Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usia 1 sampai 5 tahun adalah periode penting dalam tumbuh

kembang anak. Masa ini merupakan pertumbuhan dasar anak, terjadi

perkembangan kemampaun berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial,

emosional dan intelegensia yang berjalan sangat cepat dan merupakan

landasan bagi perkembangan anak selanjutnya (Ayu Bulan F, 2013)

Salah satu masalah gizi pada balita yang patut diwaspadai adalah

gizi kurang hingga gizi buruk. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar WHO

tahun 2010, sebanyak 13% balita berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9%

berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan 13,3% anak kurus,

diantaranya 6,0% anak sangat kurus dan 17,1% anak memiliki kategori

sangat pendek. Keadaan ini berpengaruh kepada masih tingginya angka

kematian bayi (Depkes RI, 2012)

Data jumlah balita penderita gizi buruk tingkat berat yang tercatat

di Departemen Kesehatan sampai akhir tahun 2010 berdasarkan laporan

Kejadian Luar Biasa (KLB) gizi buruk sekitar 24.000 balita. Menurut data

di tahun yang sama, lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan

gizi kurang dan gizi buruk (Depkes RI, 2012)

Berdasarkan data dari Dinkes Sulsel, jumlah kasus gizi buruk di

Sulawesi Selatan pada tahun 2011 sebanyak 91 kasus (1,7%). Kasus gizi

1
2

buruk itu terdiri dari marasmus (44 kasus), kwashiorkor (25 kasus), dan

marasmik kwashiorkor (22 kasus).

Sementara untuk wilayah Bulukumba berdasarkan data dari Dinas

Kesehatan Kabupaten, di tahun 2010 dengan jumlah balita 80.163 jiwa,

terdapat 71.058 balita (88,64%) dengan status gizi baik, jumlah balita

dengan berat badan kurang (bawah garis merah) yakni 9.086 orang

(11,33%), dan 19 balita (0,023%) dengan kasus gizi buruk. Tahun 2011

dengan jumlah balita 79.864 jiwa, terdapat 70.984 balita (88,88%) dengan

status gizi baik, jumlah balita dengan berat badan kurang (bawah garis

merah) yakni 8.871 orang (11,11%), dan 9 balita (0,011%) dengan kasus

gizi buruk. Tahun 2012 dengan jumlah balita 76.518 jiwa, terdapat 67.719

balita (88,50%) dengan status gizi baik, jumlah balita dengan berat badan

kurang (bawah garis merah) yakni 8.793 orang (11,49%), dan 6 balita

(0,001%) dengan kasus gizi buruk.

Di wilayah kerja Puskesmas Ujung Loe dengan jumlah balita 5886

jiwa, terdapat 5.059 balita (85,95%) dengan status gizi baik, jumlah balita

dengan berat badan kurang (bawah garis merah) yakni 827 orang (14,05%),

dan tidak ditemukan kasus gizi buruk.

Gizi buruk adalah keadaan kurang zat gizi tingkat berat yang

disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam waktu

cukup lama yang ditandai dengan berat badan menurut umur (BB/U) yang

berada pada < -3 SD tabel baku WHO. Pada kasus gizi buruk dengan
3

adanya gejala klinis terbagi atas 3 jenis, yaitu marasmus, kwashiorkor, dan

marasmik-kwashiorkor (Dinkes Sulsel, 2008)

Makanan balita seharusnya berpedoman pada gizi yang seimbang,

serta harus memenuhi standar kecukupan gizi. Gizi seimbang merupakan

keadaan yang menjamin tubuh memperoleh makanan yang cukup dan

mengandung semua zat gizi dalam jumlah yang dibutuhkan (Hariyani S,

2011)

Pola makan yang terbentuk dari kebiasaan makan seseorang sangat

erat kaitannya dengan status gizi. Pola makan yang seimbang, yaitu sesuai

dengan kebutuhan disertai pemilihan bahan makanan yang tepat akan

melahirkan status gizi yang baik. Asupan makanan yang melebihi

kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelebihan berat badan dan penyakit

lain yang disebabkan oleh kelebihan zat gizi. Sebaliknya, asupan makanan

kurang dari yang dibutuhkan akan menyebabkan tubuh menjadi kurus dan

rentan terhadap penyakit. Kedua keadaan tersebut sama tidak baiknya

(Hariyani S, 2011)

Umumnya masalah makan memang dimulai di usia balita awal. Ini

berkaitan dengan perkembangannya, dimana balita mengalami masa

peralihan bentuk makanan dari lunak ke makanan biasa. Dia harus mulai

belajar mengunyah bukan lagi langsung menelan makanan, sehingga anak

cenderung merasa malas makan. Penurunan nafsu makan juga terjadi pada

usia balita diakibatkan pertumbuhannya tidak sepesat usia sebelumnya. Di


4

samping itu anak juga mulai memilih-milih makanan yang disukainya (Elly

Nurachmah, 2011)

