Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang


Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan yang letaknya berada paling dekat di
tengah-tengah masyarakat dan mudah dijangkau dibandingkan dengan unit pelayanan kesehatan
lainnya (rumah sakit swasta maupun negeri). Fungsi puskesmas adalah mengembangkan
pelayanan kesehatan yang menyeluruh seiring dengan misinya. Pelayanan kesehatan tersebut
harus bersifat menyeluruh atau yang disebut dengan Comprehensive Health Care Service yang
meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Prioritas yang harus dikembangkan
oleh puskesmas harus diarahkan ke bentuk pelayanan kesehatan dasar (basic health care
services) yang lebih mengedepankan upaya promosi dan pencegahan (public health service).
Fungsi puskesmas menurut keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.128/MENKES/SK/II/2004, adalah sebagai pusat penggerakan pembangunan berwawasan
kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan, serta
pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang secara primer menyerang saraf tepi,
selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotel,
mata, otot, tulang, dan testis. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang bersifat
intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium
lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati,
namun sejak tahun 1980 dimana program Multi Drug Treatment (MDT) mulai diperkenalkan,
kusta dapat didiagnosis dan diterapi.

I.II Masalah
Faktor resiko apa saja yang ditemukan pada pasien
Evaluasi terapi dalam rangka pengobatan kusta
Bagaimana fungsi keluarga menurut ilmu kedokteran keluarga dalam mendukung
penyembuhan pasien
Mengetahui intervensi apa yang dapat dilakukan untuk menangani kusta

1
I.III Tujuan
Mengetahui penyebab penyakit kusta
Mengetahui epidemiologi penyakit kusta
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit kusta
Mengetahui cara mendiagnosis penyakit kusta
Mengetahui cara penanganan penyakit kusta

I.IV Manfaat
Mampu mendeteksi dini penyakit kusta
Mampu mendiagnosa penyakit kusta
Mampu melakukan penyuluhan tentang penyakit kusta
Mampu melakukan upaya pencegahan penyakit kusta
Mampu melakukan pengobatan terhadap penderita kusta
Menghindari komplikasi penyakit kusta

BAB II

2
ISI

II.I Tinjauan Pustaka Kusta (Morbus Hansen)


Definisi
Kusta atau morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya
ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat. 1

Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti
hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab Mycobacterium leprae masih dapat hidup beberapa
hari dalam droplet. Masa tunas nya sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya
beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. 1
Kelompok umur terbanyak yang menderita penyakit ini adalah usia 25-35 tahun.
Frekuensi pada jenis kelamin pria atau pun wanita adalah sama. 2

Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia.1 Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan
secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 -8 m x 0,5m, bersifat tahan asam
dan alkohol. Kuman ini mempunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang
lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi
inflamasi kronik. 3

Patofisiologi
Sarana utama penularan adalah dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang
terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui
kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan. 1

3
Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata
adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa. 1
Mycobacterium leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil
dengan afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat
mikrobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer) dalam
lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang respon
kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya,
pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal. 1
Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini.
Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL]-2) dan hasil respon yang
lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang
terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10),
tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi
luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu, spektrum
penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam bentuk ringan kusta
dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu, kekebalan humoral relatif
tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat keparahan penyakit. 1

Gejala klinis
Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. 1,2
Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana.
Masa inkubasinya 2 40 tahun (rata-rata 5 7 tahun). Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak
ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer dengan parestesi dan baal yang
persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala klinis.
Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa makula dan bula yang bersifat
sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik
yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. 1,2
Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke kutan
terjadi. 90% pasien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal,
hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya,

4
sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi
ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat
terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun
telinga, dan lutut. 1,2
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa
- Pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial
kutaneus,
- Kerusakan sensorik pada lesi kulit
- Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan
sensorik dan motorik, serta kontraktur
- Kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove
- Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri
dan raba) 2

Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit lepra
yang terdiri berbagai tipe, yaitu :
TT : tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : tuberkuloid indefinite
BT : borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
Bl : borderline lepromatous
Li : lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%.
Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa.
BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.
Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun
1,3
ke arah LL.
Menurut WHO (1981), lepra dibagi 2 menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB).
Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, yaitu tipe

5
LL,BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB
kurang dari 2+, yaitu tipe TT,BT, dan I. 1,3
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud
dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe TT,BT, dan
I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun klasifikasi
klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 1,3

