Oleh :
Jayanti Indrayani
NIM: 150070300011142
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
SLE (Sistemic Lupus Erithematosus)
2. DEFINISI SLE
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya
gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap
dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid
dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan
komplemen (Epstein, 1998).
Sistemic Lupus Erithematosus (SLE) adalah suatu penyakit otoimun kronik yang
ditandai oleh terbentuknya antibody-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang
berlainan. Antibody-antibodi tersebut biasanya adalah Ig G atau Ig M dan dapat bekerja
terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah
merah, sel darah putih, dan trombosit. Kompleks antigen antibody dapat mengendap di
jaringan kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas tipe III, kemudian terjadi
peradangan kronik.
3. EPIDEMIOLOGI SLE.
Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun
selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:1. Dalam 30 tahun terakhir,
LES telah menjadi salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi
LES di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000. LES lebih
sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin saja
Filipina
Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000 pasien
telah didiagnosa sebagai SLE. Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu
antara14,6/100.000-50,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-1,6/100.000 per tahun.
Insiden SLE bervariasi di seluruh dunia. Eropa Utara telah melaporkan adanya SLE
sebesar 40/100.000.
Ras Afrika-Amerika tiga hingga empat kali lebih rentan terhadap SLE
dibandingkan wanita kulit putih. Ras Amerika latin dan Asia juga rentan terhadap
penyakit ini. Pada anak-anak prevalensi SLE antara 0/100.000 pada wanita kulit putih
di bawah usia 15 tahun sampai 31/100.000 pada wanita Asia usia 10-20 tahun. Insiden
SLE pada usia 10-20 tahun bervariasi yaitu 4,4/100.000 pada wanita kulit putih,
31/100.000 pada wanita Asia, 19,86/100.000 pada kulit hitam dan 13/100.000 pada
Amerika latin.
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari 3 penelitian yang berbeda
di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus,
tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990 insiden rata-rata ialah
37,7/10.000 perawatan. Penelitian oleh Purwanto dkk di Yokyakarta tahun 1983-1986
melaporkan insiden sebesar 10,1/10.000 perawatan. Penelitian di Medan oleh Tagiran
antara tahun 1984-1986 mendapatkan insiden sebesar 1,4/10.000 perawatan.
4. ETIOLOGI SLE
Proses perjalanan penyakit dari SLE sendiri tidak lepas dari adanya pengaruh
faktor-faktor resiko yang saling berhubungan. Di antara faktor genetik,hormonal dan
lingkungan yang paling berdampak besar terhadap SLE adalah faktor genetik, kedua
adalah hormonal dan onset usia serta adanya faktor lingkungan sebagai faktor
pemicunya. Dilihat dari faktor genetik karena bila adanya kelainan gen berupa HLA
haplotype yang terjadi pada usia < 25 tahun perempuan. Kelainan gen inilah yang di
duga memicu adanya autoantibody yang berlebihan sehingga memunculkan berbagai
antibodi pada penderita SLE dengan usia onset <25 tahun. Antibodi itu berupa ANA yang
sebagian besar terdeteksi pada pasien SLE, antibodi anti ds-DNA,antibodi anti-P,antibodi
anti-SM,antibodi anti RNP. Pada onset usia ini juga sering ditemukan adanya penurunan
complemen pada darah.Munculnya antibodi dan menurunnya tingkat complement yang
menimbulkan berbagai macam manifestasi SLE semakin parah.(Allarcon,et al.1999)
HLA berasal dari MHC I dan MHC II pada kromosom 6 yang mengkode antigen
presenting protein yang disebut dengan HLA protein yang bertanggung jawab terhadap
antigen presentation untuk sel T. Complement yang mengkode 20 macam protein pada
hummoral immune system membela host jika terdapat infeksi, namun dapat
menyebabkan cidera dan kerusakan bila dipicu secara tidak terkendali.( Lappegard et al.,
2009). Sehingga adanya defisiensi complement dalam darah.Complement itu dapat
teraktivasi oleh kompleks antigen-antibody yang diproduksi oleh bakteri dan komponen
sistem plasma.(Huether and Kathryn,2000). Kekurangan protein complement seperti
C1q,C1r,Cis,C3,dan C4 dilaporkan dapat menderita SLE. (Kang and Park ,
2003;Vratsanos,Jung,Park, and Craft,2001). Pada pasien dengan penyakit
trombositopenia kronik juga bisa berdampak pada penyakit SLE.