Berdasarkan data administrasi Puskesmas Ujung Loe, jumlah balita

di wilayah Desa Dannuang Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba

pada tahun 2010 adalah 380 jiwa, terdapat 344 balita (90,53%) dengan

status gizi baik, jumlah balita dengan berat badan kurang (bawah garis

merah) yakni 36 orang (9,47%), dan tidak ditemukan kasus gizi buruk. Di

tahun 2011 jumlah balita 380 orang dengan jumlah kasus BGM (Bawah

Garis Merah) 53 orang (13,95%), 327 balita (86,05%) berstatus gizi baik,

dan tidak ditemukan kasus gizi buruk. Sementara di tahun 2012 dengan

jumlah balita 400 jiwa terdapat kasus BGM 49 orang (12,25%), 351 balita

(87,75%) berstatus gizi baik dan tetap tidak ditemukan kasus gizi buruk.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, masih banyak orang tua

yang belum memberikan pola makan seimbang bagi balitanya. Umumnya

balita terlihat bosan karena menu makanan yang monoton dan kurang

variasi, baik dari bahan makanan maupun cara pengolahan bahan makanan.

Yang sering terjadi pula balita yang makan snack atau camilan padat kalori

menjelang jam makan, sehingga waktu makan tidak merasa lapar lagi. Rasa

snack kemasan yang banyak mengandung penyedap rasa menyebabkan

anak terbiasa dengan rasa gurih berlebih dan menjadi kurang suka makanan

rumahan. Ada pula orang tua yang lebih menekankan asupan nutrisi

anaknya pada jumlah kalori bukannya pada komposisi zat gizi, akibatnya
5

anak kelebihan berat namun kebutuhan akan zat gizi tertentu tidak

tercukupi.

Status gizi balita yang kurang baik dapat dipengaruhi oleh karena

pola makan yang tidak seimbang. Keadaan gizi kurang akibat pola makan

tidak seimbang akan menyebabkan tubuh balita menjadi kurus dan rentan

terhadap penyakit, yang pada akhirnya akan menghambat proses

pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian mengenai hubungan pola makan dengan status gizi balita di

Desa Dannuang Kecamatan Ujung Loe Kabupaten Bulukumba tahun 2013.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan ringkasan latar belakang di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah Apakah Ada Hubungan Pola

Makan Dengan Status Gizi Balita di Desa Dannuang Puskesmas Ujung

Loe Kabupaten Bulukumba Tahun 2013?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan pola makan dengan status gizi balita di

Desa Dannuang Puskesmas Ujung Loe Kabupaten Bulukumba Tahun

2013

2. Tujuan Khusus

a. Teridentifikasinya pola makan balita di Desa Dannuang

Puskesmas Ujung Loe Kabupaten Bulukumba Tahun 2013


6

b. Teridentifikasinya status gizi balita di Desa Dannuang Puskesmas

Ujung Loe Kabupaten Bulukumba Tahun 2013

c. Teranalisanya hubungan pola makan dengan status gizi bayi di

Desa Dannuang Puskesmas Ujung Loe Kabupaten Bulukumba

Tahun 2013

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Sebagai bahan acuan bagi peneliti lain yang berkeinginan untuk

melakukan penelitian tentang hubungan pola makan dengan status gizi

balita.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan pembelajaran dan masukan bagi tenaga perawat

mengenai hubungan pola makan dengan status gizi balita khususnya

di Desa Dannuang Puskesmas Ujung Loe Kabupaten Bulukumba.

b. Sebagai bahan bacaan masyarakat luas mengenai hubungan pola

makan dengan status gizi balita.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Status Gizi Balita

1. Pengertian

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan

yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,

transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang

tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan

fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Ayu Bulan,

2013)

Status gizi adalah merupakan hasil akhir dari keseimbangan

antara makanan yang masuk kedalam tubuh (nutrient input) dengan

kebutuhan tubuh (nutrient output) akan zat gizi tersebut, atau ekspresi

dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau

perwujudan dari nutrisi dalam bentuk variabel tertentu (Haryani S,

2010)

Untuk menentukan status gizi seseorang, suatu kelompok

penduduk atau masyarakat, perlu dilakukan pengukuran-pengukuran

untuk menilai tingkat pengukuran kekurangan gizi. Pengukuran yang

dipakai biasanya merujuk pada indikator yang berguna sebagai indeks

untuk menunjukkan tingkat status gizi dan kesehatan yang berbeda-beda

(Ayu Bulan, 2013)


