Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengenalan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada pasien,
khususnya jenis ISPA yang diderita, sangat penting untuk mengurangi risiko
penyebaran infeksi. Pasien ISPA mungkin memperlihatkan berbagai gejala klinis.
Sebagian dari penyakit ini berpotensi menyebar dengan cepat dan bisa
menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan publik. Pola penyebaran ISPA
yang utama adalah melalui droplet yang keluar dari hidung/mulut penderita saat
batuk atau bersin. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak (termasuk
kontaminasi tangan oleh sekret saluran pernapasan, hidung, dan mulut) dan
melalui udara dengan jarak dekat saat dilakukan tindakan yang berhubungan
dengan saluran napas.1,2
Karena banyak gejala ISPA yang tidak spesifik dan tes diagnosis cepat
tidak selalu tersedia, maka etiologi kadang sering tidak diketahui dengan segera.
Dengan demikian, FPK (Fasilitas Pelayanan Kesehatan) menghadapi tantangan
untuk memberikan pelayanan kepada pasien ISPA dengan etiologi dan pola
penularan yang diketahui atau pun tidak diketahui. Penting bagi petugas kesehatan
untuk melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang tepat saat
menangani pasien ISPA untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya penyebaran
infeksi kepada diri sendiri, petugas kesehatan yang lain, pasien maupun
pengunjung.1
Di USA, ISPA terjadi lebih sering terjadi pada anak-anak daripada pada
dewasa. Sekitar 15 30 % ISPA terjadi pada anak usia sekolah, terutama usia 4
7 tahun, dan sekitar 10%nya diderita oleh dewasa. ISPA ini jarang terjadi pada
anak usia <3 tahun.3 Di Indonesia, data spesifik tentang angka ISPA belum
tersedia, namun data insidens ISPA di Indonesia berdasarkan profil data kesehatan
Indonesia oleh Depkes sebanyak 291.356 kasus rawat jalan. Period prevalence
ISPA berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan keluhan penduduk adalah

1
25,0%. Lima provinsi dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Papua,
Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Timur.4,5
Beberapa ISPA dapat menyebabkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan
angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi, sehingga menyebabkan kondisi
darurat pada kesehatan masyarakat dan menjadi masalah internasional. Langkah-
langkah perlindungan lainnya diindikasikan untuk ISPA yang berpotensi menjadi
KLB seperti SARS, flu burung pada manusia, atau patogen lain yang belum
diketahui pola penyebarannya.1
Data dari Puskesmas Kayon menyatakan bahwa ISPA menduduki
peringkat pertama kasus terbanyak sesuai laporan tahunan 2016, dimana terdapat
sebanyak 2.849 kunjungan pasien dengan diagnosa ISPA dari jumlah total 27.412
kunjungan pasien di Puskesmas Kayon selama tahun 2016.6
Berdasarkan dari data diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk
mengetahui bagaimanakah profil dari penderita ISPA, khususnya penderita ISPA
di wilayah kerja Puskesmas Kayon, Palangka Raya.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)


a. Definisi
Infeksi saluran pernapasan adalah infeksi pada respiratori atas dan
adneksanya hingga parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang
berlangsung hingga 14 hari. Infeksi respiratori atas adalah infeksi primer
respiratori di atas laring sedangkan infeksi laring ke bawah disebut infeksi
repiratori bawah. Infeksi respiratori atas terdiri dari rinitis, faringitis,
tonsilitis, rinosinusitis dan otitis media.7
b. Epidemiologi
ISPA biasa terjadi pada anak, meskipun jarang pada anak berusia di
bawah 1 tahun. Insiden meningkat sesuai dengan bertambahnya umur,
mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa.
Insiden ISPA Streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang pada usia
di bawah 3 tahun, dan sebanding antara laki-laki dan perempuan.Insiden
ISPA dapat juga disebabkan oleh asap. Penderita ISPA di daerah bencana
asap meningkat 1,8 3,8 kali dibandingkan jumlah penderita ISPA pada
periode sama tahun-tahun sebelumnya. Mekanisme ISPA yang disebabkan
oleh asap melalui iritasi langsung, kekurangan oksigen yang menimbulkan
sesak napas, serta absorpsi toksin.8,9
Di USA, ISPA terjadi lebih sering terjadi pada anak-anak daripada
pada dewasa. Sekitar 15 30 % ISPA terjadi pada anak usia sekolah,
terutama usia 4 7 tahun, dan sekitar 10%nya diderita oleh dewasa. ISPA
ini jarang terjadi pada anak usia <3 tahun.10
Di Indonesia, data spesifik tentang angka ISPA belum tersedia,
namun data insidens ISPA di Indonesia berdasarkan profil data kesehatan
Indonesia oleh Depkes sebanyak 291.356 kasus rawat jalan. Period
prevalence Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan dan keluhan penduduk adalah 25,0 persen. Lima provinsi
dengan ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Nusa Tenggara

