Anda di halaman 1dari 20

Evaluasi Ujian

Nasional (UN), PISA,


dan TIMSS
WULI OKTININGRUM

Makalah ini berisi tentang hasil evaluasi pendidikan di Indonesia ditinjau fari pelaksanaan Ujian
Nasional (UN), Programme for International Student Assessment (PISA), dan Trends International
Mathematics and Science Study (TIMSS).
A. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu pilar penting dalam peningkatan kualitas dan
kesejahteraan hidup masyarakat. Maka tujuan fundamental dari pendidikan adalah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan fungsi dari pendidikan itu sendiri
seperti yang dijelaskan di dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan juga merupakan salah satu bentuk usaha menuju pendewasaan
dalam kehidupan. Melalui pendidikan diharapkan dapat tercipta kehidupan lebih baik.
Berbagai usaha dilakukan agar pendidikan dapat memberikan hasil yang maksimal,
mulai dari perbaikan penyusunan program, perbaikan proses dan perbaikan sistem
evaluasi.
Evaluasi merupakan subsistem yang sangat penting dan sangat di butuhkan
dalam setiap sistem pendidikan, karena evaluasi dapat mencerminkan seberapa jauh
perkembangan atau kemajuan hasil pendidikan. Dengan evaluasi, maka maju dan
mundurnya kualitas pendidikan dapat diketahui, dan dengan evaluasi pula, kita dapat
mengetahui titik kelemahan serta mudah mencari jalan keluar untuk berubah menjadi
lebih baik ke depan.
Tanpa evaluasi, kita tidak bisa mengetahui seberapa jauh keberhasilan siswa,
dan tanpa evaluasi pula kita tidak akan ada perubahan menjadi lebih baik, maka dari
itu secara umum evaluasi adalah suatu proses sistemik untuk mengetahui tingkat
keberhasilan suatu program.
Sehingga dalam kesempatan ini saya akan membahas tentang pro da kotra
masyarakat tentang sistem evaluasi pendidikan nasional melalui UAN, PISA dan
TIMSS.

B. UJIAN NASIONAL (UN)


Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No
45 tahun 2006, UN merupakan kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta
didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah yang
pelaksanaannya ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dimana
penyelenggaraannya meliputi mata pelajaran tertentu yang diikuti oleh peserta didik
SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB, dan SMK.
Landasan yuridis pelaksanaan UN adalah a) Undang-Undang No.20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional; b) Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan; c) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) No.20/2005 tentang Ujian Nasional Tahun Pelelajaran 2005/2006.
UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada
mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sedangkan hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk
pemetaan mutu satuan dan/program pendidikan; seleksi untuk masuk jenjang
pendidikan berikutnya; penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan
pendidikan; akreditasi satuan pendidikan; dan pembinaan dan pemberian bantuan
kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Senada dengan hal tersebut Haryanti dan Mujiran (Suara Merdeka, 150205)
mengemukakan bahwa alasan pemerintah menyelenggarakan ujian nasional, antara
lain karena ujian nasional berguna untuk mengukur dan menilai kompetensi peserta
didik dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya disampaikan juga bahwa
pemerintah memandang perlu dilaksanakannya UN karena selain untuk kepentingan
pemetaan pendidikan UN juga dipakai sebagai instrumen penentu kelulusan dan
pemberian ijazah bagi peserta didik.
Tujuan diadakan Ujian Nasional (UN) , Menurut Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 153/U/2003 Tentang Ujian Akhir Nasional Tahun
Pelajaran 2003/2004 bahwa tujuan dan fungsi ujian nasional seperti yang tercantum
dalam SK Mendiknas 153/U/2003 yaitu:
Mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
Mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan
sekolah/madrasah.
Mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional,
propinsi, kabupaten/kota, sekolah/madrasah, dan kepada masyarakat.

