Anda di halaman 1dari 24

HIV/AIDS PADA KEHAMILAN

DAN REMAJA
PENDAHULUAN

Jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada


usia reproduksi. Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi
perinatal dari ibunya. Laporan CDC (Central for Disease Control) Amerika
memaparkan bahwa seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0%-1,7%,
pada saat persalinan 0,4%-2,3% dan 9,4-29,6% pada ibu hamil yang biasa
menggunakan narkotika intravena. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV.
Sebaliknya, risiko tentang hasil kehamilan pada penderita infeksi HIV masih
merupakan tanda tanya. Transmisi vertikal virus AIDS dari ibu kepada janinnya
telah banyak terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui, kapan transmisi perinatal
tersebut terjadi. Penelitian di Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa
risiko transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20-40%. Transmisi dapat terjadi
melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan atau melalui ASI. Walaupun
demikian WHO menganjurkan agar ibu dengan HIV (+) tetap menyusui bayinya
mengingat manfaat ASI yang lebih besar dibandingkan dengan risiko penularan
HIV.1
Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang
relatif baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika
pada tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun makin meningkat secara
relatif cepat disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukanlah
pengamatan dan penelitian yang intensif sehingga akhirnya penyebab defisiensi
imun ini ditemukan. Penyebab defisiensi imun ini adalah suatu virus yang
kemudian dikenal dengan nama human immunodeficiency virus tipe-1 (HIV-1),
pada tahun 1985. Pada pengamatan selanjutnya, ternyata bahwa infeksi HIV-1 ini
dapat menimbulkan rentangan gejala yang sangat luas, yaitu dari tanpa gejala
hingga gejala yang sangat berat dan progresif, dan umumnya berakhir dengan
kematian. Dengan meningkat dan menyebarnya kasus defisiensi imun oleh virus
ini pada orang dewasa secara cepat di seluruh dunia, apabila kasus tersebut tidak
mendapat perhatian dan penanganan yang memadai, dalam waktu dekat
diperkirakan jumlah kasus defisiensi imun pada anak juga akan meningkat.2
Secara keseluruhan, infeksi pada wanita meningkat, dan proporsi wanita
dan gadis remaja yang terinfeksi meningkat tiga kali lipat dari 7 menjadi 23
persen dari tahun 1985 sampai 1998. Sejak saat itu, prevalensi penyakit yang
mematikan ini meningkat di seluruh dunia hampir secara geometris. Di Amerika
Serikat sampai tahun 1998, Fauci (1999) menyebut sekitar 650.000 sampai
900.000 orang terinfeksi dan hampir setengah juta meninggal. Pada tahun 1994,
kematian akibat infeksi HIV menjadi penyebab utama kematian pada orang
berusia 25 sampai 44 tahun. Seperti diperkirakan, infeksi perinatal juga
meningkat. Sampai tahun 1993, Centers for Disease Control and Prevention
memperkirakan bahwa di Amerika Serikat 15.000 anak terinfeksi HIV lahir dari
wanita positif HIV.3

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh
adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh
defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh
human immunodeficiency virus.2 Kausa sindrom imunodefisiensi ini adalah
retrovirus DNA yaitu HIV-1 dan HIV-2.3

2.2. Etiologi
Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus
lenti virus. Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2. Dimana HIV-1 memiliki 10 subtipe
yang diberi dari kode A sampai J dan subtipe yang paling ganas di seluruh dunia
adalah grup HIV-1.4

2.3. Cara Penularan5


Kita masih belum mengetahui secara persis bagaimana HIV menular dari
ibu ke bayi. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya
lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular
HIV. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut:

Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi


terinfeksi HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang
ada di dalam darah) ibunya. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah
mencapai viral load yang tidak dapat terdeteksi seperti juga ART untuk siapa pun
terinfeksi HIV. Viral load penting pada waktu melahirkan. Penularan dapat terjadi
dalam kandungan yang dapat disebabkan oleh kerusakan pada plasenta, yang
seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan tersebut dapat
memungkinkan darah ibu mengalir pada janin. Kerusakan pada plasenta dapat
disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB.
Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi
tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas,
jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu
faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang
dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu
ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV
melalui menyusui.
Faktor risiko lain termasuk kelahiran prematur (bayi lahir terlalu dini) dan
kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko
menunjukkan satu hal, yaitu mengawasi kesehatan ibu. Beberapa pokok kunci
yang penting adalah:
a. status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya,
b. status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya, dan
c. status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu.

2.4. Faktor Risiko


Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi:

2.4.1. Faktor ibu dan bayi6


a. Faktor ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke
bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat
persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya,
satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat
sekali bertambah di tubuh seseorang.
Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi
pada menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu juga
mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang
rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah CD4
kurang dari 200.
Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta
kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi
juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi
reproduksi lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat.
Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika
terdapat kadar CD4 yang kurang dari 200 serta adanya masalah pada ibu seperti
mastitis, abses, luka di puting payudara. Risiko penularan HIV pasca persalinan
menjadi meningkat bila ibu terinfeksi HIV ketika sedang masa menyusui bayinya.

b. Faktor bayi antara lain:


1. bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah,
2. melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi, dan
3. bayi yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya.

2.4.2. Faktor cara penularan


a. Menular saat persalinan melalui percampuran darah ibu dan darah bayi.
b. Bayi menelan darah ataupun lendir ibu.
c. Persalinan yang berlangsung lama.
d. Ketuban pecah lebih dari 4 jam.
e. Penggunaan elektroda pada kepala janin, penggunaan vakum atau forceps, dan
tindakan episiotomi
f. Bayi yang lebih banyak mengonsumsi makanan campuran daripada ASI.

Masa kehamilan Masa persalinan Masa menyusui


Ibu baru terifeksi HIV Ibu baru terinfeksi HIV Ibu baru terinfeksi HIV
Ibu memiliki infeksi Ibu mengalami pecah Ibu memberikan ASI dalam
virus, bakteri, parasit. ketuban lebih dari 4 jam periode yang lama.
sebelum persalinan.
Ibu memiliki infeksi Terdapat tindakan medis Ibu memberikan makanan
menular seksual. yang dapat meningkatkan campuran (mixed feeding)
kontak dengan darah ibu atau untuk bayi.
cairan tubuh ibu (seperti
penggunaan elektroda pada
kepala janin, penggunaan
vakum atau forceps, dan
episiotomi.
Ibu menderita Bayi merupakan janin Ibu memiliki masalah pada
kekurangan gizi. pertama dari suatu kehamilan payudara, seperti mastitis,
ganda (karena lebih dekat abses, luka di puting
dengan leher rahim/serviks) payudara.
Ibu memiliki korioamniositis Bayi memiliki luka di
(dan IMS yang tak diobati mulut.
atau infeksi lainnya).
Tabel 1 Faktor yang meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi

2.5. Manifestasi Klinis7


a. Gejala Konstitusi
Sering disebut sebagai AIDS related complex, dimana penderita
mengalami paling sedikit 2 gejala klinis yang menetap yaitu:
Demam terus menerus >37,5C.
Kehilangan berat badan 10% atau lebih.
Radang kelenjar getah bening yang meliputi 2 atau lebih kelenjar getah bening
di luar daerah inguinal.
Diare yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Berkeringat banyak pada malam hari yang terus menerus.
b. Gejala Neurologis