3
Barat, dan Jawa Timur. Pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga
merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA.4,5

Gambar 4. Period prevalence ISPA, menurut provinsi, Indonesia


2007 dan 2013

Demikian pula data dari Puskesmas Kayon menyatakan bahwa ISPA


menduduki peringkat pertama kasus terbanyak sesuai laporan tahunan
2014, dimana terdapat sebanyak 2.849 kunjungan pasien dengan diagnosa
ISPAdari jumlah total 27.412 kunjungan pasien di Puskesmas Kayon
selama tahun 2014.6
Menurut Depkes, faktor resiko yang meningkatkan angka morbiditas
ISPA adalah bayi usia kurang dari 2 bulan, laki-laki, kurang gizi, berat
badan lahir rendah, imunisasi tidak memadai, defisiensi vitamin A. ISPA
juga menyebabkan morbiditas yang signifikan serta biaya kesehatan yang
tinggi.11
c. Etiologi8
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi ISPA, baik ISPA
sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain.
Virus merupakan etiologi terbanyak ISPA akut, terutama pada anak berusia
3 tahun (prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti
Adenovirus, Rhinovirus, dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab
ISPA. Virus Epstein Barr (Epstein Barr Virus, EBV) dapat menyebabkan
ISPA, tetapi disertai dengan gejala infeksi mononukleosis seerti
splenomegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti
infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella dan
berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala ISPA akut.
Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab
terbanyak faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-

4
30% (di luar kejadian epidemik) dari penyebab faringitis akut pada anak,
sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus. Streptokokus grup A
biasanya bukan merupakan penyebab yang umum pada anak usia
prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di tempat penitipan
anak (day care).
Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma dilaporkan dapat
menyebabkan infeksi, tetapi sangat jarang terjadi. Di negara Inggris dan
Skandinavia pernah dilaporkan infeksi Arcobacterium haemolyticum.
Beberapa bakteri dapat melakukan proliferasi ketika sedang terjadi infeksi
virus (copathogen bacterial) dan dapat ditemukan pada kultur, tetapi
biasanya bukan merupakan penyebab dari ISPA akut. Beberapa bakteri
tersebut adalah Staphylococcus aureus, Haemophylus influenza, Moraella
catarrhalis, Bacteroides oralis, Bacteroides melaninogenicus, spesies
Fusobacterium dan spesies Peptostreptococcus. Mikroorganisme yang
dapat menyebabkan ISPA dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5. Mikroorganisme Penyebab ISPA Akut8

Mikroorganisme Kelainan yang ditimbulkan


Bakteri
Streptokokus, grup A ISPA, tonsilitis, demam scarlet

5
Streptokokus, grup C dan G ISPA, tonsilitis, scarlatiniform
Campuran bakteri anaerob Vincents angina
Neisseria gonnorhoeae ISPA, tonsilitis
Corynebacterium diphtheriae Difteri
Arcanobacterium haemolyticum ISPA, scarlanitiform
Yersinia enterocolitica ISPA, enterokolitis
Yersinia pestis Plague
Francisella tularensis Tularemia (oropharingeal form)
Virus
Virus Rhino Common cold/rinitis
Virus Corona Common cold
Virus Adeno Pharyngoconjunctival fever, IRA
Virus herpes simple 1 dan 2 ISPA, gingivostomatitis
Virus Parainfluenza Cold, Croup
Virus Coxsackie A Herpangina, hand-foot-and-mouth
Virus Epstein-Barr
disease
Virus Sitomegalo
Infeksi mononukleosis
Human Immundeficiency virus
Infeksi HIV primer
Virus Influenza A dan B
Infulenza
Mikoplasma
Mycoplasma pneumoniae Pneumonia, bronkitis, faringits
Klamidia
Chlamydia psitacci IRA, pneumonia
C. pneumoniae Pneumonia, ISPA

Selain infeksi karena bakteri, virus dan mikroorganisme, ISPA juga


disebabkan karena polusi asap. Asap menimbulkan iritasi mata, kulit dan
gangguan saluran pernapasan yang lebih berat, fungsi paru berkurang,
bronkitis, asma eksaserbasi, dan kematian dini. Selain itu konsentrasi
tinggi partikel-partikel iritasi pernapasan dapat menyebabkan batuk terus-
menerus, batuk berdahak, kesulitan bernapas dan radang paru. Materi
partikulat juga dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan fisiologi
melalui mekanisme terhirupnya benda asing ke paru. Dampak yang
ditimbulkan tergantung dari individu seperti umur, penyakit pernapasan
sebelumnya, infeksi dan kardiovaskuler dan ukuran partikel.9
Dampak asap juga dihubungkan dengan kekurangan oksigen atau
hipoksia. Kekurangan oksigen atau hipoksia adalah suatu keadaan
kekurangan oksigen yang bisa menyebabkan permasalahan kesehatan
karena akan berpengaruh pada organ-organ tubuh. Hipoksia bisa terjadi
karena kadar oksigen yang kurang dari udara.12

