Anda di halaman 1dari 43

OBAT-OBAT PELUMPUH OTOT

PENDAHULUAN
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok
obat yang sangat berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur
pembedahan dan unit perawatan intensif untuk menghasilkan efek paralisis pada
pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan kelompok lain
yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis
(spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada transmisi neuromuscular
end-plate dan menurunkan aktivitas sistem saraf pusat. Golongan ini sering
digunakan sebagai obat tambahan selama anestesi umum untuk memfasilitasi
intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan menimbulkan
imobilitas dan pemberian ventilasi yang adekuat. Obat-obat spasmolitik biasa
disebut pelumpuh otot kerja pusat dan digunakan terutama untuk menangani nyeri
punggung kronis dan kondisi fibromialgia.

Transmisi Saraf - Otot


Neuromuscular junction (NM) adalah region di sekitar neuron motorik dan
sel otot. Membran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh celah sempit (20
nm) yaitu celah sinaptik. Saat potensial aksi saraf mendepolarisasi terminalnya,
terjadi influks ion kalsium melalui voltage-gated calcium channel ke dalam
sitoplasma sehingga memungkinkan vesikel berfusi dengan membran terminal
dan melepaskan asetilkolin yang disimpan. Molekul asetilkolin berdifusi
sepanjang celah sinaptik untuk berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik
pada bagian khusus membran sel otot, yaitu motor end-plate. Setiap NM memiliki
sekitar 5 juta reseptor, tetapi untuk aktivasi saat kontraksi otot normal hanya
dibutuhkan sekitar 500.000 reseptor.
Pada orang dewasa, reseptor NM terdiri dari 5 peptida: 2 peptida alfa, 1
beta, 1 gamma, dan 1 peptida delta. Ikatan dua molekul asetilkolin pada reseptor
subunit - dan - menyebabkan pembukaan channel yang menimbulkan
potensial motor end-plate. Magnitudo potensial end-plate berhubungan secara
langsung dengan jumlah asetilkolin yang dilepaskan. Jika potensialnya kecil
permeabilitas dan potensial end-plate kembali normal tanpa penyampaian impuls
dari ujung end-plate ke seluruh membran sel serabut otot. Jika potensial end-
plate besar, membran sel otot yang berdekatan akan terpolarisasi, dan potensial
aksi akan diteruskan ke seluruh serabut otot. Kontraksi otot kemudian akan
diinisiasi oleh proses kopling eksitasi-kontraksi. Asetilkolin dengan cepat
dihidrolisis menjadi asetat dan kolin oleh enzim substrat spesifik
asetilkolinesterase. Enzim kolinesterase spesifik atau kolinesterase asli ditemukan
dalam end-plate membran sel motorik yang berdekatan dengan reseptor
asetilkolin. Akhirnya, terjadi penutupan ion channel menimbulkan repolarisasi.
Ketika pembentukan potensial aksi terhenti, channel natrium pada membran sel
otot juga menutup. Kalsium kembali masuk ke retikulum sarkoplasma dan sel otot
akan berelaksasi.

Gambar 1.
Struktur NMJ

FARMAKOLOGI DASAR OBAT-OBAT PELUMPUH OTOT

Pembagian Obat-obat Pelumpuh Otot


Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya, obat-obat
pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi
asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja
asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu
obat kerja lama, sedang, dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa
senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat-obat pelumpuh otot
membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi, blokade saraf-otot fase II
depolarisasi atau nondepolarisasi.

Struktur Kimia
Semua obat pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan
asetilkolin. Sebagai contoh, suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin yang
berikatan pada kedua ujungnya. Sebaliknya, obat-obat nondepolarisasi (misal
pancuronium) mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe
sistem cincin besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua
pelumpuh otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang
memberi muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor nikotinik
membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat entrinya ke
sistem saraf pusat.
Mekanisme Kerja
Seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot depolarisasi
sangat mirip dengan asetilkolin dan dapat segera berikatan pada reseptor
asetilkolin dan membentuk potensial aksi otot. Namun, obat-obat ini tidak
dimetabolisme oleh asetilkolinesterase dan konsentrasinya dalam celah sinaptik
tidak turun dengan cepat sehingga memperpanjang depolarisasi end-plate otot.
Depolarisase end-plate secara kontinu menimbulkan relaksasi otot karena
pembukaan lower gate di sekitar persimpangan channel natrium sangat singkat.
Setelah eksitasi awal dan pembukaan, channel natrium akan menutup dan tidak
dapat membuka kembali sampai repolarisasi end-plate. End-plate tidak dapat
berepolarisasi sepanjang pelumpuh otot depolarisasi terus mengikatkan diri pada
reseptor asetilkolin; disebut blok fase I.
Setelah beberapa waktu, pemanjangan depolarisasi end-plate dapat
menyebabkan perubahan ionik dan konformasional di dalam reseptor asetilkolin,
inisiasi depolarisasi end-plate akan menurun dan membran mengalami
repolarisasi. Meskipun membran mengalami repolarisasi, membran tidak dapat
dengan mudah mengalami depolarisasi lagi karena telah mengalami desensitisasi.
Mekanisme fase desensitisasi tidak diketahui, namun beberapa bukti
mengindikasikan bahwa blok channel mungkin lebih penting dari pada aksi
agonis pada reseptor dalam fase II aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara
klinis menyerupai blok obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi mengikat diri ke reseptor asetilkolin
tapi tidak mampu menginduksi perubahan konformasional yang dibutuhkan untuk
pembukaan channel. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan
reseptornya, tidak tercetus potensial end-plate. Blokade saraf-otot terjadi bila
hanya satu subunit yang diblok. Oleh sebab itu, obat pelumpuh otot depolarisasi
bekerja sebagai agonis reseptor, sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi
berfungsi sebagai antagonis kompetitif.
Mekanisme Nonklasik Blokade Saraf-Otot
Beberapa obat mungkin dapat mengganggu fungsi reseptor asetilkolin
tanpa bertindak sebagai agonis ataupun antagonis. Obat-obat ini mengganggu
fungsi normal tempat ikatan pada reseptor asetilkolin atau pada pembukaan dan
penutupan reseptor channel. Obat-obat ini termasuk agen anestetik inhalasi,
anestetik lokal, dan ketamin. Membran lipid reseptor asetilkolin adalah tempat
kerja agen yang penting.
Obat-obat tertentu juga dapat menyebabkan penutupan ataupun
pembukaan blokade channel. Selama blokade channel yang tertutup, obat-obat ini
secara fisik menyumbat channel, mencegah kation lewat baik saat asetilkolin
sudah mengaktivasi reseptor ataupun belum. Pembuka blokade channel digunakan
secara dependen karena obat-obat ini memasuki dan mengobstruksi channel
reseptor asetilkolin hanya setelah dibuka oleh ikatan asetilkolin. Relevansi klinis
dari blokade channel adalah bahwa peningkatan konsentrasi asetilkolin dengan
inhibitor kolinesterase tidak dapat mengatasi blokade saraf-otot. Obat-obat yang
dapat menimbulkan blokade channel termasuk neostigmin, antibiotik tertentu,
kokain, dan kuinidin.
Reseptor asetilkolin nikotinik prejunksional telah diindentifikasi pada
ujung saraf dari NM. Meskipun peran fisiologisnya masih belum jelas, aksi
prejunksional untuk beberapa obat pelumpuh otot mungkin signifikan.

