ADE IRMA
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
i
Ade Irma
NIM G44080105
ii
ABSTRAK
Serabut ampas sagu merupakan salah satu limbah yang dihasilkan dari
ekstraksi pati sagu dan mengandung 42% selulosa. Selulosa ini dapat dimodifikasi
dengan metode pencangkokan dan penautan-silang menggunakan monomer
akrilamida dan penaut-silang metilena-bis-akrilamida menghasilkan produk
selulosa-g-poliakrilamida. Selulosa-g-poliakrilamida disintesis dengan nisbah
selulosa dan monomer 50:50 dan 2 gram penaut-silang. Saponifikasi dapat
meningkatkan kepolaran produk pencangkokan dan penautan-silang. Saponifikasi
dilakukan dengan 3 ragam waktu, yaitu 1, 2, dan 3 jam. Analisis spektrum
inframerah dan kadar nitrogen menunjukkan bahwa sebagian gugus CONH2
hasil sintesis berubah menjadi gugus COOH setelah disaponifikasi. Perubahan
gugus fungsi ini meningkatkan kapasitas absorpsi air. Uji daya tahan pelarut
antara etil asetat dan selulosa-g-poliakrilamida tersaponifikasi 2 jam menunjukkan
hasil terbaik dengan perubahan indeks biasnya 0.00. Hasil ini menunjukkan
bahwa selulosa-g-poliakrilamida tersaponifikasi 2 jam memiliki potensi untuk
dijadikan fase diam kromatografi kolom.
ABSTRACT
Sago waste fibers is wasted from starch extraction of sago and contain 42%
of cellulose. The cellulose can be modified by grafting and crosslinking method
by using acrylamide monomer to produce cellulose-g-polyacrylamide. Cellulose-
g-polyacrylamide was synthesized with 50:50 cellulose and monomer ratio and 2
gram of crosslinker. Saponification could increase the polarity of the grafting and
crosslinking product. Saponification were carried out in 3 different times, namely
1, 2, and 3 hours. Analysis of infrared spectrum and nitrogen content showed that
some of the -CONH2 groups of the synthesis products were transformed into
COOH groups after saponification. This functional group conversion increased
the water absorption capacity. Solvent resistance analysis between ethyl acetate
solvent and cellulose-g-polyacrylamide was saponification 2 hours showed the
best result with change in refractive index value of 0.00. These result showed that
cellulose-g-polyacrylamide was saponification 2 hours has the potential to be used
as the the stationary phase column chromatography.
ADE IRMA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
iv
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal lulus:
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
tulis yang berjudul Sintesis dan Saponifikasi Selulosa-g-Poliakrilamida dari
Selulosa Serabut Ampas Sagu. Karya tulis ini disusun berdasarkan penelitian yang
dilaksanakan pada bulan Mei hingga Agustus 2012 di Laboratorium Terpadu,
Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof Dr Ir Tun Tedja
Irawadi, MS selaku pembimbing I dan Bapak Drs Muhammad Farid, MSi selaku
pembimbing II. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayah, Ibu,
keluarga, serta Yayasan Doa Bangsa atas segala doa dan kasih sayangnya.
Terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dr Henny Purwaningsih Suyuti,
MSi, Bapak Mohammad Khotib, MSi, Bapak Budi Arifin, MSi, dan Bapak
Novriyandi Hanif, DSc atas segala diskusi dan saran berkaitan dengan penelitian.
Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Indah, Baim, dan staf
analis Laboratorium Terpadu atas bantuan dan masukan selama penelitian.