7. Komplikasi SLE
1. Serangan pada Ginjal
a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a) Pleuritis
b) Pericarditis
c) Efusi pleura
d) Efusi pericard
e) Radang otot jantung atau Miocarditis
f) Gagal jantung
g) Perdarahan paru (batuk darah).
3. Serangan Sistem Saraf
a) Sistem saraf pusat
Cognitive dysfunction
Sakit kepala pada lupus
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia
b) Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c) Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan
jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak
yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem
saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya
disebut lesi diskoid
Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat
sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult
subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau
lesi tidak berparut berbentuk koin.
b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat
mencakup area yang luas di bagian tubuh
c) Lesi non spesifik
Rambut rontok (alopecia)
Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan
ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi
borok.
Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di
sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
Radang sendi pada lupus
Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
Anemia
Trombositopenia
Gangguan pembekuan
Limfositopenia
8. Serangan pada Hati
9. PENATALAKSANAAN SLE
Penatalaksanaan SLE Secara Umum
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita
dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis
antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur
genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga
dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus.
Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit
ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan
pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan
lainnya.
Terapi Konservatif
1. Arthritis, Arthralgia & Mialgia
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau
obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini
adalah efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek
samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, misalnya
dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan respons yang
baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin
400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus
segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6
bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik
terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan
analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari
15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita LES
2. Lupus Kutaneus
Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi akut LES
dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan
kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung
terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca
jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen.
Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang
mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat
menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah
mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada
dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-hati, karena glukokortikoid
topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi,
teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid
lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan
dan lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason
valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan
plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya
betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi harus
dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih
rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik lupus
kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek sunsblocking,
antiinflamasi dan imunosupresan.Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria,
dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik. Dapson dapat
dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LE
berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik adalah methemoglobinemia,
sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam
LES di kulit.
3. Kelelahan dan Keluhan Sistemik
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES,
demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul akibat
terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga
diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam mengatasi
masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu
istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan
peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat
dipertimbangkan.
4. Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat
antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari).
Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol
penyakitnya.
Terapi Agresif
1. Kortikosteroid
Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus
segera dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan mengancam nyawa, misalnya
vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis, miokarditis pneumonitis
lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, trombositopenia, sindrom
otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus
(demam tinggi, prostrasi).
Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid
yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang
seperti deksametason, sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai,
karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya
diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor LES, seperti
arthritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari,
sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB
selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi,
kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.
Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu yang
cukup lama, seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama
6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai
dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis
prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan
setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1
mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke dosis
efektif, kemudian dicoba diturunkan kembali.
Apabila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak
menunjukkan perbaikan yang nyata, dipertimbangkan untuk memberikan
imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya.
2. Siklofosfamid
Indikasi siklofosfamid pada LES :
1. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent).
2. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
3. Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang.
4. Glomerulonefritis difus awal.
5. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adnya
faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
7. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl 0,9% selama 60 menit
diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak
digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan
interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian
siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas
lupusnya. Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis
siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau. Bila jumlah
leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%.
Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid
yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada pemberian
berikutnya.
Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis hemoragika,
keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap
siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini
dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES; setelah penyakitnya dapat
dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat
diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan
baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim hati
dan mencetuskan keganasan.
4. Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah Siklosporin
dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES baik tanpa
manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus
diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar kreatinin
darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin, maka
dosisnya harus diturunkan.