Farmakodinamik Obat-Obat Pelumpuh Otot


Farmakodinamik obat-obat pelumpuh otot ditentukan dengan mengukur
kecepatan onset dan durasi blokade saraf-otot. Secara klinis, metode yang umum
dipakai untuk menentukan tipe, kecepatan onset, magnitudo, dan durasi blokade
saraf-otot adalah dengan mengamati atau merekam respons otot skeletal yang
ditimbulkan oleh stimulus elektrik yang dikirim dari stimulator saraf perifer.
Paling sering dipakai untuk menentukan efek obat pelumpuh otot adalah kontraksi
m.adductor pollicis (respons kedutan tunggal sampai 1 Hz) setelah stimulasi
n.ulnaris.
Potensi setiap obat dapat ditentukan dengan mengonstruksi kurva dosis-
respons yang mendeskripsikan hubungan antara depresi kedutan dan dosis
(Gambar 2). Dosis efektif 50 (ED50) adalah dosis median setara 50% depresi
kedutan yang telah dicapai. Nilai yang lebih relevan secara klinis dan lebih sering
dipakai adalah ED95 setara blok 95%. Sebagai contoh, ED95 vecuronium adalah
0,05 mg/kgBB yang berarti setengah dari pasien akan mencapai minimal 95%
blok kedutan tunggal (dibandingkan dengan sebelum pemberian vecuronium)
dengan dosis tersebut, dan setengah dari pasien akan mencapai kurang dari 95%
blok. ED95 rocuronium adalah 0,3 mg/KgBB. Oleh karena itu, potensi rocuronium
adalah seperenam dari potensi vecuronium karena dibutuhkan enam kali lipat
dosis rocuronium untuk menghasilkan efek yang sama. Jika tidak disebutkan lain,
ED95 dianggap mewakili potensi obat-obat pelumpuh otot bersamaan dengan
pemberian anestetik N2O-barbiturat-opioid. Bila disertai dengan anestetik volatil,
ED95 menurun jauh dibandingkan dengan keadaan tanpa obat-obat anestetik ini.
Gambar 2 . Contoh hubungan dosis-respons. Angka yang tercantum adalah nilai
perkiraan untuk rocuronium.
Obat-obat pelumpuh otot mempengaruhi otot skeletal yang kecil dan cepat
(mata, digiti) sebelum otot abdomen (diafragma). Onset blokade saraf-otot setelah
pemberian obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah lebih cepat namun kurang
intens pada otot-otot laring (pita suara) dari pada otot perifer (m.adductor
pollicis). Efek sparing obat pelumpuh otot nondepolarisasi pada otot-otot laring
mungkin merefleksikan peran tipe serabut otot skeletal. Otot yang berperan dalam
penutupan glotis (m.thyroarytenoid) adalah tipe kontraksi cepat, di mana
m.adductor pollicis terutama dibentuk oleh tipe serabut lambat. Konsentrasi
reseptor asetilkolin lebih banyak pada otot serabut cepat sehingga dibutuhkan
jumlah reseptor yang lebih banyak untuk memblok otot tipe cepat dibanding otot
tipe lambat. Semakin cepat onset kerja pada otot pita suara dari pada m.adductor
pollicis semakin cepat pula ekuilibrium konsentrasi plasma dan konsentrasi pada
otot-otot jalan napas saat dibandingkan dengan m.adductor pollicis. Dengan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi kerja sedang dan kerja singkat, periode paralisis
otot laring adalah cepat dan hilang sebelum mencapai efek maksimum pada
m.adductor pollicis. Hal penting yang harus diperhatikan adalah dosis obat yang
dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat tertentu blokade diafragma adalah dua
kali lipat dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan blokade yang sama dari
m.adductor pollicis. Telah diketahui bahwa monitoring m.adductor pollicis adalah
indikator relaksasi otot laring yang jelek (m.cricothyroid) sedangkan stimulasi
saraf fasial dan monitoring respons m.orbicularis oculi lebih merefleksikan onset
blokade saraf-otot diafragma. Oleh karena itu, m.orbicularis oculi lebih disukai
dari pada m.adductor pollicis sebagai indikator blokade otot laring.

Farmakokinetik Obat Pelumpuh Otot


Obat pelumpuh otot adalah kelompok amonium kuartener yang merupakan
senyawa larut dalam air yang mudah terionisasi pada pH fisiologis, dan memiliki
kelarutan yang terbatas dalam lipid. Volume distribusi obat-obat ini terbatas dan
sama dengan volume cairan ekstraseluler (kira-kira 200 mL/kg). Sebagai
tambahan, obat pelumpuh otot tidak dapat dengan mudah melewati sawar
membran lipid seperti sawar darah otak, epitel tubulus renal, epitel
gastrointestinal, atau plasenta. Oleh karena itu, obat pelumpuh otot tidak dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat, reabsorpsinya di tubulus renal minimal,
absorpsi oral yang tidak efektif dan pemberian pada ibu hamil yang tidak
mempengaruhi fetus. Redistribusi obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga
memainkan peran dalam farmakokinetik obat-obat ini.
Klirens plasma, volume distribusi, dan waktu paruh eliminasi obat
pelumpuh otot dapat dipengaruhi oleh usia, anestesi volatil, dan penyakit hati atau
ginjal. Eliminasi renal dan hepatik dibantu oleh fraksi pemberian obat yang besar
karena sifatnya yang mudah mengalami ionisasi sehingga mempertahankan
konsentrasi plasma obat yang tinggi dan juga mencegah reabsorpsi renal obat
yang dieksresi. Penyakit ginjal sangat mempengaruhi farmakokinetik obat
pelumpuh otot nondepolarisasi kerja lama. Obat pelumpuh otot tidak terlalu kuat
terikat pada protein plasma (sampai 50%) dan tampaknya bila ada perubahan
ikatan protein tidak akan menimbulkan efek yang signifikan pada eksresi ginjal
obat pelumpuh otot.
Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah
pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma
dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan
yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran
darah, anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi
volatil mencerminkan aksi farmakodinamik, seperti dimanifestasikan oleh
penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk
menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatil.
Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein,
dehidrasi, atau perdarahan akut, dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi
plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh
eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-
obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena.

OBAT PELUMPUH OTOT DEPOLARISASI

Satu-satunya obat pelumpuh otot depolarisasi yang dipakai adalah


suksinilkolin. Suksinilkolin memiliki 2 ciri unik dan penting, yaitu menyebabkan
paralisis yang intens dengan cepat dan efeknya akan berkurang sebelum pasien
yang dipreoksigenasi menjadi hipoksia. Suksinilkolin 0,5 1 mg/kgBB IV,
memiliki onset kerja cepat (30 60 detik) dan durasi kerja singkat (3 5 menit).
Ciri ini membuat suksinilkolin obat yang bermanfaat untuk relaksasi otot untuk
memfasilitasi intubasi trakea. Suksinilkolin memiliki beberapa efek samping yang
dapat membatasi bahkan kontraindikasi pada keadaan tertentu.