Gejala neurologis yang beranekaragam seperti kelemahan otot, kesulitan


berbicara, gangguan keseimbangan, disorientasi, halusinasi, mudah lupa,
psikosis, dan sampai koma.
c. Gejala infeksi oportunistik
Gejala infeksi oportunistik merupakan kondisi dimana daya tahan tubuh
penderita sudah sangat lemah sehingga tidak mampu melawan infeksi bahkan
terhadap patogen yang normal pada tubuh manusia. Infeksi yang paling sering
ditemukan, yaitu Pneumocystic carinii pneumonia (PCP), Tuberkulosis,
Toksoplasmosis, infeksi mukokutan (seperti herpes simpleks, herpes zoster
dan kandidiasis adalah yang paling sering ditemukan).

d. Gejala tumor, yang paling sering ditemukan adalah Sarcoma kaposis dan
Limfoma maligna non-Hodgkin.
2.6. Diagnosis infeksi HIV pada bayi
Tidak mudah menegakkan diagnosis infeksi HIV pada bayi yang lahir dari
ibu HIV positif. Tantangan untuk diagnosis adalah:8
a.
Penularan HIV dapat terjadi selama kehamilan, terutama trimester ketiga,
selama proses persalinan dan selama masa menyusui. Meskipun diketahui
selama kehamilan bayi mungkin tertular HIV, belum ada penelitian yang
memeriksa bayi di dalam kandungan untuk deteksi infeksi HIV. Selain itu juga
terdapat masa jendela setelah seseorang terinfeksi HIV yang dapat
berlangsung hingga enam bulan.

b. Antibodi terhadap HIV dari ibu ditransfer melalui plasenta selama kehamilan.
Jadi, semua bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV akan positif pula bila
diperiksa antibodi HIV dalam tubuhnya. Dikenal berbagai teknik pemeriksaan
antibodi yang terkenal dan dilakukan di Indonesia, yaitu ELISA, aglutinasi,
dan dot-blot immunobinding assay.

2.7. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metode
ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). ELISA pada mulanya
digunakan untuk skrining darah donor dan pemeriksan darah kelompok risiko
tinggi. Pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV, tes ini efektif dilakukan
pada bayi yang berusia 18 bulan keatas. Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan
hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 tes yang dilakukan, kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai metode Western
Blot. Penggabungan test ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat
spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS.9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan lainnya yaitu: 10
1. Foto toraks
2. Pemeriksaan fisik
Penampilan umum tampak sakit sedang, berat.
Tanda vital.
Kulit: rush, Steven Jhonson.
Mata: hiperemis, ikterik, gangguan penglihatan.
Leher: pembesaran KGB.
Telinga dan hidung: sinusitis, berdengung.
Rongga mulut: candidiasis.
Paru: sesak nafas, efusi pleura.
Jantung: kardiomegali.
Abdomen: asites, distensi abdomen, hepatomegali.
Genetalia dan rektum: herpes.
Neurologi: kejang, gangguan memori, neuropati.
3. Mantoux test
4. Pemeriksaan laboratorium darah (Kadar CD4, Hepatitis, Paps smear,
Toxoplasma, Virus load)

2.8. Penatalaksanaan
Kita semua berhak untuk menikah dan mendapatkan keturunan. Menjadi
HIVpositif tidak mengurangi hak kita. Namun jelas tanggung jawab kita juga
lebih besar. Kita pasti ingin supaya anak kita tidak terinfeksi HIV, dan ada
beberapa cara untuk mengurangi risiko ini. Selain itu, kita pasti ingin tetap sehat
agar dapat membesarkan anak kita. Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi
kita tidak terinfeksi dan kita tetap sehat adalah dengan memakai terapi
antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai
obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART
sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya.
Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat untuk
mempertimbangkan mendapatkan anak.5