Apresiasi juga penulis ucapkan kepada Egi Mariah, Itoh Khitotul, Dwi Utami,
Fitri Aprianti, Sri Wulan, Dumas, Toriq, Fadhli, Ika serta teman-teman Kimia 45
atas saran, semangat, dan pengalaman selama studi dan penelitian. Semoga karya
tulis ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Ade Irma
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Industri pati sagu merupakan salah satu industri yang sangat penting di
Indonesia. Area perkebunan tanaman sagu di Indonesia mencapai 1.40 juta hektar
dengan sekitar 1 juta hektarnya terdapat di Papua (Bustaman 2008). Industri
pengolahan pati sagu menghasilkan 3 jenis limbah, yaitu ampas, kulit batang, dan
air buangan. Jumlah ampas sagu 6 kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
tepung sagu yang dihasilkan. Ampas sagu telah dimanfaatkan untuk pakan ternak,
arang briket, dan media tanaman (Matitaputty dan Alfons 2006). Namun,
pemanfaatan ampas sagu belum optimum dan jika limbah ini tidak dikelola
dengan baik akan berdampak negatif terhadap lingkungan karena menimbulkan
bau yang kurang sedap. Ampas sagu terdiri atas 2 macam limbah, yaitu ela dan
serabut. Serabut ampas sagu memiliki kandungan selulosa dan lignin yang lebih
tinggi daripada ela sagu. Kadar selulosa dalam serabut ampas sebesar 41.47%
(Setyorini 2011), sedangkan dalam ela sagu sebesar 12.02% (Segara 2011).
Serabut ampas sagu tersusun atas 3 komponen utama, yaitu lignin, selulosa, dan
hemiselulosa. Lignin adalah polimer yang tersusun dari unit fenilpropana.
Hemiselulosa adalah senyawa heteropolisakarida yang mengandung banyak
komponen penyusun. Selulosa adalah polimer alami yang menyerupai serabut liat,
tidak larut dalam air, dan merupakan senyawa penyusun utama pada sebagian
besar jaringan tanaman.
Isolasi selulosa dari serabut ampas sagu dilakukan melalui 3 tahapan
(Lampiran 1), yaitu pemanasan dengan HCl, pulping dengan NaOH, dan
delignifikasi menggunakan peroksida. Selulosa yang dihasilkan secara fisik sama
dengan selulosa murni. Selulosa dapat dimodifikasi secara kimia menjadi bahan
yang lebih bermanfaat. Salah satu metode modifikasi selulosa adalah
pencangkokan dan penautan-silang. Pencangkokan membentuk cabang-cabang
polimer pada selulosa sebagai tulang punggungnya, tanpa menghancurkan sifat
baik dari serat selulosa. Modifikasi penautan-silang dapat memperbaiki sifat
tertentu selulosa, misalnya tahan kusut atau mengerut, namun karena jaringan
yang terbentuk berdimensi tiga, struktur selulosa menjadi lebih kaku (Achmadi
1990).
Setyorini (2011) telah memodifikasi selulosa menggunakan metode
pencangkokan dan penautan-silang dengan monomer akrilamida. Nisbah selulosa
serabut ampas sagu dengan monomer sebesar 50:50. Penaut-silang yang
digunakan, ialah metilena-bis-akrilamida (MBA) dengan inisiator yang
ditambahkan amonium persulfat (APS). Selulosa-g-poliakrilamida yang disintesis
oleh Setyorini (2011) telah berhasil memisahkan komponen xantorizol dari
ekstrak temu lawak.
Penelitian ini bertujuan menyintesis selulosa-g-poliakrilamida dan selulosa-
g-poliakrilamida tersaponifikasi. Gugus fungsi amida dari selulosa-g-
poliakrilamida hasil pencangkokan dan penautan-silang akan diubah menjadi
gugus fungsi karboksilat melalui proses saponifikasi. Berubahnya gugus fungsi ini
akan meningkatkan kepolaran dari hasil modifikasi selulosa (Teli dan Waghmare
2009). Selanjutnya, produk hasil sintesis dan saponifikasi dianalisis untuk melihat
potensinya sebagai fase diam kromatografi kolom.
2
METODE
Lingkup Penelitian
Penelitian ini terbagi dalam 3 tahap (Lampiran 2), yaitu sintesis
selulosa-g-poliakrilamida dari selulosa serabut ampas sagu, saponifikasi hasil
sintesis, serta pencirian dan analisis hasil sintesis dan saponifikasi. Pencirian dan
analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar nitrogen, analisis FTIR, uji
kapasitas absorpsi air, dan uji daya tahan dalam berbagai pelarut.