Dosis
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV.
Dosis tersebut setara untuk 3,5 4 kali ED95. Secara konsep, pemberian dosis
1mg/kgBB pada pasien yang terpreoksigenasi akan dihubungkan dengan nafas
spontan sebelum hipoksemia arteri signifikan. Pernafasan spontan terjadi dalam 5
menit setelah paralisis akibat pemberian suksinilkolin. Durasi rata-rata sebelum
mencapai 90% tingkat kedutan setelah pemberian 1 mg/kgBB adalah lebih besar
dari 10 menit. Dengan demikian, diperkirakan orang dewasa yang sudah
dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea sebelum saturasi oksigen arteri
menurun ke 90%.
Dosis dapat bervariasi antara 0,5 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1
mg/kgBB tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau
pernafasan spontan. Selain itu, pada keadaan di mana blokade saraf-otot penuh
sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB masih tepat.
Durasi kerja suksinilkolin yang singkat (3 5 menit) disebabkan hidrolisis
oleh kolinesterase plasma (pseudokolinesterase). Kolinesterase plasma disintesis
di hati dan merupakan glikoprotein tetrametrik mengandung 4 subunit identik
dengan masing-masing satu tempat katalitik aktif. Metabolit suksinilkolin adalah
suksinilmonokolin dengan potensi 1/20 1/80 suksinilkolin. Plasma kolinesterase
mempengaruhi durasi kerja suksinilkolin karena memiliki kapasitas yang besar
untuk menghidrolisis suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga hanya sedikit
fraksi dosis IV awal yang benar-benar mencapai NMJ.
Efek samping
Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin antara lain:
1) aritmia jantung, 2) hiperkalemia, 3) mialgia, 4) mioglobinuria, 5) peningkatan
tekanan intragastrik, 6) peningkatan tekanan intraokuler, 7) peningkatan tekanan
intrakranial, dan 8) kontraksi otot terus menerus. Efek samping ini dapat
membatasi bahkan merupakan kontraindikasi pemberian suksinilkolin.
1. Aritmia Jantung
Sinus bradikardi, junctional rhythm, dan bahkan sinus arrest dapat
terjadi setelah pemberian suksinilkolin. Efek kardiak ini mencerminkan
efek suksinilkolin pada reseptor kolinergik muskarinik di mana obat ini
memiliki efek fisiologis yang sama dengan asetilkolin. Disritmia kardiak
paling sering terjadi setelah pemberian dosis kedua yang kira-kira
diberikan 5 menit setelah dosis pertama. Hal ini diduga akibat kerja
metabolit suksinilkolin (suksinilmonokolin dan kolin). Pemberian atropin
dengan dosis 6 g/kg IV, tidak mencegah penurunan denyut jantung
sebagai respons terhadap dosis kedua suksinilkolin.
Sebaliknya, efek suksinilkolin menyerupai efek fisiologis
asetilkolin pada pada sistem saraf otonom. Efeknya adalah stimulasi
ganglionik, yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.
2. Hiperkalemia
Pemberian suksinilkolin dapat menimbulkan hiperkalemia pada
pasien dengan (a) distrofi otot yang tidak tampak secara klinis, (b) luka
bakar tingkat tiga yang tidak sembuh, (c) atrofi otot skeletal akibat
denervasi, (d) trauma otot skeletal berat, dan (e) lesi neuron motorik atas.
Infeksi abdomen berat telah dikaitkan dengan pelepasan kalium yang
diinduksi suksinilkolin. Potensi pelepasan kalium yang eksesif setelah
denervasi dapat berkembang dalam 96 jam dan bertahan sampai batas
waktu tak tentu sekitar 6 bulan atau lebih lama. Premedikasi dengan dosis
subparalisis obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak mempengaruhi
magnitudo pelepasan kalium. Hiperkalemia yang telah ada seperti pada
gagal ginjal dan tanpa disertai paralisis otot skeletal tidak dapat
dihubungkan dengan peningkatan risiko pelepasan kalium akut setelah
pemberian dosis intubasi suksinilkolin.
Pemberian suksinilkolin pada anak laki-laki dengan miopati yang
belum terdiagnosis dapat mencetuskan rhabdomiolisis, hiperkalemia, dan
cardiac arrest. Hal ini disebabkan diagnosis distrofi otot Duchenne baru
dapat dilakukan pada usia 2 6 tahun. Pada distrofi otot Becker, gejala
klinisnya lebih ringan sehingga menunda waktu diagnosis. Oleh karena
itu, klinisi lebih suka menghindari pemakaian suksinilkolin pada pasien
pediatrik bila respons yang hampir sama dapat dicapai dengan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi.
3. Mialgia
Mialgia otot skeletal post operasi, yang biasa timbul pada otot
leher, punggung dan abdomen, dapat terjadi setelah pemberian
suksinilkolin, khususnya dewasa muda setelah menjalani prosedur bedah
minor. Mialgia yang terlokasi di otot leher dianggap sebagai faringitis oleh
pasien dan dihubungkan dengan intubasi trakea oleh anestesiologis.
Mialgia sendiri diduga terjadi akibat kontraksi otot skeletal yang tidak
sinkron serta dikaitkan dengan depolarisasi umum. Pemberian obat
pelumpuh otot nondepolarisasi mencegah atau mengurangi mialgia setelah
pemberian suksinilkolin.
4. Mioglobinuria
Kerusakan pada otot skeletal ditandai dengan mioglobinuria,
khususnya pasien pediatrik. Dugaan mioglobinuria menggambarkan
kerusakan otot yang dicetuskan oleh fasikulasi.
5. Peningkatan Tekanan Intragastrik
Peningkatan tekanan intragastrik dapat berhubungan dengan
intensitas fasikulasi otot skeletal yang dicetuskan oleh suksinilkolin.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dosis nonparalisis.
6. Peningkatan Tekanan Intraokuler
Suksinilkolin maksimum menaikkan tekanan intraokuler dalam 2
4 menit setelah pemberian. Peningkatan tekanan intraokuler ini bersifat
transien hanya berlangsung selama 5 10 menit. Mekanisme terjadi
peningkatan tekanan intraokuler masih belum diketahui meski kontraksi
otot ekstraokuler dengan distorsi dan kompresi bola mata telah lama
dianggap sebagai penyebab perubahan ini. Peningkatan tekanan
intraokuler terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin dengan
pendalaman ruang anterior dan peningkatan resistensi aliran keluar
aqueous humor, sedikit peningkatan volume darah koroid dan peningkatan
tekanan vena sentral.
7. Peningkatan Tekanan Intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial setelah pemberian suksinilkolin
pada pasien dengan tumor intrakranial atau trauma kepala belum diamati
secara konsisten.
8. Kontraksi Otot Terus Menerus
Relaksasi otot rahang yang tidak sempurna dan rigiditas masseter
setelah pemberian halotan-suksinilkolin cukup sering terjadi pada anak-
anak dengan insidens 4,4% dari jumlah pasien dan dianggap sebagai
respons normal. Kesulitan yang timbul adalah rigiditas otot rahang sebagai
respons normal tidak mudah dibedakan dengan rigiditas otot rahang akibat
hipertermia malignan.
Spasme otot skeletal juga dapat terjadi pada pemberian
suksinilkolin pada pasien dengan kongenital miotonia atau distrofi
miotonia. Kontraksi yang terus-menerus dapat mempengaruhi ventilasi
paru dan membahayakan hidup.

OBAT PELUMPUH OTOT NONDEPOLARISASI

Obat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama,
kerja sedang, dan kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih,
metabolisme, dan klirens dipengaruhi oleh keputusan klinis untuk memilih satu
obat dibanding obat yang lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat
pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi karena perbedaan farmakokinetik.

Ciri Blokade Saraf-Otot Nondepolarisasi


Respons otot skeletal saat terjadi blokade saraf-otot nondepolarisasi seperti
yang dicetuskan oleh stimulasi elektrik dari stimulator saraf perifer, antara lain: a)
penurunan respons kedutan terhadap stimulus tunggal, b) respons tidak bertahan
(lemah) selama stimulasi berkelanjutan, c) rasio TOF < 0,7, d) potensiasi post-
tetanik, e) potensiasi obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang lain, f)
antagonisme untuk obat antikolinesterase, g) tidak terjadi fasikulasi saat onset
blokade saraf-otot nondepolarisasi.
Kontraksi otot skeletal adalah fenomena all or none. Setiap serabut otot
skeletal berkontraksi dengan maksimal atau tidak berkontraksi sama sekali. Oleh
karena itu, ketika respons kedutan menurun beberapa serabut berkontraksi normal,
sedangkan yang lain terblok secara total. Kontraksi otot skeletal yang lemah
terhadap stimulasi elektrik terus menerus menerangkan bahwa beberapa serabut
otot lebih suseptibel untuk diblok oleh obat pelumpuh otot membutuhkan
pelepasan asetilkolin lebih besar yang berkelanjutan untuk mencetus responsnya.

Intubasi
Tidak satu pun dari obat pelumpuh otot yang tersedia saat ini menyamai
onset cepat atau durasi kerja singkat suksinilkolin. Namun, onset obat pelumpuh
otot dapat dipercepat dengan menggunakan dosis yang lebih besar atau dosis
awal. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu. Satu sampai dua kali
dosis ED95 biasa dipakai untuk intubasi. Meskipun dengan dosis intubasi yang
lebih besar mempercepat onset, namun dapat mengeksaserbasi efek samping dan
memperpanjang durasi blokade. Sebagai contoh dosis 0,15 mg/kgBB
pancuronium dapat memberi kondisi intubasi dalam 90 detik, tapi akan timbul
hipertensi dan takikardia yang lebih nyata- dan blok yang ireversibel selama lebih
dari 60 menit. Konsekuensi dari durasi kerja yang panjang adalah kesulitan yang
terjadi dalam membalikkan blokade secara keseluruhan, khususnya pada pasien
usia tua dan mereka yang menjalani pembedahan abdomen. Menurut aturan
umum, semakin poten obat pelumpuh otot nondepolarisasinya, semakin panjang
kecepatan onsetnya, namun potensi yang lebih besar membutuhkan dosis yang
lebih kecil, yang kemudian akan menurunkan pengantaran obat ke NMJ.
Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan
penggunaan dosis awal. Secara teoritis pemberian 10 15% dari dosis intubasi
sebelum induksi akan membantu penempatan cukup banyak reseptor sehingga
paralisis akan cepat terjadi saat relaksans yang seimbang diberikan. Penggunaan
dosis awal dapat memberikan kondisi yang sesuai untuk intubasi dalam waktu 60
detik pemberian rocuronium atau 90 detik setelah pemberian obat nondepolarisasi
kerja sedang lain. Dosis awal biasanya tidak mencapai paralisis yang signifikan
secara klinis, yang membutuhkan sekitar 75 80% reseptor yang terblok (batas
aman saraf otot). Pada beberapa pasien, dosis awal menempati cukup banyak
reseptor untuk membuat distres, dispneu, diplopia, atau disfagia; pada keadaan
demikian, pasien harus ditenangkan dan induksi anestesi harus dilanjutkan tanpa
menunda. Dosis awal dapat menyebabkan deteriosasi signifikan dalam fungsi
respirasi (misal penurunan kapasitas vital paksa) dan dapat menuju desaturasi
oksigen pada pasien dengan cadangan paru terbatas. Efek negatif ini sering terjadi
pada pasien usia tua.
Perlu diingat bahwa kelompok otot memiliki variasi dalam sensitivitas
obat pelumpuh otot. Sebagai contoh, otot-otot laring yang sangat penting dalam
intubasi pulih dari blokade lebih cepat dari pada m. adductor pollicis yang
dimonitor oleh stimulator saraf perifer.

Mencegah Fasikulasi
Untuk mencegah fasikulasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi obat
pelumpuh otot nondepolarisasi 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin.
Meskipun sebagian besar obat nondepolarisasi dapat digunakan untuk tujuan ini,
tubocurarine dan rocuronium adalah yang paling baik efikasinya. Karena terdapat
antagonisme antara sebagian besar obat nondepolarisasi dengan fase I blok, dosis
suksinilkolin yang berikutnya harus dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.

