PENDAHULUAN
Obat-obat yang mempengaruhi otot skeletal berfungsi sebagai 2 kelompok
obat yang sangat berbeda. Pertama, kelompok yang digunakan selama prosedur
pembedahan dan unit perawatan intensif untuk menghasilkan efek paralisis pada
pasien yang membutuhkan bantuan ventilator (pelumpuh otot) dan kelompok lain
yang digunakan untuk mengurangi spastisitas pada sejumlah kelainan neurologis
(spasmolitik). Obat-obat pelumpuh otot bekerja pada transmisi neuromuscular
end-plate dan menurunkan aktivitas sistem saraf pusat. Golongan ini sering
digunakan sebagai obat tambahan selama anestesi umum untuk memfasilitasi
intubasi trakea dan mengoptimalkan proses pembedahan dengan menimbulkan
imobilitas dan pemberian ventilasi yang adekuat. Obat-obat spasmolitik biasa
disebut pelumpuh otot kerja pusat dan digunakan terutama untuk menangani nyeri
punggung kronis dan kondisi fibromialgia.
Gambar 1.
Struktur NMJ
Struktur Kimia
Semua obat pelumpuh otot memiliki kemiripan struktur dengan
asetilkolin. Sebagai contoh, suksinilkolin adalah dua molekul asetilkolin yang
berikatan pada kedua ujungnya. Sebaliknya, obat-obat nondepolarisasi (misal
pancuronium) mempunyai struktur ganda asetilkolin dalam satu dari dua tipe
sistem cincin besar dan semi-kaku. Ciri kimiawi lain yang dimiliki oleh semua
pelumpuh otot adalah keberadaan satu atau dua atom amonium kuartener yang
memberi muatan positif pada nitrogen untuk berikatan pada reseptor nikotinik
membuat obat-obat ini sulit larut dalam lemak dan menghambat entrinya ke
sistem saraf pusat.
Mekanisme Kerja
Seperti yang telah disebut sebelumnya, obat pelumpuh otot depolarisasi
sangat mirip dengan asetilkolin dan dapat segera berikatan pada reseptor
asetilkolin dan membentuk potensial aksi otot. Namun, obat-obat ini tidak
dimetabolisme oleh asetilkolinesterase dan konsentrasinya dalam celah sinaptik
tidak turun dengan cepat sehingga memperpanjang depolarisasi end-plate otot.
Depolarisase end-plate secara kontinu menimbulkan relaksasi otot karena
pembukaan lower gate di sekitar persimpangan channel natrium sangat singkat.
Setelah eksitasi awal dan pembukaan, channel natrium akan menutup dan tidak
dapat membuka kembali sampai repolarisasi end-plate. End-plate tidak dapat
berepolarisasi sepanjang pelumpuh otot depolarisasi terus mengikatkan diri pada
reseptor asetilkolin; disebut blok fase I.
Setelah beberapa waktu, pemanjangan depolarisasi end-plate dapat
menyebabkan perubahan ionik dan konformasional di dalam reseptor asetilkolin,
inisiasi depolarisasi end-plate akan menurun dan membran mengalami
repolarisasi. Meskipun membran mengalami repolarisasi, membran tidak dapat
dengan mudah mengalami depolarisasi lagi karena telah mengalami desensitisasi.
Mekanisme fase desensitisasi tidak diketahui, namun beberapa bukti
mengindikasikan bahwa blok channel mungkin lebih penting dari pada aksi
agonis pada reseptor dalam fase II aksi blok suksinilkolin. Blok fase II secara
klinis menyerupai blok obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi mengikat diri ke reseptor asetilkolin
tapi tidak mampu menginduksi perubahan konformasional yang dibutuhkan untuk
pembukaan channel. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan
reseptornya, tidak tercetus potensial end-plate. Blokade saraf-otot terjadi bila
hanya satu subunit yang diblok. Oleh sebab itu, obat pelumpuh otot depolarisasi
bekerja sebagai agonis reseptor, sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi
berfungsi sebagai antagonis kompetitif.
