Indonesian
Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):47-553.
3. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
Kedokteran Forensik, Edisi Kedua. Jakarta : 1997
8. Lu, F.C., 1995, Toksikologi Dasar, Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko, Nugroho,
E. (terj.), Jakarta: UI Press
Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan makanan,
analisis kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang
menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal
ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti
diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi
target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari
informasi penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak
kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di
tempat kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik.1
Sangat sering dalam analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa induk,
melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa
matabolit juga merupakan target analisis. Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya
adalah spesimen biologi seperti: cairan biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau
organ tubuh. Preparasi sampel adalah salah satu faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi
forensik disamping kehadalan penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda dengan
analisis kimia lainnya, hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan
akhir dari analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu
menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu dapat
dikatakan sebagai penyebab keracunan (pada kasus kematian).1
Persiapan Sampel
Spesimen untuk analisis toksikologi forensik biasanya diambil oleh dokter, misalnya pada
kasus kematian tidak wajar spesimen dikumpulkan oleh dokter forensik pada saat melakukan
otopsi. Spesimen dapat berupa cairan biologis, jaringan, organ tubuh. Dalam pengumpulan
spesimen dokter forensik memberikan label pada masing-masing bungkus/wadah dan
menyegelnya. Label seharusnya dilengkapi dengan informasi: nomer indentitas, nama korban,
tanggal/waktu otopsi, nama spesimen beserta jumlahnya. Pengiriman dan penyerahan spesimen
harus dilengkapi dengan surat berita acara menyeran spesimen, yang ditandatangani oleh dokter
forensik. Toksikolog forensik yang menerima spesimen kemudian memberikan dokter forensik
surat tanda terima, kemudian menyimpan sampel/spesimen dalam lemari pendingin freezer dan
menguncinya sampai analisis dilakukan. Prosedur ini dilakukan bertujuan untuk memberikan
rantai perlindungan/pengamanan spesimen (chain of custody).1
Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel adalah: jenis
dan sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan analisis. Dengan demikian
akan dapat merancang atau memilih metode penanganan sampel, jumlah sampel yang akan
digunakan, serta memilih metode analisis yang tepat. Penanganan sampel perlu mendapat
perhatian khusus, karena sebagian besar sampel adalah materi biologis, sehingga sedapat
mungkin mencegah terjadinya penguraian dari analit. Pemilihan metode ekstraksi ditentukan
juga oleh analisis yang akan dilakukan, misal pada uji penapisan sering dilakukan ekstraksi satu
tahap, dimana pada tahap ini diharapkan semua analit dapat terekstraksi. Bahkan pada uji
penapisan menggunakan teknik immunoassay sampel tidak perlu diekstraksi dengan pelarut
tertentu.1
Sampel urin pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan dengan
menggunakan teknik immunoassay. Namun tidak jarang harus mendapatkan perlakuan awal,
seperti pengaturan pH dan sentrifuga, guna menghilangkan kekeruhan. 1
Pemisahan sel darah dan serum sangat diperlukan pada persiapan sebelum dilakukan uji
penapisan pada darah. Serum pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan
menggunakan teknik immunoassay. Tidak jarang sampel darah, yang diterima sudah mengalami
hemolisis atau menggupal, dalam hal ini darah dilarutkan dengan metanol, dan kemudian
disentrifugasi, sepernatannya dapat langsung dilakukan uji penapisan menggunakan teknik
immunoassay.1