Rumatan Relaksasi Otot


Setelah intubasi, paralisis otot diperlukan untuk membantu proses
pembedahan, misalnya pada operasi abdomen, atau dalam manajemen anestesi
misal dalam mengendalikan ventilasi. Variabilitas antara pasien dalam respons
terhadap dosis obat pelumpuh otot tidak dapat ditekankan secara berlebihan.
Monitoring fungsi saraf-otot dengan stimulator saraf membantu mencegah dosis
yang berlebihan atau dosis yang kurang dan juga mencegah paralisis otot yang
serius dalam ruang pemulihan. Dosis rumatan dengan bolus intermiten atau infus
kontinu harus dipandu dengan stimulator saraf dan tanda-tanda klinis (usaha
pernapasan spontan atau pergerakan).
Potensiasi oleh Anestesi Inhalasi
Agen-agen volatil menurunkan kebutuhan dosis obat nondepolarisasi
sampai sekitar 15%. Tingkat augmentasi postsinaptik bergantung pada anestesi
inhalasi (desfluran > sevofluran > isofluran dan enfluran > halotan >
N2O/O2/narkotik) dan obat pelumpuh otot yang dipakai (pancuronium >
vecuronium dan atracurium).

Potensiasi oleh Obat Nondepolarisasi yang Lain


Kombinasi beberapa obat nondepolarisasi (misal mivacurium dan
pancuronium) menghasilkan blokade saraf-otot yang lebih besar dari pada efek
aditif. Augmentasi yang kurang pada senyawa yang memiliki hubungan dekat
(vecuronium dan pancuronium) memunculkan teori bahwa potensiasi adalah hasil
dari sedikit perbedaan mekanisme kerja.

Efek Samping Otonom


Pada dosis klinis, obat nondepolarisasi mungkin mempunyai perbedaan
efek yang signifikan pada reseptor kolinergik muskarinik dan nikotinik. Beberapa
agen yang lebih tua (tubocurarine dan pada cakupan yang lebih sempit,
metocurine) memblok ganglia otonom, menghambat kemampuan sistem saraf
simpatis untuk meningkatkan kontraktilitas dan denyut jantung sebagai respons
terhadap hipotensi dan stres intraoperatif yang lain. Sebaliknya, pancuronium (dan
gallamine) memblok reseptor vagal muskarinik di nodus sinoatrial, berakibat pada
takikardi. Semua obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang baru termasuk
atracurium, cisatracurium, mivacurium, doxacurium, vecuronium, dan
pipecuronium adalah obat-obat tanpa efek otonom dalam penggunaan dosis yang
direkomendasikan.

Pelepasan Histamin
Pelepasan histamin dari sel mast dapat berakibat bronkospasme, flushing
kulit, dan hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Baik atracurium maupun
mivacurium adalah dua agen yang dapat mencetus pelepasan histamin, khususnya
pada dosis yang lebih tinggi. Penyuntikan lambat dan premedikasi antihistamin
H1 dan H2 mengurangi efek samping ini.

Metabolisme di Hati
Hanya pancuronium dan vecuronium yang dimetabolisme secara
signifikan oleh hati. Metabolit yang aktif berkontribusi dalam efek klinis kedua
agen tersebut. Vecuronium dan rocuronium sangat bergantung pada eksresi
empedu. Secara klinis, gagal hati memperpanjang blokade pancuronium dan
rocuronium, dengan efek yang lebih sedikit pada vecuronium dan tanpa efek pada
pipecuronium. Atracurium, cisatracurium, dan mivacurium adalah agen yang
dimetabolisme secara ekstensif, namun bergantung pada mekanisme
ekstrahepatik. Penyakit hati berat tidak mempengaruhi klirens atracurium ataupun
cisatracurium, namun penurunan kadar pseudokolinesterase mungkin dapat
memperlambat metabolisme mivacurium.

Ekskresi Renal
Doxacurium, pancuronium, vecuronium, dan pipecuronium sebagian
diekskresi oleh ginjal dan kerjanya lebih panjang pada pasien dengan gagal ginjal.
Eliminasi atracurium, cisatracurium, mivacurium, dan rocuronium tidak
bergantung pada fungsi ginjal.

Karakteristik Farmakologis Umum


Beberapa variabel mempengaruhi obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
1. Suhu
Hipotermia memperpanjang blokade karena penurunan
metabolisme (misal mivacurium, atracurium, dan cisatracurium) dan
menunda ekskresi (misal pancuronium dan vecuronium)
2. Keseimbangan Asam-Basa
Asidosis respiratorik mempotensiasi blokade sebagian besar agen
nondepolarisasi dan mengantagonisasi pembalikannya. Hal ini dapat
mencegah pemulihan saraf-otot pada pasien post-operatif yang mengalami
hipoventilasi. Penemuan berkaitan dengan efek saraf-otot sehubungan
dengan perubahan asam-basa mungkin didasari oleh perubahan dalam pH
ekstraseluler, pH intraseluler, konsentrasi elektrolit, atau perubahan
struktural antara obat-obat (misal monokuartener versus bikuartener,
steroid versus isoquinolinium).
3. Abnormalitas Elektrolit
Hipokalemia dan hipokalsemia mengaugmentasi blok
nondepolarisasi. Respons pasien dengan hiperkalsemia tidak dapat
diprediksi. Hipermagnesia seperti yang dijumpai pada pasien dengan
preeklampsia yang diterapi dengan magnesium sulfat, mempotensiasi
blokade dengan berkompetisi dengan kalsium pada motor end-plate.
4. Usia
Neonatus mempunyai sensitivitas yang meningkat pada obat
pelumpuh otot nondepolarisasi karena NMJ yang imatur. Sensitivitas ini
tidak harus diikuti dengan penurunan kebutuhan dosis karena neonatus
memiliki ruang ekstraseluler yang lebih besar menyediakan volume
distribusi yang lebih besar.
5. Interaksi Obat
Seperti yang disebut sebelumnya, banyak obat mengaugmentasi
blokade obat nondepolarisasi. Obat-obat ini memiliki beberapa tempat
interaksi: struktur prejunksional, reseptor kolinergik postjunksional, dan
membran otot.
6. Penyakit yang Diderita
Penyakit saraf atau otot memiliki efek yang besar pada respons
individual terhadap pelumpuh otot. Sirosis hepatis dan gagal ginjal kronik
berakibat pada peningkatan volume distribusi dan penurunan konsentrasi
plasma pada obat-obat yang larut dalam air seperti pelumpuh otot. Di sisi
yang lain, obat yang bergantung pada ekskresi melalui hati atau ginjal
mungkin memperpanjang klirens. Oleh karena itu, bergantung pada obat
yang terpilih, dibutuhkan dosis inisial yang lebih tinggi, namun dengan
dosis rumatan yang lebih besar.
7. Kelompok Otot
Onset dan intensitas blokade bervariasi di antara kelompok otot.
Hal ini mungkin karena perbedaan dalam aliran darah, jarak dari sirkulasi
sentral, atau tipe serabut otot yang berbeda. Lebih jauh, sensitivitas relatif
terhadap sekelompok otot mungkin bergantung pada pemilihan pelumpuh
otot. Secara umum, diafragma, rahang, laring, dan otot-otot wajah
(m.orbicularis oculi) berespons dan pulih lebih cepat dari relaksasi otot
dibanding ibu jari. Muskulatur glotis juga cukup resisten terhadap blokade
yang seringkali terbukti selama laringoskopi. ED95 otot-otot laring hampir
dua kali m.adductor pollicis. Kondisi intubasi yang baik biasanya
dihubungkan dengan respons kedutan m.orbicularis oculi yang hilang.
Dengan pertimbangan banyak faktor yang mempengaruhi durasi
dan magnitudo relaksasi otot, maka respons individu terhadap obat
pelumpuh otot harus dimonitor. Dosis rekomendasi harus dipertimbangkan
sebagai acuan yang membutuhkan modifikasi sesuai dengan kebutuhan
pasien. Sensitivitas yang bervariasi sering ditemukan dalam praktek
sehari-hari.