Mekanisme Nonklasik Blokade Saraf-Otot
Beberapa obat mungkin dapat mengganggu fungsi reseptor asetilkolin
tanpa bertindak sebagai agonis ataupun antagonis. Obat-obat ini mengganggu
fungsi normal tempat ikatan pada reseptor asetilkolin atau pada pembukaan dan
penutupan reseptor channel. Obat-obat ini termasuk agen anestetik inhalasi,
anestetik lokal, dan ketamin. Membran lipid reseptor asetilkolin adalah tempat
kerja agen yang penting.
Obat-obat tertentu juga dapat menyebabkan penutupan ataupun
pembukaan blokade channel. Selama blokade channel yang tertutup, obat-obat ini
secara fisik menyumbat channel, mencegah kation lewat baik saat asetilkolin
sudah mengaktivasi reseptor ataupun belum. Pembuka blokade channel digunakan
secara dependen karena obat-obat ini memasuki dan mengobstruksi channel
reseptor asetilkolin hanya setelah dibuka oleh ikatan asetilkolin. Relevansi klinis
dari blokade channel adalah bahwa peningkatan konsentrasi asetilkolin dengan
inhibitor kolinesterase tidak dapat mengatasi blokade saraf-otot. Obat-obat yang
dapat menimbulkan blokade channel termasuk neostigmin, antibiotik tertentu,
kokain, dan kuinidin.
Reseptor asetilkolin nikotinik prejunksional telah diindentifikasi pada
ujung saraf dari NM. Meskipun peran fisiologisnya masih belum jelas, aksi
prejunksional untuk beberapa obat pelumpuh otot mungkin signifikan.
Dosis
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV.
Dosis tersebut setara untuk 3,5 4 kali ED95. Secara konsep, pemberian dosis
1mg/kgBB pada pasien yang terpreoksigenasi akan dihubungkan dengan nafas
spontan sebelum hipoksemia arteri signifikan. Pernafasan spontan terjadi dalam 5
menit setelah paralisis akibat pemberian suksinilkolin. Durasi rata-rata sebelum
mencapai 90% tingkat kedutan setelah pemberian 1 mg/kgBB adalah lebih besar
dari 10 menit. Dengan demikian, diperkirakan orang dewasa yang sudah
dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea sebelum saturasi oksigen arteri
menurun ke 90%.
Dosis dapat bervariasi antara 0,5 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1
mg/kgBB tidak mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau
pernafasan spontan. Selain itu, pada keadaan di mana blokade saraf-otot penuh
sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB masih tepat.
Durasi kerja suksinilkolin yang singkat (3 5 menit) disebabkan hidrolisis
oleh kolinesterase plasma (pseudokolinesterase). Kolinesterase plasma disintesis
di hati dan merupakan glikoprotein tetrametrik mengandung 4 subunit identik
dengan masing-masing satu tempat katalitik aktif. Metabolit suksinilkolin adalah
suksinilmonokolin dengan potensi 1/20 1/80 suksinilkolin. Plasma kolinesterase
mempengaruhi durasi kerja suksinilkolin karena memiliki kapasitas yang besar
untuk menghidrolisis suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga hanya sedikit
fraksi dosis IV awal yang benar-benar mencapai NMJ.
Efek samping
Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin antara lain:
1) aritmia jantung, 2) hiperkalemia, 3) mialgia, 4) mioglobinuria, 5) peningkatan
tekanan intragastrik, 6) peningkatan tekanan intraokuler, 7) peningkatan tekanan
intrakranial, dan 8) kontraksi otot terus menerus. Efek samping ini dapat
membatasi bahkan merupakan kontraindikasi pemberian suksinilkolin.
1. Aritmia Jantung
Sinus bradikardi, junctional rhythm, dan bahkan sinus arrest dapat
terjadi setelah pemberian suksinilkolin. Efek kardiak ini mencerminkan
efek suksinilkolin pada reseptor kolinergik muskarinik di mana obat ini
memiliki efek fisiologis yang sama dengan asetilkolin. Disritmia kardiak
paling sering terjadi setelah pemberian dosis kedua yang kira-kira
diberikan 5 menit setelah dosis pertama. Hal ini diduga akibat kerja
metabolit suksinilkolin (suksinilmonokolin dan kolin). Pemberian atropin
dengan dosis 6 g/kg IV, tidak mencegah penurunan denyut jantung
sebagai respons terhadap dosis kedua suksinilkolin.
