Anda di halaman 1dari 3

Senin 23 Jan 2017, 15:40 WIB

Kolom Kang Hasan

Berbangsa Itu Berbagi Ruang Hidup


Hasanudin Abdurakhman - detikNews

Share 0 Tweet Share 0 40 komentar

Foto: Hasanudin Abdurakhman (Ilustrator Edi Wahyono/detikcom)

Jakarta - Ketika hendak memerdekakan diri dari penjajah, bapak-bapak kita dulu berunding,
soal bagaimana rupa negara yang hendak mereka bentuk ini kelak. Merdeka berarti
mengelola negeri ini secara mandiri. Di satu sisi, itu berarti kebebasan. Kita bebas
menentukan, akan kita apakan negeri ini, beserta sumber daya alam yang dimilikinya. Tapi di
sisi lain, merdeka itu bermakna tanggung jawab mengelola. Mengelola alam dan manusianya.
Ada banyak negeri yang gagal memerdekakan diri. Bukan karena penjajah tak hendak
membiarkan mereka merdeka. Namun karena mereka gagal dalam dua hal tadi. Ada banyak
negara Afrika yang jatuh pada perang saudara, karena gagal mengelola manusia. Tetangga
kita Timor Leste juga pernah mengalami fase yang sama.

Berbangsa artinya berbagi ruang hidup. Kita ini adalah orang-orang dengan berbagai
identitas. Kita punya identitas suku, juga agama. Ada orang yang sama-sama bersuku Batak,
tapi mereka berbeda dalam identitas agama. Dua orang Batak satu marga sekalipun, bisa
berbeda agama. Demikian pula orang Jawa. Sebaliknya, kita bisa berbeda dalam hal suku,
tapi menganut agama yang sama. Kita semua hidup bersama, dalam suatu ruang hidup yang
besar, bernama Republik Indonesia.

Itulah yang sejak awal disadari oleh bapak-bapak pendiri bangsa ini dulu. Mereka
memikirkan bagaimana diri mereka, serta anak cucu mereka kelak hidup bersama, berbagi
ruang hidup. Mereka mengidentifikasi karakter kebangsaan mereka sendiri, juga kebutuhan
mereka, dan berdasar hal itu mereka rumuskan prinsip-prinsip dasar, yaitu Pancasila dan
UUD 1945.

Kita berasal dari berbagai identitas. Maka ruang besar milik kita ini harus diatur sedemikian
rupa agar ia bisa menampung semua orang. Kita harus hidup dengan tata cara kita, bukan tata
cara saya. Meski saya sangat ingin hidup sepenuhnya dengan tata cara saya, tapi saya sadar
bahwa itu tak mungkin. Ada orang lain yang juga ingin hidup dengan tata caranya sendiri,
dan itu berbeda dengan tata cara saya. Karena itulah maka kita harus hidup dengan tata cara
kita.

Ada satu momen sejarah yang sangat penting yang menandai semangat untuk berbagi ruang
ini. Bapak-bapak kita sadar betul bahwa negeri ini dihuni oleh orang muslim sebagai
mayoritas. Mereka kemudian menetapkan prinsip yang tujuannya melindungi hak-hak umat
Islam untuk menjalankan syariat agamanya. Maka disusunlah sila pertama Pancasila, yang
berbunyi "Ketuhanan yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya."

Rumusan itu adalah rumusan logis. Wajar saja bila umat Islam menjalankan syariat
agamanya, bukan? Tapi di situlah soalnya. Wajar kalau umat Islam menjalankan syariatnya.
Wajar pula bila umat lain menjalankan syariatnya. Lalu, kenapa pula itu perlu disebut dalam
suatu rumusan yang hanya menyebut umat Islam? Rumusan ini punya potensi ditafsirkan
secara salah, yaitu umat Islam lebih utama dari umat lain. Maka rumusan itu kemudian
diubah menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa", tanpa frase yang secara spesifik menyebut umat
Islam.

Itu adalah momen sejarah yang sangat penting, menegaskan tentang apa republik ini. Ini
adalah republik tempat kita hidup bersama. Setiap orang memperoleh hak-hak dasarnya, dan
hak-hak itu ditunaikan tanpa mencederai hak-hak orang lain. Penegasan itu didemonstrasikan
oleh bapak-bapak bangsa kita melalui tindakan itu.

Soal ini mesti terus menerus kita ingat, dan kita ingatkan kepada saudara-saudara sebangsa.
Bila kita lalai, maka bangsa ini akan pecah.

Hari-hari ini kita menyaksikan sejumlah orang yang mengabaikan prinsip berbagi ruang
hidup tadi. Akhir tahun lalu ada ormas membubarkan ibadah KKR Natal di Bandung. Kata
mereka, ibadah itu tak patut dilakukan di tempat yang bukan tempat ibadah. Itu dalih konyol,
karena pada saat yang hampir bersamaan ratusan ribu orang Islam salat Jumat di lapangan
Monas, yang bukan tempat ibadah.

Apakah ajaran Islam mengajarkan kita untuk mengganggu orang? Tidak. Bahkan kepada
pasukan tempurnya, Nabi Muhammad memerintahkan untuk tidak mengganggu ibadah dan
tempat peribadatan agama lain.

*) Hasanudin Abdurakhman adalah cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang


profesional di perusahaan Jepang di Indonesia.
*) Opini ini adalah pandangan dan tanggung jawab penulis, bukan merupakan pandangan
redaksi detikcom.
(nwk/nwk)

Anda mungkin juga menyukai