Ekstraksi satu tahap sangat diperlukan apabila uji penapisan tidak menggunakan teknik
immunoassay, misal menggunakan kromatografi lapis tipis dengan reaksi penampak bercak
tertentu. Atau juga ekstraksi bertingkat metode Stas-Otto- Gang untuk melalukan pemisahan
analit berdasarkan sifat asam-basanya. Metode ekstraksi dapat berupa ekstraksi cair-cair,
menggunakan dua pelarut yang terpisah, atau ekstraksi cair-padat. Prinsip dasar dari pemisahan
ekstraksi cair-cair berdasarkan koefisien partisi dari analit pada kedua pelarut atau berdasarkan
kelarutan analit pada kedua pelarut tersebut. Pada ekstraksi cair-padat analit dilewatkan pada
kolom yang berisi adsorben fase padat (SPE, Si-Gel C-18, Extrelut, Bund Elut Certify, dll),
kemudian dielusi dengan pelarut tertentu, biasanya diikuti dengan modifikasi pH pelarut.1
Penyiapan sampel yang baik sangat diperlukan pada uji pemastian identifikasi dan
kuantifikasi, terutama pada teknik kromatografi. Karena pada umumnya materi biologik
merupakan materik yang komplek, yang terdiri dari berbagai campuran baik senyawa endogen
maupun senyawa eksogen xenobiotika. Penyiapan sampel umumnya meliputi hidrolisis,
ekstraski, dan pemurnian analit. Prosedur ini haruslah mempunyai efesiensi dan selektifitas yang
tinggi. Perolehan kembali yang tinggi pada ekstraksi adalah sangat penting untuk menyari semua
analit, sedangkan selektifitas yang tinggi diperlukan untuk menjamin pengotor atau senyawa
penggangu terpisahkan dari analit. Pada analisis menggunakan GC/MS, penyiapan sampel
termasuk derivatisasi analit secara kimia, seperi salilisasi, metilisasi, dll. Derivatisasi ini pada
umumnya bertujuan untuk meningkatkan volatilitas analit atau meningkatkan kepekaan analisis.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi respon individu terhadap tingkat konsentrasi toksik (seperti:
usia, jenis kelamin/status hormonal, berat badan, status nutrisi, genetik, status immunologi,
kelainan patologik dan penyakit bawaan, kelainan fungsi organ, sifat farmakokinetik dari
toksikan) seharusnya juga dipertimbangkan dalam menginterpretasikan hasil analisis, yang
bertujuan mencari faktor penyebab keracunan. Faktor lain yang juga harus mendapat perhatian
adalah fenomena farmakologi seperti toleransi. Toleransi adalah suatu keadaan menurunnya
respon tubuh terhadap toksikan sebagai hasil paparan yang berulang sebelumnya, biasanya dalam
waktu yang lama. Penurunan respon dapat diakibatkan oleh adaptasi selular pada suatu
konsentrasi toksikan, yang dapat berakibat pada penekanan efek farmakologis yang diinginkan.
Hal ini sering dijumpai pada kasus kematian akibat menyalahgunaan heroin, dimanakan
ditemukan tumpang tindih rentang konsentrasi morfin di darah pada kasus lethal related
heroine (0,010 - 2,200 g/ml, rataan: 0,277 g/ml) dan non-lethal related heroine (0,010
-0,275 g/ml, rataan: 0,046 g/ml). Konsetrasi morfin yang tinggi mungkin tidak
mengakibatkan efek toksik pada junkis yang telah berulang memakai heroin, sedangkan pada
konsentrasi yang sama mungkin menimbulkan efek kematian pada orang yang baru
menggunkan. Bahaya kematian sering dijumpai pada pemakaian dosis tinggi oleh pencadu, yang
memulai kembali menggunakan heroin setelah lama berhenti menggunakannya, dimana dosisnya
didasarkan pengalaman pribadi saat efek tolerasi masih timbul. Melalui pengamatan ulang
riwayat kasus, memperhatikan semua faktor toksokinetik, toksodinamik, dan dengan
membandingkan hasil analisis dengan laporan kasus yang sama dari beberapa pustaka atau
pengalaman sendiri, seorang ahli toksikologi membuat interpretasi akhir dari suatu kasus
Penyelidikan pada kasus kematian akibat pemakaian narkoba memerlukan kerja sama
dalam satu tim yang terdiri dari kepolisian (penyidik), ahli forensic, psikiater maupun ahli
toksikologi. Pertanyaanpertanyaan yang sering muncul sehubungan dengan hal di atas meliputi
apakah kejadian tersebut merupakaan kesengajaan (bunuh diri), kecelakaan, ataupun
kemungkianan pembunuhan? jenis obat apakah yang digunakan? Melalui cara bagaimanakah
pemakaian obat tersebut? Adakah hubungan antara waktu pemakaian dengan saat kematian?
