Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Medikal

Oleh :

Jayanti Indrayani

NIM: 150070300011142

PROGRAM PROFESI NERS ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2017
LAPORAN PENDAHULUAN
SLE (Sistemic Lupus Erithematosus)

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI ORGAN


Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan manusia
sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan
organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem imun terdiri dari
ratusan mekanisme dan proses yang berbeda yang semuanya siap bertindak begitu
tubuh kita diserang oleh berbagai bibit penyakit seperti virus, bakteri, mikroba,
parasit dan polutan. Sebagai contoh adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel
imun ke tempat infeksi, untuk melakukan proses penyembuhan. Organ- Organ dalam
Sistem Imun (Organ Limfoid) : Berdasarkan fungsinya : 1. Organ Limfoid Primer :
organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel imun, yaitu kelenjar timus dan
susmsum tulang. 2. Organ Limfoid Sekunder : organ yang berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya : nodus limfe, limpa, the loose
clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated Lymphoid Tissue),
tonsil.

2. DEFINISI SLE
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya
gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi
autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap
dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid
dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme pengaktivan
komplemen (Epstein, 1998).

Sistemic Lupus Erithematosus (SLE) adalah suatu penyakit otoimun kronik yang
ditandai oleh terbentuknya antibody-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang
berlainan. Antibody-antibodi tersebut biasanya adalah Ig G atau Ig M dan dapat bekerja
terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah
merah, sel darah putih, dan trombosit. Kompleks antigen antibody dapat mengendap di
jaringan kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitifitas tipe III, kemudian terjadi
peradangan kronik.

3. EPIDEMIOLOGI SLE.
Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun
selama masa reproduktif dengan ratio wanita dan pria 5:1. Dalam 30 tahun terakhir,
LES telah menjadi salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi
LES di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000-400/100.000. LES lebih
sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina, dan mungkin saja
Filipina
Di Amerika Serikat hingga bulan Maret tahun 2000 terdapat 500.000 pasien
telah didiagnosa sebagai SLE. Prevalensi SLE di Amerika Serikat yaitu
antara14,6/100.000-50,8/100.000. Insiden bervariasi antara 1,8-1,6/100.000 per tahun.
Insiden SLE bervariasi di seluruh dunia. Eropa Utara telah melaporkan adanya SLE
sebesar 40/100.000.
Ras Afrika-Amerika tiga hingga empat kali lebih rentan terhadap SLE
dibandingkan wanita kulit putih. Ras Amerika latin dan Asia juga rentan terhadap
penyakit ini. Pada anak-anak prevalensi SLE antara 0/100.000 pada wanita kulit putih
di bawah usia 15 tahun sampai 31/100.000 pada wanita Asia usia 10-20 tahun. Insiden
SLE pada usia 10-20 tahun bervariasi yaitu 4,4/100.000 pada wanita kulit putih,
31/100.000 pada wanita Asia, 19,86/100.000 pada kulit hitam dan 13/100.000 pada
Amerika latin.
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari 3 penelitian yang berbeda
di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta yaitu antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus,
tahun 1972-1976 ditemukan 1 kasus, dan tahun 1988-1990 insiden rata-rata ialah
37,7/10.000 perawatan. Penelitian oleh Purwanto dkk di Yokyakarta tahun 1983-1986
melaporkan insiden sebesar 10,1/10.000 perawatan. Penelitian di Medan oleh Tagiran
antara tahun 1984-1986 mendapatkan insiden sebesar 1,4/10.000 perawatan.

4. ETIOLOGI SLE
Proses perjalanan penyakit dari SLE sendiri tidak lepas dari adanya pengaruh
faktor-faktor resiko yang saling berhubungan. Di antara faktor genetik,hormonal dan
lingkungan yang paling berdampak besar terhadap SLE adalah faktor genetik, kedua
adalah hormonal dan onset usia serta adanya faktor lingkungan sebagai faktor
pemicunya. Dilihat dari faktor genetik karena bila adanya kelainan gen berupa HLA
haplotype yang terjadi pada usia < 25 tahun perempuan. Kelainan gen inilah yang di
duga memicu adanya autoantibody yang berlebihan sehingga memunculkan berbagai
antibodi pada penderita SLE dengan usia onset <25 tahun. Antibodi itu berupa ANA yang
sebagian besar terdeteksi pada pasien SLE, antibodi anti ds-DNA,antibodi anti-P,antibodi
anti-SM,antibodi anti RNP. Pada onset usia ini juga sering ditemukan adanya penurunan
complemen pada darah.Munculnya antibodi dan menurunnya tingkat complement yang
menimbulkan berbagai macam manifestasi SLE semakin parah.(Allarcon,et al.1999)
HLA berasal dari MHC I dan MHC II pada kromosom 6 yang mengkode antigen
presenting protein yang disebut dengan HLA protein yang bertanggung jawab terhadap
antigen presentation untuk sel T. Complement yang mengkode 20 macam protein pada
hummoral immune system membela host jika terdapat infeksi, namun dapat
menyebabkan cidera dan kerusakan bila dipicu secara tidak terkendali.( Lappegard et al.,
2009). Sehingga adanya defisiensi complement dalam darah.Complement itu dapat
teraktivasi oleh kompleks antigen-antibody yang diproduksi oleh bakteri dan komponen
sistem plasma.(Huether and Kathryn,2000). Kekurangan protein complement seperti
C1q,C1r,Cis,C3,dan C4 dilaporkan dapat menderita SLE. (Kang and Park ,
2003;Vratsanos,Jung,Park, and Craft,2001). Pada pasien dengan penyakit
trombositopenia kronik juga bisa berdampak pada penyakit SLE.