Tabel 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 ) 1

PB MB
1. Lesi kulit 1-5 lesi > 5 lesi
(makula datar, papul Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
Distribusi tidak simetris
yang meninggi, nodus) simetris
Hilangnya sensasi jelas
Hilangnya sensasi
kurang jelas
2. Kerusakan saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang
(menyebabkan saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)

Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1

Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Mid Borderline (BB)


Lepromatosa (BL)
Lesi
Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shape (kubah)
Papul Papul Punched-out

6
Nodus

Jumlah Tidak terhitung, praktis Sukar dihitung, masih Dapat dihitung, kulit
tidak ada kulit sehat ada kulit sehat sehat jelas ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
Sekret Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
hidung
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

Tabel 3. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1

7
Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate (I)
(TT) Tuberculoid (BT)
Lesi
Tipe Makula ; makula Makula dibatasi Hanya Infiltrat
dibatasi infiltrat infiltrat saja; infiltrat
saja
Jumlah Satu atau dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa
beberapa dengan lesi satelit
Distribusi Terlokalisasi & Asimetris Bervariasi
asimetris
Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak
berkilat
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau
negatif
Pemeriksaan Fisik
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik, dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas. Mengenai kulit maupun saraf.
Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak, dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat bersisik,
dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman
BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta.
Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi
satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.4

2. Borderline Leprosy

8
Pada tipe BB borderline, merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga bentuk
dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri dari makula
infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT dan
cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat berbentuk punch out yang khas. Pada tipe ini
terjadi anestesia dan berkurangnya keringat. 4

3. Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dengan cepat menyebar
ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi lesi hampir simetris. Lesi
innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa
hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat
banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap,
berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Ditemukan juga lesi Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul, eritem. Distribusi lesi
khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak
penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan
gejala stocking and glove anesthesia.4

Deformitas pada Kusta


Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer
sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang-tulang jari, dan wajah.1

Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya deformitas terjadi
diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. 1
Gejala-gejala kerusakan pada saraf :
1. N.ulnaris
Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
Clawing kelingking dan jari manis

9
Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial
2. N. medianus
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Ibu jari kontraktur
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. radialis
Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
Tangan gantung (wrist drop)
Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis
Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
Kaki gantung (foot drop)
Kelemahan otot peroneus
5. N. tibialis posterior
Anestesia telapak kaki
Claw toes
Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6. N. fasialis
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir
7. N. Trigeminus
Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata. 1
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata
lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat paralisis
N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang
selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau
bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. 1

10
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa
dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus semineferus testis. 1

Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai dengan adanya
nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya
timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relapse resistent. 1
Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman yang dorman aktif kembali atau
pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik dosis maupun pemberiannya,disebut juga
resisten sekunder. 1
Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai
dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama karena kuman
telah resisten terhadap obat MDT, disebut juga resisten primer. 1

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan dibuat
dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL
NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung basil M.leprae. Pertama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat
oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut
karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.1
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA
dalam 100 lapangan pandang (LP).

11
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan
non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000
lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. 1

2. Pemeriksaan Histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai
nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggu, makrofag akan
mampu memfagosit M.leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi
yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat
bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.1
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah
atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa
dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline
terdapat campuran unsur unsur tersebut.1

12
3. Pemeriksaan Serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman
M.tuberculosis.1
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan,
karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent
Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick). 1

4. Tes Lepromin
Adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis.
Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin
dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48
jam/2 hari (reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila
terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae,
yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis. 3

Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan untuk
menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah
timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan
didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita. 4

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS
dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan untuk
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. 4
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil
sulfon) kemudian klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat

13
antibiotik lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin. Sejak
tahun 1951 pengobatan tuberkulosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah
kemungkinan resistensi obat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.1

Diaminodifenil Sulfon
Ada dua jenis relaps pada kusta yaitu relaps sensitive (persisten) dan relaps resisten. Pada
relaps persisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba
aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah
dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M.leprae yang semula
dorman, sleeping, atau persisten bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, basil
dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun. 1
Pada relaps resisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik yang khas dapat
dibuktikan dengan percobaan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.leprae resisten terhadap DDS.
Resisten hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada pausibasilar, oleh karena SIS
penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat. 1
Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obat-obat
lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya antara lain nyeri kepala,
erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrosis
epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia. 1

Rifampisin:
Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampicin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi.1