6
Hipoksia merupakan sesuatu yang harus dihindari apalagi pada
orang yang sudah mempunyai permasalahan pada pembuluh darahnya baik
pada pembuluh darah otak maupun pembuluh darah jantung. Kadar
oksigen yang rendah pada seseorang yang memang sudah mempunyai
sumbatan pada pembuluh darah jantung jelas akan menyebabkan jantung
akan mengalami penurunan suplai oksigen yang berat yang akan
menyebabkan jantung akan mengalami iskemia (kekurangan oksigen)
bahkan sampai terjadinya infark (kematian jaringan). Begitu pula pada
orang yang sudah mempunyai permasalahan pembuluh darah otak maka
kekurangan oksigen juga akan lebih memperburuk penurunan oksigen
pada otak sehingga pasien menjadi tidak sadar. Berdasarkan penelitian
pada hewan coba, telah berhasil dibuat membuktikan bahwa kondisi
hipoksia dapat menyebabkan kerusakan pada hati, ginjal, jantung dan
lambung jika mengalami hipoksia sistemik kronik.12
d. Patofisiologi
Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA) dikarakteristikkan sebagai
penyakit demam akut yang disertai dengan batuk, pilek, nyeri tenggorokan
dan suara serak. Penularan organisme yang menyebabkan ISPA diketahui
terjadi melalui aerosol, droplet, dan kontak langsung hand-to-hand dengan
sekret yang terinfeksi. Sebagai tambahan, pajanan berulang pada hidung
dan mata juga dapat menyebabkan infeksi, yang mana dapat terjadi pada
kondisi lingkungan yang padat.13
Tempat utama dari inokulasi virus dapat terjadi di selaput
konjungtiva, mayoritas berakibat dari inhalasi atau self-inoculation dari
virus ke mukosa hidung. Setelah itu, infeksi di epitel saluran napas terjadi,
virus menyebar secara lokal menyebabkan peningkatan sekresi nasal.
Gejala seperti hidung tersumbat, nyeri tenggorokan dan bersin mulai
terjadi pada hari kedua atau ketiga dan disebabkan oleh kerusakan selular
dan iritasi. Pada hari kelima, terjadi kerusakan epitel sampai maksimal
setelah itu pada hari kesepuluh terjadi regenerasi. Nasofaringitis dengan

7
etiologi virus biasanya bersifat akut, sembuh sendiri dalam waktu 4-10
hari.14
Serangan langsung terhadap epitel saluran napas akan
menyebabkan gejala yang berhubungan dengan lokasi yang terkena.
Sebagai contoh, sinusitis dan bronkitis akut biasanya diawal oleh common
cold. Selain itu, alergi sinonasal, abnormalitas anatomik, blokade sinus
ostial, gangguan imunodefisiensi, infeksi HIV dan penyalahgunaan kokain
dapat memperberat ISPA.13
e. Tanda dan Gejala
Pada anamnesis didapatkan keluhan utama yang paling sering
dialami penderita yaitu hidung tersumbat (80-100%), bersin-bersin (50-
70%), tenggorokan terasa gatal (50%), batuk (40%), suara serak (30%),
malaise (20-25%), sakit kepala (25%) dan demam melebihi 37,7 oC (0-
1%).15
Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam tidak terlalu tinggi atau
afebris, tanda-tanda vital yang masih stabil, rhinorrhea (jernih, kuning
atau hijau), mukosa saluran napas membengkak, postnasal drainage,
eritema tenggorok dan membran timpani yang suram.15

f. Penatalaksanaan
Sebagian besar ISPA disebabkan oleh virus yang bersifat self-
limiting sehingga pemberian terapi bersifat suportif dan simptomatik.
Untuk lini pertama dapat diberikan15 :
a. Dekongestan topikal (simpatomimetik) untuk mengurangi edema dan
pembengkakan mukosa hidung, mempermudahkan drainase dan
menurunkan resistensi aliran udara nasal. Topikal lebih dipilih dari
pada oral karena efek samping sistemik yang lebih minimal. Contoh
obatnya yaitu oxymetazoline.
b. Antikolinergik topikal untuk mengontrol rhinorrhea contoh obatnya
yaitu ipratropium.