5. FAKTOR RESIKO SLE


Berbagai factor yang dapat menyebabkan resiko terjadinya penyakit lupus, diantaranya
factor genetic, factor hormonal, sinar ultraviolet, dan stress (Albar, 1996).
Pada factor genetic terutama dipengaruhi oleh jenis kelamin dimana frekuensi pada
wanita dewasa delapan kali lebih sering daripada pria dewasa, yang kedua adalah umur,
biasanya lupus lebih sering terjadi pada usia 20 sampai 40 tahun, yang ketiga adalah
etnik dan factor keturunan dengan frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga yang
terdapat anggota dengan penyakit tersebut.
Faktor resiko hormonal terjadi karena hormone estrogen menambah akan resiko
terjadinya lupus, sedengkan androgen mengurangi resiko ini. Sedangkan pada factor
sinar ultraviolet maka sinar tersebut mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi
kurang efektif sehinnga lupus muncul, kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel
kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
maupun secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
Untuk factor karena obat tertentu, walaupun dalam presentase yang kecil sekali pada
pasien tertentu dan obat yang diminum dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan
lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DLE). Jenis obat yang pasti dapat
menyebabkan lupus misalnya kloroprozamin, metildopa, hidralasim, prokainamid, dan
isoniazid. Sedangkan obat yang mungkin menyebabkan lupus seperti Dilantin,
penisilamin dan kuinidin.
Di samping itu, terdapat hubungan yang belum jelas antara zat tertentu dengan
kejadian lupus misalnya garam emas, beberapa jenis antibiotic dan grisefuvin dapat
menyebabkan lupus. Untuk kasus stress berat dapat mencetuskan lupus pada pasien
yang sudah memiliki.
6. MANIFESTASI KLINIS SLE
Manifestasi klinis SLE sangat luas. Awalnya ditandai dengan gejala klinis yang tidak
spesifik antara lain: lemah, lesu, demam, mual, anoreksia, dan berat badan menurun.
a. Manifestasi sistem muskuloskeletal
1. Dapat berupa atralgia yang hampir di jumpai sekitar 80%-90% atau atritis
yang ditandai dengan sendi yang bengkok, kemerahan yang terkadang
disertai efusi, sendi-sendi yang sering tekena antara lain sendi jari-jari tangan,
siku, bahu, dan lutut. Artritis pada SLE kadang menyerupai artritis reumatoid,
bedanya adalah artritis pada SLE sifatnya nonerosif.
2. Mylagia terjadi pada 70% pasien SLE dan myositis terjadi pada 5%-10%
pasien. Pada myositis terjadi peningkatan enzim CPK.
3. Osteopenia dan osteoporosis; inflamasi kronik karena SLE serta obat-obatan
seperti kortikosteroid dan methotrexate, dapat menyebabkan osteopenia dan
osteoporosis. Hal ini ditambah dengan kekurangan vitamin D karena pasien
SLE harus menghindari paparan sinar ultraviolet.
b. Manifestasi sistem mukokutaneus
1. Kutaneus lupus akut: malar rash (butterfly rash) merupakan tanda spesifik
pada SLE, yaitu bentuk ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan
nasolabial dan di tandai dengan adanya ruam pada hidung yang
menyambung dengan ruam yang ada di pipi. Bentuk akut kutaneus lain yaitu
bentuk morbili, ruam makular, fotosensitif, papulodermatitis, bulosa, toksik
epidermal nekrolitik. Pada umumnya ruam akut kutaneus ini bersifat
fotosensitif.
2. Kutaneus lupus subakut: simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema,
psoriatik LE, pitiriasis dan makulo papulo fotosensitif. Manifestasi subakut
lupus ini sangat erat hubungannya dengan antibody Ro. Lesi subakut
umumnya sembuh tanpa meninggalkan scar.
3. Kutaneus lupus kronis. Bentuk yang klasik adalah lupus dikoid yang berupa
bercak kemerahan denga kerak keratotik pada permukaannya. Bersifat kronik
dan rekuren pada lesi yang kronik ditandai dengan parut dan atropi pada
daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah tepinya. Lesi ini sering
dijumpai pada kulit kepala yang sering menimbulkan kebotakan yang
irreversible. Daun telinga, leher, lengan dan wajah juga sering terkena
panikulitis lupus atau lupus profundus di tandai dengan inflamasi pada lapisan
bawah dari dermis dan jaringan subkutan. Gambaran klinisnya berupa nodul
yang sangat dalam dan sangat keras, dengan ukuran 1-3cm. Hanya di