- PRO UAN
UN (Ujian Nasional) merupakan kegiatan tahunan pemerintah yang
menimbulkan banyak pro dan kotra. Meskipun banyak masyarat dan beberapa
pejabat pemerintah menilai kegiatan ini harus dihapuskan, tapi masih ada
masyarakat dan pejabat pemerintah yang mendukung kegiatan ini.
Bapak Agung Laksono selaku Menkokesra yang dikutip dalam Kompas edisi
25 April 2013 menyatakan dukungannya kepada UN. Beliau menyampaikan
bahwa pelaksanaan UN itu penting bagi pemeritah, meskipun ada banyak
kekurangan dan harus diperbaiki setiap tahunnya.
Selain Menkokesra, UN juga mendapat dukungan penuh dari instansi terkait
seperti Kemendikbud, DPR dan Kementrian Keuangan. Bentuk dukungan mereka
yaitu berupa anggaran yang selalu disihkan untuk UN setiap tahunnya.
Menurut Karso selaku Lektor Kepala FPMIPA UPI terdapat beberapa hal yang
dapat dijadikan alasan mengapa UN peru dipertahankan, antara lain :
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN perlu tetap
dipertahankan, antara lain:
a. Beberapa pasal pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang
terkait langsung dengan kegiatan ujian atau evaluasi pendidikan adalah pasal
35, pasal 57, pasal 58, dan pasal 59. Berdasarkan pasal-pasal dan ayat-ayatnya
serta kaitannya satu sama lain, maka dapat ditarik suatu pemahaman seperti
berikut ini.
1) Terhdap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan evaluasi oleh pendidik
dengan tujuan utama untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar peserta ddik secara berkesinambungan (pasal 58, ayat 1).
2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidikan,
dan program pendidikan untuk memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau
menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan (isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan evaluasi pendidikan) (pasal 35, ayat 1).
3) Evaluasi terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidkan, dan program
pendidikan untuk memantau atau menilai pencapaian standar nasional
dilakukan oleh suatu lembaga mandiri (pasal 58, ayat 2), dapat berupa
badan standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan (pasal
35, ayat 3) dan/atau lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat
dan/atau yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.
4) Pasal 35, 57, dan 58 mengamanatkan bahwa evaluasi perlu dilakukan
untuk (a) pengendalian mutu pendidikan secara nasional (pasal 57, ayat
1), dan (b) memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2)
pencapaian standar nasional pendidikan.
5) Pasal 59 berisi tentang lembaga yang harus melakukan evaluasi dan
membentuk lembaga evaluasi yang mandiri disertai beberapa spesifikai
tentang apa dan siapa yang dievaluasi, yaitu pemerintah dan pemerintah
daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan (pasal 59, ayat 1). Masyarakat dan/atau organisasi profesi
dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi
sebagaimana ynag dimaksud dalam pasal 58 (pasal 59, ayat 2).
b. Tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama
didasarkan pada argumentasi tentang pentingnya UN sebagai pengendali mutu
pendidikan secara nasional dan pendorong atau motivator bagi peserta didik
dan penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
c. UN perlu dilaksanakan dalam rangka menegakkan akuntabilitas pengelola dan
penylenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dan
masyarakat pada umumnya. Secara konseptual UN mampu menyediakan
informasi yang akurat kepada masyarakat tentang prestasi yang dicapai oleh
setiap peserta didik, sekolah, lembaga pendidikan kabupaten/kota, provinsi,
dan prestasi nasional secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk
membandingkan prestasi belajar antar sekolah, kabupaten/kota, dan antar
provinsi. Dalam konteks ini UN merupakan instrumen yang potensial untuk
menyediakan informasi penting dalam menegakkan akuntabilitas.

Beberapa masyarakat pun berpendapat bahwa UN masih perlu dilaksanakan


karena UN memberikan beberapa dampak positf dan hasil dari UN bisa dijadikan
acuan untuk kejenjang pendidikan selanjutnya.
Beberapa kegunaan hasil UN :
Penetapan mutu satuan dan atau program pendidikan di seluruh Indonesia,
Seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau berikutnya,
Pertimbangan penentuan kelulusan peserta didik dari satuan dan atau
program pendidikan,
Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan dan atau program
pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan untuk mencapai
tingkat kelulusan tertentu, dan
Perbaikan sarana dan prasarana untuk guru, laboratorium, perpustakaan,
tenaga kependidikan dan keperluan sekolah lainnya.

Secara tidak langsung dampak positif dari pelaksaan UN bagi siswa adalah
memotivasi siswa untuk lebih rajin belajar, karena siswa sadar bahwa persaingan
dalam UN sangat ketat sekali dan hasil UN merupakan penentu masa depan
mereka.

- KONTRA UAN
Telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat yang beragam dari berbagai
kalangan tentang UN yang dilansir oleh sejumlah media masa. Di antara mereka
ada yang secara tegas menolak keberadaan UN dalam bentuk apapn dan
menggantinya dengan ujian sekolah.
Menurut kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan
dengan digulirkannya UN (Tempo, 040205), yaitu ;
pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta
didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Tapi
yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang
menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses,
kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara
berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan
penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.
Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh
pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar
peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak
guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa
proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah
daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap
hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang
diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01
pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada
tahun 2004/2005 dan pada tahun 2006 ini standar nilai kelulusan dinaikan
hingga 5,00. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan
orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan
di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan
biaya. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah,
tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat
kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk
menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini
masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini
memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

