Lapsus 2
Lapsus 2
DOKTER PEMBIMBING
dr. Ismi Cahyadi, Sp. THT-KL
DISUSUN OLEH:
MOCH. IRFAN A. AULA 112170053
RIFKY FATKHAN N. A 112170064
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini. Laporan
Kasus berjudul Tonsilitis Kronis Hipertrofi ini dibuat dengan tujuan sebagai
salah satu syarat kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik THT. KL di Rumah Sakit
Umum Daerah Waled. Dalam pembuatan tinjauan pustaka dari laporan kasus ini,
Saya mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet.
Penulis sadar bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan
saran dan kritik yang membangun dalam perbaikan laporan kasus ini.
Penulis berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi
Penulis sendiri.
Cirebon, 10
Agutus 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS........................................................................ 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL.................................................... 11
TONSILITIS KRONIS
A. Definisi ...................................................................................................14
B. Etiologi....................................................................................................15
C. Faktor predisposisi..................................................................................15
D. Patofisiologi............................................................................................ 15
E. Manifestasi Klinis................................................................................... 16
F. Pemeriksaan Fisik................................................................................... 16
G. Diagnosis ............................................................................................... 17
H. Diagnosis Banding..................................................................................18
I. Penatalaksanaan...................................................................................... 20
J. Komplikasi..............................................................................................22
KESIMPULAN ........................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 25
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Tonsil merupakan kumpulan jaringan limfoid atau getah bening yang terletak
di rongga mulut. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi
pada tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan
peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian
antibiotik pada penderita tonsilitis akut. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada
penderita tonsilitis akut akan merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur
pada kripta tonsil dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan
faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis.
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh
radang tenggorok yang berulang. Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang
melalui kontak tangan, menghirup udara tetesan setelah seseorang dengan
tonsilitis bersin atau berbagi peralatan atau sikat gigi dari orang yang terinfeksi.
Anak-anak dan remaja berusia 5-15 tahun yang paling mungkin untuk
mendapatkan tonsilitis, tetapi dapat menyerang siapa saja. Hanya sekitar 30 %
dari tonsilitis pada anak disebabkan oleh radang tenggorokan dan hanya 10% dari
tonsilitis pada orang dewasa disebabkan oleh radang tenggorokan. Berdasarkan
data epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada tahun 2014
prevalensi Tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut yaitu sebesar 3,8
%.
Gejala klinik tonsilitis kronis adalah nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan,
kadang -kadang terasa seperti ada benda asing di tenggorok dimana mulut berbau,
badan lesu, nafsu makan menurun, sakit kepala dan badan terasa meriang -
meriang.
Penulisan laporan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas penulisan
laporan kasus di SMF THT.KL
iv
BAB II
LAPORAN KASUS
RUMAHSAKITUMUMDAERAHWALED
SMFTELINGAHIDUNGTENGGOROKKEPALALEHER
Jl.PrabuKiansantangNo.4,WaledKotaBabakanCirebon
A. IDENTITAS PASIEN
Umur : 17 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
v
B. ANAMNESIS
vi
antibiotik, namun keluhannya hanya hilang sementara kemudian muncul
kembali. Ketika pertama kali datng ke poliklinik THT pada tanggal 26 Juli
2016 pasien sempat didiagnosis sebagai tonsillitis kronis hipertrofikan hanya
diberikan obat antibiotik, kemudian pada tanggal 2 Agustus pasien control
kembali dan didiagnosis dengan penyakit yang sama dan dianjurkan untuk
dilakukan tindakan Tonsilektomi pada tanggal 9 Agustus 2016.
Pada Tanggal 8 Agustus Pasien datang ke RSUD Waled untuk menempati
ruangan Bougenvile untuk menjalani Pre Op, dan keesokan harinya pada
tanggal 9 Agusus 2016 pasien menjalani prosedur Tonsilektomi di ruang bedah
pada pukul 13.00 WIB, lalu keesokan harinya pada tanggal 10 Agustus 2016
pasien menjalani Post Op dan mengeluhkan nyeri menelan, membuka mulut
masih sakit, berbicara susah dan sedikit pusing. Keluhan demam dan mual
muntah disangkal RA.