temukan sekitar 2 % pada penderita SLE.
4. Nonspesifik kutaneus lupus; vaskulitis cutaneus. Ditemukan hampir pada 70%
pasien. Manifestasi kutaneus nonspesifik lupus tergantung pada pembuluh
darah yang terkena. Bentuknya bermacam-macam antara lain:
a. Urtikaria
b. Ulkus
c. Purpura
d. Bulosa, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan
epidermal junction
e. Splinter hemorrhage
f. Eritema periungual
g. Nailfold infarcts, bentuk vaskulitis dari arteriol atau venul pada tangan.
h. Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai. Pada umumnya
biopsi pada tempat ini menunjukkan leukosistoklasik vaskulitis.
i. Raynould phenomenon. Gambaran khas dari raynould phenomenon ini
adanya vasospasme, yang di tandai dengan sianosis yang berubah
menjadi bentuk kemerahan bila terkena panas. Kadang disertai dengan
nyeri. Raynould phenomenon ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP.
j. Alopesia. Akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkait
dengan aktifitas penyakit, biasanya bersifat difus tanpa adanya jaringan
parut. Kerontokan rambut biasanya dimulai pada garis rambut depan.
Pada keadaan tertentu bisa menimbulkan alopesia yang menetap
disebabkan oleh diskoid lupus yang meninggalkan jaringan parut.
k. Sklerodaktili. Ditandai dengan adanya sklerotik dan bengkak berwarna
kepucatan pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma. Hanya
terjadi pada 7% pasien.
l. Nodul rheumatoid. Ini dikaitkan dengan antibodi Ro yang positif dan
adanya reumatoid artritis.
m. Perubahan pigmentasi. Bisa berupa hipopigmentasi atau hiperpigmentasi
pada daerah yang terpapar sinar matahari.
n. Kuku. Manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangiektasi pada
kutikula kuku.
o. Luka mulut (oral ulcer). Luka pada mulut yang terdapat pada palatum
molle atau durum mukosa pipi, gusi dan biasanya tidak nyeri.
Gambaran histopatologis kutaneus lupus yaitu didapatkannya kompleks imun
yang berbentuk seperti pita pada daerah epidermal junction (lupus band).
c. Manifestasi pada paru
Dapat berupa pnemonitis, pleuritis, ataupun pulmonary haemorrhage, emboli
paru, hipertensi pulmonal, pleuritis ditandai dengan nyeri dada atau efusi pleura,
atau friction rub pada pemeriksaan fisik. Efusi pleura yang di jumpai biasanya
jernih dengan kadar protein <10.000 kadar glukosa normal.
d. Manifestasi pada jantung
Dapat berupa perikarditis, efusi perkardium, miokarditis, endokarditis, kelainan
katup penyakit koroner, hipertensi, gagal jantung, dan kelainan konduksi.
Manifestasi jantung tersering adalah kelainan perikardium berupa perikarditis
dan efusi perikardium 66%, yang jarang menimbulkan komplikasi tamponade
jantung, menyusul kelainan miokardium berupa miokarditis yang di tandai
dengan pembesaran jantung dan endokardium berupa endokarditis yang di
kenal dengan nama Libman-Sacks endocarditis, sering sekali asimptomatis
tanpa disertai dengan bising katup. Bagian yang sering terkena adalah katup
mitral dan aorta.
e. Manifestasi pada hematologi
Manifestasi kelainan hematologi yang terbanyak adalah bentuk anemia karena
penyakit kronis, anemia hemolitik autoimun hanya didapatkan pada 10%
penderita. Selain anemia juga dapat dijumpai leukopenia, limphopenia,
nitropenia, trombositopenia, splenomegali.
f. Manifestasi pada ginjal
Dikenal dengan lupus nefritis. Lupus nefritis terjadi karena penumpukan
kompleks imun di ginjal. Angka kejadiannya mencapai hampir 50% dan
melibatkan kelainan glomerulus. Pemeriksaan urinalisa menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria mikros, adanya silinder.
g. Manifestasi sistem gastrointestinal
Dapat berupa hepatosplenomegali non spesifik, hepatitis lupoid, keradangan
sistem saluran makanan (lupus gut), kolitis, ascites, peningkatan enzim hepar,
vaskulitis arteri di abdomen, pankreatitis.
h. Manifestasi pada sistem neuropsikiatrik
1. Susunan saraf pusat: psikosis, kejang, aseptic meningitis, stroke,
demyelinating disorder, myelopathy, anxiety disorder, mood disorder, cognitive
dysfunction, sakit kepala.
2. Susunan saraf tepi: polyneuropathy, Guillain Barre Syndrome,
mononeuropathy, cranial neuropathy, myasthenia gravis.