8

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita

Menurut penelitan Syafruddin Syaer (2011), beberapa faktor

yang berhubungan dengan status gizi pada balita adalah

a. Pola Makan

Asupan makanan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi status gizi balita, dalam hal ini difokuskan pada

aspek pemenuhan nutrisi balita. Perbaikan pola makan pada balita

akan memberikan pengaruh terhadap status gizinya, dimana pola

makan yang kurang akan berdampak pada pertumbuhan balita yang

optimal sehingga dapat mempengaruhi perkembangan intelektualitas

balita. Ditambah pula dengan bertambahnya usia maka pemenuhan

gizi balita semakin meningkat maka perlu perbaikan pola makan

untuk perbaikan gizinya.

b. Pola Pengasuhan Anak

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau

pengasuh lain dalam hal kedekatnnya dengan anak, memberikan

makanan, merawat kebersihan dan memberikan kasih sayang. Pola

pengasuhan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan

status gizi balita. Faktor yang mempengaruhi buruknya status gizi

balita adalah pola asuh yang kurang, asupan gizi yang tidak cukup

serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai.


9

c. Pendapatan keluarga

Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang

menentukan daya beli untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di

dalam rumah tangga. Rendahnya pendapatan menyebabkan keluarga

tidak mampu membeli bahan makanan yang dibutuhkan untuk

memenuhi kebutuhan gizi harian keluarga.

3. Pengukuran Status Gizi Balita

Pengukuran antropometri banyak dianjurkan untuk menentukan

status gizi balita karena lebih praktis, cukup teliti, mudah dilakukan oleh

siapapun dengan bekal pelatihan yang sederhana. Ukuran antropometri

yang paling banyak digunakan adalah Berat Badan (BB), Tinggi Badan

(TB). Kadang-kadang digunakan pula ukuran Lingkar Lengan Atas

(LLA) sebagai indikator status gizi. Ukuran-ukuran tersebut disajikan

dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan umur atau dengan ukuran

lainnya (Ayu Bulan, 2013)

a. Berat badan terhadap umur (BB/U)

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan

gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap

perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang

penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah

makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah parameter

antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana

keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan


10

kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembang

mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan yang

abnormal, terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan, yaitu

dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal.

Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan

menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status

gizi.

Tabel 2.1. Peningkatan Berat Badan Balita Standar WHO


USIA BERAT (KG)
NO
(BULAN) LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 0 3,3 3,2
2 1 4,5 4,2
3 2 5,6 5,1
4 3 6,4 5,8
5 4 7 6,4
6 5 7,5 6,8
7 6 8 7,3
8 7 8,3 7,6
9 8 8,6 8
10 9 8,9 8,2
11 10 9,2 8,5
12 11 9,4 8,7
TAHUN
13 1 9,6 9
14 2 9,6-12 9-11,3
15 3 12-13 11,3-12,2
16 4 13-13,5 12,2-12,8
17 5 13,5-13,8 12,8-13
Sumber : Supariasa, 2012

Penilaian status gizi balita berdasarkan pengukuran berat

badan terhadap umur:

1) Gizi lebih jika nilai Z score terletak >+2 SD

2) Gizi baik jika nilai Z score terletak antara >-2 SD sampai dengan

+2 SD

3) Gizi kurang jika nilai Z score terletak antara <-2 SD sampai

dengan >-2 SD
11

4) Gizi buruk jika nilai Z score terletak <-3 SD

b. Tinggi badan terhadap umur (TB/U)

Tinggi badan balita merupakan antropometri yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal, yang lebih

menggambarkan status gizi masa lalu dan erat kaitannya dengan

masalah sosial ekonomi. Pengukuran ini bersifat lebih stabil dan

tidak dipengaruhi fluktuasi perubahan status gizi yang sifatnya

musiman. Pertambahan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif

kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang

pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan balita

akan nampak dalam waktu yang relatif lama.

Dalam penggunaan pengukuran tinggi badan, diperlukan

indeks pengukuran lain dalam menilai status gizi, karena perubahan

tinggi badan tidak banyak terjadi dalam waktu singkat. Adapun cara

penilaiannya adalah:

1) Gizi lebih jika nilai Z score terletak >+2 SD

2) Gizi baik jika nilai Z score terletak antara >-2 SD sampai dengan

+2 SD

3) Gizi kurang jika nilai Z score terletak antara <-2 SD sampai

dengan >-2 SD

4) Gizi buruk jika nilai Z score terletak <-3 SD


12

Tabel 2.2. Peningkatan Tinggi Badan Balita Indonesia


USIA PANJANG/TINGGI BADAN (cm)
NO
(BULAN) LAKI-LAKI PEREMPUAN
1 0 48,9-52,3 47,4-50,9
2 1 51,2-54,7 50,8-53,4
3 2 54,1-58,9 53,0-56,7
4 3 57,6-60,4 56,5-59,4
5 4 59,8-63,8 58,9-61,9
6 5 61,7-66,8 60,9-64,0
7 6 63,3-67,5 62,6-65,8
8 7 65,8-696,1 64,2-67,5
9 8 66,2-71,5 65,6-69,0
10 9 67,4-72,8 66,9-70,3
11 10 69,4-73,9 68,0-71,5
12 11 70,8-75,3 69,4-73,0
TAHUN
13 1 71,9-76,5 70,6-74,2
14 2 73,0-88,1 71,7-86,4
15 3 82,9-95,1 81,1-93,8
16 4 91,1-103,4 89,9-101,5
17 5 99,0-110,9 97,1-108,3
Sumber : Supariasa, 2012

c. Lingkar Lengan Atas (LILA) atau Mid Upper Arm

Circumference (MUAC)