Selain itu Karso selaku Lektor Kepala FPMIPA UPI berpendapat bahwa
argumentasi yang dapat dikemukakan sebagai penolakan UN antara lain :
a. Dilihat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu
Pasal 8 ayat 1: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik
untuk memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan.
b. Karena sifat ujiannya nasional, maka bidang kajian yang di-UN-kan dianggap
lebih penting daripada pelajaran lain, sehingga sebagian besar upaya sekolah
hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan
dalam UN. Padahal materi UN hanya mencakup aspek intelektual, belum
mampu mengukur seluruh aspek pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah
terjadi malpraktik dengan kesan penyempitan terhadap makna dan hakekat
pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif untuk
beberapa pelajaran yang diujikan. Kecakapan motorik, sosial, emosional,
moral atau budi pekerti, dan aspek spiritual dianggap diabaikan.
c. Menurut sebagian ahli tes, UN dalam keadaan sekarang bertentangan dengan
kaidah pendidikan itu sendiri. Dalam kaidah pendidikan tes digunakan untuk
menjamin kualitas anak didik, bukan untuk menghukumnya. Sekarang ini UN
digunakan untk menghukum anak didik yang telah belajar selama tiga tahun
tetapi tidak lulus dalam UN yang hanya dilaksanakan dalam beberapa menit
dan beberapa mata pelajaran. Padahal seharusnya pemerintah introspeksi diri
bahwa ketidaklulusan anak didik adalah cerminan dari ketidakmampuan
pemerintah dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Jangan
kesalahan itu dibebankan kepada para siswa.
d. Kenyataannya sekarang ini di lapangan, di sekolah-sekolah ada yang mulai
berkiblat pada bimbingan les. Para siswa lebih percaya pada bimbingan les
daripada kepada guru mereka sendiri, yang mengajar selama tiga tahun. Guru
mata pelajaran yang di-UN-kan saja merasa terabaikan, bagaimana dengan
guru mata pelajaran yang non-UN? Tidak sedikit ada yang mendatangkan guru
bimbingan belajar atau bentuk-bentuk kersajama antara lembaga bimbingan
belajar dengan sekolah. Ada yang berangapan bahwa dunia pendidikan
berkiblat pada UN, sehingga telah mengerdilkan makna pendidikan. Menurut
Ketua Komisi X DPR RI Heri Ahmadi (Pikiran Rakyat, 19 Desember 2007)
mengungkapkan bahwa Pelaksanaan UN ini mengakibatkan fungsi sekolah
sebagai tempat belajar semakin kehilangan makna, sebab yang terpenting
bagaimana sekolah dapat meluluskan siswanya. Hal ini memang benar,
karena sering terdengar adanya berita-berita yang negatif yang dilakukan oleh
oknum guru atau sekolah dalam pelaksanaan UN.
e. Belum lagi tentang disvaritas mutu sekolah, efisiensi anggaran, belum
memberikan jaminan kualitas lulusan meningkat. Sebagai contoh penulis
pernah menemukan suatu sekolah di suatu kabupaten terpencil yang hanya
mengajarkan mata pelajaran yang di-UN-kan saja untuk para siswa di kelas
tiga. Kemudian menurut hasil penelitian di ITB, ternyata lebih banyak
mahasiswa yang drop out yang pada waktu di SMA-nya mengikuti bimbingan
belajar daripada mereka yang tidak mengikuti bimbingan belajar.

C. PISA
PISA merupakan singkatan dari Programme Internationale for Student
Assesment yang merupakan suatu bentuk evaluasi kemampuan dan pengetahuan yang
dirancang untuk siswa usia 15 tahun . PISA sendiri merupakan proyek dari
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang pertama
kali diselenggarakan pada tahun 2000 untuk bidang membaca, matematika dan sains.
Ide utama dari PISA adalah hasil dari sistem pendidikan harus diukur dengan
kompetensi yang dimiliki oleh siswa dan konsep utamanya adalah literasi.
PISA dilaksanakan setiap tiga tahun sekali, yaitu pada tahun 2000, 2003, 2006,
2009, dan seterusnya. Sejak tahun 2000 Indonesia mulai sepenuhnya berpartisipasi
pada PISA. Pada tahun 2000 sebanyak 41 negara berpartisipasi sebagai peserta
sedangkan pada tahun 2003 menurun menjadi 40 negara dan pada tahun 2006
melonjak menjadi 57 negara. Jumlah negara yang berpartisipasi pada studi ini
meningkat pada tahun 2009 yaitu sebanyak 65 negara. PISA terakhir diadakan pada
tahun 2012, dan laporan mengenai hasil studi ini belum dirilis oleh pihak OECD.
Dalam melakukan studi ini, setiap negara harus mengikuti prosedur operasi
standar yang telah ditetapkan, seperti pelaksanaan uji coba dan survei, penggunaan tes
dan angket, penentuan populasi dan sampel, pengelolaan dan analisis data, dan
pengendalian mutu. Desain dan implementasi studi berada dalam tanggung jawab
konsorsium internasional yang beranggotakan the Australian Council for Educational
Research (ACER), the Netherlands National Institute for Educational Measurement
(Citogroep), the National Institute for Educational Policy Research in Japan (NIER),
dan WESTAT United States.
Tujuan PISA adalah untuk mengukur prestasi literasi membaca, matematika,
dan sains bagi siswa usia 15 tahun. Bagi Indonesia, manfaat yang dapat diperoleh
antara lain untuk mengetahui posisi prestasi literasi siswa di Indonesia bila
dibandingkan dengan prestasi literasi siswa di negara lain dan faktor faktor yang
mempengaruhinya. Dasar penilaian prestasi literasi membaca, matematika, dan sains
dalam PISA memuat pengetahuan yang terdapat dalam kurikulum dan pengetahuan
yang bersifat lintas kurikulum.Masing-masing aspek literasi yang diukur adalah
sebagai berikut:
o Membaca : memahami, menggunakan, dan merefleksikan dalam bentuk
tulisan.
o Matematika : mengidentifikasikan dan memahami serta menggunakan dasar-
dasarmatematika yang diperlukan seseorang dalam menghadapi kehidupan
sehari-hari.
o Sains : menggunakan pengetahuan dan mengidentifikasi masalah untuk
memahamifakta-fakta dan membuat keputusan tentang alam serta perubahan
yang terjadi padalingkungan.