MACAM MACAM OBAT PELUMPUH OTOT NONDEPOLARISASI


1. Atracurium
Struktur Fisik
Atracurium adalah kelompok kuartener, struktur benzylisoquinoline
membuat cara degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan
gabungan dari 10 stereoisomer.
Metabolisme dan Ekskresi
Atracurium dimetabolisme secara ekstensif sehingga faramkokinetiknya
tidak bergantung pada fungsi ginjal dan hati. Sekitar 10% dari obat ini
diekskresi tanpa dimetabolisme melalui ginjal dan empedu. Dua proses
terpisah berperan dalam metabolisme. Pertama, hidrolisis ester yang
dikatalisis oleh esterase nonspesifik, bukan oleh asetilkolinesterase atau
pseudokolinesterase. Kedua, melalui eliminasi Hoffmann di mana
penghancuran kimia nonenzimatik spontan terjadi pada pH dan suhu
fisiologis.
Dosis
Dosis 0,5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 60 detik untuk
intubasi. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0,25 mg/kgBB,
kemudian dosis inkremental 0,1 mg/kgBB setiap 10 20 menit. Infus 5 10
g/kg/menit dapat menggantikan bolus intermiten secara efektif.
Kebutuhan dosis tidak bervariasi sesuai usia, namun atracurium dapat
bekerja lebih singkat pada anak-anak dan bayi dari pada orang dewasa.
Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL, yag sebaiknya disimpan
pada suhu 28C karena potensinya akan berkurang 5 10% tiap bulan bila
terekspos suhu ruangan. Pada suhu ruangan obat ini harus digunakan dalam
waktu 14 hari untuk menjaga potensi.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Atracurium dapat mencetuskan pelepasan histamin yang bergantung pada
dosis terutama pada dosis di atas 0,5 mg/kgBB.
Hipotensi dan Takikardia
Efek samping kardiovaskuler jarang terjadi kecuali dosis melebihi 0,5
mg/kg diberikan. Atracurium juga dapat menimbulkan penurunan transien
resistensi vaskuler sistemik dan peningkatan indeks kardiak yang tidak
terpengaruh oleh pelepasan histamin. Injeksi lambat meminimalkan efek ini.
Bronkospasme
Atracurium harus dihindari pada pasien dengan asma karena
bronkospasme berat dapat terjadi bahkan pada pasien dengan riwayat asma.
Toksisitas Laudanosine
Laudanosine, amin tersier, adalah produk penghancuran atracurium
melalui eliminasi Hoffmann dan telah dihubungkan dengan eksitasi sistem
saraf pusat, menyebabkan elevasi konsentrasi alveolar minimum dan bahkan
mencetuskan kejang. Semua hal di atas adalah irelevan kecuali pasien
mendapat dosis total yang sangat tinggi atau mengalami kegagalan hati.
Laudanosine dimetabolisme oleh hati dan diekskresi dalam urin dan empedu.
Temperatur dan Sensitivitas pH
Atracurium memiliki metabolisme yang unik sehingga durasi kerja dapat
memanjang akibat hipotermia dan pada cakupan yang lebih sempit oleh
asidosis.
Inkompatibilitas Kimia
Atracurium akan berubah menjadi asam bebas bila dimasukkan melalui
saluran intravena yang mengandung cairan alkali seperti tiopental.
Reaksi Alergi
Reaksi anafilaktoid terhadap atracurium telah dilaporkan meskipun jarang
terjadi. Mekanisme yang diduga berperan adalah imunogenisitas langsung
dan aktivasi imun yang dimediasi acrylate. Reaksi antibodi yang dimediasi
IgE yang melawan senyawa amonium substitusi termasuk pelumpuh otot juga
telah dilaporkan. Reaksi terhadap acrylate, metabolit atracurium dan
komponen struktural dari beberapa membran dialisis juga dilaporkan terjadi
pada pasien yang menjalani hemodialisis.
2. Cisatracurium
Struktur Fisik
Cisatracurium adalah stereoisomer atracurium yang empat kali lebih
poten. Atracurium mengandung sekitar 15% cisatracurium.
Metabolisme dan Ekskresi
Seperti atracurium, cisatracurium mengalami degradasi dalam plasma pada
pH dan suhu fisiologis melalui eliminasi Hoffman yang tidak tergantung
organ. Metabolitnya (acrylate monokuartener dan laudanosine) tidak
memiliki efek blokade saraf-otot intrinsik. Karena potensinya yang besar,
jumlah laudanosine yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan atracurium.
Esterase nonspesifik tidak berperan dalam metabolisme cisatracurium.
Metabolisme dan eliminasi tidak terpengaruh oleh keadaan ginjal maupun
hati. Variasi minor dalam pola farmakokinetik yang berkaitan dengan umur
tidak menyebabkan perubahan signifikan pada durasi kerja.

Dosis
Dosis intubasi adalah 0,1 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan
menghasilkan blokade otot dengan durasi kerja sedang. Rata kecepatan infus
adalah antara 1,0 2,0 g/kg/menit. Potensi cisatracurium sama dengan
vecuronium dan lebih poten dibanding atracurium.
Cisatracurium harus disimpan dalam pendingin (28C) dan harus
digunakan dalam waktu 21 hari bila disimpan pada suhu ruangan.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Tidak seperti atracurium, cisatracurium tidak menyebabkan peningkatan
kadar histamin plasma. Cisatracurium tidak mempengaruhi denyut jantung
atau tekanan darah, juga tidak menimbulkan efek otonom, bahkan pada dosis
setinggi 8 kali ED95.
Efek samping cisatracurium yang berkaitan dengan toksisitas laudanosine
(dengan tingkat yang lebih rendah karena potensinya yang lebih besar),
sensitivitas pH dan suhu, dan inkompatibilitas kimia.

3. Mivacurium
Struktur Fisik
Mivacurium adalah derivat benzylisoquinoline.

Metabolisme dan Ekskresi


Mivacurium, seperti suksinilkolin, dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase dan hanya dimetabolisme secara minimal oleh
kolinesterase asli. Hal ini memungkinkan durasi kerja yang diperpanjang
pada pasien dengan kadar pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen
pseudokolinesterase. Kenyataannya, pasien yang heterozigot untuk gen
atipikal akan mengalami blok 2 kali lebih lama dari durasi normal, di mana
homozigot atipikal akan tetap terparalisis selama berjam-jam. Homozigot
atipikal tidak dapat memetabolisme mivacurium sehingga blokade saraf-otot
dapat berlangsung selama 3 4 jam. Antagonisme farmakologis dengan
inhibitor kolinesterase akan mempercepat pembalikan blokade mivacurium
tepat saat respons terhadap stimulasi saraf menjadi nyata. Edrophonium
membalikkan blokade mivacurium lebih efektif dibanding neostigmine
karena neostigmine menghambat aktivitas kolinesterase plasma. Meskipun
metabolisme dan ekskresi mivacurium tidak bergantung pada ginjal atau hati,
durasi kerja akan memanjang pada pasien dengan gagal ginjal atau hati atau
pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai akibat dari kadar
kolinesterase plasma yang menurun.
Dosis
Dosis intubasi mivacurium adalah 0,15 0,2 mg/kg. Infus menetap untuk
relaksasi intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase tapi dapat
diinisiasi 4 10 g/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang lebih tinggi
dari pada orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat badan, namun
tidak demikian bila berdasarkan luas permukaan tubuh. Mivacurium dapat
bertahan selama 18 bulan bila disimpan pada suhu ruangan.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Mivacurium melepas histamin dalam jumlah yang sama banyak dengan
atracurium. Efek samping kardiovaskuler dapat diminimalkan dengan injeksi
lambat selama 1 menit. Namun, pasien dengan penyakit jantung dapat
mengalami penurunan tekanan darah signifikan yang meskipun jarang dapat
terjadi setelah pemberian dosis lebih besar dari 0,15 mg/kg dengan suntikan
lambat. Waktu onset mivacurium sama dengan atracurium (2-3 menit).
Keuntungan utamanya adalah durasi kerjanya yang singkat (20 30 menit),
yang masih 2 hingga 3 kali lebih lama dibanding blok fase I suksinilkolin,
namun setengah dari durasi atracurium, vecuronium, atau rocuronium. Pada
anak-anak onset lebih cepat dan durasi kerja lebih singkat. Meskipun
pemulihannya cepat, dalam pemberian mivacurium semua pasien harus
dimonitor untuk menentukan apakah pembalikan farmakologis diperlukan.
Durasi kerja mivacurium yang pendek cukup nyata memanjang dengan
pemberian pancuronium.
4. Doxacurium
Struktur Fisik
Doxacurium adalah senyawa benzylisoquinoline yang erat berhubungan
dengan mivacurium dan atracurium.
Metabolisme dan Ekskresi
Relaksans kerja lama dan poten ini mengalami tingkat hidrolisis yang
rendah oleh kolinesterase plasma. Seperti obat pelumpuh otot kerja lama yang
lain, rute utama eliminasinya adalah melalui ekskresi ginjal. Ekskresi
hepatobiliaris hanya sedikit berperan dalam klirens doxacurium.
Dosis
Kondisi intubasi trakea yang adekuat dalam 5 menit membutuhkan dosis
doxacurium 0,05 mg/kg. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis inisial
0,02 mg/kg diikuti dosis 0,005 mg/kg. Doxacurium dapat diberikan dalam
dosis yang disesuaikan dengan usia pada pasien muda dan orang tua,
meskipun pada orang tua dapat dijumpai durasi kerja yang memanjang.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Doxacurium tidak memiliki efek samping kardiovaskuler dan pelepasan
histamin. Karena potensinya yang lebih besar, doxacurium memiliki onset
kerja yang sedikit lebih lambat dari pada pelumpuh otot nondepolarisasi kerja
lama yang lain (4 6 menit). Durasi kerjanya sama dengan pancuronium
yaitu 60 90 menit.
5. Pancuronium
Struktur Fisik
Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul
asetilkolin yang termodifikasi (pelumpuh otot biskuartener).

Metabolisme
dan Ekskresi

Pancuronium dimetabolisme (deasetilisasi) oleh hati dalam batas tertentu.