Lingkar lengan atas memberikan gambaran tentang keadaan

jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas

berkorelasi dengan indeks BB/U maupun BB/TB. Lingkar lengan

atas merupakan parameter antropometri yang sangat sederhana dan

mudah dilakukan oleh tenaga yang bukan profesional. Ambang batas

pengukuran LILA pada bayi yaitu 9,5 cm sedangkan pada balita

yaitu < 12,5 cm.

Penilaian pertumbuhan fisik anak, dapat digunakan ukuran

antropometrik dengan menilai berat badan dengan umur. Penilaian ini

dapat dilihat di dalam KMS (Kartu Menuju Sehat). KMS adalah alat

yang penting untuk memantau tumbuh kembang anak. Aktifitasnya tidak

hanya menimbang dan mencatat saja, tetapi harus menginterpretasikan


13

tumbuh kembang anak kepada ibunya, sehingga memungkinkan

pertumbuhan anak dapat diamati dengan cara menimbang teratur setiap

bulan (Supariasa, 2012)

Gambar 2.1. KMS balita

KMS yang ada saat ini di Indonesia berdasarkan standar Harvard,

dimana 50 persentil standar Harvard dianggap 100% yang merupakan

batas atas garis hijau. Garis titik-titik merupakan batas gizi baik dan gizi

kurang (cut off point) berdasarkan median -2 SD, mempunyai nilai yang

kurang lebih sama dengan persentil ke-3, atau 80% terhadap median.

Sedangkan garis merah adalah 60% terhadap median yang merupakan

batas gizi kurang dengan gizi buruk. Tiap lapis warna pada KMS adalah

5%. Pertumbuhan anak yang baik, apabila mengikuti arah lengkungan

garis pada KMS (Supariasa, 2012)

Status gizi kurang biasanya disebut dengan Kurang Energi

Protein (KEP). Untuk menentukan masalah KEP ini dapat dilakukan

pengukuran Antropometri yang umumnya meliputi Berat badan terhadap

umur (BB/U). Berdasarkan berat ringannya, umumnya KEP dibedakan


14

atas tiga kategori yaitu : KEP ringan (70-80 % dari BB/U standar), KEP

sedang (60-70 % dari BB/U standar) dan KEP berat (kurang dari 60 %

dari BB/U standar). Di samping itu untuk KEP sedang dan berat

dikelompokkan lagi dalam KEP nyata, artinya KEP yang perlu

diperhatikan, oleh karena bila dibiarkan akan dapat menjadi lebih buruk

lagi atau akan timbul tanda-tanda marasmus dan kwashiorkor.

(Supariasa, 2012)

B. Tinjauan Umum Tentang Pola Makan

1. Pengertian Pola Makan

a. Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran

mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap

hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok

masyarakat tertentu (Hariyani S, 2011)

b. Sementara itu dikutip dari Sri Handajani (1996), pola makan adalah

gambaran tingkah laku manusia atau sekelompok manusia dalam

memenuhi kebutuhan akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan

dan pilihan makanan (Hariyani S, 2011)

c. Pola makan dapat pula diartikan sebagai cara seseorang atau

sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya

sebagai reaksi terhadap pengaruh-pengaruh fisiologis, psikologis,

budaya dan sosial. Didalam pola makan dapat ditentukan kebiasaan

makan dan efek terhadap tubuh, dengan menanyakan apa yang dia

makan setiap hari, cara menyiapkan, dimana dan kapan makan, serta
15

menu harian sejak bahan makanan dipersiapkan, dipilih, diolah dan

dimasak (Atikah P, 2009)

d. Selain itu pola makan dapat didefinisikan sebagai karakteristik dari

kegiatan yang berulang kali dari individu dalam memenuhi

kebutuhannya akan makanan, sehingga kebutuhan fisiologis, sosial

dan emosionalnya dapat terpenuhi (Ayu Bulan F, 2013)

e. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola diartikan sebagai suatu

sistem, cara kerja atau usaha untuk melakukan sesuatu. Yang

dimaksud pola makan sehat dalam penelitian ini adalah suatu cara

atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan

maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi,

mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Pola makan sehari-

hari merupakan pola makan seseorang yang berhubungan dengan

kebiasaan makan setiap harinya (Elly Nurrachmah, 2011)

