Dokter pembimbing
dr. Ratna, Sp. An
Disusun oleh
FAKULTAS KEDOKTERAN
JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti diketahui oleh masyarakat bahwa setiap pasien yang akan menjalani tindakan
invasif, seperti tindakan bedah akan menjalani prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara
umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan
anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total.
seseorang yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak
selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis
anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya
menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.
Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total , yaitu hilangnya
kesadaran secara total, anestesi lokal -, yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang
diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh), anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada
bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang
berhubungan dengannya.
Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya
melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan
kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah
selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi.
BAB II
PEMBAHASAN
ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan
menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan cerebro-spinal (CSF).
Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam
ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Spinal anestesi mudah untuk dilakukan dan memiliki potensi untuk memberikan
kondisi operasi yang sangat baik untuk operasi di bawah umbilikus. Spinal anestesi
dianjurkan untuk operasi di bawah umbilikus misalnya hernia, ginekologi dan operasi
urologis dan setiap operasi pada perineum atau alat kelamin. Semua operasi pada kaki, tapi
amputasi meskipun tidak sakit, mungkin merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan
untuk pasien yang dalam kondisi terjaga. Dalam situasi ini dapat menggabungkan tehnik
spinal anestesi dengan anestesi umum.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi umum
dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus-pituitari
adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan
menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik anestesia yang lazim digunakan dalam
seksio sesarea adalah anestesi regional, tapi tidak selalu dapat dilakukan berhubung dengan
sikap mental pasien.
Anestesi spinal sangat cocok untuk pasien yang berusia tua dan orang-orang dengan
penyakit sistemik seperti penyakit pernapasan kronis, hati, ginjal dan gangguan endokrin
seperti diabetes. Banyak pasien dengan penyakit jantung ringan mendapat manfaat dari
vasodilatasi yang menyertai anestesi spinal kecuali orang-orang dengan penyakit katub
pulmonalis atau hipertensi tidak terkontrol. Sangat cocok untuk menangani pasien dengan
trauma yang telah mendapatkan resusitasi yang adekuat dan tidak mengalami hipovolemik.
Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
anesthesia umum ringan.
Kontra indikasi absolut:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relatif:
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent : tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia
spinal
2. Pemeriksaan fisik : tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang
punggung
3. Pemeriksaan laboratorium : Hb, ht,pt,ptt
Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas meja operasi tanpa
dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau duduk dan buat
pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus mudah teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya L2-L3, L3-L4 atau
L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.
5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa
semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan ruang
subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabutcairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang
subarachnoid tersebut.
1. Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
2. Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
3. Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah
analgetik.
4. Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
5. Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal dengan akibat
batas analgesia bertambah tinggi.
6. Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung berkumpul
ke kaudal(saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung menyebar ke cranial.
7. Berat jenis larutan: hiper,iso atau hipo barik
8. Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas analgesia
yang lebih tinggi.
9. Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar dosis
yang diperlukan.(BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
10. Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan,umumnya larutan analgetik sudah
menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi pasien.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik lokal
dengan berat jenis sama dengan css disebut isobaric. Anastetik local dengan berat jenis lebih
besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik local dengan berat jenis lebih kecil dari css
disebut hipobarik. Anastetik local yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
1. Lidokaine (xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobaric, dosis 20-100 mg
(2-5ml)
2. Lidokaine (xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat
hyperbaric, dose 20-50 mg (1-2 ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobaric, dosis 5-20 mg
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15 mg (1-3 ml)
Bupivacaine
Obat anestetik lokal yang sering digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau
bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah
teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS
(hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil
(hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat
akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang termasuk dalam golongan amino amida.
Bupivacaine di indikasi pada penggunaan anestesi lokal termasuk anestesi infiltrasi, blok
serabut saraf, anestesi epidura dan anestesi intratekal. Bupiivacaine kadang diberikan pada
injeksi epidural sebelum melakukan operasi athroplasty pinggul. Obat tersebut juga biasa
digunakan untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat mencapai
20 jam setelah operasi.
Bupivacaine dapat diberikan bersamaan dengan obat lain untuk memperpanjang durasi efek
obat seperti misalnya epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural. Kontraindikasi
untuk pemberian bupivacaine adalah anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk
kegagalan tourniket dan adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut.
Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular dengan natrium dan memblok
influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah terjadinya depolarisasi. Dikarenakan
serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak
memiliki selubung mielin, maka bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut
saraf nyeri dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai
selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.
1. Factor utama:
b) Posisi pasien
2. Faktor tambahan :
a) Ketinggian suntikan
b) Kecepatan suntikan/barbotase
c) Ukuran jarum
Komplikasi anastesi spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi delayed.
Komplikasi tindakan :
1. Hipotensi berat: Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum
tindakan.
2. Bradikardia : Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok
sampai T-2
3. Hipoventilasi : Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Gangguan pendengaran
8. Blok spinal tinggi atau spinal total
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi
karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan
arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan
berkurang akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati
dengan pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin
atau fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi
spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi
atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Bila terjadi
spinal tinggi atau high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber di T1-T4), dapat
menyebabkan bardikardi sampai cardiac arrest.