Produk metaboliknya memiliki aktivitas blokade saraf-otot. Ekskresi terutama
melalui ginjal (40%), meskipun sebagian dari obat dibersihkan oleh empedu
(10%). Eliminasi pancuronium lambat dan efek blokade saraf-otot
diperpanjang oleh gagal ginjal. Pasien dengan sirosis butuh dosis inisial yang
lebih besar karena ada peningkatan volume distribusi tapi membutuhkan
dosis rumatan yang lebih rendah karena penurunan klirens plasma.
Dosis
Dosis 0,08 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang adekuat
untuk intubasi dalam 2 3 menit. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan
memberikan 0,04 mg/kg dosis inisial diikuti dengan dosis 0,01 mg/kg setiap
20 40 menit.
Anak anak perlu dosis pancuronium yang lebih tinggi. Pancuronium
tersedia dalam larutan 1 atau 2 mg/mL dan disimpan pada suhu 28C tapi
stabil sampai 6 bulan pada suhu ruangan.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Hipertensi dan takikardia
Efek kardiovaskuler disebabkan oleh kombinasi blokade vagal dan
stimulasi simpatis. Stimulasi simpatis adalah kombinasi stimulasi ganglionik,
pelepasan katekolamin dari ujung saraf adrenergik, dan penurunan
pengambilan kembali katekolamin. Pancuronium harus diberikan dengan
hati-hati pada pasien yang dengan peningkatan denyut jantung akan
menimbulkan gangguan (misal penyakit arteri koronari, stenosis hipertrofik
subaortik idiopatik).
Aritmia
Peningkatan konduksi atrioventrikuler dan pelepasan katekolamin
meningkatkan disritmia ventrikuler pada individu yang rentan. Kombinasi
pancuronium, antidepresan trisiklik, dan halotan bersifat aritmogenik.
Reaksi Alergi
Pasien yang hipersensitif pada bromida mungkin mengalami reaksi alergi
pancuronium (pancuronium bromida).

6. Pipecuronium
Struktur Fisik
Pipecuronium memiliki struktur steroid yang sangat mirip dengan
pancuronium.

Metabolisme
dan Ekskresi
Metabolisme hanya sedikit berperan pada pipecuronium. Eliminasi
bergantung pada ekskresi yang paling utama ginjal (70%) dan biliaris (20%).
Durasi kerja meningkat pada pasien gagal ginjal, tapi tidak pada insufisiensi
hepatik.
Dosis
Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis
intubasi adalah antara 0,06 0,1 mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat
dikurangi sekitar 20% bila dibandingkan dengan pancuronium. Bayi butuh
lebih sedikit pipecuronium pada dasar dosis per kilogram dari pada anak-anak
atau dewasa. Profile farmakologi pipecuronium tidak berubah secara relatif
pada pasien usia lanjut.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Keuntungan utama pipecuronium dibanding pancuronium adalah efek
samping kardiovaskulernya yang kurang karena penurunan ikatan pada
reseptor muskarinik jantung. Seperti relaksans steroid yang lain,
pipecuronium tidak menyebabkan pelepasan histamin. Onset dan durasi kerja
mirip dengan pancuronium.

7. Vecuronium
Struktur Fisik
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener
(pelumpuh otot monokuartener). Sedikit perubahan struktur memberi efek
samping menguntungkan tanpa mempengaruhi potensi.

Metabolisme
dan Ekskresi

Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini sangat
bergantung pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi ginjal.
Vecuronium adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal,
durasi kerjanya akan memanjang dengan sebab yang tidak jelas. Durasi kerja
vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya yang
lebih pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan pancuronium.
Pemberian vecuronium jangka panjang pada pasien yang dirawat dalam
perawatan intensif menyebabkan perpanjangan blokade (sampai beberapa
hari), yang mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi,
perubahan klirens obat, atau perkembangan dari polineuropati. Faktor
risikonya antara lain jenis kelamin wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid
jangka panjang atau dosis tinggi, dan sepsis. Oleh karena itu, pasien-pasien
ini harus dimonitor dengan ketat dan dosis vecuronium harus dititrasi dengan
hati-hati. Pemberian pelumpuh otot jangka panjang dan diikuti dengan
pengurangan ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik postsinaptik yang
lama, dapat menimbulkan keadaan yang mirip denervasi kronik dan disfungsi
reseptor dan paralisis. Efek saraf-otot vecuronium memanjang pada pasien
dengan AIDS. Toleransi terhadap obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga
dapat terjadi setelah pemakaian lama.
Dosis
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya adalah
0,08 0,12 mg/kg. Dosis inisial 0,04 mg/kg diikuti dengan dosis tambahan
0,01 mg/kg setiap 15 20 menit membantu relaksasi intraoperatif. Sebagai
alternatif, infus 1 2 g/g/menit menghasilkan rumatan relaksasi yang baik.
Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial, meskipun dosis
tambahan jarang dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap
vecuronium pada wanita 30% lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan
tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang lebih panjang
(ditemukan juga pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab dari
sensitivitas ini mungkin berhubungan dengan perbedaan jumlah massa lemak
dan otot, ikatan protein, volume distribusi atau aktivitas metabolic. Durasi
kerja vecuronium juga dapat memanjang pada pasien postpartum karena
perubahan dalam aliran darah atau uptake hati.
Vecuronium dikemas dalam bentuk bubuk 10 mg yang direkonstitusi
dengan 5 atau 10 mL air bebas tanpa pengawet sesaat sebelum digunakan.
Vecuronium dan tiopental dapat membentuk presipitat yang dapat
mengobstruksi aliran dalam kanul vena dan dapat menyebabkan emboli paru.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Kardiovaskuler
Hingga dosis 0,28 mg//kg, vecuronium tidak memiliki efek
kardiovaskuler. Potensiasi bradikardia yang diinduksi opioid dapat diamati
pada beberapa pasien.
Gagal Hati
Meskipun bergantung pada ekskresi bilier, durasi kerja vecuronium
biasanya tidak memanjang dengan signifikan pada pasien dengan sirosis,
kecuali diberikan dengan dosis yang lebih tinggi 0,15 mg/kg.

8. Rocuronium
Struktur Fisik
Rocuronium adalah steroid monokuartener analog vecuronium, namun
dirancang untuk memberikan onset kerja yang cepat.

Metabolisme dan
Ekskresi
Rocuronium
tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati dan sedikit
oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak terlalu dipengaruhi oleh penyakit ginjal,
tapi cukup memanjang oleh gagal hati berat dan kehamilan. Rocuronium
tidak memiliki metabolit aktif, dan mungkin merupakan pilihan yang lebih
baik dari pada vecuronium untuk infus yang lama (misal pada unit perawatan
intensif). Pasien usia lanjut dapat mengalami durasi kerja yang memanjang
karena massa hati yang menurun.
Dosis
Rocuronium kurang potent dibanding pelumpuh otot steroid lain. Dosis
untuk intubasi 0,45 0,9 mg/kg i.v dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan.
Dosis yang lebih rendah dari 0,4 mg/kg dapat memungkinkan pembalikan 25
menit setelah intubasi. Rocuronium intramuskuler (1 mg/kg untuk bayi, 2
mg/kg untuk anak-anak) menyebabkan paralisis pita suara dan diafragma
untuk intubasi, namun belum akan terjadi 3 6 menit kemudian (injeksi
deltoideus onsetnya lebih cepat dari pada quadricep) dan dapat dibalikkan
setelah 1 jam.
Infus rocuronium membutuhkan dosis 5 12 g/kg/menit. Rocuronium
durasi kerjanya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Dosis inisial akan
meningkat pada penyakit hati lanjut, kemungkinan akibat volume distribusi
yang lebih besar.

Efek Samping dan Pertimbangan Klinis


Rocuronium pada dosis 0,9 1,2 mg/kg memiliki onset kerja yang
mendekati suksinilkolin (60 90 detik) sehingga cocok sebagai alternatif
untuk induksi urutan cepat, tapi dengan durasi kerja yang jauh lebih panjang.
Durasi kerja sedangnya sebanding dengan vecuronium atau atracurium.
Rocuronium (0,1 mg/kg) adalah obat yang cepat (90 detik) dan efektif
(menurun fasikulasi dan myalgia postoperative) untuk precurarisasi terutama
pada pemberian suksinilkolin. Rocuronium juga memiliki kecenderungan
vagolitik.

Pelumpuh Otot Lain


Pelumpuh otot yang sudah lama seperti tubocurarine, metocurine, gallamine,
alcuronium, rapacuronium, dan decamethonium tidak lagi diproduksi atau
digunakan. Tubocurarine adalah agen pelumpuh otot pertama, yang sering
menyebabkan hipotensi dan takikardia karena melepaskan histamin, memblok
ganglia otonom, dan dapat menimbulkan bronkospasme karena pelepasan
histamin. Metocurine adalah agen yang berhubungan dekat dengan tubocurarine
sehingga memiliki banyak efek samping yang sama. Orang yang alergi iodine
dapat mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap metocurine karena sediaan ini
juga mengandung iodide. Gallamine memiliki sifat vagolitik. Alcuronium adalah
obat nondepolarisasi kerja lama dengan sedikit sifat vagolitik. Rapacuronium
memiliki onset kerja cepat, efek kardiovaskuler minimal, dan durasi kerja yang
pendek. Namun, produk ini ditarik dari peredaran karena terjadi sejumlah kasus
bronkospasme serius yang tidak dapat dijelaskan yang diduga akibat pelepasan
histamin. Decamethonium adalah agen depolarisasi lama.

