Kuhentikan mobil tepat di ujung kandang tempat berjualan hewan Qurban. Saat pintu mobil
kubuka, bau tak sedap memenuhi rongga hidungku, dengan spontan aku menutupnya dengan
saputangan. Suasana di tempat itu sangat ramai, dari para penjual yang hanya bersarung
hingga ibu-ibu berkerudung Majelis Taklim, tidak terkecuali anak-anak yang ikut menemani
orang tuanya melihat hewan yang akan di-Qurban-kan pada Idul Adha nanti, sebuah
pembelajaran yang cukup baik bagi anak-anak sejak dini tentang pengorbanan Nabi Allah
Ibrahim & Nabi Ismail.
Aku masuk dalam kerumunan orang-orang yang sedang bertransaksi memilih hewan yang
akan di sembelih saat Qurban nanti. Mataku tertuju pada seekor kambing coklat bertanduk
panjang, ukuran badannya besar melebihi kambing-kambing di sekitarnya.
" Berapa harga kambing yang itu pak?" ujarku menunjuk kambing coklat tersebut.
" Yang coklat itu yang terbesar pak. Kambing Mega Super dua juta rupiah tidak kurang" kata
si pedagang berpromosi matanya berkeliling sambil tetap melayani calon pembeli lainnya.
" Tidak bisa turun pak?" kataku mencoba bernegosiasi.
" Tidak kurang tidak lebih, sekarang harga-harga serba mahal" si pedagang bertahan.
" Satu juta lima ratus ribu ya?" aku melakukan penawaran pertama
" Maaf pak, masih jauh. " ujarnya cuek.
Aku menimbang-nimbang, apakah akan terus melakukan penawaran terendah berharap si
pedagang berubah pendirian dengan menurunkan harganya.
" Oke pak bagaimana kalau satu juta tujuh ratus lima puluh ribu?" kataku
" Masih belum nutup pak " ujarnya tetap cuek
" Yang sedang mahal kan harga minyak pak. Kenapa kambing ikut naik?" ujarku berdalih
mencoba melakukan penawaran termurah.
" Yah bapak, meskipun kambing gak minum minyak. Tapi dia gak bisa datang ke sini sendiri.
Tetap saja harus di angkut mobil pak, dan mobil bahan bakarnya bukan rumput" kata si
pedagang meledek.
Dalam hati aku berkata, alot juga pedagang satu ini. Tidak menawarkan harga selain yang
sudah di kemukakannya di awal tadi. Pandangan aku alihkan ke kambing lainnya yang lebih
kecil dari si coklat. Lumayan bila ada perbedaan harga lima ratus ribu. Kebetulan dari tempat
penjual kambing ini, aku berencana ke toko ban mobil. Mengganti ban belakang yang sudah
mulai terlihat halus tusirannya. Kelebihan tersebut bisa untuk menambah budget ban yang
harganya kini selangit.
" Kalau yang belang hitam putih itu berapa bang?" kataku kemudian
" Nah yang itu Super biasa. Satu juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah" katanya
Belum sempat aku menawar, di sebelahku berdiri seorang kakek menanyakan harga kambing
coklat Mega Super tadi. Meskipun pakaian "korpri" yang ia kenakan lusuh, tetapi wajahnya
masih terlihat segar.
" Gagah banget kambing itu. Berapa harganya mas?" katanya kagum
" Dua juta tidak kurang tidak lebih kek. " kata si pedagang setengah malas menjawab setelah
melihat penampilan si kakek.
"Mahal benar harganya?" kata si kakek " bisa di tawar-kan ya mas?" lanjutnya mencoba
negosiasi juga.
" Cari kambing yang lain aja kek. " si pedagang terlihat semakin malas meladeni.
" Tidak usah mas. Aku mau yang terbaik dan gagah untuk Qurban tahun ini
Uangnya cukup untuk mbayar koq mas. " katanya tetap bersemangat seraya mengeluarkan
bungkusan dari saku celananya. Bungkusan dari kain perca yang juga sudah lusuh itu di
bukanya, enam belas lembar uang seratus ribuan dan sembilan lembar uang lima puluh ribuan
dikeluarkan dari dalamnya.
" Ini dua juta rupiah mas. Kambingnya dianter ke rumah ya mas?" lanjutnya mantap tetapi
tetap bersahaja.
Si pedagang kambing kaget, tidak terkecuali aku yang memperhatikannya sejak tadi. Dengan
wajah masih ragu tidak percaya si pedagang menerima uang yang disodorkan si kakek,
kemudian di hitungnya perlahan lembar demi lembar uang itu.
" Kek, ini ada lebih lima puluh ribu rupiah" si pedagang mengeluarkan selembar lima puluh
ribuan
" Enggak ada ongkos kirimnya ya? si kakek seakan tahu uang yang diberikannya berlebih
" Dua juta sudah termasuk ongkos kirim" si pedagang yang cukup jujur memberikan lima
puluh ribu ke kakek " mau di antar ke mana mbah?" (tiba-tiba panggilan kakek berubah
menjadi mbah)
"Alhamdulillah, lebih lima puluh ribu bisa ditabung lagi" kata si kakek sambil menerimanya "
tolong antar ke desa dekat itu ya, sesampainya di belakang Masjid Baiturrohman, tanya saja
rumahnya mbah Sutrimo pensiunan pegawe Pemda Pasir Mukti, InsyaAllah anak-anak sudah
tahu. "
Setelah selesai bertransaksi dan membayar apa yang telah disepakatinya, si kakek berjalan ke
arah sebuah sepeda tua yang disandarkan pada sebatang pohon pisang, tidak jauh dari mobil
milikku. Perlahan di angkat dari sandaran, kemudian dengan sigap dikayuhnya tetap dengan
semangat. Entah perasaan apa lagi yang dapat kurasakan saat itu, semuanya berbalik ke arah
berlawanan dalam pandanganku. Kakek tua pensiunan pegawai Pemda yang hanya berkendara
sepeda engkol, sanggup membeli hewan Qurban yang terbaik untuk dirinya. Aku tidak tahu
persis berapa uang pensiunan PNS yang diterima setiap bulan oleh si kakek. Yang aku tahu, di
sekitar masjid Baiturrohman tidak ada rumah yang berdiri dengan mewah, rata-rata penduduk
sekitar desa Pasir Mukti hanya petani dan para pensiunan pegawai rendahan.
Yang pasti secara materi, sangatlah jauh di banding penghasilanku yang sanggup membeli
rumah dikawasan cukup bergengsi, yang sanggup membeli kendaraan roda empat yang harga
ban-nya saja cukup membeli seekor kambing Mega Super, yang sanggup mempunyai hobby
berkendara moge (motor gede) dan memilikinya Yang sanggup mengkoleksi "raket" hanya
untuk olah-raga seminggu sekali, Yang sanggup juga membeli hewan Qurban dua ekor sapi
sekaligus. Tapi apa yang aku pikirkan? Aku hanya hendak membeli hewan Qurban yang jauh
di bawah kemampuanku yang harganya tidak lebih dari service rutin mobilku, kendaraanku di
dunia fana.
Sementara untuk kendaraanku di akhirat kelak, aku berpikir seribu kali saat membelinya. Ya
Allah, Engkau yang Maha Membolak-balikan hati manusia balikkan hati hambaMu yang tak
pernah berSyukur ini ke arah orang yang pandai menSyukuri nikmatMu