2.8.1. Penatalaksanaan selama kehamilan11


Konseling merupakan keharusan bagi wanita positif-HIV. Hal ini
sebaiknya dilakukan pada awal kehamilan, dan apabila ia memilih untuk
melanjutkan kehamilannya, perlu diberikan konseling berkelanjutan.
Perkembangan penatalaksanaan selama kehamilan mengikuti kemajuan-kemajuan
dalam pengobatan individu non hamil dengan HIV. Konsekuensi penyakit yang
tidak diobati sangat merugikan, terjadi pergeseran dari fokus yang semata-mata
untuk melindugi janin menjadi pendekatan yang lebih berimbang berupa
pengobatan ibu dan janinnya.
Banyak terjadi kemajuan dalam pengobatan HIV. Sejumlah penelitian
membuktikan bahwa kombinasi analog nukleosida-zidovudin, zalsitabin, atau
lamivudin- yang diberikan bersama dengan suatu inhibitor protease-indinavir,
ritonavir, atau sakuinavir- sangat efektif untuk menekan kadar RNA HIV. Pada
pasien HIV yang diberi kombinasi tiga obat, angka kelangsungan hidup jangka
panjang meningkat dan morbiditas berkurang.
Center for Disease Control and Prevention (1998) menganjurkan untuk
menawarkan terapi antiretrovirus (ARV) kombinasi pada wanita hamil. Petunjuk
ini diperbarui oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group (2000,2001).
Working Group merekomendasikan pemeriksaan hitung CD4+ limfosit T dan
kadar RNA HIV kurang lebih tiap trimester, atau sekitar setiap 3 sampai 4 bulan.
Hasil pemeriksaan ini dipakai untuk mengambil keputusan untuk memulai terapi
ARV, mengubah terapi, menentukan rute pelahiran, atau memulai profilaksis
untuk pneumonia Pneumocystis carinii.
Pada ibu juga dilakukan pemeriksaan untuk penyakit menular seksual lain
dan tuberculosis (TB). Pasien diberi vaksininasi untuk hepatiis B, influenza, dan
mungkin juga infeksi pneumokokus. Apabila hitung CD4+ kurang dari 200 /ul,
dianjurkan pemberian profilaksis primer P.carinii. Pneumonia diterapi dengan
pentamidin atau sulfametoksazol-trimetoprin oral atau intravena. Infeksi
oportunistik simtomatik lain yang mungkin timbul adalah toksoplasmosis, herpes,
dan kandidiasis.

2.8.2. Seksio Sesarea12


European Collaborative Study Group (1994) melaporkan bahwa seksio
sesarea elektif dapat mengurangi risiko penularan vertikal sekitar 50 %. Apabila
dianalisis berdasarkan terapi ARV, tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam
angka penularan pada wanita yang mendapat zidovudin dan menjalani seksio
sesarea versus per vaginam.
Internasional Perinatal HIV Group (1999) baru-baru ini melaporkan
penularan HIV vertikal secara bermakna menurun menjadi kurang dari separuh
apabia saksio sesarea dibandingkan dengan cara pelahiran lain. Apabila pada masa
prenatal, intrapartum, dan neonatal juga diberikan terapi ARV dan dilakukan
seksio sesarea, kemungkinan penularan vertikal akan berkurang sebesar 87 %
disbanding dengan cara pelahiran lain dan tanpa terapi ARV.
Berdasarkan temuan ini, American College of Obstetricians and
Gynecologists (2000) menyimpulkan bahwa seksio sesarea terencana harus
dianjurkan bagi wanita terinfeksi HIV dengan jumlah RNA HIV-1 lebih dari 1000
salinan/ml. Hal ini dilakukan tanpa memandang apakah pasien sedang atau belum
mendapat terapi ARV. Persalinan terencana dapat dilakukan sebelum 38 minggu
untuk mengurangi kemungkinan pecahnya selaput ketuban.
Penulis-penulis lain mengungkapkan kekhawatiran morbiditas mungkin
meningkat secara bermakna pada wanita terinfeksi HIV yang menjalani seksio
sesarea. Mereka menyimpulkan bahwa terapi ARV kombinasi dapat menurunkan
resiko penularan vertikal sampai serendah 2 %. Morris,dkk tidak melaporkan
adanya penularan perinatal pada 76 wanita yang mendapat terapi ARV sangat aktif
(High active antiretroviral therapy, HAART).