7. Komplikasi SLE
1. Serangan pada Ginjal
a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a) Pleuritis
b) Pericarditis
c) Efusi pleura
d) Efusi pericard
e) Radang otot jantung atau Miocarditis
f) Gagal jantung
g) Perdarahan paru (batuk darah).
3. Serangan Sistem Saraf
a) Sistem saraf pusat
Cognitive dysfunction
Sakit kepala pada lupus
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
Fibromyalgia
b) Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c) Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan
jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak
yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem
saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya
disebut lesi diskoid
Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat
sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult
subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau
lesi tidak berparut berbentuk koin.
b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat
mencakup area yang luas di bagian tubuh
c) Lesi non spesifik
Rambut rontok (alopecia)
Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan
ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi
borok.
Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di
sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
Radang sendi pada lupus
Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
Anemia
Trombositopenia
Gangguan pembekuan
Limfositopenia
8. Serangan pada Hati

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SLE


Untuk menegakkan diagnosis SLE, diperlukan beberapa jenis uji diagnostik (pemeriksaan
laboratorium) terutama bila gejala-gejala kurang jelas. Tidak ada uji dignostik tunggal
untuk Lupus. Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai untuk
menegakkan diagnosis SLE.
Antinuclear antibody (ANA)
Juga dikenal sebagai Anti Nuclear Factor (ANF) adalah suatu antibodi
yang menyerang atau mengikat inti sel yang merupakan pusat perintah
sel. Tes darah ANA merupakan tes yang sensitif untuk Lupus. Ketika ada
tiga atau lebih fitur/ciri khas Lupus seperti keterlibatan kulit, sendi, ginjal,
paru-paru, jantung, darah, atau sistem saraf, maka tes ANA yang positif
merupakan konfirmasi adanya Lupus. Namun, hasil tes ANA positif tidak
selalu berarti orang tersebut memiliki Lupus. ANA dapat menjadi positif
pada orang dengan penyakit lain, atau positif pada orang yang tidak sakit.
ANA juga bisa berubah dari positif ke negatif, atau negatif ke positif, pada
orang yang sama. Namun, Antibodi antinuclear biasanya ditemukan (97%)
dalam darah penderita Lupus.
Antibodi untuk DNA untai ganda (anti-dsDNA)
Batas normal : 70 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita dengan SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi
merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang
dapat ditemukan pada penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi
ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya
mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang
Suatu antibodi yang menyerang DNA (suatu material genetik di dalam inti
sel).
Antibodi terhadap fosfolipid (aPLs)
Dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah, menyebabkan
pembekuan darah di kaki atau paru-paru, stroke, serangan jantung, atau
keguguran. Yang paling sering aPLs diukur adalah antikoagulan lupus,
antibodi anticardiolipin, dan anti-Beta2 glikoprotein I. Hampir 30 persen
orang dengan Lupus akan mendapatkan hasil tes positif untuk antibodi
antifosfolipid. (Catatan : Fosfolipid selain ditemukan pada Lupus juga
ditemukan pada penyakit Syphilis, jadi hasil positif untuk tes sifilis tidak
berarti bahwa Anda telah atau pernah menderita Syphilis karena sekitar 20
persen dari penderita Lupus akan memiliki hasil tes Syphilis positif palsu).
Antibodi terhadap protein Sm dalam inti sel (Anti Sm)
Anti Sm merupakan singkatan dari antibodi Smith, nama ini dipakai
sebagai bentuk penghargaan terhadap seorang gadis yang bernama
Stephanie Smith yang didiagnosis menderita SLE pada tahun 1959 dan
akhirnya meninggal dunia pada tahun 1969 pada usia 22 tahun. Selama
sakit, nona Smith dirawat di Rumah Sakit Universitas Rockefeller New York
dibawah perawatan dr. Henry Kunkel dan dr. Eng Tan. Kedua dokter itu
menemukan suatu antibodi terhadap antigen Sm (suatu set protein inti sel
yang diproduksi nona Smith). Antibodi Sm ditemukan pada 30-40 persen
orang dengan Lupus, keberadaan antibodi ini hampir selalu dapat diartikan
bahwa bahwa seseorang mengidap Lupus.
Antibodi untuk Ro/SS-A dan La/SS-B (Ro dan La adalah nama-nama
protein lain dalam inti sel)
Anti-Ro terutama ditemukan pada Lupus bentuk kutan (kulit), suatu bentuk
Lupus yang menyebabkan ruam yang sangat sensitif terhadap sinar
matahari. Pada wanita hamil, antibodi Ro dan La dapat melewati plasenta
dan dapat menyebabkan Lupus Neonatal pada bayi. Lupus Neonatal
jarang terjadi dan biasanya tidak berbahaya, tetapi bisa serius dalam
beberapa kasus.
Komplemen (Complement) C3 dan C4
Komplemen adalah sekelompok protein yang berfungsi membantu kerja
sistem kekebalan tubuh dan berperan dalam proses peradangan. Ada 9
macam komplemen yang bergerak bebas di dalam aliran darah yaitu C1
sampai C9. Komplemen yang penting dalam diagnosis SLE adalah C3 dan
C4. Level normal C3 dan C4 dalam darah untuk perempuan 13-75 mg/dL
dan untuk laki-laki 12-72 mg/dL. Pada SLE aktif, biasanya C3 dan C4 turun
dibawah level normal.
Tes abnormalitas sel darah
Anemia
Tes untuk anemia termasuk tes Hb, Hct dan RBC count. Juga
dilakukan pemeriksaan iron level, total iron-binding capacity dan
ferritin. Selama perjalanan penyakit, sekitar 40% pasien SLE
mengalami anemia. Anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi,
perdarahan GIT, obat-obatan atau pembentukan autoantibody
terhadap sel darah merah. Saat pertama kali didiagosa, sekitar 50%
pasien mengalami anemia dengan konsentrasi Hb dan ukuran sel
darah merah yang normal. Ini disebut normochromic-normocytic
anemia atau "anemia of chronic disease." Sedangkan autoimun
hemolytic anemia, dengan tes Coombs positif lebih jarang dijumpai.
Leukopenia dan trombositopenia
Abnormalitas sel darah putih (WBC) dan platelet counts merupakan
indicator penting untuk SLE. Leukopenia merupakan penurunan
jumlah sel darah putih, sering ditemukan pada 15-20% pasien SLE
aktif. Trombositopenia atau jumlah platelet yang rendah terjadi pada
25-35% pasien SLE.
Test laboratorium lain
Test laboratorium lainya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring tetapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal
P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, urinalisis, serum kreatinin, test fungsi
hepar.
Pemeriksaan darah
Bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada
hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga juga bisa
ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi
antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi
terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi
ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus
memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar
komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan
untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk
memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
Ruam kulit atau lesi yang khas
Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan
adanya gesekan pleura atau jantung
Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis
sel darah
Pemeriksaan saraf.
CBC (Complete Blood Cell Count) untuk mengukur jumlah sel
darah, maka terdapat anemia, leukopenia,trombositopenia.
ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah pada lupus akan
ESR akan lebih cepat dari pada normal.
Biopsi untuk mengetahui fungsi hati dan ginjal
Urinalysis pengukuran urin kadar protein dan sel darah merah
X-ray dada

9. PENATALAKSANAAN SLE
Penatalaksanaan SLE Secara Umum
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita
dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis
antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur
genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid. Kehamilan juga
dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus.
Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit
ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan
pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan
lainnya.
Terapi Konservatif
1. Arthritis, Arthralgia & Mialgia
Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau
obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini
adalah efek sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek
samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, misalnya
dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan respons yang
baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin
400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus
segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6
bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik
terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan
analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari
15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita LES
2. Lupus Kutaneus
Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi akut LES
dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan
kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus berlindung
terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca
jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen.
Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang
mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat
menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah
mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada
dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-hati, karena glukokortikoid
topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi,
teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan penggunaaan preparat steroid
lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan
dan lengan dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason
valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan
plantar pedis, dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya
betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi harus
dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih
rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik lupus
kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek sunsblocking,
antiinflamasi dan imunosupresan.Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria,
dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik. Dapson dapat
dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LE
berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik adalah methemoglobinemia,
sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam
LES di kulit.
3. Kelelahan dan Keluhan Sistemik
Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES,
demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul akibat
terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga
diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam mengatasi
masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu
istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan
peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat
dipertimbangkan.
4. Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat
antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari).
Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol
penyakitnya.
Terapi Agresif
1. Kortikosteroid
Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus
segera dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan mengancam nyawa, misalnya
vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis, miokarditis pneumonitis
lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, trombositopenia, sindrom
otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus
(demam tinggi, prostrasi).
Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid
yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek panjang
seperti deksametason, sebaiknya dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai,
karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya
diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor LES, seperti
arthritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari,
sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB
selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi,
kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.
Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu yang
cukup lama, seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama
6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai
dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis
prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan
setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1
mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke dosis
efektif, kemudian dicoba diturunkan kembali.
Apabila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak
menunjukkan perbaikan yang nyata, dipertimbangkan untuk memberikan
imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya.
2. Siklofosfamid
Indikasi siklofosfamid pada LES :
1. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent).
2. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
3. Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang.
4. Glomerulonefritis difus awal.
5. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.