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Makan

Pola makan yang terbentuk sangat erat kaitannya dengan

kebiasaan makan seseorang. Secara umum faktor yang mempengaruhi

terbentuknya pola makan adalah (Moehji Sjahmien, 2009)

a. Faktor ekonomi

Variabel ekonomi yang cukup dominan dalam

mempengaruhi konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga dan

harga bahan makanan. Meningkatnya pendapatan akan

meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan


16

kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan

menyebabkan menurunnya daya beli pangan.

b. Faktor sosio budaya

Pantangan dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu

dapat dipengaruhi oleh faktor budaya/kepercayaan. Pantangan yang

didasari oleh kepercayaan pada umumnya mengandung perlambang

atau nasehat yang dianggap baik ataupun tidak baik yang lambat

laun akan menjadi kebiasaan/adat. Kebudayaan suatu masyarakat

mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk mempengaruhi

seseorang dalam memilih dan mengolah pangan yang akan

dikonsumsi.

c. Faktor agama

Adanya pantangan terhadap makanan/minuman tertentu

dikarenakan dari sisi agama makanan tersebut dianggap

membahayakan jasmani dan rohani bagi yang mengkonsumsinya.

Konsep halal haram sangat mempengaruhi pemilihan bahan

makanan yang akan dikonsumsi. Perayaan hari besar agama juga

mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang disajikan.

d. Faktor pendidikan

Pendidikan dalam hal ini dikaitkan dengan pengetahuan,

akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan

pemenuhan kebutuhan gizi. Seseorang dengan pendidikan dan

pengetahuan rendah biasanya memiliki prinsip yang penting


17

mengenyangkan, sehingga porsi bahan makanan sumber

karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan kelompok makanan

yang lain

e. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap

pembentukan pola makan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa

lingkungan keluarga, sekolah, serta adanya promosi melalui media

cetak dan elektronik. Kebiasaan makan dalam keluarga berpengaruh

besar terhadap pola makan seseorang. Kesukaan seseorang terhadap

makanan terbentuk dari kebiasaan makan yang didapat dalam

keluarga

3. Pola Makan Balita

Secara harfiah, balita atau anak bawah lima tahun adalah anak

dengan usia kurang dari lima tahun sehingga bayi usia di bawah satu

tahun juga termasuk dalam golongan ini. Namun karena faal (kerja alat

tubuh yang seharusnya) bayi usia di bawah satu tahun berbeda dengan

anak usia di atas satu tahun, sehingga banyak ilmuwan yang

membedakannya. Anak usia 1-5 tahun dapat pula dikatakan mulai

disapih atau selepas menyusu sampai usia pra sekolah. Sesuai dengan

pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya, faal tubuhnya

juga mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara

pemberiannya pun harus disesuaikan dengan kebutuhannya (Satriono,

2009)
18

Masa balita adalah periode perkembangan fisik dan mental yang

pesat. Pada masa ini otak telah siap menghadapi berbagai stimuli seperti

belajar berjalan dan berbicara lebih lancar. Agar dapat tumbuh dan

berkembang optimal, makanan yang diberikan tidak boleh hanya

sekedar mengenyangkan perut saja. Makanan yang dimakan harus

(Satriono, 2009)

a. Beragam jenisnya

b. Jumlah atau porsinya cukup (tidak kurang atau berlebihan)

c. Higienis dan aman (bersih dari kotoran dan bibit penyakit serta tidak

mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan)

d. Makan dilakukan secara teratur

e. Makan dilakukan dengan cara yang baik

Pola makan balita merupakan hal yang luas mencakup berbagai

informasi yang memberikan gambaran mengenai frekuensi makan,

macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari dan cara

menyiapkan serta mengolah makanan (Hariyani S, 2011)

a. Frekuensi makan

Penerapan jadwal makan yang teratur penting karena akan

membuat tubuh anak mengalami penyesuaian kapan perut harus diisi

dan kapan tidak. Kalau disiplin ini sudah tertanam pada diri dan

ritme tubuhnya maka ketika jam makan tiba, anak tidak akan

menolak makan. Selain itu, membiasakan anak makan sesuai jadwal

akan membuat pencernaan anak lebih siap dalam memproduksi


19

enzim dan hormon yang dibutuhkan untuk mencerna makanan.

Idealnya pemberian makanan balita yaitu 3 kali makanan utama

ditambah 2 kali makanan selingan (Elly Nurachmah, 2011)

1) Menu sarapan pagi

Menu sarapan pagi tak harus komplit susunan

hidangannya, jadi tidak selengkap makan siang/malam. Selain itu

porsi makan untuk sarapan juga lebih sedikit. Yang utama

kalorinya telah memenuhi kebutuhan gizi tubuh.

2) Menu makan siang/malam

Susunan menu makan siang/malam sebaiknya lengkap

komposisinya, terdiri dari makanan pokok, lauk hewani, lauk

nabati, sayur dan buah. Besarnya porsi makanan untuk balita

harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan makannya.