Sintesis Selulosa-g-Poliakrilamida
Pencucian Gel (Al Karawi et al. 2011, Teli dan Waghmare 2009)
Produk sintesis (yang berbentuk gel) ditambahkan 150 mL metanol lalu
diaduk selama 30 menit dengan laju 200 rpm. Campuran kemudian ditambahkan
150 mL etanol, diaduk kembali dengan laju 400 rpm selama 5 menit, lalu
didiamkan selama 30 menit. Gel dipisahkan dari cairan alkohol kemudian
direfluks dengan 200 mL aseton pada suhu 70 C selama 1 jam. Selanjutnya, gel
3
dicuci dengan akuades hingga cairannya tidak keruh, dan dikeringkan dalam oven
pada suhu 60 C hingga mencapai bobot konstan. Produk yang merupakan
selulosa-g-poliakrilamida, dihaluskan.
Pencirian Selulosa-g-Poliakrilamida
Selulosa-g-Poliakrilamida
Selulosa yang diisolasi dari serabut ampas sagu dimodifikasi menjadi
selulosa-g-poliakrilamida menggunakan metode kopolimerisasi pencangkokan
dan penautan-silang. Akrilamida digunakan sebagai monomer dan MBA sebagai
penaut-silang. Kopolimerisasi cangkok merupakan salah satu teknik modifikasi
yang menggabungkan polimer dengan monomer melalui ikatan kovalen dan
bersifat tidak dapat balik. Penautan-silang merupakan metode yang
menghubungkan polimer melalui ikatan kimia intramolekul dan antarmolekul
(Bhattacharya et al. 2009). Metode kopolimerisasi cangkok terdiri atas 2 jenis,
yakni mencangkok ke (grafting to) dan mencangkok dari (grafting from).
Mekanisme mencangkok ke ialah dengan memfungsionalisasi monomer, lalu
direaksikan dengan polimer kerangka utama membentuk kopolimer cangkok.
Mencangkok dari dilakukan dengan mereaksikan monomer dengan polimer
kerangka utama yang telah terinisiasi membentuk kopolimer cangkok
(Bhattacharya et al. 2009). Metode kopolimerisasi cangkok yang digunakan
dalam penelitian ini adalah mencangkok dari.
Monomer akrilamida dicangkokan ke kerangka utama polimer selulosa
dengan mekanisme reaksi radikal bebas menggunakan APS sebagai inisiator.
Kopolimer tersebut kemudian ditaut-silang dengan MBA dalam kondisi dialiri gas
nitrogen. Gas nitrogen berfungsi menghilangkan oksigen dari reaksi dan
meminimumkan radikal peroksida yang dapat menghambat reaksi kopolimerisasi
karena membentuk homopolimer (Kurniadi 2010). Suhu kopolimerisasi yang
digunakan adalah 70 C seperti yang telah dilakukan oleh Lanthong et al. (2006)
5
dan Liu et al. (2007). Hasil sintesis dicuci dengan metanol dan etanol untuk
mengikat air dalam produk serta direfluks dengan aseton untuk menghilangkan
homopolimer (Behari et al. 2001).
Mekanisme kopolimerisasi cangkok terdiri atas 3 tahap, yaitu inisiasi,
propagasi, dan terminasi (Lampiran 4). Tahap inisiasi dimulai dengan
terbentuknya radikal O3SO.. Radikal sulfat ini dihasilkan dari inisiator APS yang
terdekomposisi saat pemanasan pada suhu 60 C (da Silva et al. 2007). Radikal
sulfat akan mengambil atom H pada gugus OH atom C6 selulosa. Gugus OH ini
memiliki reaktivitas yang lebih tinggi terhadap substituen yang meruah
dibandingkan dengan gugus OH lainnya karena memiliki halangan sterik yang
lebih kecil. Tahap inisiasi tersebut menghasilkan makroradikal selulosa.
