pulih tampak pada tabel

4, sebagai berikut :

Tabel 4. Observasi post-operasi di ruang pulih

Routine postoperative observations on patients

undergoing major surgery


oxygen administration

oxygen saturation

respiratory frequency

blood pressure and heart rate

conscious level

pain score

operation site review

temperature and urine output where necessary

any drugs or fluids administered

23
1.3.5 Kriteria Pasien Keluar Dari Ruang Pulih

Waktu yang diperlukan pasien di ruang pulih tergantung dari pembedahan

atau prosedur diagnostik dan tipe anestesi yang digunakan. Pasien post-operasi

harus terus diobservasi sampai pulih dan siap untuk dipindahkan.

Kriteria pasien untuk keluar dari ruang pulih dapat berubah, tetapi syarat

utama yang harus dipenuhi yaitu pasien telah kembali sadar dari efek anestesi dan

reflex proteksi, jalan nafas bebas, pernafasan dan oksigenasi bagus (saturasi

oksigen > 93 %), nadi dan tekanan darah stabil, suhu tubuh normal dan telah

mendapat analgesik yang kuat.

Table 5. Kriteria pasien keluar dari recovery room

Discharge criteria
patient conscious and maintaining a clear airway

return of protective airway reflexes

satisfactory breathing and oxygenation (oxygen saturation > 93% on

air)

stable pulse and blood pressure

good peripheral perfusion

acceptable temperature

adequate analgesia

24
DAFTAR PUSTAKA

Agus Priyanto., 2012., Anestesi-Premedikasi., Diakses dari

http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2012/01/obat-pre-

mediaksi.html

Agus Priyanto., 2012. Cara Pre Operasi Visit., Diakses dari

http://aguspriyantoanestesi2008.blogspot.com/2012/01/cara-pre-operasi-

visit.html

Allman, Keith., 2000., Monitoring In The Recovery Room (page 1 of 2)., Diakses

dari http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u11/u1109_01.htm

Martin, Paula Ford., 2012., Recovery Room., Diakses dari

http://www.surgeryencyclopedia.com/Pa-St/Recovery-Room.html.

Metta Sinta, SW., dan Tony Handoko SK., 2005., Hipnotik-Sedatif dan Alkohol

dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi 5., Editor : Sulistia G. Ganiswarna.,

dkk., Jakarta : Bagian Farmakologi FKUI

Morgan, Edward G,. Jr and Mikhail, Maged S., 1996., Clinical Anesthesiology.,

2nd Edition., London : Prentice Hall International, Inc.

Thomas Henry, Juliana, Runtika Dewi, dkk., 2009., Pengobatan Preoperatif.,

Diakses dari http://www.docstoc.com/docs/7804132/Premedikasi.

Said A. Latief, Kartini A. Suryadi dan Rustam M. Dahlan,.2009,. Petunjuk Praktis

Anestesiologi (Ed. 2),. Jakarta : Bagian Anatesiologi dan Terapi Intensif

FKUI.

25
Sardjono O. Santoso., dan Hedi Rosmiati D., 2005., Analgesik Opioid dan

Antagonis dalam Farmakologi dan Terapi, Edisi 5., Editor : Sulistia G.

Ganiswarna., dkk., Jakarta : Bagian Farmakologi FKUI.

Wrobel, Marc., Wert, Marco., 2009, Kunjungan Pramedikasi dalam Pokok

Pokok Anastesi, Jakarta : EGC

26

Anda mungkin juga menyukai