Pembalikan Blokade Saraf Otot


Pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase,
obat-obat ini akan terdifusi dari NMJ dan dihidrolisis dalam plasma dan hati oleh
enzim yang lain yaitu pseudokolinesterase. Untungnya, proses sangat cepat,
karena tidak ada agen khusus untuk membalikkan blokade agen depolarisasi yang
tersedia.
Agen nondepolarisasi yang hanya sedikit dimetabolisme adalah mivacurium.
Pembalikan blokade pelumpuh otot ini tergantung pada redistribusi, metabolisme
gradual, dan ekskresi pelumpuh otot dari tubuh, atau pemberian agen khusus
untuk membalikkan pasien, misal inhibitor kolinesterase yang menghambat
aktivitas enzim asetilkolinesterase. Inhibisi ini meningkatkan jumlah asetilkolin
pada NMJ dan dapat bersaing dengan agen nondepolarisasi.

Pemilihan Obat
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh onset
kerja, durasi kerja, dan kemungkinan efek samping yang diinduksi oleh obat
karena kerja obat pada tempat lain selain NMJ. Efek samping yang tidak
diharapkan adalah respons kardiovaskuler karena pelepasan histamin yang
dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi benzylisoquinolinium. Onset
yang cepat dan durasi yang singkat seperti yang ditimbulkan oleh suksinilkolin
dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat saat intubasi trakea
merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot. Rocuronium adalah satu-
satunya obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang onset kerjanya singkat
menyerupai suksinilkolin, tapi dengan durasi kerja yang lebih panjang. Jika
diperlukan blokade saraf-otot yang dipertahankan dalam periode tertentu maka
obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah obat pilihan untuk dosis intermiten
atau sebagai infus kontinu. Saat tidak diperlukan onset cepat blokade saraf-otot,
relaksasi otot untuk fasilitasi intubasi trakea dapat dipilih obat pelumpuh otot
nondepolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat
menimbulkan penurunan tekanan darah sistemik yang signifikan akibat pelepasan
histamin (atracurium atau mivacurium) atau dapat meningkatkan denyut jantung
(pancuronium). Efek sirkulasi yang dicetus oleh obat ini biasa dihindari bila
terdapat keadaan seperti hipovolemia, penyakit arteri koroner, atau penyakit katup
jantung. Sebaliknya, bradikardi yang dicetuskan oleh anestetik opioid yang
ditutupi sampai batas tertentu oleh efek peningkatan denyut jantung oleh
pancuronium dan tidak dapat ditutupi oleh obat pelumpuh otot nodepolarisasi
yang tidak memiliki efek sirkulasi (vecuronium, rocuronium, cisatracurium,
doxacurium, pipecuronium).

AGEN Kelompok Senyawa Sifat Waktu Durasi Cara


Farmakologis Onset Kerja Eliminasi
(Menit) (Menit)
Suksinilkolin Dikolin ester Durasi sangat 1-1.5 5-8 Hidrolisis
singkat; oleh plasma
depolarisasi kolinesterase
D- Alkaloid alami Durasi lama; 4-6 80-120 Eliminasi
Tubocurarine (cyclic kompetitif ginjal; klirens
benzylisoquinoline) hati
Atracurium Benzylisoquinoline Durasi 2-4 30-60 Degradasi
(TRACRIUM) sedang; Hoffman;
kompetitif Hidrolisis
oleh plasma
kolinesterase,
eliminasi
ginjal
Doxacurium Benzylisoquinoline Durasi lama; 4-6 90-120 Eliminasi
(NUROMAX) kompetitif ginjal
Mivacurium Benzylisoquinoline Durasi 2-4 12-18 Hidrolisis
(MIVACRON) singkat; oleh plasma
kompetitif kolinesterase
Pancuronium Ammonio steroid Durasi lama; 4-6 120- Eliminasi
(PAVULON) kompetitif 180 ginjal
Pipecuronium Ammonio steroid Durasi lama; 2-4 80-100 Eliminasi
(ARDUAN) kompetitif ginjal;
metabolisme
hati dan
klirens
Rocuronium Ammonio steroid Durasi 1-2 30-60 Metabolisme
(ZEMURON) sedang; hati
kompetitif
Vecuronium Ammonio steroid Durasi 2-4 60-90 Metabolisme
(NORCURON) sedang; hati dan
kompetitif klirens;
Eliminasi
ginjal

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Neuromuscular blocking agents.
In: Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw Hills Company. 2006.
2. White PF, Katzung BG. Skeletal muscle relaxants. In: Basic and clinical
pharmacology. 10th ed. McGraw Hills Company. 2007.
3. Francois D, Bevan DR. Pharmacology of muscle relaxants and their
antagonists. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia.
6th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
4. Stoelting RK. Neuromuscular blocking drugs. In: Pharmacology and
physiology in anaesthetic practice. 4th ed. Philadephia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2006.
5. Taylor P. Agents acting at the neuromuscular junction and autonomic ganglia.
In: Brunton LL, ed. Goodman & Gilmans the pharmacological basis of
therapeutics. 11th ed. New York: McGraw Hills Company. 2006.

OBAT-OBAT SEDATIF DAN HIPNOTIK

Sedatif dan Hipnotik

Sedatif dan hipnotik merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf


pusat (SSP). Efek sedatif hipnotik bergantung pada dosis. Mulai dari yang
ringan yaitu menenangkan atau menyebabkan kantuk, menidurkan serta hingga
yang berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi, koma, bahkan kematian.

Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental, menurunkan,


respon terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat hipnotik
menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur seperti
tidur fisiologis.

Terdapat 3 golongan agen sedatif hipnotik, yaitu :

1. Benzodiazepine

Golongan nebzodiazepine menurut lama waktu kerjanya dapat dibagi


menjadi 4 golongan senyawa: bekerja sangat cepat dengan t 1/2 kurang dari
2 jam ( midazolam, tiopental), bekerja cepat dengan t1/2 kurang dari 6 jam
(triazolam, non-benzodiazepine; zolpidem, zolpiklon), bekerja sedang
dengan t1/2 antara 6 24 jam (estazolam, temazepam), bekerja lambat
dengan t1/2 lebih dari 24 jam (flurazepam, diazepam, quazepam).

Mekanisme kerja

Benzodiazepine berinteraksi dengan reseptor penghambat


neurotransmiter yang diaktifkan oleh asam gamma amino butirat
(GABA). Benzodiazepine bekerja pada reseptor GABA A.
Benzodiazepine berikatan langsung pada sisi spesifik () reseptor
GABAA (reseptor kanal ion klorida), sedangkan GABA berikatan pada
subunit atau . Pengikatan ini menyebabkan pembukaan kanal
klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam sel,
menyebabkan peningkatan potensial elektrik sepanjang membran sel
dan menyebabkan sel sukar tereksitasi. Benzodiazepine tidak secara
langsung mengaktifkan reseptor GABAA tapi membutuhkan GABA
untuk mengekspresikan efeknya. Ikatan benzodiazepine dengan
reseptor dapat bekerja sebagai agonis,antagonis atau invers agonis
tergantung senyawa yang terikat.

Farmakokinetik

Semua benzodiazepine dalam bentuk non-ionik memilkiki


koefisien distribusi lemak air yang tinggi, namun sifat lipofiliknya
bervariasi bergantung pada polaritas dan elektronegativitas berbagai
senyawa benzodiazepine.

Benzodiazepine diabsorbsi secara sempurna saat melewati traktus


gastro intestinal, kecuali klorazepat. Klorazepat baru diabsorbsi
sempurna setelah didekarboksilasi dalam cairan lambung menjadi N-
desmetil diazepam.

Benzodiazepine dimetabolisme secara ekstensif oleh kelompok


enzim sitokrom P450 di hati. Beberapa benzodiazepine seperti
oksazepam, dikonjugasi langsung dan tidak dimetabolisme oleh enzim
tersebut. Metabolisme benzodizepine terjadi dalam tiga tahap;
desalkilasi, hidroksilasi, konjugasi.

Metabolit aktif benzodizepine umumnya dibiotransformasi lebih


lambat dari senyawa asalnya, sehingga lama kerja benzodiazepine
tidak sesuai dengan waktu paruh eliminasi obat asalnya, hal ini
memperpanjang efek terapi.

Kadar benzodiazepine pada cairan serebrospinal (CSF) kira kira


sama dengan kadar obat bebas di dalam plasma. Pemberian secara IV,
ambilan (up take) ke dalam otak cepat, sehingga efek pada SSP relatif
singkat.

Ekskresi benzodiazepine dapat melewati ginjal, air susu, dan


plasenta.