Apakah korban baru pertama kali memakai, atau sudah beberapa kali memakai, ataupun sudah
merupakan pecandu berat? Adakah riwayat alergi terhadap obat tersebut? Apakah jenis narkoba
yang digunakan memprovokasi penyakit- penyakit yang mungkin sudah ada pada korban?
Apakah mungkin penyakit tersebut terlibat sehubungan dengan kematian korban? Ringksnya,
penyidikan terhadap kasus narkoba meliputi 4 aspek, yaitu :
2. Riwayat korban.
3. Otopsi.
4. Pemeriksaan Toksikologi
Dalam kaitannya dengan TKP, dapat ditemukan bukti- bukti adanya pemakaian narkoba.
Semua pakaian maupun perhiasan dan juga barang bukti narkoba yang ditemukan di TKP harus
diperiksa dan dianalisa lebih lanjut. Riwayat dari korban yang perlu digali meliputi riwayat
pemakaian narkoba yang bisa didapatkan melalui catatan kepolisian, informasi dari keluarga,
teman, maupun saksi- saksi yang berkaitan dengan informasi penggunaan narkoba (Tedeschi,
1977).
Otopsi dikonsentrasikan pada pemeriksaan luar dan dalam dan juga pada pengumpulan
sampel yang adekuat untuk pemerikasaan toksikologi. Biasanya temuan yang paling sering
didapatkan pada pemeriksaan luar adalah busa yang berasal dari hidung dan mulut. Hal ini
merupakan karakteristik kematian yang disebabkan oleh pemakaian narkoba meskipun tidak
bersifat diagnostik, karena pada kasus tenggelam, asfiksia, maupun gagal jantung dapat juga
ditemukan tanda kematian di atas. Selain itu pada pemeriksaan luar dapat juga ditemukan bekas
penyuntikan maupun sayatan- sayatan di kulit yang khas pada pemakaian narkoba. Pada
pemeriksaan dalam, penyebab kematian harus digali dengan cara mencari tanda- tanda dari
komplikasi akibat pemakaian narkoba. Pembukaan cavum pleura dan jantung dibarengi dengan
mengguyur air untuk melihat adanya pneumothoraks, maupun emboli udara. Pada pemeriksaan
paru, biasanya didapatkan paru membesar sebagai akibat adanya edema dan kongesti. Pada
pemeriksaan getah lambung jarang didapatkan bahan bahan narkoba yang masih utuh tetapi
warna dari cairan lambung dapat memberi petunjuk mengenai jenis narkoba yang dikonsumsi.
Saluran pencernaan harus diperiksa secara keseluruhan untuk mencari bukti adanya usaha
usaha penyelundupan narkoba ( Tedeschi, 1977).(8)
Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan kulit dan vena pada daerah- daerah yang
dicurigai merupakn tempat suntikan. Penilaian mengenai adanya perdarahan, peradangan, benda-
benda asing, dan tingkat ketebalan vena akan dapat memberikan informasi mengenai berapa
lama telah dilakukan kebiasaan menyuntik
.Ahli toksikologi perlu mendapatkan riwayat paling lengkap dan berbagai macam barang
bukti untuk dilakukan pemeriksaan. Jaringan dan cairan tubuh yang diperiksa meliputi hepar,
ginjal, paru, otak, getah lambung, urine, darah, dan cairan empedu. .Cairan empedu dan urine
secara khusus sangat penting pada kasus- kasus kematian akibat pemakaian opiate. Rambut dan
kuku kadang- kadang perlu diperiksa untuk pemeriksaan toksikologi lain. Usapan mukosa
hidung kadang- kadang dapat menunjukkan bekas hisapan pada pemakaian kokain maupun
heroin (Knight, 1996).(8)
A. Pemeriksaan luarTanda- tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa petunjuk
yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian.