6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa adnya
faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
7. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl 0,9% selama 60 menit
diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak
digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan
interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian
siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas
lupusnya. Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis
siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau. Bila jumlah
leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%.
Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid
yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada pemberian
berikutnya.
Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis hemoragika,
keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia.

3. Azatioprin
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap
siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini
dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES; setelah penyakitnya dapat
dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat
diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan
baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim hati
dan mencetuskan keganasan.

4. Siklosporin
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah Siklosporin
dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES baik tanpa
manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus
diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar kreatinin
darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin, maka
dosisnya harus diturunkan.

5. Mofetil-mikofenolat (MMF)
MMF dapat menurunkan aktifitas dan mortalitas penderita LES. Pada nefritis lupus,
MMF memiliki efek yang sebanding dengan siklofosfamid dalam hal tingkat remisi,
kekambuhan dan risiko infeksi. MMF dapat mempertahankan tingkat remisi nefritis
lupus sebanding dengan siklofosfamid jangka panjang. MMF tidak berhubungan dengan
penekanan sumsum tulang, atau amenorrhea. Dosis MMF adalah 500 1500 mg, 2 kali
perhari.

6. Rituximab
Rituximab adalah monoklonal antibodi anti-CD20, yang dapat digunakan dalam
pengobatan penyakit autoimun sistemik, termasuk LES. Dosis rituximab adalah 1 gram,
2 kali pemberian dengan jarak 2 minggu, dan dapat diulang setiap 6 bulan.

7. Imunoglobulin G IV
Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi trombositopenia
pada LES, dengan dosis 300-400 mg/kg BB/hari, diberikan selama 5 hari berturut-turut,
diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Kontraindikasi
mutlak pemberian imunoglobulin pada pada penderita defisien IgA yang kadang-kadang
ditemukan pada penderita LES.

ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria,
namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan
pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan
kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama
atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat inspirasi,
produksi sputum, reaksi alergi.Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura.
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic
click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur.Friction rub perikardium yang
menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi
klien.Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan., turgor kulit.
Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik.
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin
Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat anemia.

INTERVENSI
Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Kerusakan integritas NOC : NIC : Pressure Management
kulitberhubungan dengan : Tissue Integrity : Skin and Anjurkan pasien untuk menggunakan
Eksternal : Mucous Membranes pakaian yang longgar
- Hipertermia atau Wound Healing : primer Hindari kerutan pada tempat tidur
hipotermia dan sekunder Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
- Substansi kimia Setelah dilakukan dan kering
- Kelembaban tindakan keperawatan Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien)
- Faktor mekanik selama.. kerusakan setiap dua jam sekali
(misalnya : alat yang integritas kulit pasien Monitor kulit akan adanya kemerahan
dapat menimbulkan luka, teratasi dengan kriteria
Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada
tekanan, restraint) hasil:
derah yang tertekan
- Immobilitas fisik Integritas kulit yang
Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
- Radiasi baik bisa
Monitor status nutrisi pasien
- Usia yang ekstrim dipertahankan
Memandikan pasien dengan sabun dan
- Kelembaban kulit (sensasi, elastisitas,
air hangat
- Obat-obatan temperatur, hidrasi,
Kaji lingkungan dan peralatan yang
Internal : pigmentasi)
menyebabkan tekanan
- Perubahan status Tidak ada luka/lesi
Observasi luka : lokasi, dimensi,
metabolik pada kulit
kedalaman luka, karakteristik,warna
- Tonjolan tulang Perfusi jaringan baik
cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
- Defisit imunologi Menunjukkan
tanda-tanda infeksi lokal, formasi
- Berhubungan dengan pemahaman dalam
traktus
dengan perkembangan proses perbaikan
Ajarkan pada keluarga tentang luka dan
- Perubahan sensasi kulit dan mencegah
- Perubahan status nutrisi perawatan luka
terjadinya sedera
(obesitas, kekurusan) Kolaburasi ahli gizi pemberian diae
berulang
- Perubahan status cairan TKTP, vitamin
Mampu melindungi
- Perubahan pigmentasi Cegah kontaminasi feses dan urin
kulit dan
- Perubahan sirkulasi Lakukan tehnik perawatan luka dengan
mempertahankan
- Perubahan turgor steril
kelembaban kulit dan
(elastisitas kulit) Berikan posisi yang mengurangi tekanan
perawatan alami
Menunjukkan pada luka
DO:
terjadinya proses
- Gangguan pada bagian penyembuhan luka
tubuh
- Kerusakan lapisa kulit
(dermis)
- Gangguan permukaan
kulit (epidermis)