Farmakodinamik :

Pada sistem susunan saraf pusat, benzodiazepine tidak mampu


menghasilkan tingkat deprsei saraf sekuat golongan barbiturat atau
anestesi umum. Semua benzodiazepin memiliki profil farmakologi
yang hampir sama, namun efek utamanya bervariasi. Peningkatan
dosis benzodiazepine dapat menyebabkan depresi SSP yang
meningkat dari sedasi ke hipnosis, dan berlanjut ke stupor, keadaan ini
sering dinyatakan sebagai efek anestesi namun kesadaran pasien tetap
bertahan dan tidak tercapai relaksasi otot yang diperlukan untuk
pembedahan. Pada dosis preanastetik, benzodiazepine menimbulkan
anamnesia anterograd.

Pada sistem respirasi, dosis hipnotik tidak berefek pada orang


normal. Pada dosis yang lebih tinggi, benzodiazepine mendepresi
ventilasi alveoli dan menyebabkan asidosis respiratoar.

Benzodiazepine dapat menyebabkan apnea selama anestesi atau


saat pemberian bersama opioat. Pada pasien apnea saat obstructive
sleep apnea (tidur karena sumbatan), efek hipnotiknya dapat
menurunkan tonus otot pada saluran napas atas dan meningkatkan
terjadinya episode apnea pada hipoksia alveolar, hipertensi pulmonaris
dam pembebanan ventrikular jantung. Pemberian benzodiazepine pada
anak-anak dan individu yang mempunyai kelainan fungsi hati perlu
diperhatikan.

Pada sistem kardiovaskular, efek bevzodiazepine umumnya ringan


kecuali pada intoksikasi berat. Pada dosis preanestesi, dapat
menurunkan tekanan darah dan menaikkan denyut jantung.

Indikasi

Benzodiazepine dapat digunakan untuk berbagai indikasi, antara


lain: pengobatan insomnia, ansietas, kaku otot, medikasi preanestesi,
dan anestesi. Secara umum penggunaan terapi benzodiazepine
bergantung pada waktu paruh, dan tidak selalu sesuai dengan indikasi
yang dipasarkan. Penggunaan sebagai hipnotik menggunakan
benzodiazepine dengan waktu paruh pendek, walaupun memiliki
kelemahan yaitu peningkatan penyalahgunaan dan beratnya gejala
putus obat setelah penghentian penggunaan secara kronik.

Kontraindikasi

Benzodiazepine dikontraindikasikan pada pasien yang secara reguler


tidur mendengkur, karena dapat mengubah penyumbatan jalan napas
parsial menjadi OSA (obstructive sleep apnea).

Efek samping

Benzodiazepine dosis hipnotik pada kadar tinggi dapat


menimbulkan efek samping, antara lain : kepala ringan, malas, sakit
kepala, pandangan kabur, vertigo, miam, muntah, diare, nyeri dada,
nyeri sendi, lamban, inkoordinasi motorik, ataksia, gangguan fungsi
mental dan psikomotorik, gangguan koordinasi berpikir, disartria, dan
amnesia anterograd. Efek residual terliahat pada beberap
benzodiazepine dan berhubungan erat dengan dosis yang diberikan.
Intensitas dan insiden intoksikasi SSP umumnya meningkat sesuai
dengan usia pasien, farmakokinetik dan farmakodinamik obat.

2. Barbiturat
Mekanisme

Barbiturat bekerja pada seluruh SSP walaupun pada setiap tempat


tidak sama kuatnya. Dosis nonanestesi menekan respon pasca sinapsis.
Penghambatan hanya terjadi pada sinapsis GABA-nergik. Walau
demikian efek yang terjadi tidak semuanya melalui GABA sebagai
mediator. Barbiturat membantu kerja GABA, namun pada dosis lebih
tinggi bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis
tinggi dapat menimbulkan depresi SSP yang berat.

Farmakodinamik
- Susnan saraf pusat

Efek utama barbiturt adalah depresi SSP. Semua tingkat depresi


tercapai ; sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anestesi, koma, sampai
kematian. Barbiturat mengurangi rasa nyeri dengan disertai
hilangnya kesadaran, dan dosis keci barbiturat dapat meningkatkan
reaksi terhadap rangsangan nyeri.

- Efek pada tingkatan tidur

Efek hipnotik barbiturat meningkatkan total lama waktu tidur dan


mempengaruhi tingkatan tidur yang bergantung pada dosis.
Barbiturat mengurangi masa tidur laten, jumlah terbangun, dan
lama tidur REM serta tidur gelombang pendek.

- Toleransi

Toleransi farmakodinamik terjadi dalam penurunan efek, dan


berlangsung lebih lama daripada toleransi farmakokinetik.
Toleransi terhadap efek sedasi-hipnotik terjadi lebih cepat dan kuat
daripada efek antikonvulsi.

Farmakokinetik
Barbiturat yang diberikan secara oral diabsorbsi secara cepat dan
sempurna. Barbiturat betuk garam natrium diabsorbsi lebih cepat
daripada bentuk asam bebasnya.

Barbiturat didistribusi secara luas dan melewati plasenta.


Barbiturat yang sangat larut lemak, kadarnya dalam plasma dan otak
menurun secara cepat. Setelah depot lemak jenuh, terjadi redistribusi
ke aliran sistemik, akibatnya pemulihan setelah pemberian barbiturat
sangat larut lemak memerlukan waktu yang lama.

Barbiturat yang kurang larut lemak dimetabolisme hampir


sempurna di hati sebelum diekskresikan lewat ginjal dan
diekskresikan dalam urin sebagai obat bebas. Namun, hampir semua
aprobartial dan 25% fenobarbital diekskresi ke dalam urin dalam
bentuk utuh.

Waktu paruh meningkat selam kehamilan dan penyakit hati


kronik, terutama sirosis. Barbiturat sebagai sedatif dan hipnotik
memiliki waktu paruh yang cukup singkat (10-70 jam) untuk dapat
dieliminasi secara sempurna dalam 24 jam.

Indikasi

Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatit telah menurun


karena efeknya terhadap SSP kurang spesifik. Barbiturat masih
digunakan pada terapi darurat kejang, seperti tetanus, eklamsia,
epilepsi, perdarahan serebral, dan keracunan konvulsan. Sebagai
anestetik IV menggunakan barbiturat yang bekerja sangat singkat.
Barbiturat juga digunakan pada narkoanalisis dan narkoterapi di klinik
psikiatri. Fenorbartial digunakan untuk pengibatan hiperbilirubinemia
dan kernicetus pada neonatus.

Kontraindikasi

Barbiturat tidak boleh diberikan pada pasien alergi barbiturat,


penyakit hati, ginjal, hipoksia, dan penyakit parkinson, serta pasien
psikoneuritik tertentu karena dapat menambah kebingungan di malam
hari pada pasien usia lanjut.

Efek samping
- Hangover / after effects.

Gejala ini merupakan residu depresi SSP setelah hipnotik berakhir.


Dapat terjadi setelah beberapa hari dari pemberian obat
dihentikan. Efek residu berupa mual, muntah, vertigo, diare, dan
kadang muncul kelainan emosional serta fobia bertambah hebat

- Nyeri

Barbiturat dapat menimbulkan mialgia, neuralgia, artragia,


terutama pada pasien psikoneuretik yang menderita insomnia.

- Hipersensitivitas

Reaksi alergi terjadi pad individu yang menderita asma, urtikaria,


sngiodema. Semua gejala hipersensitivitas dapar terjadi, terutama
dermatitis.

- Interaksi obat

Barbiturat secara kompetitif menghambat metabolisme beberapa


obat. Bagian terbanyak interaksi barbiturat ialah induksi enzim
mikrosomal hati yang mengakibatkan peningkatan eliminasi
banyak obat dan senyawa endogen lain. Metabolisme vitamin D
dan K ditingkatkan, yang kemudian menahan mineralisasi tulang
dan menurunkan absorbsi Ca2+ pada pasien yang diberi
fenorbatital, penyebab gangguan pembekuan darah pada neonatus.
Induksi enzim di hati memacu metabolisme hormon steroid
endogen, hal ini mengganggu keseimbangan hormonal dan obat
kontrasepsi oral, yang kemudian menyebabkan kehamilan yang
tidak didinginkan.

3. Sedatif-hipnotik golongan lain


Obat sedatif-hipnotik golongan lain, antara lain: paraldehid, kloral
hidrat, etklorvinol, glutetimid, metiprilon, etinamat, dan meprobamat.
Semua obat tersebut memiliki efek farmakologi yang menyerupai
barbiturat kecuali meprobamat. Obat obat tersebut merupakan depresan
SSP yang dapat menghasilkan efek hipnotik dengan sedikit atau tanpa efek
analgetik. Penggunaan obat tersebut dapat menyebabkan toleransi dan
ketergantungan fisik. Meprobamat memiliki sifat yang menyerupai
benzodiazepine, tetapi memiliki potensi kuat untuk disalahgunakan dan
antiansietasnya kurang efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Universitas Indonesia, Farmakologi dan Terapi ed.5, 2007, Jakarta: Gaya baru
43

Anda mungkin juga menyukai