Sebaliknya, efek suksinilkolin menyerupai efek fisiologis
asetilkolin pada pada sistem saraf otonom. Efeknya adalah stimulasi
ganglionik, yaitu peningkatan denyut jantung dan tekanan darah sistemik.
2. Hiperkalemia
Pemberian suksinilkolin dapat menimbulkan hiperkalemia pada
pasien dengan (a) distrofi otot yang tidak tampak secara klinis, (b) luka
bakar tingkat tiga yang tidak sembuh, (c) atrofi otot skeletal akibat
denervasi, (d) trauma otot skeletal berat, dan (e) lesi neuron motorik atas.
Infeksi abdomen berat telah dikaitkan dengan pelepasan kalium yang
diinduksi suksinilkolin. Potensi pelepasan kalium yang eksesif setelah
denervasi dapat berkembang dalam 96 jam dan bertahan sampai batas
waktu tak tentu sekitar 6 bulan atau lebih lama. Premedikasi dengan dosis
subparalisis obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak mempengaruhi
magnitudo pelepasan kalium. Hiperkalemia yang telah ada seperti pada
gagal ginjal dan tanpa disertai paralisis otot skeletal tidak dapat
dihubungkan dengan peningkatan risiko pelepasan kalium akut setelah
pemberian dosis intubasi suksinilkolin.
Pemberian suksinilkolin pada anak laki-laki dengan miopati yang
belum terdiagnosis dapat mencetuskan rhabdomiolisis, hiperkalemia, dan
cardiac arrest. Hal ini disebabkan diagnosis distrofi otot Duchenne baru
dapat dilakukan pada usia 2 6 tahun. Pada distrofi otot Becker, gejala
klinisnya lebih ringan sehingga menunda waktu diagnosis. Oleh karena
itu, klinisi lebih suka menghindari pemakaian suksinilkolin pada pasien
pediatrik bila respons yang hampir sama dapat dicapai dengan obat
pelumpuh otot nondepolarisasi.
3. Mialgia
Mialgia otot skeletal post operasi, yang biasa timbul pada otot
leher, punggung dan abdomen, dapat terjadi setelah pemberian
suksinilkolin, khususnya dewasa muda setelah menjalani prosedur bedah
minor. Mialgia yang terlokasi di otot leher dianggap sebagai faringitis oleh
pasien dan dihubungkan dengan intubasi trakea oleh anestesiologis.
Mialgia sendiri diduga terjadi akibat kontraksi otot skeletal yang tidak
sinkron serta dikaitkan dengan depolarisasi umum. Pemberian obat
pelumpuh otot nondepolarisasi mencegah atau mengurangi mialgia setelah
pemberian suksinilkolin.
4. Mioglobinuria
Kerusakan pada otot skeletal ditandai dengan mioglobinuria,
khususnya pasien pediatrik. Dugaan mioglobinuria menggambarkan
kerusakan otot yang dicetuskan oleh fasikulasi.
5. Peningkatan Tekanan Intragastrik
Peningkatan tekanan intragastrik dapat berhubungan dengan
intensitas fasikulasi otot skeletal yang dicetuskan oleh suksinilkolin.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian obat pelumpuh otot
nondepolarisasi dosis nonparalisis.
6. Peningkatan Tekanan Intraokuler
Suksinilkolin maksimum menaikkan tekanan intraokuler dalam 2
4 menit setelah pemberian. Peningkatan tekanan intraokuler ini bersifat
transien hanya berlangsung selama 5 10 menit. Mekanisme terjadi
peningkatan tekanan intraokuler masih belum diketahui meski kontraksi
otot ekstraokuler dengan distorsi dan kompresi bola mata telah lama
dianggap sebagai penyebab perubahan ini. Peningkatan tekanan
intraokuler terjadi akibat aksi sikloplegik suksinilkolin dengan
pendalaman ruang anterior dan peningkatan resistensi aliran keluar
aqueous humor, sedikit peningkatan volume darah koroid dan peningkatan
tekanan vena sentral.
7. Peningkatan Tekanan Intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial setelah pemberian suksinilkolin
pada pasien dengan tumor intrakranial atau trauma kepala belum diamati
secara konsisten.