5. Mofetil-mikofenolat (MMF)
MMF dapat menurunkan aktifitas dan mortalitas penderita LES. Pada nefritis lupus,
MMF memiliki efek yang sebanding dengan siklofosfamid dalam hal tingkat remisi,
kekambuhan dan risiko infeksi. MMF dapat mempertahankan tingkat remisi nefritis
lupus sebanding dengan siklofosfamid jangka panjang. MMF tidak berhubungan dengan
penekanan sumsum tulang, atau amenorrhea. Dosis MMF adalah 500 1500 mg, 2 kali
perhari.
6. Rituximab
Rituximab adalah monoklonal antibodi anti-CD20, yang dapat digunakan dalam
pengobatan penyakit autoimun sistemik, termasuk LES. Dosis rituximab adalah 1 gram,
2 kali pemberian dengan jarak 2 minggu, dan dapat diulang setiap 6 bulan.
7. Imunoglobulin G IV
Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi trombositopenia
pada LES, dengan dosis 300-400 mg/kg BB/hari, diberikan selama 5 hari berturut-turut,
diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Kontraindikasi
mutlak pemberian imunoglobulin pada pada penderita defisien IgA yang kadang-kadang
ditemukan pada penderita LES.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria,
namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan
pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan
kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama
atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat inspirasi,
produksi sputum, reaksi alergi.Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura.
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic
click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur.Friction rub perikardium yang
menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi
klien.Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan., turgor kulit.
Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik.
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin
Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat anemia.
INTERVENSI
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kerusakan integritas NOC : NIC : Pressure Management
kulitberhubungan dengan : Tissue Integrity : Skin and Anjurkan pasien untuk menggunakan
Eksternal : Mucous Membranes pakaian yang longgar
- Hipertermia atau Wound Healing : primer Hindari kerutan pada tempat tidur
hipotermia dan sekunder Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
- Substansi kimia Setelah dilakukan dan kering
- Kelembaban tindakan keperawatan Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
- Faktor mekanik selama.. kerusakan setiap dua jam sekali
(misalnya : alat yang integritas kulit pasien Monitor kulit akan adanya kemerahan
dapat menimbulkan luka, teratasi dengan kriteria
Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
tekanan, restraint) hasil:
derah yang tertekan
- Immobilitas fisik Integritas kulit yang
Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
- Radiasi baik bisa
Monitor status nutrisi pasien
- Usia yang ekstrim dipertahankan
Memandikan pasien dengan sabun dan
- Kelembaban kulit (sensasi, elastisitas,
air hangat
- Obat-obatan temperatur, hidrasi,
Kaji lingkungan dan peralatan yang
Internal : pigmentasi)
menyebabkan tekanan
- Perubahan status Tidak ada luka/lesi
Observasi luka : lokasi, dimensi,
metabolik pada kulit
kedalaman luka, karakteristik,warna
- Tonjolan tulang Perfusi jaringan baik
cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
- Defisit imunologi Menunjukkan
tanda-tanda infeksi lokal, formasi
- Berhubungan dengan pemahaman dalam
traktus
dengan perkembangan proses perbaikan
Ajarkan pada keluarga tentang luka dan
- Perubahan sensasi kulit dan mencegah
- Perubahan status nutrisi perawatan luka
terjadinya sedera
(obesitas, kekurusan) Kolaburasi ahli gizi pemberian diae
berulang
- Perubahan status cairan TKTP, vitamin
Mampu melindungi
- Perubahan pigmentasi Cegah kontaminasi feses dan urin
kulit dan
- Perubahan sirkulasi Lakukan tehnik perawatan luka dengan
mempertahankan
- Perubahan turgor steril
kelembaban kulit dan
(elastisitas kulit) Berikan posisi yang mengurangi tekanan
perawatan alami
Menunjukkan pada luka
DO:
terjadinya proses
- Gangguan pada bagian penyembuhan luka
tubuh
- Kerusakan lapisa kulit
(dermis)
- Gangguan permukaan
kulit (epidermis)
Sudoyo, et all. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3 edisi 5. Interna publishing.
Jakarta
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2004.LupusEritematosus Hal 246 - 249 Edisi
ketiga,Cetakan Kelima, FK UI, Jakarta,
Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Balai
penerbit FKUI
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta :
EGC
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol 2.
Jakarta: EGC