Keterlibatan Indonesia dalam Program for International Student Assessment


(PISA) adalah dalam upaya melihat sejauh mana program pendidikan di negara kita
berkembang dibanding negara-negara lain di dunia. Hal ini menjadi penting dilihat
dari kepentingan anak-anak kita di masa yang akan datang sehingga mampu bersaing
dengan negara-negara lain dalam era globalisasi. Penilaian PISA dapat dibedakan dari
penilaian lainnya dalam hal sebagaimana disebutkan di bawah ini ( Hayat, 2009):
PISA berorientasi pada kebijakan desain dan metode penilaian dan pelaporan
disesuaikan dengan kebutuhan masing- masing negara peserta PISA agar dapat
dengan mudah ditarik pelajaran tentang kebijakan yang telah dibuat oleh
negara peserta melalui perbandingan data yang disediakan.
PISA menggunakan pendekatan literasi yang inovatif, suatu konsep belajar
yang berkaitan dengan kapasitas para siswa untuk menerapkan pengetahuan
dan keterampilan dalam mata pelajaran kunci disertai dengan kemampuan
untuk menelaah, memberi alasan dan mengomunikasikannya secara efektif,
serta memecahkan dan menginterpretasikan permasalahan dalam berbagai
situasi.
Konsep belajar dalam PISA berhubungan dengan konsep belajar sepanjang
hayat, yaitu konsep belajar yang tidak membatasi pada penilaian kompetensi
siswa sesuai dengan kurikulum dan konsep lintas kurikulum, melainkan juga
motivasi belajar, konsep diri mereka sendiri, dan strategi belajar yang
diterapkan.
Pelaksanaan penilaian dalam PISA teratur dalam rentangan waktu tertentu
yang memungkinkan negara-negara peserta untuk memonitor kemajuan
mereka sesuai dengan tujuan belajar yang telah ditetapkan.

Tetapi, pada kenyataannya dalam tes PISA negara indonesia masih berada
pada level yang paling bawah. Berdasarkan hasil survey Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 2011menyatakan bahwa posisi atau peringkat Indonesia
berada pada juru kunci, seperti tampak pada tabel berikut.

Gambar 1. Hasil PISA

Hasil terbaru dari PISA 2013 seperti yang dilansir dalam detikNews bahwa
Mendikbud menyatakan jika perombakan kurikulum KTSP menjadi kurikulum 2013
itu sangat perlu berdasarkan hasil survei PISA yang menyatakan bahwa Indonesia
menempati posisi 64 dari 65 negara.

Hal ini bisa jadi disebabkan kebijakan pemerintah kita dengan adanya Ujian
Nasional. Saat ini tolak ukur keberhasilan siswa sepertinya hanya terletak pada Ujian
Nasional sebagai suatu tes formal yang mesti ditempuh oleh peserta didik untuk lulus
guna melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Misalnya dari SMP ke SMA. Seperti
kita ketahui pada soal-soal ujian nasional lebih menekankan pada penguasaan
keterampilan dasar (basic skill), namun sedikit atau sama sekali tidak ada penekanan
untuk penerapan matematika dalam konteks kehidupan sehari- hari, berkomunikasi
secara matematis, dan bernalar secara matematis. Seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Sampoerna Foundation menunjukkan bahwa sebaran soal Ujian
Nasional masih sangat kontekstual, yakni penuh dengan penghitungan. Sehingga
siswa banyak dituntut melakukan penghitungan dengan menerapkan rumus-rumus
tanpa menekankan problem solving atau penalaran (Yuyun Yunengsih, 2008).

Soal-soal PISA sangat menuntut kemampuan penalaran dan pemecahan


masalah. Seorang siswa dikatakan mampu menyelesaikan masalah apabila ia dapat
menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang
belum dikenal (Wardhani, 2005).