C. PEMERIKSAAN FISIK
I. KEADAAN UMUM
Kesadaran : Compos mentis
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36.5C
Pernapasan : 20x/menit
II. TELINGA
Kanan Kiri
Bentuk Daun Telinga Normal Normal
Deformitas (-) Deformitas (-)
Kelainan Congenital Tidak ada Tidak ada
Radang, Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada
Penarikan Daun Tidak ada Tidak ada
vii
Telinga
Kelainan pre-, infra-, Tidak ada Tidak ada
retroaurikuler
Regio Mastoid Tidak ada kelaianan Tidak ada kelaianan
Liang Telinga CAE lapang, CAE lapang, serumen
serumen ada ada
Membran Timpani MT tertutup serumen MT tertutup serumen
viii
V. PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI
Kanan Kiri
Sinus frontalis, grade: Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus maksilaris, Tidak dilakukan Tidak dilakukan
grade:
VI. TENGGOROK
PHARYNX
Epiglotis :-
Plika aryepiglotis : -
Arytenoid :-
Ventrikular band : -
Pita suara asli :-
Rima glotis :-
Cincin trakea :-
Sinus piriformis : -
VII.LEHER
ix
Kelenjar limfe submandibula : tidak teraba membesar
Kelenjar limfe servikal : tidak teraba membesar
VIII. MAKSILO-FASIAL
Parese nervus cranial : tidak ada
Bentuk : Deformitas (-); Hematom (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
Darah rutin
Hematokrit 35 35 48 %
x
RDW SD 41,6 19 46 n
Basofil 0 01 %
Eosinofil 0 24 %
Neutrofil batang 0 35 %
Neutrofil segmen 55 50 80 %
Limfosit 40 25 40 %
Monosit 5 28 %
Kimia Klinik
Elektrolit
xi
Keteramgan : Hasil rongent thorak tampak normal.
E. RESUME
xii
- tonsil hipertrofi dengan ukuran T3/T3
- tonsil hiperemis +/+
- permukaan mukosa tidak rata/ granular +/+
- Kripta melebar +/+
- Detritus -/-
F. DIAGNOSIS BANDING
- Tonsilitis kronis hipertrofi
- Tonsilofaringitis kronis
G. DIAGNOSIS KERJA
Dasar diagnosis:
Anamnesis:
- Tonsil T3/T3
- hiperemis +/+
- permukaan mukosa tidak rata +/+
- Kripta melebar +/+, detritus -/-
xiii
I. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
1. Antibiotik: Cefixime 2x100 mg, selama 7-10 hari
2. Anti inflamasi: Metil prednisolon 3x2 mg selama 5 hari
3. Analgetik: asam mefenamat 3x500 mg selama 5 hari
4. Vitamin C 2x500 mg
Diberikan sebelum pasien menjalani operasi tonsilektomi
Operatif: Tonsilektomi
J. ANJURAN
Setelah dilakukan operasi, pasien disarankan untuk:
- Jaga kebersihan mulut
- Makan makanan lunak selama kurang lebih 1 minggu
- Makan makanan bergizi untuk meninggkatkan daya tahan tubuh dan
mempercepat proses penyembuhan
- Hindari makanan pedas, makanan berminyak dan minuman dingin
- Kontrol ke poliklinik THT
K. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
xiv
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang
terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tuba
Eustachius.(2)
A. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
Lateral muskulus konstriktor faring superior
Anterior muskulus palatoglosus
Posterior muskulus palatofaringeus
Superior palatum mole
Inferior tonsil lingual(1,2)
xv
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat
dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan
ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting
mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur
pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan
pusat germinal
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
yaitu nervus glosofaringeal.(1,2)
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-
cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri
maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan
cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina
asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri
lingualis dengan cabangnya arteri lingualis
dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub
bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi
oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden
dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.(1,2,3)
xvi
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.(1,2)
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.(1,2)
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada
tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B
berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD),
komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan
tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat
germinal pada folikel ilmfoid.(1)
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama
yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai
organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.(2)
xvii
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke
fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada
masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal
antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.(1)
C. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. (1,2)
TONSILITIS KRONIK
A. DEFINISI
xviii
B. ETIOLOGI
Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena
sering menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) atau karena tonsilitis akut
yang tidak diobati dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan
oleh bakteri yang sama yang terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering
adalah bakteri gram positif. Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) :
Streptokokus alfa merupakan penyebab tersering dan diikuti Stafilokokus aureus,
Streptokokus beta hemolitikus grup A, Stafilokokus epidermis dan kuman gram
negatif yaitu enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli yang
didapat ketika dilakukan kultur apusan tenggorok.(1)
C. FAKTOR PREDISPOSISI
Rangsangan kronis (rokok, makanan)
Higiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah)
Alergi (iritasi kronis dari allergen)
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.(1)
D. PATOFISIOLOGI
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses
radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan
xix
ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara klinis kripta ini akan
tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang
mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning
kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya
timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-
waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang
menurun. (1)
E. MANIFESTASI KLINIS
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis
akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus
pada tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang
mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.1
Tonsila akan memperlihatkan berbagai derajat hipertrofi dan dapat bertemu di
garis tengah. Nafas penderita bersifat ofensif dan kalau terdapat hipertrofi yang
hebat, mungkin terdapat obstruksi yang cukup besar pada saluran pernafasan
bagian atas yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal.
F. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi kadang-
kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas. Didapatkan detritus atau
detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah. Kelenjar leher dapat
membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan.(1,2)
Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau atrofi.
Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T1 T4. Cody& Thane (1993)
membagi pembesaran tonsil dalam ukuran berikut :
T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior
uvula
T2 = batas medial tonsil
melewati jarak pilar anterior-uvula
sampai jarak pilar anterior-uvula
T3 = batas medial tonsil
melewati jarak pilar anterior-uvula
sampai jarak pilar anterior-uvula
xx
T4 = batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula atau lebih.
G. DIAGNOSIS
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir
50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang
dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu
menelan, rasa mengganjal di tenggorok, nafas bau, malaise, sakit pada
sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan
parut, permukaan tonsil tidak rata, kriptus melebar dan beberapa
kripti terisi oleh detritus. Sebagian kripta mengalami stenosis, tepi
eksudat (purulent) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut.
Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil,
biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan sejumlah kecil
sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaanapus
tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan
derajat keganasan yang rendah, seperti Streptococcus haemolitikus,
Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.
H. DIAGNOSIS BANDING
Terdapat beberapa diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :
xxi
menjadi tiga golongan besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan
nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan
membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga
bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan dan pada
ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
c. Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang
menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat
pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran
darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam jumlah besar.
Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk
beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
xxii
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau
tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang sembuh
disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa
mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.
c. Lepra (Lues)
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian
menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan
timbulnya jaringan ikat.
d. Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa
mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat
mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan dasar
jaringan granulasi yang lunak.
Penyakit-penyakit diatas umumnya memiliki keluhan berhubungan dengan nyeri
tenggorokan (odinofagi) dan kesulitan menelan (disfagi). Diagnosa pasti
berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, foto X-ray
dan biopsi jaringan.
BAB IV
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Operatif
xxiii
Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan
pasa pasien dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan pengangkatan jaringan
tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan
berbagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok,
nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi.2
Indikasi Tonsilektomi
Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik beta-laktamase resisten
Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan
Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus
dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya
sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas
merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit
tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut,
kebanyakan karena infeksi kronik
Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh
mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi
xxiv
absolute untuk surgery. Pada kasus yang ekstrim, obstructive sleep apnea
ini boleh menyebabkan hipoventilasi alveolar, hipertensi pulmonal dan
kardiopulmoner
I. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke
daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.
Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :1,2,7
c. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening
atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus
paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
d. Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi
pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih
berisi kelenjar limfe.
e. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna
putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
xxv
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan
tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.
b. Glomerulonefritis
BAB III
KESIMPULAN
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain:
fosa tonsil, kapsul tonsil, plika triangularis. Tonsil berfungsi sebagai
filter/penyaring organisme yang berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat
menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsilitis.
Tonsilitis adalah suatu proses inflamasi atau peradangan pada tonsil yang
disebabkan oleh virus ataupun bakteri. Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis
tonsil lebih dari 3 bulan, setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang. Pada
umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada
tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal
di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau. Pada
pemeriksaan fisik tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan
xxvi
jaringan parut, permukaan tonsil tidak rata, kriptus melebar dan
beberapa kripti terisi oleh detritus.
Terapi pada tonsilitis kronis, berupa terapi lokal, ditujukan pada
higiene mulut dengan menggunakan obat kumur. Dapat juga dilakukan
tindakan operasi tonsilektomi sesuai dengan indikasinya.
xxvii
DAFTAR PUSTAKA
xxviii