PENDAHULUAN
1
25,0%. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Papua,
Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur.4,5
Beberapa ISPA dapat menyebabkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan
angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi, sehingga menyebabkan kondisi
darurat pada kesehatan masyarakat dan menjadi masalah internasional. Langkah-
langkah perlindungan lainnya diindikasikan untuk ISPA yang berpotensi menjadi
KLB seperti SARS, flu burung pada manusia, atau patogen lain yang belum
diketahui pola penyebarannya.1
Data dari Puskesmas Kayon menyatakan bahwa ISPA menduduki
peringkat pertama kasus terbanyak sesuai laporan tahunan 2016, dimana terdapat
sebanyak 2.849 kunjungan pasien dengan diagnosa ISPA dari jumlah total 27.412
kunjungan pasien di Puskesmas Kayon selama tahun 2016.6
Berdasarkan dari data diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk
mengetahui bagaimanakah profil dari penderita ISPA, khususnya penderita ISPA
di wilayah kerja Puskesmas Kayon, Palangka Raya.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Barat, dan Jawa Timur. Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga
merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA.4,5
4
30% (di luar kejadian epidemik) dari penyebab faringitis akut pada anak,
sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus. Streptokokus grup A
biasanya bukan merupakan penyebab yang umum pada anak usia
prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di tempat penitipan
anak (day care).
Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma dilaporkan dapat
menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi. Di negara Inggris dan
Skandinavia pernah dilaporkan infeksi Arcobacterium haemolyticum.
Beberapa bakteri dapat melakukan proliferasi ketika sedang terjadi infeksi
virus (copathogen bacterial) dan dapat ditemukan pada kultur, tetapi
biasanya bukan merupakan penyebab dari ISPA akut. Beberapa bakteri
tersebut adalah Staphylococcus aureus, Haemophylus influenza, Moraella
catarrhalis, Bacteroides oralis, Bacteroides melaninogenicus, spesies
Fusobacterium dan spesies Peptostreptococcus. Mikroorganisme yang
dapat menyebabkan ISPA dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
5
Streptokokus, grup C dan G ISPA, tonsilitis, scarlatiniform
Campuran bakteri anaerob Vincents angina
Neisseria gonnorhoeae ISPA, tonsilitis
Corynebacterium diphtheriae Difteri
Arcanobacterium haemolyticum ISPA, scarlanitiform
Yersinia enterocolitica ISPA, enterokolitis
Yersinia pestis Plague
Francisella tularensis Tularemia (oropharingeal form)
Virus
Virus Rhino Common cold/rinitis
Virus Corona Common cold
Virus Adeno Pharyngoconjunctival fever, IRA
Virus herpes simple 1 dan 2 ISPA, gingivostomatitis
Virus Parainfluenza Cold, Croup
Virus Coxsackie A Herpangina, hand-foot-and-mouth
Virus Epstein-Barr
disease
Virus Sitomegalo
Infeksi mononukleosis
Human Immundeficiency virus
Infeksi HIV primer
Virus Influenza A dan B
Infulenza
Mikoplasma
Mycoplasma pneumoniae Pneumonia, bronkitis, faringits
Klamidia
Chlamydia psitacci IRA, pneumonia
C. pneumoniae Pneumonia, ISPA
6
Hipoksia merupakan sesuatu yang harus dihindari apalagi pada
orang yang sudah mempunyai permasalahan pada pembuluh darahnya baik
pada pembuluh darah otak maupun pembuluh darah jantung. Kadar
oksigen yang rendah pada seseorang yang memang sudah mempunyai
sumbatan pada pembuluh darah jantung jelas akan menyebabkan jantung
akan mengalami penurunan suplai oksigen yang berat yang akan
menyebabkan jantung akan mengalami iskemia (kekurangan oksigen)
bahkan sampai terjadinya infark (kematian jaringan). Begitu pula pada
orang yang sudah mempunyai permasalahan pembuluh darah otak maka
kekurangan oksigen juga akan lebih memperburuk penurunan oksigen
pada otak sehingga pasien menjadi tidak sadar. Berdasarkan penelitian
pada hewan coba, telah berhasil dibuat membuktikan bahwa kondisi
hipoksia dapat menyebabkan kerusakan pada hati, ginjal, jantung dan
lambung jika mengalami hipoksia sistemik kronik.12
d. Patofisiologi
Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA) dikarakteristikkan sebagai
penyakit demam akut yang disertai dengan batuk, pilek, nyeri tenggorokan
dan suara serak. Penularan organisme yang menyebabkan ISPA diketahui
terjadi melalui aerosol, droplet, dan kontak langsung hand-to-hand dengan
sekret yang terinfeksi. Sebagai tambahan, pajanan berulang pada hidung
dan mata juga dapat menyebabkan infeksi, yang mana dapat terjadi pada
kondisi lingkungan yang padat.13
Tempat utama dari inokulasi virus dapat terjadi di selaput
konjungtiva, mayoritas berakibat dari inhalasi atau self-inoculation dari
virus ke mukosa hidung. Setelah itu, infeksi di epitel saluran napas terjadi,
virus menyebar secara lokal menyebabkan peningkatan sekresi nasal.