8. Kontraksi Otot Terus Menerus
Relaksasi otot rahang yang tidak sempurna dan rigiditas masseter
setelah pemberian halotan-suksinilkolin cukup sering terjadi pada anak-
anak dengan insidens 4,4% dari jumlah pasien dan dianggap sebagai
respons normal. Kesulitan yang timbul adalah rigiditas otot rahang sebagai
respons normal tidak mudah dibedakan dengan rigiditas otot rahang akibat
hipertermia malignan.
Spasme otot skeletal juga dapat terjadi pada pemberian
suksinilkolin pada pasien dengan kongenital miotonia atau distrofi
miotonia. Kontraksi yang terus-menerus dapat mempengaruhi ventilasi
paru dan membahayakan hidup.
Obat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama,
kerja sedang, dan kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih,
metabolisme, dan klirens dipengaruhi oleh keputusan klinis untuk memilih satu
obat dibanding obat yang lain. Berbagai variasi respons yang dicetus oleh obat
pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi karena perbedaan farmakokinetik.
Intubasi
Tidak satu pun dari obat pelumpuh otot yang tersedia saat ini menyamai
onset cepat atau durasi kerja singkat suksinilkolin. Namun, onset obat pelumpuh
otot dapat dipercepat dengan menggunakan dosis yang lebih besar atau dosis
awal. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu. Satu sampai dua kali
dosis ED95 biasa dipakai untuk intubasi. Meskipun dengan dosis intubasi yang
lebih besar mempercepat onset, namun dapat mengeksaserbasi efek samping dan
memperpanjang durasi blokade. Sebagai contoh dosis 0,15 mg/kgBB
pancuronium dapat memberi kondisi intubasi dalam 90 detik, tapi akan timbul
hipertensi dan takikardia yang lebih nyata- dan blok yang ireversibel selama lebih
dari 60 menit. Konsekuensi dari durasi kerja yang panjang adalah kesulitan yang
terjadi dalam membalikkan blokade secara keseluruhan, khususnya pada pasien
usia tua dan mereka yang menjalani pembedahan abdomen. Menurut aturan
umum, semakin poten obat pelumpuh otot nondepolarisasinya, semakin panjang
kecepatan onsetnya, namun potensi yang lebih besar membutuhkan dosis yang
lebih kecil, yang kemudian akan menurunkan pengantaran obat ke NMJ.
Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan
penggunaan dosis awal. Secara teoritis pemberian 10 15% dari dosis intubasi
sebelum induksi akan membantu penempatan cukup banyak reseptor sehingga
paralisis akan cepat terjadi saat relaksans yang seimbang diberikan. Penggunaan
dosis awal dapat memberikan kondisi yang sesuai untuk intubasi dalam waktu 60
detik pemberian rocuronium atau 90 detik setelah pemberian obat nondepolarisasi
kerja sedang lain. Dosis awal biasanya tidak mencapai paralisis yang signifikan
secara klinis, yang membutuhkan sekitar 75 80% reseptor yang terblok (batas
aman saraf otot). Pada beberapa pasien, dosis awal menempati cukup banyak
reseptor untuk membuat distres, dispneu, diplopia, atau disfagia; pada keadaan
demikian, pasien harus ditenangkan dan induksi anestesi harus dilanjutkan tanpa
menunda. Dosis awal dapat menyebabkan deteriosasi signifikan dalam fungsi
respirasi (misal penurunan kapasitas vital paksa) dan dapat menuju desaturasi
oksigen pada pasien dengan cadangan paru terbatas. Efek negatif ini sering terjadi
pada pasien usia tua.
Perlu diingat bahwa kelompok otot memiliki variasi dalam sensitivitas
obat pelumpuh otot. Sebagai contoh, otot-otot laring yang sangat penting dalam
intubasi pulih dari blokade lebih cepat dari pada m. adductor pollicis yang
dimonitor oleh stimulator saraf perifer.
Mencegah Fasikulasi
Untuk mencegah fasikulasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi obat
pelumpuh otot nondepolarisasi 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin.
Meskipun sebagian besar obat nondepolarisasi dapat digunakan untuk tujuan ini,
tubocurarine dan rocuronium adalah yang paling baik efikasinya. Karena terdapat
antagonisme antara sebagian besar obat nondepolarisasi dengan fase I blok, dosis
suksinilkolin yang berikutnya harus dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.