Selain itu untuk penyajiannya buat semenarik mungkin untuk

menggugah selera makan anak.

3) Menu makanan selingan

Anak perlu makanan selingan/camilan di sela-sela waktu

makanan utamanya. Pemberian makanan selingan penting untuk

melengkapi komposisi gizi seimbang dalam sehari yang mungkin

belum terpenuhi lewat menu makanan utama. Oleh karena itu

yang ditekankan bukan kandungan kalorinya tapi zat gizi lain

seperti protein, mineral dan vitamin.


20

b. Macam makanan

Macam makanan yang dimaksud harus memenuhi menu

seimbang bagi balita. Penyusunan menu makanan balita selain

memperhatikan komposisi zat gizi, juga harus memperhatikan

variasi menu makanan agar anak tidak bosan. Menu seimbang yaitu

gizi yang harus terpenuhi untuk menjaga keseimbangan gizi tubuh

mencakup (Amelia, 2012)

1) Karbohidrat seperti nasi, roti, sereal, kentang atau mie. Selain

sebagai menu utama, karbohidrat bisa diolah sebagai makanan

selingan seperti roti dan makanan lainnya

2) Buah dan sayur seperti pisang, pepaya, jeruk, tomat, wortel. Jenis

sayuran beragam mengandung zat gizi berbeda.

3) Susu dan produk olahan susu. Asupan kalsium yang banyak

terkandung dalam susu sangat dibutuhkan balita dalam proses

pertumbuhannya

4) Protein seperti ikan, susu, daging, telur dan kacang-kacangan.

5) Lemak dan gula seperti yang terdapat dalam minyak, santan dan

mentega.

Tabel 2.3. Manfaat dan sumber zat gizi


Zat Gizi Manfaat Sumber
Karbohidrat Menyediakan energi yang bisa langsung Beras, roti, kentang, umbi-
digunakan untuk beraktivitas umbian, buah, gula pasir, labu
kuning, macaroni, mie kering,
jagung
Protein a. Sumber asam amino Daging-dagingan, susu, telur,
b. Membangun sel-sel jaringan tubuh ikan, kacang-kacangan dan
c. Mengganti sel-sel tubuh yang rusak produk olahannya : tahu,
d. Membuat enzim dan hormon tempe
e. Membuat protein darah
Lemak a. Pelarut vitamin A, D, E, K Margarin, mentega, minyak
b. Sumber energi kelapa, kuning telur, kacang-
21

c. Sebagai isolator yang menghalangi tubuh kacangan, keju


kehilangan panas berlebih
d. Memelihara kesehatan kulit
Vitamin A a. Membantu kesehatan mata Telur, keju, ubi jalar merah,
b. Membantu pertumbuhan tulang, kesehatan susu, hati, ikan makarel, buah
kulit, gigi dan rambut dan sayur berwarna kuning
c. Meningkatkan daya tahan tubuh terhadap dan hijau : wortel, tomat,
infeksi pepaya, bayam, labu kuning
d. Sebagai antioksidan
Vitamin B a. Meningkatkan selera makan dan kerja Hati, daging, susu, telur, sayur
Kompleks pencernaan dan buah, kacang-kacangan,
b. Menjaga fungsi sistem saraf serealia
c. Membantu proses metabolisme dan
pembentukan sel-sel darah
Vitamin C a. Meningkatakan imunitas/daya tahan tubuh Buah-buahan seperti pisang
terhadap infeksi ambon, pepaya, tomat, jeruk
b. Memelihara kesehatan gigi dan gusi dan sayuran hijau
c. Menjaga elastisitas kulit
d. Membantu mengurangi pembentukan zat-
zat karsinogenik (pembentuk sel kanker)
e. Membantu penyerapan zat besi
Vitamin D Membantu tubuh menyerap kalsium dan Susu dan produk olahnnya,
fosfor untuk pertumbuhan tulang dan gigi minyak ikan, ikan tuna,
salmon, mentega dan margarin
Vitamin E a. Sebagai anti oksidan yang melindungi sel Kecambah, sayuran, buah,
dari kerusakan kacang-kacangan, telur
b. Menghalangi oksidasi lemak dalam tubuh
c. Mencegah kenaikan kadar kolesterol
d. Menjaga kesehatan kulit dan otot
Vitamin K a. Penting untuk proses pembekuan darah Sayuran hijau, hati, kacang-
b. Membentuk tulang yang kuat kacangan, telur
Kalsium a. Pembentukan tulang dan gigi Ikan laut, susu, brokoli, keju
b. Menjaga reaksi otot dan respon saraf
Magnesium a. Pertumbuhan otot dan tulang Gandum, coklat, ikan laut,
b. Mencegah osteoporosis kacang-kacangan, sayuran
hijau
Fosfor a. Menguatkan tulang Daging sapi, telur, keju, ayam
b. Menstabilkan metabolisme tubuh susu, ikan
Zat besi a. Mencegah anemia Daging sapi, sayuran hijau
b. Transportasi oksigen
c. Membantu pencernaan