Di dalam soal-soal PISA terdapat delapan ciri kemampuan kognitif


matematika yaitu :

a. thinking and reasoning


b. argumentation
c. communication
d. modelling
e. problem posing and solving
f. representation, using symbolic
g. formal and technical language and operations
h. use of aids and tools
Kedelapan kemampuan kognitif matematika itu sangat sesuai dengan tujuan
pembelajaran matematika yang terdapat pada kurikulum kita . Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa soal-soal PISA bukan hanya menuntut kemampuan dalam
penerapan konsep saja, tetapi lebih kepada bagaimana konsep itu dapat diterapkan
dalam berbagai macam situasi, dan kemampuan siswa dalam bernalar dan
berargumentasi tentang bagaimana soal itu dapat diselesaikan.

PISA Framework
Framework PISA Matematika berdasarkan tiga dimensi: (i) isi atau konten
matematika; (ii) proses yang perlu dilakukan siswa ketika mengamati suatu gejala,
menghubungkan gejala itu dengan matematika, kemudian memecahkan masalah yang
diamatinya itu; dan (iii) situasi dan konteks. Seperti terlihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2. PISA Matematika Framework

Konten dibagi menjadi empat bagian (Hayat, 2009) yaitu:


1. Ruang dan bentuk (space and shape) berkaitan dengan pokok pelajaran
geometri. Soal tentang ruang dan bentuk ini menguji kemampuan siswa
mengenali bentuk, mencari persamaan dan perbedaan dalam berbagai dimensi
dan representasi bentuk, serta mengenali cirriciri suatu benda dalam
hubungannya dengan posisi benda tersebut.
2. Perubahan dan hubungan (change and relationships) berkaitan dengan pokok
pelajaran aljabar. Hubungan matematika sering dinyatakan dengan persamaan
atau hubungan yang bersifat umum, seprti penambahan, pengurangan, dan
pembagian. Hubungan itu juga dinyatakan dalam berbagai symbol aljabar,
grafik, bentuk geometris, dan table. Oleh karena setiap representasi symbol itu
memiliki tujuan dan sifatnya masing-masing, proses penerjemahannya sering
menjadi sangat penting dan menentukan sesuai dengan situasi dan tugas yang
harus dikerjakan.
3. Bilangan (quantity) berkaitan dengan hubungan bilangan dan pola bilangan,
antara lain kemampuan untuk memahami ukuran, pola bilangan, dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan bilangan dalam kehidupan sehari-hari,
seperti menghitung dan mengukur benda tertentu. Termasuk ke dalam konten
bilangan ini adalah kemampuan bernalar secara kuantitatif, merepresentasikan
sesuatu dalam angka, memahami langkah-langkah matematika, berhitunhg di
luar kepala, dan melakukan penaksiran.
4. Probabilitas dan ketidakpastian (uncertainty) berhubungan dengan statistic
dan probabilitas yang sering digunakan dalam masyarakat informasi.
Keempat konten matematika tersebut adalah landasan untuk belajar
matematika sepanjang hayat untuk kebutuhan hidup keseharian.

Proses Matematika
PISA mengelompokkan komponen proses ini ke dalam tiga kelompok (Hayat,
2009) yaitu:
1. Komponen proses reproduksi (reproduction cluster) Dalam penilaian PISA,
siswa diminta untuk mengulang atau menyalin informasi yang diperoleh
sebelumnya. Misalnya, siswa diharapkan dapat mengulang kembali defenisi
suatu hal dalam matematika. Dari segi keterampilan, siswa dapat mengerjakan
perhitungan sederhana yang mungkin membutuhkan penyelesaian tidak terlalu
rumit dan umum dilakukan. Tentunya keterampilan seperti ini sudah sering
kita lihat dalam penilaian tradisional.
2. Komponen proses koneksi (connection cluster) Dalam koneksi ini, siswa
diminta untuk dapat membuat keterkaitan antara beberapa gagasan dalam
matematika, membuat hubungan antara materi ajar yang dipelajari dengan
kehidupan nyata di sekolah dan masyarakat. Dalam kelas ini pula, siswa dapat
memecahkan permasalahan yang sederhana. Khususnya, siswa dapat
memecahkan soal yang berkaitan dengan pemecahan masalah dalam
kehidupan tetapi masih sederhana. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat
terlibat langsung dalam pengambilan keputusan secara matematika dengan
menggunakan penalaran matematika yang sederhana.
3. Komponen proses refleksi (reflection cluster) Komponen refleksi ini adalah
kompetensi yang paling tinggi yang diukur kemampuannya dalam PISA, yaitu
kemampuan bernalar dengan menggunakan konsep matematika. Melalui uji
kompetensi ini, diharapkan setiap siswa berhadapan dengan suatu keadaan
tertentu. Mereka dapat menggunakan pemikiran matematikanya secara
mendalam dan menggunakannya untuk memecahkan masalah. Dalam
melakukan refleksi ini, siswa melakukan analisis terhadap situasi yang
dihadapinya, mengidentifikasi dan menemukan matematika dibalik situasi
tersebut. Proses matematisasi ini meliputi kompetensi siswa dalam mengenali
dan merumuskan keadaan dalam konsep matematika, membuat model sendiri
tentang keadaan tersebut, melakukan analisis, berpikir kritis, dan melakukan
refleksi atas model itu, serta memecahkan masalah dan menghubungkannya
kembali pada situasi semula.