1. Needle marks Lokasi : fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan dan kaki.
Tempat lain adalah leher, dibawah lidah, perineal, dan pada perempuan disekitar papilla
mamae. Needle marks yang masih baru sering disertai tanda- tanda perdarahan sub kutan,
perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah. Pada kasus
ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa jaringan parut titik- titik
sepanjang lintasan vena dan disebut intravenous mainline tracks. Kadang kadang
untuk menyamarkan needle marks itu dituttup dengan gambaran tattoase. Juga dapat
ditemukan abses, granuloma atau ulkus, yang mana cara ini serinag didapatkan pada
korban yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan demikian efek
toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih tahan lama. Pada
mereka inilah sering diketemukan adanya tanda- tanda abses dan lain sebagainya.
Bagaimana kalau tidak terdapat tanda bekas suntikan? Bisa saja hal ini terjadi, sebab
mungkin sekali korban menggunakan cara lain, misalnya denngan menghirup bau morfin,
atau merokok dengan campuran heroin. Oleh karena itu dalam pemeriksaan toksikologi,
perlu diambil sediaan usap ingus (nasalswab).
2. Hipertrofi kelenjar getah bening regional. Pada korban yang sering menyuntik lengannya
maka sering terdapat hipertrofi kelenjar getah bening di regio aksiler.Hal ini merupakan
Drain phenomenon. sekunder akibat penyuntikan yang berulang pada vena atau
jaringan disekitarnya, dengan memakai alat-alat suntikan yang tidak steril. Pada
pemeriksaan mikroskopik kelainan ini menunjukkan hipertrofi dan hiperplasi limfositik.
3. Lepuh kulit (skin-blister).Sering terdapat pada telapak tangan/kaki, dan hal ini sering
dilakukan untuk suntikan dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan
intoksikasi gas CO dan barbiturate.
4. Tanda mati lemas. Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang
makin lama tampak kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap
sebagai tanda terjadinya edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka,
kuku, ujung-ujung jari, dan bibir. Juga ada tanda perdarahan (bintik-bintik perdarahan)
pada kelopak mata. perdarahan petekial pada konjungtiva dan pada pemakaian narkotika
dengan cara sniffing kadang dijumpai perforasi septum nasi.
a) Dari 0 sampai 3 jam : hanya terdapat edema dan kongesti sel-sel mononuclear atau makrofag
pada dinding alveoli. PA : Paru-paru tampak voluminous, kadang-kadang bagian posterior lebih
padat sehingga tak ada krepitasi. Bagian anterior tampak ada emfisema yang difus dengan
terdapat benda-benda asing yang terisap di dalam bronkus. Tampak ada kongesti, edema dengan
sel-sel mononuclear dalam alveoli.
b) Dari 3 sampai 12 jam pertama. Terdapat narcotic lungs (siegel). Tanda ini amat bermakna ( 25
% kasus). Secara makroskopis tampak paru sangat mngembang (over inflated). Trakea tertutup
busa halus. Pada permukaan paru-paru dan penampangnya tampak gambaran lobuler akibat
adanya bermacam-macam tingkat aerasi (atelaksi adalah aerasi yang normal, amat mengembang,
dan emfisma), kongesti, dan terdapat perdarahan di beberapa tempat terutama di bagian belakang
dan bawah (posterior dan inferior). Secara PA, tampak sel-sel makrofag, perdarahan alveolar,
intrabronkhiolar, subpleural, dan sel-sel polimorfonuklear. Dapat ditemukan juga aspirat di
daalm traktus respiratorius. Sering berupa susu, karena susu sering dianggap antidotum opiate.
c) Dari 12 sampai 24 jam. Proses pneumoniasis tampak lebih rata, tampak sel-sel PMN.
Sedangkan proses lanjut yang dapat terjadi adalah apabila interval > 24 jam. Akan tampak
pneumonia lobularis diffusa, tampak kecoklatan dan granula.