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan NOC : NIC :
dengan: Pain Level, Lakukan pengkajian nyeri secara
Agen injuri (biologi, kimia, pain komprehensif termasuk lokasi,
fisik, psikologis), kerusakan control, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
jaringan comfort dan faktor presipitasi
level Observasi reaksi nonverbal dari
DS: Setelah dilakukan ketidaknyamanan
- Laporan secara verbal tinfakan keperawatan Bantu pasien dan keluarga untuk
DO: selama . Pasien tidak mencari dan menemukan dukungan
- Posisi untuk menahan mengalami nyeri, dengan Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri kriteria hasil: mempengaruhi nyeri seperti suhu
- Tingkah laku berhati-hati Mampu mengontrol ruangan, pencahayaan dan kebisingan
- Gangguan tidur (mata nyeri (tahu penyebab Kurangi faktor presipitasi nyeri
sayu, tampak capek, sulit nyeri, mampu Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
atau gerakan kacau, menggunakan tehnik menentukan intervensi
menyeringai) nonfarmakologi untuk Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
- Terfokus pada diri sendiri mengurangi nyeri, napas dala, relaksasi, distraksi,
- Fokus menyempit mencari bantuan) kompres hangat/ dingin
(penurunan persepsi
Melaporkan bahwa Berikan analgetik untuk mengurangi
waktu, kerusakan proses
nyeri berkurang dengan nyeri: ...
berpikir, penurunan
menggunakan Tingkatkan istirahat
interaksi dengan orang
manajemen nyeri Berikan informasi tentang nyeri seperti
dan lingkungan)
Mampu mengenali nyeri penyebab nyeri, berapa lama nyeri
- Tingkah laku distraksi,
(skala, intensitas, akan berkurang dan antisipasi
contoh : jalan-jalan,
frekuensi dan tanda ketidaknyamanan dari prosedur
menemui orang lain
nyeri) Monitor vital sign sebelum dan sesudah
dan/atau aktivitas,
Menyatakan rasa pemberian analgesik pertama kali
aktivitas berulang-ulang)
nyaman setelah nyeri
- Respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan berkurang
tekanan darah, Tanda vital dalam
perubahan nafas, nadi rentang normal
dan dilatasi pupil) Tidak mengalami
- Perubahan autonomic gangguan tidur
dalam tonus otot
(mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif
(contoh : gelisah,
merintih, menangis,
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu
makan dan minum

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Gangguan body image NOC: NIC :
berhubungan dengan: Body image Body image enhancement
Biofisika (penyakit kronis), Self esteem - Kaji secara verbal dan nonverbal
kognitif/persepsi (nyeri kronis), Setelah dilakukan respon klien terhadap tubuhnya
kultural/spiritual, penyakit, tindakan keperawatan - Monitor frekuensi mengkritik dirinya
krisis situasional, selama . gangguan - Jelaskan tentang pengobatan,
trauma/injury, pengobatan body image perawatan, kemajuan dan
(pembedahan, kemoterapi, pasien teratasi dengan prognosis penyakit
radiasi) kriteria hasil: - Dorong klien mengungkapkan
DS: Body image positif perasaannya
- Depersonalisasi bagian Mampu - Identifikasi arti pengurangan melalui
tubuh pemakaian alat bantu
mengidentifikasi
- Perasaan negatif tentang - Fasilitasi kontak dengan individu
kekuatan personal
tubuh lain dalam kelompok kecil
Mendiskripsikan
- Secara verbal menyatakan
secara faktual
perubahan gaya hidup
perubahan fungsi
DO :
tubuh
- Perubahan aktual struktur Mempertahankan
dan fungsi tubuh interaksi sosial
- Kehilangan bagian tubuh
- Bagian tubuh tidak
berfungsi