Efek Samping yang harus di perhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala


gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit. 1

Klofazimin (lamprene) :
Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau 3x100 mg
setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan

14
E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul setelah
2-3 minggu.
Efek sampingnya adalah warna kecoklatan pada kulit dan warna kekuningan pada sclera
sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan
dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan
pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek
samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat
badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat diberikan. 1

Ofloksasin:
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in
vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan
membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%.
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya., berbagai
gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan
halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan
penghentian pemakaian obat. 1
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada
hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan
levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif. 1

Minosiklin:
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran cerna dan susunan saraf
pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak di anjurkan untuk anak-anak atau
selama kehamilan1

Klaritromisin:

15
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian
500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari.
Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering di temukan bila obat ini
diberikan dengan dosis 2000 mg. 1
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT
dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan tindak lanjut tanpa
pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Kalau
bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan atau disebut Release From Control (RFC). 1
MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT) adalah rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS
100mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan. Selama pengobatam,
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan.
Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis.
Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakn
RFC. 1
WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus Multibasilar
menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus Pausibasilar dengan lesi
kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. 1
Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula
dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan,
dilanjutkan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari
selama 8 bulan. 1

Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan ofloksasin 400 mg/hari
atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan rifampicin 600 mg
ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24
bulan. 1

WHO Recommended Treatment Regimens

16
*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg setiap hari
dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan. 5

Dapson Rifampisin

Dewasa 100 mg 600 mg

50-70 kg Setiap hari Sebulan sekali di bawah


pengawasan

Anak 50 mg 450 mg

10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali di bawah


pengawasan
Tabel 4. 6 Months Regimen for Paucibacillary (PB) Leprosy

Tabel 5. 12 Months Regimen for Multibacillary (MB) Leprosy

Dapsone Rifampisin Clofazimin

Dewasa 100 mg 600 mg 50 mg DA 300 mg


N
50-70 kg Setiap Hari Sebulan sekali Setiap hari Sebulan sekali di
di bawah bawah
pengawasan pengawasan

Anak 50 mg 450 mg 50 mg DA 150 mg


N
10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali Setiap hari Sebulan sekali di
di bawah bawah
pengawasan pengawasan

17
*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg sehari,
rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50 mg diberikan
dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.5

Tabel 6. Single Lesion Paucibacillary (SLPB) Leprosy (one time dose of 3 medications taken
together)

Rifampisin Ofloxasin Minosiklin

Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg

50-70 kg

Anak 300 mg 200 mg 50 mg

5- 14 tahun *
*
Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun

Tipe PB
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (released from
treatment) 4
Tabel 7. Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB
Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps (2x300mg)
(300mg+150mg) + DDS 1 tab + DDS 1 tab (100mg)
(50mg)
Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)
*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Tipe MB
Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang diselesaikan
dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT
meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. 4

Tabel 8. Pengobatan MDT untuk kusta tipe MB


Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps

18
(300mg+150mg) + (2x300mg) +
Klofazimin 3caps klofazimin 3caps
(3x50mg) + DDS 1 tab (3x100) + DDS 1 tab
(50mg) (100mg)
Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab (50mg) Klofasimin 1cap
+ DDS 1 tab (50mg) (100mg) + DDS 1 tab
(100mg)
* anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih
singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik,
prognosis kurang baik. 4

BAB III
MATERI DAN METODE

19
III.I Materi
Data Riwayat Keluarga/Laporan kasus
Laporan kasus adalah salah satu teknik pencatatan yang digunakan untuk mengetahui
status kesehatan suatu keluarga dalam masyarakat, dengan menggunakan prinsip dokter
keluarga, yaitu seorang pasien merupakan pintu masuk menuju kesehatan keluarganya. Jadi,
melalui pengamatan pada seorang pasien, kita juga harus mengetahui status kesehatan pada
setiap individu keluarganya.
Pada laporan kasus ini kita dapat melihat adanya faktor lingkungan yang sangat berperan
pada perkembangan suatu penyakit, keadaan tempat tinggal yang kita amati, lingkungan
sekitarnya yang dapat menunjang munculnya agent maupun malah mendukung host sehingga
penyakit tidak muncul. Selain dipengaruhi lingkungan, juga dipengaruhi oleh faktor keturunan,
mekanisme pertahanan tubuh, umur, jenis kelamin, ras, status perkawinan, macam pekerjaan dan
kebiasaan hidup. Oleh karena itu pada laporan kasus juga dicantumkan hal tersebut.
Puskemas adalah sarana pelayanan kesehatan strata pertama yang bertanggungjawab
menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat di wilayah
kerjanya. Oleh karena itu, pengisian laporan kasus dilakukan pada pasien yang datang ke
Puskesmas, guna mengetahui secara langsung kesehatan perorangan maupun masyarakat yang
berada di sekitar Puskesmas tersebut.