Natrium a. Mengatur tekanan osmosis Bahan makanan dari laut,


b. Memelihara keseimbangan asam basa daging, telur, susu, garam
dalam tubuh
Seng a. Menghindari cacat mental dan anemia Bahan makanan laut, kacang-
b. Meningkatkan imunitas kacangan
Iodium Mencegah penyakit gondok Bahan makanan laut seperti
ikan, udang
Sumber : Amelia, 2012

c. Jumlah makanan

Kebutuhan tubuh kita akan zat gizi tidak bisa dipenuhi hanya

oleh satu macam makanan saja karena tidak ada satupun makanan
22

dari alam yang mempunyai kandungan gizi lengkap. Satu-satunya

makanan yang mempunyai kandungan gizi lengkap adalah air susu

ibu (ASI) bagi bayi usia empat bulan atau kurang. Agar kebutuhan

tubuh terpenuhi, anak harus dibiasakan untuk makan makanan yang

beraneka ragam sehingga diharapkan zat gizi yang tidak terkandung

atau kurang dalam satu jenis makanan akan dilengkapi oleh jenis

makanan lainnya (Elly Nurachmah, 2011)

Tabel 2.4. Angka Kecukupan Gizi Balita


Zat Gizi 1-3 Tahun 4-5 Tahun
Energy (kkal) 1000 1550
Protein (g) 25 39
Vitamin A (RE) 400 450
Vitamin D (g) 5 5
Vitamin E (mg) 6 7
Vitamin K (g) 15 20
Thiamin (mg) 0,5 0,6
Riboflavin (mg) 0,5 0,6
Niacin (mg) 6 8
Asam folat (g) 150 200
Piridoksin (mg) 0,5 0,6
Vitamin B12 (g) 0,9 1,2
Vitamin C (mg) 40 45
Kalsium (mg) 500 500
Fosfor (mg) 400 400
Magnesium (mg) 60 80
Besi (mg) 8 9
Yodium (g) 90 120
Seng (mg) 8,2 9,7
Selenium (g) 17 20
Mangan (mg) 1,2 1,5
Fluor (mg) 0,6 0,8

Sumber : Satriono, 2009

d. Cara menyiapkan dan mengolah makanan

Selain frekuensi, jumlah dan macam makanan, cara

penyajian juga harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi selera

makan anak, baik dari penampilan, tekstur, warna, aroma, besar porsi
23

dan pemilihan alat makan anak yang menarik (Elly Nurachmah,

2011)

Seringnya masalah sulit makan dimulai di usia balita awal.

Ini berkaitan dengan perkembangannya, dimana balita mengalami

masa peralihan bentuk makanan dari lunak ke makanan biasa. Balita

harus mulai belajar mengunyah bukan lagi langsung menelan

makanan (Santoso S, 2009)

Beberapa faktor yang menyebabkan sulit makan atau kurang

nafsu makan pada balita adalah (Satriono, 2009)

1) Faktor organik

Antara lain penyakit (infeksi tenggorokan/lambung),

kelainan bawaan (bibir sumbing), gangguan dalam gigi dan

rongga mulut (karies, sariawan) dan atau masalah pertumbuhan

gigi

2) Faktor psikologis

Yang termasuk dalam faktor ini adalah:

a) Hubungan emosional antara yang menyediakan makanan

dengan balita

b) Kebiasaan orang tua yang kurang mendukung misalnya malas

makan karena menjalani diet

c) Orang tua memaksa anak untuk makan

d) Anak sedang sakit

3) Faktor gizi
24

Yang tergolong dari faktor ini adalah makanan yang

disediakan. Hal ini bisa terjadi karena kebosanan akibat menu

yang monoton dan kurang variasi baik dari bahan makanan

maupun cara pengolahannya.

Perlu kesabaran dan kreatifitas ekstra untuk memberi makan

balita, agar asupan kebutuhan gizinya terpenuhi. Selain itu

diperlukan kemampuan orang tua untuk dapat mengkaji penyebab

masalah makan balita sehingga dapat menemukan solusi yang tepat

untuk memecahkan masalah tersebut (Santoso S, 2009)

C. Tinjauan Umum Tentang Hubungan Pola Makan Dengan Status Gizi

Balita

Makanan balita seharusnya berpedoman pada gizi yang seimbang

serta memenuhi standar kecukupan gizi. Gizi seimbang merupakan

keadaan yang menjamin tubuh memperoleh makanan yang cukup dan

mengandung semua zat gizi dalam jumlah yang dibutuhkan. Dengan gizi

seimbang maka pertumbuhan dan perkembangan balita akan optimal dan

daya tahan tubuhnya akan baik sehingga tidak mudah sakit (Soetjiningsih,

2009)