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko infeksi NOC : NIC :
Immune Status Pertahankan teknik aseptif
Faktor-faktor risiko : Knowledge : Infection Batasi pengunjung bila perlu
- Prosedur Infasif control Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
- Kerusakan jaringan dan Risk control tindakan keperawatan
peningkatan paparan Setelah dilakukan Gunakan baju, sarung tangan sebagai
lingkungan tindakan keperawatan alat pelindung
- Malnutrisi selama pasien tidak Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai
- Peningkatan paparan mengalami infeksi
dengan petunjuk umum
lingkungan patogen dengan kriteria hasil:
Gunakan kateter intermiten untuk
- Imonusupresi Klien bebas dari tanda
menurunkan infeksi kandung kencing
- Tidak adekuat pertahanan dan gejala infeksi
Tingkatkan intake nutrisi
sekunder (penurunan Hb, Menunjukkan
Leukopenia, penekanan Berikan terapi
kemampuan untuk
respon inflamasi) antibiotik:.................................
mencegah timbulnya
- Penyakit kronik Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
infeksi
- Imunosupresi dan lokal
Jumlah leukosit dalam
- Malnutrisi Pertahankan teknik isolasi k/p
batas normal
- Pertahan primer tidak
Menunjukkan perilaku Inspeksi kulit dan membran mukosa
adekuat (kerusakan kulit, terhadap kemerahan, panas, drainase
hidup sehat
trauma jaringan,
Status imun, Monitor adanya luka
gangguan peristaltik)
gastrointestinal, Dorong masukan cairan

genitourinaria dalam Dorong istirahat


batas normal Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
Kaji suhu badan pada pasien
neutropenia setiap 4 jam

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Intoleransi aktivitas NOC : NIC :
Berhubungan dengan : Self Care : ADLs Observasi adanya pembatasan klien
Tirah Baring atau Toleransi aktivitas dalam melakukan aktivitas
imobilisasi Konservasi eneergi Kaji adanya faktor yang
Kelemahan Setelah dilakukan tindakan menyebabkan kelelahan
menyeluruh keperawatan selama . Monitor nutrisi dan sumber energi
Ketidakseimbangan Pasien bertoleransi yang adekuat
antara suplei oksigen terhadap aktivitas dengan Monitor pasien akan adanya
dengan kebutuhan Kriteria Hasil : kelelahan fisik dan emosi secara
Gaya hidup yang Berpartisipasi dalam berlebihan
dipertahankan. aktivitas fisik tanpa Monitor respon kardivaskuler
DS: disertai peningkatan terhadap aktivitas (takikardi,
Melaporkan secara tekanan darah, nadi dan disritmia, sesak nafas, diaporesis,
verbal adanya RR pucat, perubahan hemodinamik)
kelelahan atau Mampu melakukan Monitor pola tidur dan lamanya
kelemahan. aktivitas sehari hari tidur/istirahat pasien
Adanya dyspneu atau (ADLs) secara mandiri Kolaborasikan dengan Tenaga
ketidaknyamanan saat Keseimbangan aktivitas Rehabilitasi Medik dalam
beraktivitas. dan istirahat merencanakan progran terapi yang
DO : tepat.
Bantu klien untuk mengidentifikasi
Respon abnormal dari aktivitas yang mampu dilakukan
tekanan darah atau Bantu untuk memilih aktivitas
nadi terhadap aktifitas konsisten yang sesuai dengan
Perubahan ECG : kemampuan fisik, psikologi dan
aritmia, iskemia sosial
Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi roda,
krek
Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan diwaktu luang
Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
Monitor respon fisik, emosi, sosial
dan spiritual
DAFTAR PUSTAKA

Corwin,Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC

Sudoyo, et all. 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 3 edisi 5. Interna publishing.
Jakarta

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2004.LupusEritematosus Hal 246 - 249 Edisi
ketiga,Cetakan Kelima, FK UI, Jakarta,

Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Balai
penerbit FKUI

Mansjoer, Arif. 1999. kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Edisi 6 Vol 2. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta :
EGC
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol 2.
Jakarta: EGC

Gleadle, Jonathan. 2007. Anamnesis dan pemeriksaan Fisik. Jakarta : Erlangga


Oehadian, Amaylia. 2008. Kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.

Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Herdman, T. Heather. (2012). Nursing Diagnoses Definition and Classification 2012-


2014. Oxford: Wiley-Blackwell
Moorhead, Sue.et al. (2004). Nursing Outcome Classification (NOC) Fourth Edition.
Missouri : Mosby. Elsevier

Dochterman, Joanne McCloskey.et al. (2008). Nursing Intervention Classification


Fifth Edition. Missouri : Mosby. Elsevier

Anda mungkin juga menyukai