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis
yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah
hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa
menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan
kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital
terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal
total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas terjadi akibat
dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya dipertahankan.
Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika
hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya menyebakan henti
jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah terjadinya keadaan yang
lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan pemberian oksigen bertekanan
positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal
seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang permanen yang disebabkan oleh
komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat dan tepat.
Komplikasi respirasi
Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5)
mengakibatkan hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan menyebabkan terjadinya
respiratory arrest. Bisa juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menmyebabkan
gangguan gerakan diafragma dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.
Komplikasi postoperative:
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Nyeri
kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan pada dural pada anestesi epidural.
Insiden terjadi komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang
digunakan. Semakin besar ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala.
Selain itu, insidensi terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam selepas suntikan
anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar
ke retro orbital, dan sering disertai dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah.
Tanda yang paling signifikan nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila
pasien dipindahkan atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan
berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam waktu 24 48 jam
harus di coba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi (secara cairan oral atau intravena),
analgesic, dan suport yang kencang pada abdomen. Tekanan pada vena cava akan
menyebabkan terjadi perbendungan dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya
menghentikan kebocoran dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural.
Jika terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin kedalam epidural
untuk menghentikan kebocoran.
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan
jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan
atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum
dapat di obati secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat
sahaja.
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi
neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik. Sindrom ini muncul dalam waktu
24 jam setelah anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia.
Meningitis aseptic hanya memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan
menghilang dalam beberapa hari.
Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat
menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia
ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat
yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.
Komplikasi neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini
biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal dilakukan. Sindrom ini
ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik pada tungkai yang progresif. Pada
penyakit ini terdapat reaksi proliferatif dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature
korda spinal.
Iskemia dan infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah ke korda spinal.
Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma tusukan jarum pada spinal maupun
epidural, kateter epidural atau suntikan solution anestesi lokal intraneural adalah jarang, tapi
tetap berlaku.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat jarang berlaku
karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor didalam ruang subaraknoid. Hanya
pembuluh darah radikular lateral merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang
menyebar ke ruang subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari
anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada tungkai bawah
karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal. Kehilangan sensoris biasanya tidak
merata dan adalah sekunder dari nekrosis iskemia pada akar posterior saraf dan bukannya
akibat dari kerusakan didalam korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom
spinal-arteri : kekurangan bekalan darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan
bekalan darah dari arteri-arteri yang diganggu oleh operasi, kekurangan aliran darah dari
arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan aliran darah sama ada dari kongesti
vena mahu pun obstruksi aliran.
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional.
Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada
analgesia spinal, umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi.
PENATALAKSANAAN HIPOTENSI
1. Tindakan Preventif
Pemberian preloading pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal dengan 1 2 liter
cairan intravena (kristaloid atau koloid) sudah secara luas dilakukan untuk mencegah
hipotensi pada anestesi spinal. Pemberian cairan tersebut secara rasional untuk meningkatkan
volume sirkulasi darah dalam rangka mengkompensasi penurunan resistensi perifer.
Kleinman dan Mikhail mengatakan hipotensi akibat efek kardiovaskuler dari anestesi
spinal dapat diantisipasi dengan loading 10 20 ml/kg cairan intravena (kristaloid atau
koloid) pada pasien sehat akan dapat mengkompensasi terjadinya venous pooling. (Kleinman,
2006)
Pada beberapa penelitian yang lain dikatakan bahwa preloading cairan intravena pada
pasien yang akan dilakukan anestesi spinal adalah tidak efektif. Coe et al. dalam
penelitiannya mengatakan bahwa prehidrasi pada pasien yang akan dilakukan anestesi spinal
tidak mempunyai efek yang signifikan dalam mencegah terjadinya hipotensi. Hal ini juga
dibenarkan oleh Buggy et al. Berbeda dengan Arndt et al. dia mengatakan bahwa prehidrasi
dapat secara signifikan menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, namun hanya dalam
waktu 15 menit pertama setelah dilakukan anestesi spinal. (Liguori, 2007)
Salinas mengatakan bahwa penurunan tekanan darah dapat dicegah dengan pemberian
preloading cairan kristaloid. Namun hal ini tergantung dari waktu pemberian cairan tersebut.
Dia mengatakan pemberian 20 ml/kg ringer laktat (RL) sesaat setelah dilakukan anestesi
spinal dapat secara efektif menurunkan frekuensi terjadinya hipotensi, bila dibandingkan
dengan preloading 20 menit atau lebih sebelum dilakukan anestesi spinal. (Salinas, 2009)
Mengenai pemilihan cairan, Zorco, et al., dalam penelitiannya tentang efek posisi
trendelenburg, ringer laktat, dan HES 6% terhadap curah jantung setelah anestesi spinal
didapatkan bahwa ketiga cara diatas dapat mencegah terjadinya penurunan curah jantung.
Pemberian RL (kristaloid) maupun HES 6 % (koloid) pada saat anestesi spinal, ternyata tidak
hanya dapat mencegah penurunan curah jantung, tapi dapat meningkatkan curah jantung.