Konteks Matematika
Dalam PISA, konteks matematika dibagi ke dalam empat situasi ( Hayat,
2009) sebagi berikut:
1. Konteks pribadi yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan pribadi
siswa sehari-hari. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari tentu para siswa
menghadapi berbagai persoalan pribadi yang memerlukan pemecahan
secepatnya. Matematika diharapkan dapat berperan dalam menginterpretasikan
permasalahan dan kemudian memecahkannya.
2. Konteks pendidikan dan pekerjaan yang berkaitan dengan kehidupan siswa di
sekolah dan atau di lingkungan tempat bekerja. Pengetahuan siswa tentang
konsep matematika diharapkan dapat membantu untuk merumuskannya,
melakukan klasifikasi masalah, dan memecahkan masalah pendidikan dan
pekerjaan pada umumnya.
3. Konteks umum yang berkaitan dengan penggunaan pengetahuan matematika
dalam kehidupan bermasyarakat dan lingkungan yang lebih luas dalam
kehidupan sehari-hari. Siswa dapatmenyumbangkan pemahaman mereka
tentang pengetahuan dan konsep matematikanya itu untuk mengevaluasi
berbagai keadaan yang relevan dalam kehidupan di masyarakat.
4. Konteks keilmuan yang secara khusus berhubungan dengan kegiatan ilmiah
yang lebih bersifat abstrak dan menuntut pemahaman dan penguasaan teori
dalam melakukan pemecahan masalah matematika. Konteks ini dikenal
sebagai konteks intra-mathematical.

Setiap soal dalam PISA mencakup ketiga dimensi di atas, yaitu dimensi
konten, proses, dan konteks. Ketiga komponen dalam PISA tersebut, dapat di lihat
pada bagan di bawah ini (OECD, 2009)

Gambar 3. Komponen PISA Matematika

Soal-soal itu disusun dalam berbagai format. Ada soal yang menuntut siswa
untuk menjawab pertanyaan dengan menggunakan kata-kata mereka sendiri. Pada
beberapa soal, siswa diminta untuk menuliskan proses perhitungan sehingga dapat
diketahui metode dan proses berpikir siswa dalam menjawab pertanyaan. Ada juga
soal yang menuntut siswa untuk menjelaskan lebih jauh lagi apa yang menjadi
jawaban mereka. Seperti yang ditulis Gerry Shiel dkk dalam PISA Mathematics: A
Teachers Guide bahwa format dalam penilaian PISA adalah:
1. Traditional multiple-choice item
2. Complex multiple-choice items
3. Closed-constructed response items
4. Short-response items
5. Open-constructed response items

D. TIMSS
Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan
studi international tentang kecenderungan atau perkembangan matematika dan sains.
Studi ini diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of
Education Achievement (IEA) yaitu sebuah asosiasi internasional untuk menilai
prestasi dalam pendidikan yang berpusat di Lynch School of Education, Boston
College, USA.
TIMSS bertujuan untuk mengetahui peningkatan pembelajaran matematika
dan sains. yang diselenggarakan setiap 4 tahun sekali. Pertama kali diselenggarakan
pada tahun 1995, kemudian berturut-turut pada tahun 1999, 2003, 2007 dan 2011
sedang berlangsung. Salah satu kegiatan yang dilakukan TIMSS adalah menguji
kemampuan matematika siswa kelas IV SD (Sekolah Dasar) dan Kelas VIII SMP
(Sekolah Menengah Pertama). Bentuk soal-soal dalam TIMSS adalah pilihan ganda
dengan 4 atau 5 pilihan jawaban, isian singkat dan uraian. Kerangka penilaian
kemampuan bidang matematika yang diuji menggunakan istilah dimensi dan domain.
Dalam TIMSS 2011 Assesment framework penilaian terbagi atas dua dimensi,
yaitu dimensi konten dan dimensi kognitif. Penilaian dimensi konten untuk siswa
kelas IV SD terdiri atas tiga domain, yaitu: bilangan, bentuk geometri dan
pengukuran, serta penyajian data. Perhatikan tabel berikut.

Fourth Grade
Content (Mathematics) Percentages Topic Area

Number Whole numbers, Fraction and


50% Decimals, Number sentences,
Patterns and Relations

Geometric Shapes dan Lines and Angles, Two and


Measures 35% Three Dimention, Location
and Movement

Data Display Reading and Interpreting,


15%
Organizing and Representing

Fourth Grade
Content (Science) Percentages Topic Area

Life Scince 45% Characteristics and Life


Process of Living Things, Life
Cycles, Reproduction and
Heredity Interaction with the
Environment Ecosystems,
Human Health

Classification and Properties


of Matter, Physical States and
Change in Matter, Energy
Sources, Heat and
Physical Science 35%
Temperature, Light and
Sound, Electricity and
Magnetism, Forces and
Motion

Earths Structure and Physical


Features, Earths Processes,
Cycles and History, Earths
Earth Science 20% Resources, Their Use and
Conservation, Eart in the
Solar System and The
Universe

Sedangkan dimensi konten untuk kelas VIII SMP terdiri atas empat domain,
yaitu: bilangan, aljabar, geometri, data dan peluang. Perhatikan tabel berikut.