III.I Metode
Wawancara Pasien
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan
tanya jawab langsung antara pengumpul data maupun peneliti terhadap nara sumber atau sumber
data. Wawancara pada penelitian sampel besar biasanya hanya dilakukan sebagai studi
pendahuluan karena tidak mungkin menggunakan wawancara pada 1000 responden, sedangkan
pada sampel kecil teknik pengumpul data (umumnya penelitian kualitatif).
Wawancara terbagi atas wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara
terstruktur artinya peneliti telah mengetahui dengan pasti apa informasi yang ingin digali dari
informasi yang ingin digali dari responden sehingga daftar pertanyaan sudah dibuat secara
sistematis. Peneliti juga dapat menggunakan alat bantu tape recorder, kamera foto, dan material
lain yang dapat membantu kelancaran wawancara. Wawancara tidak terstruktur adalah

20
wawancara bebas, yaitu peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan
yang akan diajukan secara spesifik, dan hanya memuat poin-poin penting masalah yang ingin
digali dari responden.

BAB IV

HASIL KUNJUNGAN RUMAH

21
IV.I Hasil Anamnesis dan Pengamatan
Puskesmas : Puskesmas Klari
Nomor register :-
Data riwayat keluarga:
1. Identitas Pasien
a. Nama : Ny. I
b. Umur : 45 tahun
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
e. Pendidikan : Tidak tamat SD
f. Alamat : Desa Walahar, Kecamatan Klari,
Kabupaten Karawang. RT 07/RW 02
g. Telepon :-
2. Riwayat Biologis Keluarga
a. Keadaan kesehatan sekarang : Cukup
b. Kebersihan perorangan : Sedang
c. Penyakit yang sering diderita : Tidak ada
d. Penyakit keturunan : Tidak ada
e. Penyakit kronis yang menular : Tidak ada
f. Kecacatan anggota keluarga : Tidak ada
g. Pola makan : Baik
h. Pola istirahat : Baik
i. Jumlah anggota keluarga : 2 orang

3. Psikologis Keluarga
a. Kebiasaan buruk : Sering tidak memakai alas kaki saat ke luar rumah

b. Pengambilan keputusan : Keluarga


c. Ketergantungan obat : Tidak ada
d. Tempat mencari pelayanan kesehatan : Puskesmas Klari
e. Pola rekreasi : Kurang

4. Keadaan rumah/lingkungan
a. Jenis bangunan : Permanen
b. Lantai rumah : Tanah
c. Luas rumah : 90 m2
d. Penerangan : Kurang
e. Kebersihan : Kurang
f. Ventilasi : Kurang

22
g. Dapur : Ada
h. Jamban keluarga : Ada
i. Sumber air minum : Sumur
j. Sumber pencemaran air : Ada
k. Pemanfaatan perkarangan : Tidak ada
l. Sistem pembuangan air limbah : Tidak ada
m. Tempat pembuangan sampah : Tidak ada
n. Sanitasi lingkungan : Kurang

5. Spiritual Keluarga
a. Ketaatan beribadah : Baik
b. Keyakinan tentang kesehatan : Baik

6. Keadaan Sosial Keluarga


a. Tingkat pendidikan : Rendah
b. Hubungan antar anggota keluarga : Baik
c. Hubungan dengan orang lain : Baik
d. Kegiatan organisasi sosial : Kurang
e. Keadaan ekonomi : Kurang

7. Kultural Keluarga
Adat yang berpengaruh : Tidak ada adat yang berpengaruh dalam
pengambilan keputusan keluarga

8. Daftar Anggota Keluarga

No Nama Hub dgn KK Umur Pendidikan Pekerjaan Agama Keadaan Keadaa Imunisasi KB
Kesehatan n Gizi
1 Nn. I Anak 11 th SD Pelajar Islam Baik Baik Lengkap -
perempuan