Namun saat efek kristaloid mulai berkurang terhadap curah jantung akibat cepatnya kristaloid
berdifusi ke ruang interstitial, koloid masih dapat bertahan di intravaskuler dan masih dapat
mempertahankan curah jantung. Namun dari segi ekonomis koloid lebih mahal dibandingkan
kristaloid, dan koloid dapat menyebabkan terjadinya anafilaksis walaupun sedikit angka
kejadiannya. (Zorco N., et al., 2009)
2. Penatalaksanaan hipotensi
Derajat hipotensi yang membutuhkan terapi aktif masih dalam perdebatan, hal ini
disebabkan karena adanya data-data ilmiah yang menunjukkan bahwa hipotensi masih dapat
ditoleransi pada pasien yang sehat.
Untuk mengatasi hipotensi secara efektif, penyebab utama dari hipotensi harus
dikoreksi. Penurunan curah jantung dan venous return harus diatasi, pemberian kristaloid
sering kali berguna untuk memperbaiki venous return. Dalam prakteknya pemberian
preloading 500 1500 ml kristaloid dapat menurunkan terjadinya hipotensi, walaupun pada
beberapa penelitian lain tidak efektif.
Pada pasien tanpa adanya gangguan pada target organ dan asimptomatik, dengan
penurunan tekanan darah mencapai 33 % belum perlu perlu dikoreksi.
Monitoring tekanan darah dan juga pemberian suplemen oksigen harus diperhatikan
pada anestesi spinal. Pemberian cairan juga harus dimonitor secara hati-hati, karena
pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya congestive heart failure,
oedem paru, ataupun keduanya.
Penggunaan hanya dengan cairan intra vena tidak cukup efektif dalam penanganan
hipotensi akibat anestesi spinal. Respon tekanan darah terhadap pemberian cairan intra vena
membutuhkan waktu beberapa menit, sedangkan pada beberapa kasus hal itu tidak cukup
cepat, oleh karena itu sebagai obat pilihan utama diberikan vasopresor.
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih, dilakukan loading cairan
kristaloid 500 1000 ml dengan mempertimbangkan diberikan vasopresor, bila laju nadi
sekitar 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 5 10 mg IV, dan bila laju nadi sekitar 80
kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 50 100 mcg IV, pemberian vasopresor tersebut
dapat diulang setiap 2 3 mnt bila perlu sampai tekanan darah kembali normal. Perlu
dipertimbangkan juga untuk mengubah posisi menjadi trendelenburg.
Pada pasien dengan adanya penyakit jantung dan kardiovaskuler serta penyakit di
susunan saraf pusat
Bila terjadi penurunan tekanan darah mencapai 30 % atau lebih dan ditemukan adanya
gejala seperti nausea vomitus, nyeri dada, dsb.
Dengan laju nadi 70 kali/mnt dapat diberikan ephedrine 10 20 mg IV, jika tidak ada
respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan epinephrine 8 16 mg IV atau
infus titrasi epinephrine 0.15 0.3 mcg/kg/min.
Dengan laju nadi 80 kali/mnt dapat diberikan phenylephrine 100 200 mcg IV, jika tidak
ada respon sampai dengan 2 kali pemberian, dapat diberikan infus titrasi phenylephrine
0.15 0.75 mcg/kg/min atau infus titrasi norepinephrine 0.01 0.1 mcg/kg/min.
Ephedrine tidak menyebabkan penurunan uterine blood flow, sehingga dapat digunakan
sebagai vasopresor kasus-kasus obstetri. Ephedrine juga memiliki efek antiemetik. (Morgan,
2006)
DAFTAR PUSTAKA
Covino, B.G., et al., Handbook of spinal anaesthesia and analgesia . 1994 : 1-168.
Hartman., et al., The Incidence and Risk Factors for Hypotension After Spinal Anesthesia
Induction: An Analysis with Automated Data Collection., Anesth Analg.,
2002;94:15219.
Kleiman, W., Mikhail, M., Spinal, Epidural, & Caudal Blocks., Clinical Anesthesiology., 4th
Ed., 2006 : 289 323.
Kol, I.O., et al., The Effects of Intravenous Ephedrine During Spinal Anesthesia for Cesarean
Delivery: A Randomized Controlled Trial., J Korean Med Sci., 2009; 24: 883-8.
Lim, H.H., et al., The Use of Intravenous Atropine After a Saline Infusion in the Prevention of
Spinal Anesthesia-Induced Hypotension in Elderly Patients., Anesth Analg
2000;91:12036.
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., Adrenergic Agonist & Antagonists., Clinical
Anesthesiology., 2006 : 242 254.
Mojica, J.L., et al., The Timing of Intravenous Crystalloid Administration and Incidence of
Cardiovascular Side Effects During Spinal Anesthesia: The Results from a Randomized
Controlled Trial., Anesth Analg 2002;94:4327.
Salinas, FV., Spinal Anesthesia., A Practical Approach to Regional Anesthesia., 4th ed.,
2009 : 60 102.
Tsai, T., Greengrass, R., Spinal Anesthesia., Textbook of Regional Anesthesia and Acute Pain
Management., 2007 : 193 221.