Gejala seperti hidung tersumbat, nyeri tenggorokan dan bersin mulai
terjadi pada hari kedua atau ketiga dan disebabkan oleh kerusakan selular
dan iritasi. Pada hari kelima, terjadi kerusakan epitel sampai maksimal
setelah itu pada hari kesepuluh terjadi regenerasi. Nasofaringitis dengan
7
etiologi virus biasanya bersifat akut, sembuh sendiri dalam waktu 4-10
hari.14
Serangan langsung terhadap epitel saluran napas akan
menyebabkan gejala yang berhubungan dengan lokasi yang terkena.
Sebagai contoh, sinusitis dan bronkitis akut biasanya diawal oleh common
cold. Selain itu, alergi sinonasal, abnormalitas anatomik, blokade sinus
ostial, gangguan imunodefisiensi, infeksi HIV dan penyalahgunaan kokain
dapat memperberat ISPA.13
e. Tanda dan Gejala
Pada anamnesis didapatkan keluhan utama yang paling sering
dialami penderita yaitu hidung tersumbat (80-100%), bersin-bersin (50-
70%), tenggorokan terasa gatal (50%), batuk (40%), suara serak (30%),
malaise (20-25%), sakit kepala (25%) dan demam melebihi 37,7 oC (0-
1%).15
Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam tidak terlalu tinggi atau
afebris, tanda-tanda vital yang masih stabil, rhinorrhea (jernih, kuning
atau hijau), mukosa saluran napas membengkak, postnasal drainage,
eritema tenggorok dan membran timpani yang suram.15
f. Penatalaksanaan
Sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus yang bersifat self-
limiting sehingga pemberian terapi bersifat suportif dan simptomatik.
Untuk lini pertama dapat diberikan15 :
a. Dekongestan topikal (simpatomimetik) untuk mengurangi edema dan
pembengkakan mukosa hidung, mempermudahkan drainase dan
menurunkan resistensi aliran udara nasal. Topikal lebih dipilih dari
pada oral karena efek samping sistemik yang lebih minimal. Contoh
obatnya yaitu oxymetazoline.
b. Antikolinergik topikal untuk mengontrol rhinorrhea contoh obatnya
yaitu ipratropium.
8
c. Dekongestan oral, memiliki beberapa keuntungan dibanding topikal
yaitu durasi kerja lebih panjang, kurang mengiritasi dan tidak
memiliki risiko terjadinya rebound congestion. Contoh obatnya yaitu
pseudoefedrin dan fenilefrine. Efek samping yang dapat ditimbulkan
dari dekongestan oral antara lain meningkatkan tekanan darah,
meningkatkan kadar glukosa darah, menyebabkan sakit kepala, sulit
tidur dan pusing.
d. Antihistamin efektif untuk mengurangi bersin-bersin dan rhinorrhea,
dan mempermudah penderita untuk beristirahat karena efek
sedatifnya. Contoh obatnya yaitu klorfeniramin.
e. Supresan batuk atau antitusif diindikasikan untuk batuk non-produktif
atau batuk yang mengganggu tidur atau aktivitas normal. Pilihan
obatnya dapat berupa kodein atau dekstrometorfan.
f. Ekspektoran untuk batuk yang produktif atau berdahak, pilihan
obatnya yaitu guaifenesin.
Sementara itu pemberian terapi lini kedua antara lain obat kumur
dan lozenge untuk membantu mengurangi nyeri tenggorokan, berkumur
dengan air garam hangat juga dapat memberi rasa nyaman di tenggorokan.
Minyak aromatik (menthol, minyak kayu putih) dapat memberikan sensasi
peningkatan aliran udara pada hidung. Bila demam maka dapat diberikan
Parasetamol. Pasien diberi edukasi untuk hidrasi yang cukup, dengan cara
minum sedikit-sedikit namun sering, istirahat yang cukup, menjaga pola
makan yang sehat, perilaku hidup bersih dan sehat serta diajarkan untuk
etika batuk dan bersin yang benar untuk mencegah penularan.15
Pada sebagian besar kasus antibiotik tidak diindikasikan. Kondisi-
kondisi yang dapat dipertimbangkan untuk melakukan pemberian
antibiotik jika terdapat gejala pengeluaran sekret hidung yang lebih dari 10
hari, gejala semakin memberat setelah 5-7 hari, demam tinggi, adanya
pembesaran kelenjar getah bening, terdapat eksudat pada tonsilopalatina
dan batuk lebih dari 14 hari. Antibiotik lini pertama yang dapat diberikan
yaitu Amoksisilin dengan dosis 80-90 mg/kgBB/kali.16
9
DAFTAR PUSTAKA
10
14. Fletcher J, Dudlick M. Textbook of Pediatric Infectious Diseases. 5th ed.
Philadelphia: Elsevier 2004: p. 161-164.
15. Schroeder LM, Castor R. Upper Respiratory Infection. In: Domino FJ, editor.
The 5-minutes clinical consult 2011 Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins; 2011.
16. Wong DM, Blumberg DA, Lowe LG. Guidelines for the use of antibiotics in
acute upper respiratory tract infections. American Family Physician 2006.
74(6). p. 956-63
17. Dhaar GM, Robbani I. Foundations of community medicine. 2 nd edition. India
: Elsevier; 2008.p.20
18. Mullan F, Epstein L. Community-oriented primary care : new relevance in a
changing world. American Journal of Public Health. 2010;92 (11):p.1750-
1751.
.
11