9. Keluhan Utama : Kedua tangan dan kaki kebas lebih dari 1 tahun

10. Keluhan Tambahan : Putusnya beberapa jari tangan dan kaki

11. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh sering kesemutan pada kaki dan
tangan sejak 10 tahun yang lalu. Awalnya rasa kesemutan tersebut disertai dengan
munculnya bercak kemerahan. Pasien tidak berobat dan tetap melanjutkan kegiatan sehari-

23
hari seperti mengambil rumput dan sayuran di sawah. Lama kelamaan satu per satu jari
pasien putus dan pasien baru berobat ke puskesmas. Setelah menjalani pengobatan sampai
tuntas, pasien tetap mengeluh tidak bisa merasakan semua ujung jari tangan sampai batas
lengan bawah dan semua ujung jari kaki sampai batas betis. Hingga sekarang pasien tetap
merasa baal namun jari yang tersisa tidak ada yang putus lagi.

12. Riwayat Penyakit Dahulu : - alergi obat disangkal


- hipertensi disangkal
- penyakit ginjal disangkal
- penyakit paru disangkal
- penyakit diabetes disangkal

13. Pemeriksaan Fisik : - Tekanan Darah 110/70 mmHg


- Nadi 80 x/menit
- Suhu 36,7C
- Napas 18 x/menit

14. Pemeriksaan Penunjang : Tidak ada

15. Diagnosis Penyakit : Released From Treatment (post Kusta


Multibasiler)

16. Diagnosis Keluarga : Menurut keterangan pasien, keluarga tidak ada


yang memiliki penyakit infeksi, dan menular
lainnya.

17. Anjuran penatalaksanaan penyakit


a. Promotif
Penyuluhan tentang definisi kusta, gejala kusta, faktor-faktor risiko terjadinya kusta dan
cara penularan kusta.
b. Preventif

24
Kegiatan skrining dan deteksi untuk menemukan penyakit seperti pemeriksaan
kesehatan setiap tahun agar dideteksi kusta atau tidak, menerapkan pola hidup sehat
untuk meningkatkan daya tahan tubuh seperti meningkatkan konsumsi buah dan sayur,
menurunkan asupan lemak, menurunkan berat badan berlebih, dan melakukan latihan
fisik/olah raga secara teratur.
c. Kuratif
Jika ditemukan kasus, dapat dilakukan pengobatan dini agar penyakit tersebut tidak
menjadi parah. Terapi yang dapat diberikan sesuai dengan tipe kusta. MDT untuk tipe
pausibasilar TT adalah rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan dan DDS
100 mg setiap hari.
d. Rehabilitatif
Rehabilitatif adalah suatu kegiatan difokuskan kepada mempertahankan kualitas hidup
penderita yang telah mengalami penyakit yang cukup berat. Pada pasien perlu dilakukan
tindakan rehabilitatif yakni diajarkan cara perawatan kulit sehari-hari, melindungi kaki
yang telah terganttu sensitifitasnya, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda
yang tajam atau panas.

18. Prognosis

a. Penyakit :
Jika pasien teratur meminum obat rutin, ke Puskesmas secara teratur, serta didukung
dengan pola hidup sehat yang baik maka prognosis penyakit pasien adalah baik (dubia
et bonam).
b. Keluarga :
Adanya hubungan yang baik antar anggota keluarga serta mendukung kesehatan pasien
dapat membuat suasana keluarga yang sehat jasmani dan rohani dan prognosisnya baik
untuk pasien juga keluarganya.
c. Masyarakat :
Untuk masyarakat sekitar pasien tinggal, prognosisnya ad bonam. Karena meskipun
termasuk penyakit menular, butuh kontak terus menerus dan dalam jangka waktu yang
lama sampai tertular.

IV. Resume

25
1. Telah diperiksa seorang perempuan, bernama Ny.I, dengan keluhan baal pada kaki dan
tangan lebih dari 1 tahun yang lalu. Pasien mengeluh sering kesemutan pada kaki dan tangan
sejak 10 tahun yang lalu. Awalnya rasa kesemutan tersebut disertai dengan munculnya bercak
kemerahan. Pasien tidak berobat dan tetap melanjutkan kegiatan sehari-hari seperti
mengambil rumput dan sayuran di sawah. Lama kelamaan satu per satu jari pasien putus dan
pasien baru berobat ke puskesmas. Setelah menjalani pengobatan sampai tuntas, pasien tetap
mengeluh tidak bisa merasakan semua ujung jari tangan sampai batas lengan bawah dan
semua ujung jari kaki sampai batas betis. Hingga sekarang pasien tetap merasa baal namun
jari yang tersisa tidak ada yang putus lagi.