Umumnya masalah makan memang dimulai di usia balita awal. Ini

berkaitan dengan perkembangannya, dimana balita mengalami masa

peralihan bentuk makanan dari lunak ke makanan biasa. Balita harus mulai

belajar mengunyah bukan lagi langsung menelan makanan, sehingga anak

cenderung merasa malas makan (Santoso S, 2009)


25

Penurunan nafsu makan juga terjadi pada usia ini karena

pertumbuhannya tidak sepesat usia sebelumnya, di samping anak juga

mulai memilih-milih makanan yang disukainya. Perlu kesabaran dan

kreatifitas ekstra untuk memberi makan balita, agar asupan kebutuhan

gizinya terpenuhi. Selain itu diperlukan kemampuan orang tua untuk dapat

mengkaji penyebab masalah makan balita sehingga dapat menemukan

solusi yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut (Santoso S, 2009)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan sulit makan

pada balita (Santoso S, 2009)

a. Ajari anak untuk makan sendiri sejak dini, untuk menciptakan

kemandirian dan meningkatkan rasa percaya diri anak

b. Berilah makanan dengan bentuk dan porsi yang sesuai dengan

kemampuannya

c. Perkenalkan jenis makanan satu per satu untuk menciptakan

kesenangan anak pada tidak hanya satu jenis makanan

d. Hindari memberikan camilan berlebihan yang dapat menurunkan nafsu

makan anak pada saat waktu makanan utama

e. Menghidangkan menu yang bervariasi agar anak tidak bosan

f. Mempercantik tampilan makanan untuk menarik perhatian dan

meningkatkan nafsu makan anak

g. Atasi masalah yang dapat mempengaruhi nafsu makan

h. Jangan memaksakan makan pada saat anak tidak mau makan

i. Pengaturan jadwal pemberian makanan dan camilan


26

j. Merangsang anak untuk senantiasa aktif bergerak agar anak cepat

merasa lapar dan meningkatkan nafsu makan

k. Menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan saat makan

untuk menambah nafsu makan anak

l. Makan bersama keluarga

m. Membiarkan anak makan bersama teman-temannya pada saat-saat

tertentu

Pola makan yang seimbang, yaitu sesuai dengan kebutuhan disertai

pemilihan bahan makanan yang tepat akan melahirkan status gizi yang

baik. Asupan makanan yang melebihi kebutuhan tubuh akan menyebabkan

kelebihan berat badan dan penyakit lain yang disebabkan oleh kelebihan

zat gizi. Sebaliknya, asupan makanan kurang dari yang dibutuhkan akan

menyebabkan tubuh menjadi kurus dan rentan terhadap penyakit (Atikah

Proverawati, 2009)

Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

penyakit. Beberapa kondisi atau anggapan yang menyebabkan anak balita

rawan menderita kurang gizi antara lain (Ayu Bulan F, 2013)

a. Balita berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke makanan orang

dewasa

b. Balita yang sudah mempunyai adik mendapatkan perhatian lebih sedikit

c. Balita dengan ibu yang bekerja penuh menyebabkan asupan gizinya

kurang terawasi
27

d. Balita sudah mulai main di luar rumah dan cenderung mengabaikan

asupan gizinya

e. Balita belum dapat mengurus dirinya sendiri termasuk dalam memilih

makanan. Sementara di sisi lain ibu tidak begitu memperhatikan lagi

makanan anak balita karena dianggap sudah dapat makan sendiri

F. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai hubungan pola makan dengan status gizi

balita di Desa Dannuang Puskesmas Ujung Loe Kabupaten Bulukumba

tahun 2013 ini benar merupakan penelitian yang dibuat peneliti dalam

rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan dalam

menempuh pendidikan strata 1 (satu) keperawatan.

Penelitian mengenai status gizi balita sudah banyak dilakukan

sebelumnya, terlebih hingga tahun 2012 data menunjukkan jumlah anak

penderita gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Salah satunya adalah skripsi

Verawati tahun 2008, mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan

Universitas Gadjah Mada dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi

peningkatan status gizi balita di Posyandu wilayah kerja Puskesmas

Kecamatan Ngawen Kabupaten Blora Jawa Tengah. Rancangan penelitian

menggunakan cross sectional study dengan hasil penelitian pengetahuan

ibu, pendidikan ibu, kondisi ekonomi keluarga, dan jarak usia anak

berpengaruh terhadap status gizi balita.

Penelitian lainnya oleh Syafruddin Sjaer tahun 2011 dengan judul

faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Puskesmas


28

Bandar I Batang Jawa Tengah. Dengan menggunakan desain penelitian

cross-sectional study ditemukan hubungan antara pola makan balita, pola

pengasuhan dan pendapatan keluarga dengan status gizi balita

Anda mungkin juga menyukai