Kelainan hati
Perubahan ini nampak lebih jelas pada korban yang sudah lama menyandu. Terdapat berupa
akumulasi sel radang, terutama limfosit, sedikit sel PMN dan beberapa narcotic cells. Kelainan
hati ini menurut Siegel terdapat pada 80% kasus, dan derajat kelainannya tergantung dari
lamanya penggunaan narkotika. Pada pemeriksaan mikroskopik juga ditemukan fibrosis ringan
dan proliferasi sel-sel duktus biliaris.
Lokasi : terutama di daerah portal hepatic, di sekitar kaput pankreas dan duktus kholedocus. .
Kelainan ini juga berbanding lurus dengan derajat adiksi .Makin berat menyandunya, makin
banyak kelainanya.
Kelainan lain
Limpa membesar dan mikroskopik terlihat hiperplasi nodul dan sentrum germinativum
yang menonjol. Jantung mungkin menunjukkan peradangan (endokarditis dan
miokarditis). Pada otak mungkin ditemukan perubahan kistik pada ganglia basal. Dapat
juga ditemukan kelainan yang biasa merupakan akibat pemakaian alat yang tidak steril.
C. Pemeriksaan toksikologi
b.
Keracunan Morfin
Gambaran post-mortem tidak begitu khas kecuali jika telah terjadi gejala asfiksia
yang menonjol. Tanda-tanda yang khas sukar didapat, namun masih ada beberapa petunjuk
yang dapat dipakai sebagai acuan membuat kesimpulan sebab kematian.
Needle marks
Lokasi di fossa ante cubiti, lengan atas, dan punggung tangan dan kaki. Tempat lain
adalah leher, dibawah lidah, perineal, dan pada perempuan disekitar papilla mamae.
Needle marks yang masih baru sering disertai tanda-tanda perdarahan sub kutan,
perivenous, yaitu kalau dipencet akan keluar cairan serum atau darah. Pada kasus
ketagihan, banyak terdapat bekas suntikan yang lama berupa jaringan parut titik-titik
sepanjang lintasan vena dan disebut intravenous mainline tracks. Kadang-kadang
untuk menyamarkan needle marks itu ditutup dengan gambaran tatoase.
Juga dapat ditemukan abses, granuloma atau ulkus, yang mana cara ini sering
didapatkan pada korban yang melakukannya dengan cara suntikan subkutan. Dengan
demikian efek toksikologinya diperlama, artinya efek kenikmatannya menjadi lebih
tahan lama. Pada mereka inilah sering diketemukan adanya tanda-tanda abses dan lain
sebagainya. Jika tidak ada bekas suntikan mungkin sekali korban menggunakan cara
lain, misalnya dengan menghirup bau morfin, atau merokok dengan campuran heroin.
Oleh karena itu pada pemeriksaan toksikologi, pelu diambil sediaan usap ingus (nasal
swab) sebagai bahan BBB.
Hipertrofi kelenjar getah bening regional
Pada korban yang sring menyuntik lengannya maka sering terdapat hipertrofi hipertrofi
kelenjar getah bening di regio aksiler. Hal ini merupakan Drain phenomenon.
Biasanya karena jarum suntiknya tidak steril. Dengan pemeriksaan PA tampak
hipertrofi dan hyperplasia limfositik.
Gelembung-gelembung pada kulit
Sering terdapat pada telapak tangan/kaki, dan hal ini sering dilakukan untuk suntikan
dalam jumlah besar (overdosis). Harus dibedakan dengan intoksikasi gas CO dan
barbiturate.
Tanda mati lemas
Keluarnya busa putih dan halus dari lubang hidung dan mulut yang makin lama tampak
kemerahan karena adanya proses autolisis. Tanda ini dianggap sebagai tanda terjadinya
edema pulmonum. Juga terdapat tanda sianosis pada muka, kuku, ujung-ujung jari, dan
bibir. Juga ada tanda perdarahan (bintik-bintik perdarahan) pada kelopak mata. Bahkan
pada keracunan dengan membau, dapat ditemukan perforasi pada septum nasi.