Eighth Grade
Content (Mathematics) Percentages Topic Area

Number Whole numbers, Fraction and


30% Decimals, Integers, Ration,
Proportion and Percent

Algebra Patterns, Algebraic


30% Expressions, Equations/
Formulas and Functions

Geometry Geometrics Shapes,


20% Geometric Measurement,
Location and Movement

Data and Chance Data Organization and


20% Representation, Data
Interpretation, Chance
Fourth Grade
Content (Science) Percentages Topic Area

Characteristics, Classification
and Life, Processes of
Organisms, Cells and Their
Fuctions, Life Cycles,
Biology 35%
Reproduction and Heredity,
Diversity, Adaptation and
Natural Selection, Hyman
Health

Classification and
Composition of Matter,
Chemistry 20%
Properties of Matter,
Chemical change

Physical States and Change in


Matter, Energy
Transformations, Heat and
Physics 25% Temperature, Light and
Sound, Electricity and
Magnetism, Forces and
Motion

Earths Structure and Physical


Features, Earths Processes,
Cycles and History, Earths
Earth Science 20% Resources, Their Use and
Conservation, Eart in the
Solar System and The
Universe

Penilaian dimensi kognitif pada kelas IV SD dan kelas VIII SMP terdiri dari
tiga domain, yaitu :
1. Domain pertama adalah pengetahuan, mencakup fakta-fakta, konsep dan
prosedur yang harus diketahui siswa.
2. Domain kedua adalah penerapan, yang berfokus pada kemampuan siswa
menerapkan pengetahuan dan pemahaman konsep untuk menyelesaikan
masalah atau menjawab pertanyaan.
3. Domain ketiga yaitu domain penalaran, yang berfokus pada penyelesaian
masalah non rutin, konteks yang kompleks dan melakukan langkah
penyelesaian masalah yang banyak.
Cognitive Domains for Mathematics
Fourth Grade Eighth Grade
Knowing 40% 35%
Applying 40% 40%
Reasoning 20% 25%

Cognitive Domains for Science


Fourth Grade Eighth Grade
Knowing 40% 35%
Applying 40% 35%
Reasoning 20% 30%

Selama keikutsertaan Indonesia dalam TIMSS hanya mengikutsertakan siswa


kelas VIII SMP saja, sedangkan siswa kelas IV SD belum pernah diikutsertakan.
Padahal pembelajaran dan soal-soal yang menuntut penalaran harus sudah dibiasakan
sejak dini. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika sejak
usia dini akan tercermin dalam pemahaman tentang konsep matematika pada saat
mereka dewasa.
Terdapat empat aspek penalaran yang perlu dikembangkan sejak anak Sekolah
Dasar yaitu :
a. pertama mengembangkan pembenaran dan menggunakan perumuman.
b. Kedua, menuntun pada jalinan dari pengetahuan matematik yang saling
berhubungan daam suatu ranah matematik.
c. Ketiga, pengembangan jalinan pemahaman matematik dakan menjadi dasar ari
kepekaan matematik yang manjadi basis untuk melihat ke intinya sewaktu
anak berjumpa dengan masalah matematik.
d. Keempat, perlunya mengkaji penalaran keliru sebagai kawah menuju
pengembangan mendalam pengetahuan matematik.
Dan Soal-soal matematika model TIMSS dapat digunakan untuk membiasakan siswa
Sekolah Dasar untuk melatih penalaran matematis siswa.
Hasil survei empat tahunan TIMSS, pada keikutsertaan pertamakali tahun
1999 Indonesia berada pada peringkat 34 dari 38 negara. Pada tahun 2003 Indonesia
berada pada peringkat 34 dari 46 negara. Dan ranking Indonesia pada TIMSS tahun
2007 turun menjadi ranking 36 dari 48 negara. Posisi Indonesia dengan rata-rata 405,
relatif sangat rendah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain yang
berpartisipasi dalam TIMSS 2007 seperti Malaysia yang menempati posisi 20 dengan
skor rata-rata 474, apalagi Singapura yang menempati posisi ke-3 dengan skor rata-
rata 593 (Mullis et al dalam Iryanti, 2010). Bila dirujuk ke benchmark yang dibuat
TIMSS. Standar internasional untuk kategori mahir 625, tinggi 550, sedang 475 dan
rendah 400. Maka hasil yang dicapai siswa Indonesia tersebut masuk pada kategori
rendah, jauh dari kategori mahir (625) dimana pada kategori ini siswa dapat
mengorganisasikan informasi, membuat perumuman, memecahkan masalah tidak
rutin, mengambil dan mengajukan argumen pembenaran simpulan. Dimana pada
kategori mahir inilah yang ingin dicapai dalam kurikulum pendidikan matematika
disekolah.
Hasil TIMSS yang rendah ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah
satu faktor penyebabnya antara lain karena siswa di Indonesia kurang terlatih dalam
menyelesaikan soal-soal kontektual, menuntut penalaran, argumentasi dan kreativitas
dalam meyelesaikannya. Dimana soal-soal tersebut merupakan karakteristik soal-soal
TIMSS.
Dalam penelitian yang dilakukan beberapa ahli menunjukkan persentasi waktu
pembelajaran matematika di Indonesia lebih banyak digunakan untuk membahas atau
mendiskusikan soal-soal dengan kompleksitas rendah yaitu sebesar 57% dan untuk
membahas soal-soal dengan kompleksitas tinggi menggunakan waktu yang lebih
sedikit sekitar 3%, sedangkan soal-soal model TIMSS termasuk soal-soal yang
memiliki kompleksitas sedang dan tinggi, serta memerlukan penalaran dalam
penyelesaiannya. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa Indonesia
kurang terbiasa mengerjakan soal-soal model TIMSS. Untuk itu penting sekali
memperbanyak soal-soal model TIMSS yang mengandung penalaran matematis
dalam pembelajaran. Dalam hal ini penting untuk mensosialisasikan pada guru
tentang apa dan bagaimana karakteristik soal-soal model TIMSS untuk
diimplementasikan dalam proses pembelajaran di kelas.