Makroradikal selulosa akan menyerang gugus alkena (C=C) pada monomer
akrilamida sehingga ikatan rangkap terputus dan menghasilkan radikal karbon;
tahap ini merupakan awal tahap propagasi. Selanjutnya, gugus C radikal akan
menyerang monomer akrilamida lain dan membentuk radikal C baru. Reaksi
tersebut berkelanjutan hingga membentuk rantai panjang poliakrilamida. Pada
tahap penautan-silang, radikal C menyerang C=C dari MBA sehingga taut-silang
terjadi dan terbentuk selulosa tercangkok-poliakrilamida. Selulosa-g-
poliakrilamida yang dihasilkan dikeringkan dalam oven dengan suhu 60 C.
Produk kering yang dihasilkan dihaluskan dengan mesin penggiling berukuran
100 mesh.
Selulosa-g-poliakrilamida selanjutnya disaponifikasi, untuk meningkatkan
kepolaran hasil sintesis. Peningkatan kepolaran ini erat hubungannya dengan
pembentukan muatan dalam sistem polimer akibat konversi gugus amida
(-CONH2) menjadi gugus karboksil (-COOH) dan karboksilat (-COO) (Teli dan
Waghmare 2009). Larutan basa yang digunakan untuk proses saponifikasi ini
adalah natrium hidroksida (NaOH). Proses saponifikasi dilakukan dengan 3
variasi waktu, yaitu 1, 2, dan 3 jam (modifikasi Nakason et al. 2010) pada suhu
90 C. Hasil saponifikasi dinetralkan dengan HCl 1 M dan dicuci dengan metanol.
Setelah itu, dikeringkan dengan oven pada suhu 60 C dan produk kering yang
dihasilkan dihaluskan dengan mesin penggiling berukuran 100 mesh.
Ciri-Ciri Selulosa-g-Poliakrilamida
Selulosa-g-poliakrilamida sebelum dan sesudah disaponifikasi dicirikan
spektrum FTIR serta dianalisis kadar nitrogen, kapasitas absorpsi air, dan daya
tahannya terhadap pelarut. Kadar nitrogen pada selulosa-g-poliakrilamida yang
belum disaponifikasi menunjukkan banyaknya gugus amida (O=C-NH2) yang
tercangkok pada kerangka utama selulosa, dan akan menurun setelah saponifikasi.
Kadar nitrogen selulosa-g-poliakrilamida hasil sintesis 9.85% sementara
kadar nitrogen setelah disaponifikasi 1, 2, dan 3 jam berturut-turut 7.04, 6.49, dan
6.98%. Penurunan kadar nitrogen untuk saponifikasi 1, 2, 3 jam berturut-turut
adalah 28.53, 34.12, dan 29.14% dari kadar nitrogen hasil sintesis. Persen
perubahan tertinggi didapatkan ketika saponifikasi berlangsung selama 2 jam
(Lampiran 5). Namun, persen penurunan kadar nitrogen relatif tidak jauh berbeda
dan lamanya saponifikasi didapati tidak berpengaruh signifikan terhadap persen
penurunan kadar nitrogen (Pr > F = 0.079tidak nyata, dengan = 5%) (Lampiran 6).
Kapasitas absorpsi air hasil saponifikasi selama 1, 2, dan 3 jam berturut-
turut adalah 43.56, 49.58, dan 45.35 kali. Hasil sintesis menunjukkan kapasitas
6
absorpsi yang jauh lebih kecil, yaitu 2.71 kali (Lampiran 7 dan Gambar).
Peningkatan kapasitas absorpsi air pada selulosa-g-poliakrilamida tersaponifikasi
dipengaruhi oleh gugus hidrofilik dalam polimer yang menyebabkan proses difusi
(Swantomo 2008) serta pembentukan muatan dalam sistem polimer akibat
konversi gugus amida menjadi karboksil dan karboksilat, ditunjukkan dengan
berkurangnya nitrogen setelah saponifikasi. Selain hidrofilik, pembentukan gugus
ionik juga menyebabkan perbedaan tekanan osmotik dan peningkatan tolakan
elektrostatik di antara muatan-muatan negatif dari gugus karboksilat. Hal ini akan
mengembangkan jejaring polimer yang berdampak pada peningkatan daya
serapnya (Zhang et al. 2006).
turut mengindikasikan ulur N-H, ulur C=O, dan ikatan N-H dari gugus amida.