BAB V
ANALISIS MASALAH

1. Analisa Kasus
Pada tanggal 17 Oktober 2015 dilakukan kunjungan rumah pada Ny.I berusia 45 tahun, untuk
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik berupa pengukuran tanda vital serta melihat kondisi
rumah pasien, dan didapatkan keterangan bahwa Ny.I sudah menderita kusta sejak 11 tahun
terakhir dan sudah menjalani pengobatan rutin sampai selesai sejak lebih dari setahun
belakangan. Pasien tinggal di pemukiman padat penduduk dan di depan pabrik.

2. Analisa Kunjungan Rumah


a. Kondisi pasien
Kondisi pasien dalam keadaan baik. Pasien mengeluhkan rasa baal pada kedua tangan
dan kedua kaki.
b. Pendidikan
Pasien bersekolah sampai tingkat SD tetapi tidak tamat.
c. Keadaan rumah
Lokasi : Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain rapat.
Kondisi : Jenis bangunan rumah pasien adalah permanen. Rumah terbuat dari batu
bata, lantainya terbuat dari tanah, beratap genteng. Rumah tampak kotor dan tidak
terawat.

26
Luas rumah : 90 m2.
d. Pembagian rumah
Rumah terdiri dari 1 tingkat, terdiri dari 1 kamar tidur, 1 ruang dapur, dan 1 kamar
mandi.
e. Ventilasi
Tidak terdapat ventilasi yang cukup pada rumah pasien.
f. Penerangan
Penerangan kurang.
g. Kebersihan
Kebersihan dalam rumah kurang.
h. Sanitasi dasar
Sumber air minum berasal dari air sumur, dan air tersebut digunakan untuk keperluan
memasak, mencuci dan mandi. Terdapat satu kamar mandi beserta kakus yang
digunakan hanya untuk keluarga pasien. Kamar mandi bersebelahan dengan dapur dan
dijadikan sebagai tempat untuk mencuci peralatan masak dan pakaian.

3. Analisa Fungsi Keluarga


a. Keadaan Biologis
Dalam keluarga pasien saat ini, yang menderita kusta adalah pasien, telah dinyatakan
RFT sejak lebih dari setahun yang lalu.
b. Keadaan Psikologis
Hubungan pasien dengan semua anggota keluarga terjalin dengan baik. Semua keluarga
turut bekerja sama dan pasien terlihat bahagia dengan keluarga yang dimilikinya.
c. Keadaan Sosiologis
Pasien jarang turut ikut serta dalam kegiatan sosial di tempat mereka. Pasien dan
keluarga sering berkomunikasi dengan tetangga mereka.
d. Keadaan Religius
Semua anggota keluarganya menjalankan ibadah mereka dengan baik.

27
BAB V
PENUTUP

V.I Kesimpulan dan saran


Berdasarkan data riwayat keluarga diatas kesimpulan yang dapat diambil adalah keadaan
kesehatan keluarga pasien sekarang sudah sembuh, disarankan untuk tindakan pencegahan dan
perlindungan terhadap penyakit masih perlu diperhatikan, perlu dilakukan pembenahan baik dari
segi keadaan biologis maupun psikologi keluarga, keadaan rumah/lingkungan atau pun sosial
keluarga.
Dari data pasien didapatkan pula bahwa pasien mengetahui penyakit yang dideritanya,
serta dampaknya bagi kesehatan. Hal ini dibuktikan dengan sikap dan perilaku pasien untuk
meminum obatnya secara rutin sampai selesai pengobatan dan dinyatakan RFT. Dibutuhkan
suatu promosi kesehatan dalam bentuk kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan,
sikap, dan perilaku pasien dan keluarga terhadap penyakitnya.

28
Daftar Pustaka

1. Kosasih A, Wisnu IM, Dili SE, Menaldi SL. Kusta. Dalam : Djuanda, Adhi dkk.(ed). Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. Ed.5. Jakarta: FKUI; 2010.h.73-88
2. Siregar S. Saripati penyakit kulit, Jakarta: EGC; 2006.h.124-6
3. Lewis S. Leprosy. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall , 31 Oktober 2015.
4. Hayley W. Leprosy. Diunduh dari: http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm , 31
Oktober 2015.
5. WHO. Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Diunduh dari:
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html , 31 Oktober 2015.

29

Anda mungkin juga menyukai