E. DAFTAR PUSTAKA

Dhany. 2013. PISA (Programme Internationale for Students Assesment) dalam


http://dhanymatika.wordpress.com/2013/09/02/pisa-programme-
internationale-for-student-assesment/ (diunduh tanggal 18 Februari 2014)
Eka, lutvi. 2013. Dampak Positif dan Negatif Adanya Ujian dalam
http://lutviaaekaa.blogspot.com/2013/05/dampak-positif-dan-negatif-adanya-
ujian.html (diunduh tanggal 18 Februari 2014)
Hayat, B. dan Yusuf, S. 2010. Mutu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Heny. 2012. TIMSS dalam http://mathheny.blogspot.com/p/timss.html (diunduh
tanggal 18 Februari 2014)
Kompas. 2013 dalam
http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/25/10591267/Menkokesra.UN.Pentin
g..Jadi.Harus.Didukung (diunduh tanggal 18 Februari 2014)
Karso. 2009. Pro Konta Ujian Nasional dalam
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/1955090
91980021-KARSO/Ujian_Nasional.pdf diunduh pada tanggal 18 Februari
2014
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan. 2011
Survei International PISA dalam
http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/survei-internasional-pisa diunduh
pada tanggal 18 Februari 2014
Mulia, Wahyu. 2008. Special Issues in Test dalam
http://wahyunimuliahelmi.wordpress.com/category/pendidikan/page/2/
(diunduh tanggal 18 Februari 2014)
Noer. 2013. Tujuan Diadakan Ujian Nasional dalam
http://matahati99.blogspot.com/2013/02/tujuan-diadakan-ujian-nasional-
un.html diunduh pada tanggal 19 Februari 2014
OECD. PISA 2009 Assessment Framework. (On line). Tersedia:
http://www.oecd.org/dataoecd/11/40/4 455820.pdf. diakses 19 Februari 2014
Shiel, Gerry dkk. 2007. PISA Mathematics: A Teachers Guide. Stationery Office. D
TIMSS. 2011. TIMSS 2011 Assessment Frameworks dalam
http://timssandpirls.bc.edu/timss2011/downloads/TIMSS2011_Frameworks-
Chapter1.pdf dan
http://timssandpirls.bc.edu/timss2011/downloads/TIMSS2011_Frameworks-
Chapter2.pdf diunduh pada tanggal 20 Februari 2014
Wardhani, Sri. 2005. Pembelajaran dan Penilaian Aspek Pemahaman Konse,
Penalaran dan Komunikasi, Pemecahan Masalah. Jogjakarta: Materi
Pembinaan matematika SMP di Daerah Tahun 2005 (PPPG Matematika).
Yunengsih, Yuyun. 2008 . Ujian Nasional: Dapatkah Menjadi Tolak Ukur Standar
Nasional Pendidikan (Hasil Kajian Ujian Nasional Matematika pada Sekolah
Menengah Pertama). Jakarta: Sampoerna Foundation
http://news.detik.com/read/2013/12/12/010409/2439467/158/1/mendikbud-survei-
pisa-makin-memperkuat-pentingnya-kurikulum-2013
(diunduh tanggal 18 Februari 2014)

Anda mungkin juga menyukai