Gugus fungsi CONH2 dari selulosa-g-poliakrilamida ditunjukkan oleh serapan
pada daerah 1407.00 cm-1 yang menunjukkan ulur C-N dan pada daerah
766.00710.00 cm-1 menunjukkan yang ikatan lemah N-H. Hasil tersebut
membuktikan terjadinya pencangkokan akrilamida pada selulosa.
Spektrum FTIR hasil saponifikasi 1, 2, dan 3 jam memperlihatkan intensitas
pita pada bilangan gelombang 1710.00 cm-1 untuk vibrasi ulur C=O dalam anion
karboksil yang diperjelas lagi dengan puncak-puncak pada bilangan gelombang
1500.00 cm-1. Kombinasi serapan COOH dan OH dapat dilihat dari intensitas
pita yang lebar di daerah 3400.002500.00 cm-1. Berdasarkan hasil tersebut,
proses saponifikasi berhasil mengubah gugus amida menjadi gugus karboksil dan
karboksilat. Spektrum FTIR selulosa-g-poliakrilamida dan selulosa-g-
poliakrilamida tersaponifikasi pada penelitian ini menunjukkan puncak serapan
menyerupai hasil penelitian Nakason et al. (2010) yang melakukan saponifikasi
pada pati-g-poliakrilamida.
Daya tahan dalam pelarut ditentukan berdasarkan parameter indeks bias.
Indeks bias merupakan salah satu parameter kemurnian pelarut. Pelarut yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metanol, aseton, etil asetat, dan heksana.
Urutan kepolaran dari yang tertinggi ke terendah adalah metanol > aseton > etil
asetat > heksana. Indeks bias pelarut diukur sebelum dan sesudah maserasi sampel
selama 3 hari. Indeks bias pelarut setelah maserasi memperlihatkan pergeseran
dari pelarut murninya (Lampiran 8). Pelarut metanol dan aseton memperlihatkan
interaksi yang relatif besar dengan perubahan indeks bias sebelum dan sesudah
dimaserasi lebih besar dari 5.0 10-4. Sementara itu, interaksi dengan heksana
relatif lebih rendah, tetapi interaksi terendah diperoleh dengan pelarut etil asetat.
Etil asetat sama sekali tidak berinteraksi dengan hasil saponifikasi 2 jam,
ditunjukkan dengan tidak berubahnya nilai indeks bias sebelum dan sesudah
maserasi. Besar kecilnya interaksi pelarut dengan sampel dipengaruhi oleh faktor
kepolaran. Prinsip interaksi ialah like dissolve like.
Simpulan
Sintesis dan saponifikasi selulosa-g-poliakrilamida berhasil dilakukan
dengan kadar nitrogen dan daya absorpsi hasil sintesis berturut-turut 9.85% dan
2.71 kali. Persen perubahan kadar nitrogen tertinggi diperoleh setelah saponifikasi
2 jam, yaitu sebesar 34.12% dengan peningkatan kapasitas absorpsi 49.58 kali.
8
Saran
Aplikasi selulosa-g-poliakrilamida tersaponifikasi sebagai fase diam
kromatografi kolom berbasis selulosa serabut ampas sagu masih terkendala oleh
kapasitas absorpsi air yang relatif tinggi. Oleh karena itu, proses pengemasan fase
diam ke dalam kolom harus dilakukan dengan hati-hati dan interaksi sampel
dengan uap air diperkecil.
DAFTAR PUSTAKA
Preparasi
Pencangkokan dan
penautan-silang
50:50, penaut-silang:2 g
Analisis kadar N, uji absorpsi
air, uji daya tahan dalam pelarut,
analisis FTIR
c
a
b
Keterangan:
a. Pengaduk magnetik
b. Pipa penyaluran gas nitrogen
c. Tempat pemasukan campuran monomer dan penaut-silang
12
Tahap inisiasi
Tahap propagasi
.
.
.
.
. .
13
Lanjutan lampiran 4
. .
. .
14
% N = 28.53%
15
WA = 43.58
Lampiran 8 Data indeks bias uji daya tahan dalam berbagai pelarut
RIWAYAT HIDUP