Pelepasan Histamin
Pelepasan histamin dari sel mast dapat berakibat bronkospasme, flushing
kulit, dan hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Baik atracurium maupun
mivacurium adalah dua agen yang dapat mencetus pelepasan histamin, khususnya
pada dosis yang lebih tinggi. Penyuntikan lambat dan premedikasi antihistamin
H1 dan H2 mengurangi efek samping ini.
Metabolisme di Hati
Hanya pancuronium dan vecuronium yang dimetabolisme secara
signifikan oleh hati. Metabolit yang aktif berkontribusi dalam efek klinis kedua
agen tersebut. Vecuronium dan rocuronium sangat bergantung pada eksresi
empedu. Secara klinis, gagal hati memperpanjang blokade pancuronium dan
rocuronium, dengan efek yang lebih sedikit pada vecuronium dan tanpa efek pada
pipecuronium. Atracurium, cisatracurium, dan mivacurium adalah agen yang
dimetabolisme secara ekstensif, namun bergantung pada mekanisme
ekstrahepatik. Penyakit hati berat tidak mempengaruhi klirens atracurium ataupun
cisatracurium, namun penurunan kadar pseudokolinesterase mungkin dapat
memperlambat metabolisme mivacurium.
Ekskresi Renal
Doxacurium, pancuronium, vecuronium, dan pipecuronium sebagian
diekskresi oleh ginjal dan kerjanya lebih panjang pada pasien dengan gagal ginjal.
Eliminasi atracurium, cisatracurium, mivacurium, dan rocuronium tidak
bergantung pada fungsi ginjal.
Dosis
Dosis intubasi adalah 0,1 0,15 mg/kgBB dalam 2 menit dan
menghasilkan blokade otot dengan durasi kerja sedang. Rata kecepatan infus
adalah antara 1,0 2,0 g/kg/menit. Potensi cisatracurium sama dengan
vecuronium dan lebih poten dibanding atracurium.
Cisatracurium harus disimpan dalam pendingin (28C) dan harus
digunakan dalam waktu 21 hari bila disimpan pada suhu ruangan.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Tidak seperti atracurium, cisatracurium tidak menyebabkan peningkatan
kadar histamin plasma. Cisatracurium tidak mempengaruhi denyut jantung
atau tekanan darah, juga tidak menimbulkan efek otonom, bahkan pada dosis
setinggi 8 kali ED95.
Efek samping cisatracurium yang berkaitan dengan toksisitas laudanosine
(dengan tingkat yang lebih rendah karena potensinya yang lebih besar),
sensitivitas pH dan suhu, dan inkompatibilitas kimia.
3. Mivacurium
Struktur Fisik
Mivacurium adalah derivat benzylisoquinoline.
Metabolisme
dan Ekskresi
6. Pipecuronium
Struktur Fisik
Pipecuronium memiliki struktur steroid yang sangat mirip dengan
pancuronium.
Metabolisme
dan Ekskresi
Metabolisme hanya sedikit berperan pada pipecuronium. Eliminasi
bergantung pada ekskresi yang paling utama ginjal (70%) dan biliaris (20%).
Durasi kerja meningkat pada pasien gagal ginjal, tapi tidak pada insufisiensi
hepatik.
Dosis
Pipecuronium sedikit lebih poten dibanding pancuronium dan dosis
intubasi adalah antara 0,06 0,1 mg/kg. Dosis relaksasi rumatan dapat
dikurangi sekitar 20% bila dibandingkan dengan pancuronium. Bayi butuh
lebih sedikit pipecuronium pada dasar dosis per kilogram dari pada anak-anak
atau dewasa. Profile farmakologi pipecuronium tidak berubah secara relatif
pada pasien usia lanjut.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Keuntungan utama pipecuronium dibanding pancuronium adalah efek
samping kardiovaskulernya yang kurang karena penurunan ikatan pada
reseptor muskarinik jantung. Seperti relaksans steroid yang lain,
pipecuronium tidak menyebabkan pelepasan histamin. Onset dan durasi kerja
mirip dengan pancuronium.
7. Vecuronium
Struktur Fisik
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener
(pelumpuh otot monokuartener). Sedikit perubahan struktur memberi efek
samping menguntungkan tanpa mempengaruhi potensi.