8
c. Dekongestan oral, memiliki beberapa keuntungan dibanding topikal
yaitu durasi kerja lebih panjang, kurang mengiritasi dan tidak
memiliki risiko terjadinya rebound congestion. Contoh obatnya yaitu
pseudoefedrin dan fenilefrine. Efek samping yang dapat ditimbulkan
dari dekongestan oral antara lain meningkatkan tekanan darah,
meningkatkan kadar glukosa darah, menyebabkan sakit kepala, sulit
tidur dan pusing.
d. Antihistamin efektif untuk mengurangi bersin-bersin dan rhinorrhea,
dan mempermudah penderita untuk beristirahat karena efek
sedatifnya. Contoh obatnya yaitu klorfeniramin.
e. Supresan batuk atau antitusif diindikasikan untuk batuk non-produktif
atau batuk yang mengganggu tidur atau aktivitas normal. Pilihan
obatnya dapat berupa kodein atau dekstrometorfan.
f. Ekspektoran untuk batuk yang produktif atau berdahak, pilihan
obatnya yaitu guaifenesin.
Sementara itu pemberian terapi lini kedua antara lain obat kumur
dan lozenge untuk membantu mengurangi nyeri tenggorokan, berkumur
dengan air garam hangat juga dapat memberi rasa nyaman di tenggorokan.
Minyak aromatik (menthol, minyak kayu putih) dapat memberikan sensasi
peningkatan aliran udara pada hidung. Bila demam maka dapat diberikan
Parasetamol. Pasien diberi edukasi untuk hidrasi yang cukup, dengan cara
minum sedikit-sedikit namun sering, istirahat yang cukup, menjaga pola
makan yang sehat, perilaku hidup bersih dan sehat serta diajarkan untuk
etika batuk dan bersin yang benar untuk mencegah penularan.15
Pada sebagian besar kasus antibiotik tidak diindikasikan. Kondisi-
kondisi yang dapat dipertimbangkan untuk melakukan pemberian
antibiotik jika terdapat gejala pengeluaran sekret hidung yang lebih dari 10
hari, gejala semakin memberat setelah 5-7 hari, demam tinggi, adanya
pembesaran kelenjar getah bening, terdapat eksudat pada tonsilopalatina
dan batuk lebih dari 14 hari. Antibiotik lini pertama yang dapat diberikan
yaitu Amoksisilin dengan dosis 80-90 mg/kgBB/kali.16

9
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Epidemic Prone & Pandemic Prone Acute Respiratory Diseases


Infection Prevention & Control in Health-Care Facilities. Summary
Guidance. WHO;2007.
2. WHO. Infeksi Saluran Pernapasan Akut ( ISPA) yang Cenderung Epidemi
dan Pandemi. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan. WHO; 2008.
3. Acerra JR. Pharygitis in Emergency Medicine; 2013.
4. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia;2012.
5. Depkes RI. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar ( RISKESDAS).
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2013.
6. Profil UPTD Puskesmas Kayon Tahun 2014.
7. Barus IV. Prevalensi dan Pola Peyakit Infeksi Saluran Pernapasan AKut di
Tiga Kelurahan Kecamatan Medan Baru, Kota Medan. Sumatera Utara: USU;
2005
8. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
Pertama. Jakarta :Badan Penerbit IDAI;2008.
9. Faisal F, Yunus F, Harahap F. Dampak Asap Kebakaran Hutan pada
Pernapasan. Jakarta: FKUI;2012.
10. Acerna JR. Pharyngitis in Emergency Medicine.2011.
11. Nasution K. Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban.
Jakarta: Sari Pediatri;2009
12. Mulansari NA, Press Release Evaluasi Dampak Asap Terhadap Kesehatan.
Jakarta: PAPDI;2015.
13. Rohilla A, Sharma V, Kumar S. Upper respiratory tract infections: an
overview. Int J Curr Pharm Res 2013. 5(3). p.1-3

10
14. Fletcher J, Dudlick M. Textbook of Pediatric Infectious Diseases. 5th ed.
Philadelphia: Elsevier 2004: p. 161-164.
15. Schroeder LM, Castor R. Upper Respiratory Infection. In: Domino FJ, editor.
The 5-minutes clinical consult 2011 Philadelphia: Lippincott
Williams&Wilkins; 2011.
16. Wong DM, Blumberg DA, Lowe LG. Guidelines for the use of antibiotics in
acute upper respiratory tract infections. American Family Physician 2006.
74(6). p. 956-63
17. Dhaar GM, Robbani I. Foundations of community medicine. 2 nd edition. India
: Elsevier; 2008.p.20
18. Mullan F, Epstein L. Community-oriented primary care : new relevance in a
changing world. American Journal of Public Health. 2010;92 (11):p.1750-
1751.
.

11

Anda mungkin juga menyukai