Metabolisme
dan Ekskresi
Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini sangat
bergantung pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi ginjal.
Vecuronium adalah obat yang cukup aman pada pasien dengan gagal ginjal,
durasi kerjanya akan memanjang dengan sebab yang tidak jelas. Durasi kerja
vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya yang
lebih pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan pancuronium.
Pemberian vecuronium jangka panjang pada pasien yang dirawat dalam
perawatan intensif menyebabkan perpanjangan blokade (sampai beberapa
hari), yang mungkin disebabkan oleh akumulasi metabolit aktif 3-hidroksi,
perubahan klirens obat, atau perkembangan dari polineuropati. Faktor
risikonya antara lain jenis kelamin wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid
jangka panjang atau dosis tinggi, dan sepsis. Oleh karena itu, pasien-pasien
ini harus dimonitor dengan ketat dan dosis vecuronium harus dititrasi dengan
hati-hati. Pemberian pelumpuh otot jangka panjang dan diikuti dengan
pengurangan ikatan asetilkolin pada reseptor nikotinik postsinaptik yang
lama, dapat menimbulkan keadaan yang mirip denervasi kronik dan disfungsi
reseptor dan paralisis. Efek saraf-otot vecuronium memanjang pada pasien
dengan AIDS. Toleransi terhadap obat pelumpuh otot nondepolarisasi juga
dapat terjadi setelah pemakaian lama.
Dosis
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya adalah
0,08 0,12 mg/kg. Dosis inisial 0,04 mg/kg diikuti dengan dosis tambahan
0,01 mg/kg setiap 15 20 menit membantu relaksasi intraoperatif. Sebagai
alternatif, infus 1 2 g/g/menit menghasilkan rumatan relaksasi yang baik.
Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial, meskipun dosis
tambahan jarang dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap
vecuronium pada wanita 30% lebih dibanding pria yang dibuktikan dengan
tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang lebih panjang
(ditemukan juga pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab dari
sensitivitas ini mungkin berhubungan dengan perbedaan jumlah massa lemak
dan otot, ikatan protein, volume distribusi atau aktivitas metabolic. Durasi
kerja vecuronium juga dapat memanjang pada pasien postpartum karena
perubahan dalam aliran darah atau uptake hati.
Vecuronium dikemas dalam bentuk bubuk 10 mg yang direkonstitusi
dengan 5 atau 10 mL air bebas tanpa pengawet sesaat sebelum digunakan.
Vecuronium dan tiopental dapat membentuk presipitat yang dapat
mengobstruksi aliran dalam kanul vena dan dapat menyebabkan emboli paru.
Efek Samping dan Pertimbangan Klinis
Kardiovaskuler
Hingga dosis 0,28 mg//kg, vecuronium tidak memiliki efek
kardiovaskuler. Potensiasi bradikardia yang diinduksi opioid dapat diamati
pada beberapa pasien.
Gagal Hati
Meskipun bergantung pada ekskresi bilier, durasi kerja vecuronium
biasanya tidak memanjang dengan signifikan pada pasien dengan sirosis,
kecuali diberikan dengan dosis yang lebih tinggi 0,15 mg/kg.
8. Rocuronium
Struktur Fisik
Rocuronium adalah steroid monokuartener analog vecuronium, namun
dirancang untuk memberikan onset kerja yang cepat.
Metabolisme dan
Ekskresi
Rocuronium
tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati dan sedikit
oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak terlalu dipengaruhi oleh penyakit ginjal,
tapi cukup memanjang oleh gagal hati berat dan kehamilan. Rocuronium
tidak memiliki metabolit aktif, dan mungkin merupakan pilihan yang lebih
baik dari pada vecuronium untuk infus yang lama (misal pada unit perawatan
intensif). Pasien usia lanjut dapat mengalami durasi kerja yang memanjang
karena massa hati yang menurun.
Dosis
Rocuronium kurang potent dibanding pelumpuh otot steroid lain. Dosis
untuk intubasi 0,45 0,9 mg/kg i.v dan 0,15 mg/kg bolus untuk rumatan.
Dosis yang lebih rendah dari 0,4 mg/kg dapat memungkinkan pembalikan 25
menit setelah intubasi. Rocuronium intramuskuler (1 mg/kg untuk bayi, 2
mg/kg untuk anak-anak) menyebabkan paralisis pita suara dan diafragma
untuk intubasi, namun belum akan terjadi 3 6 menit kemudian (injeksi
deltoideus onsetnya lebih cepat dari pada quadricep) dan dapat dibalikkan
setelah 1 jam.
Infus rocuronium membutuhkan dosis 5 12 g/kg/menit. Rocuronium
durasi kerjanya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Dosis inisial akan
meningkat pada penyakit hati lanjut, kemungkinan akibat volume distribusi
yang lebih besar.
Pemilihan Obat
Pemilihan jenis pelumpuh otot yang digunakan dipengaruhi oleh onset
kerja, durasi kerja, dan kemungkinan efek samping yang diinduksi oleh obat
karena kerja obat pada tempat lain selain NMJ. Efek samping yang tidak
diharapkan adalah respons kardiovaskuler karena pelepasan histamin yang
dicetuskan oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi benzylisoquinolinium. Onset
yang cepat dan durasi yang singkat seperti yang ditimbulkan oleh suksinilkolin
dan pada cakupan yang lebih sedikit (mivacurium) bermanfaat saat intubasi trakea
merupakan alasan pemberian obat pelumpuh otot. Rocuronium adalah satu-
satunya obat pelumpuh otot nondepolarisasi yang onset kerjanya singkat
menyerupai suksinilkolin, tapi dengan durasi kerja yang lebih panjang. Jika
diperlukan blokade saraf-otot yang dipertahankan dalam periode tertentu maka
obat pelumpuh otot nondepolarisasi adalah obat pilihan untuk dosis intermiten
atau sebagai infus kontinu. Saat tidak diperlukan onset cepat blokade saraf-otot,
relaksasi otot untuk fasilitasi intubasi trakea dapat dipilih obat pelumpuh otot
nondepolarisasi. Beberapa obat pelumpuh otot nondepolarisasi dapat
menimbulkan penurunan tekanan darah sistemik yang signifikan akibat pelepasan
histamin (atracurium atau mivacurium) atau dapat meningkatkan denyut jantung
(pancuronium). Efek sirkulasi yang dicetus oleh obat ini biasa dihindari bila
terdapat keadaan seperti hipovolemia, penyakit arteri koroner, atau penyakit katup
jantung. Sebaliknya, bradikardi yang dicetuskan oleh anestetik opioid yang
ditutupi sampai batas tertentu oleh efek peningkatan denyut jantung oleh
pancuronium dan tidak dapat ditutupi oleh obat pelumpuh otot nodepolarisasi
yang tidak memiliki efek sirkulasi (vecuronium, rocuronium, cisatracurium,
doxacurium, pipecuronium).
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Neuromuscular blocking agents.
In: Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw Hills Company. 2006.
2. White PF, Katzung BG. Skeletal muscle relaxants. In: Basic and clinical
pharmacology. 10th ed. McGraw Hills Company. 2007.
3. Francois D, Bevan DR. Pharmacology of muscle relaxants and their
antagonists. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical anesthesia.
6th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
4. Stoelting RK. Neuromuscular blocking drugs. In: Pharmacology and
physiology in anaesthetic practice. 4th ed. Philadephia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2006.
5. Taylor P. Agents acting at the neuromuscular junction and autonomic ganglia.
In: Brunton LL, ed. Goodman & Gilmans the pharmacological basis of
therapeutics. 11th ed. New York: McGraw Hills Company. 2006.
1. Benzodiazepine
Mekanisme kerja
Farmakokinetik
Farmakodinamik :
Indikasi
Kontraindikasi
Efek samping
2. Barbiturat
Mekanisme
Farmakodinamik
- Susnan saraf pusat
- Toleransi
Farmakokinetik
Barbiturat yang diberikan secara oral diabsorbsi secara cepat dan
sempurna. Barbiturat betuk garam natrium diabsorbsi lebih cepat
daripada bentuk asam bebasnya.
Indikasi
Kontraindikasi
Efek samping
- Hangover / after effects.
- Nyeri
- Hipersensitivitas
- Interaksi obat
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia, Farmakologi dan Terapi ed.5, 2007, Jakarta: Gaya baru
43