2.9. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi


Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan
secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu:
Prong 1: mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia
reproduktif.
Prong 2: mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif.
Prong 3: mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke
bayi yang dikandungnya.
Prong 4: memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
HIV positif beserta bayi dan keluarganya.

Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan


Prong 1 dan Prong 2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi,
diimplementasikan semua prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan
dijalankan oleh pemerintah, serta dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta
dan lembaga swadaya masyarakat.12
Pedoman baru dari WHO mengenai pencegahan penularan dari ibu
ke bayi (preventing mother-to-child transmission/PMTCT) berpotensi
meningkatkan ketahanan hidup anak dan kesehatan ibu, mengurangi risiko
(mother-to-child transmission/MTCT) hingga 5% atau lebih rendah serta secara
jelas memberantas infeksi HIV pediatrik.13

Pedoman itu memberikan perubahan yang bermakna pada beberapa


tindakan di berbagai bidang. Anjuran kunci adalah:

- ART untuk semua ibu hamil yang HIV-positif dengan jumlah CD4+ di bawah
350 atau penyakit WHO stadium 3 atau penyakit HIV stadium 4, tidak
menunda mulai pengobatan dengan tulang punggung AZT dan 3TC atau
tenofovir dan dengan 3TC atau FTC.

- Penyediaan antiretroviral profilaksis yang lebih lama untuk ibu hamil yang
HIV-positif yang membutuhkan ART untuk kesehatan ibu.

- Apabila ibu menerima ART untuk kesehatan ibu, bayi harus menerima
profilaksis nevirapine selama enam minggu setelah lahir apabila ibunya
menyusui, dan profilaksis dengan nevirapine atau AZT selama enam minggu
apabila ibu tidak menyusui.

- Untuk pertama kalinya ada cukup bukti bagi WHO untuk mendukung
pemberian ART kepada ibu atau bayi selama masa menyusui, dengan anjuran
bahwa menyusui dan profilaksis harus dilanjutkan hingga bayi berusia 12
bulan apabila status bayi adalah HIV-negatif atau tidak diketahui.

- Apabila ibu dan bayi adalah HIV-positif, menyusui harus didorong untuk
paling sedikit dua tahun hidup, sesuai dengan anjuran bagi populasi umum.13
Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah
mencegah penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa bayi hanya dapat
tertular oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, maka bayi juga tidak terinfeksi
HIV. Status HIV ayah tidak mempengaruhi status HIV bayi.14

Hal ini dapat dijelaskan karena sperma dari penderita HIV tidak
mengandung virus, yang mengandung virus adalah air mani. Oleh sebab itu, telur
ibu tidak dapat ditularkan sperma. Jelas, bila perempuan tidak terinfeksi, dan
melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya membuat
anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu
tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi laki-laki tidak dapat
langsung menularkan janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita
menghindari infeksi HIV pada perempuan.14

Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan
harus dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu
di bawah 1.000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko
kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu
itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua
upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.14

Jelas yang paling baik adalah mencegah penularan pada perempuan. Hal
ini membutuhkan peningkatan pada program pencegahan, termasuk penyuluhan,
pemberdayaan perempuan, penyediaan informasi dan kondom, harm reduction,
dan hindari transfusi darah yang tidak benar-benar dibutuhkan.14

Untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, program tidak jauh


berbeda dengan pencegahan infeksi HIV. ODHA perempuan yang memakai obat
antiretroviral harus sadar bahwa kondom satu-satunya alat KB yang efektif.
Dalam hal ini, mungkin kondom perempuan adalah satu sarana yang penting.14
KESIMPULAN

HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh


adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh
defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh
human immunodeficiency virus. Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus
golongan retroviridae, genus lenti virus.Terdiri dari HIV-1 dan HIV-2.
Masih belum diketahui secara pasti bagaimana HIV menular dari ibu ke
bayi. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir).
Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Ada
beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang
paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah)
ibunya. Namun, risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan karena bayi
tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas,
jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu
faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang
dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu
ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV
melalui menyusui.
Adapun pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan
serologi HIV. Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metoda
ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). Pemeriksaan ELISA harus
menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai
metoda Western Blot. ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat
spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS.
Kita semua berhak untuk menikah dan mendapatkan keturunan. Menjadi
HIVpositif tidak mengurangi hak kita. Namun jelas tanggung jawab kita juga
lebih besar. Kita pasti ingin supaya anak kita tidak terinfeksi HIV, dan ada
beberapa cara untuk mengurangi risiko ini. Selain itu, kita pasti ingin tetap sehat
agar dapat membesarkan anak kita. Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi
kita tidak terinfeksi dan kita tetap sehat adalah dengan memakai terapi
antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai
obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART
sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya.
Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat untuk
mempertimbangkan mendapatkan anak.

Perilaku Beresiko Pada Remaja


Definisi Remaja Menurut Usia
Remaja pada umumnya didefenisikan sebagai orang-orang yang
mengalami masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), remaja (adolescence) adalah mereka yang
berusia 10-19 tahun. Sementara dalam terminologi lain PBB menyebutkan anak
muda (youth) untuk mereka yang berusia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan
dalam sebuah terminologi kaum muda (young people) yang mencakup 10-24
tahun. Sementara itu dalam program BKKBN disebutkan bahwa remaja adalah
mereka yang berusia antara 10-24 tahun. Menurut Hurlock (1993), masa remaja
adalah masa yang penuh dengan kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan
merupakan periode yang paling berat. Menurut Bisri (1995), remaja adalah yang
telah meningalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan dan
menuju masa pembentukan tanggung jawab.
Perubahan yang terjadi pada masa remaja
Perubahan-perubahan yang terjadi pada saat seorang anak memasuki usia
remaja antara lain dapat dilihat dari 3 dimensi yaitu dimensi biologis, dimensi
kognitif dan dimensi sosial.

- Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan
menstruasi pertama pada remaja putri atau pun mimpi basah pada remaja putra,
secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan
seorang anak memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi.
Pada saat memasuki masa pubertas, anak perempuan akan mendapat
menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu
terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, panggul mulai
membesar, timbul jerawat dan tumbuh rambut pada daerah kemaluan. Anak lelaki
mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, tumbuhnya kumis, jakun, alat
kelamin menjadi lebih besar, otot-otot membesar, timbul jerawat dan perubahan
fisik lainnya. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas
dan akan membawa mereka pada dunia remaja.

- Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif, remaja dalam pandangan Jean Piaget (2007)
(seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi
dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada
periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha
memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir
para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat
membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat
atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang
sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja
tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses
informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka
juga mampu mengintegrasikan pengalaman lalu dan sekarang untuk
ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan.

- Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya
mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar
bagi pembentukan nilai diri mereka. Para remaja mulai membuat penilaian
tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan
lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan
sebagainya. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana,
dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai
mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih
banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan
pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini
diajarkan dan ditanamkan kepadanya

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi remaja

Kesehatan reproduksi remaja dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: kebersihan


alat-alat genital, akses terhadap pendidikan kesehatan, hubungan seksual pranikah,
penyakit menular seksual (PMS), pengaruh media massa, akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi yang terjangkau, dan hubungan yang harmonis
antara remaja dengan keluarganya.

Kebersihan organ-organ genital

Kesehatan reproduksi remaja ditentukan dengan bagaimana remaja tersebut dalam


merawat dan menjaga kebersihan alat-alat genitalnya. Bila alat reproduksi lembab
dan basah, maka keasaman akan meningkat dan itu memudahkan pertumbuhan
jamur. Remaja perempuan lebih mudah terkena infeksi genital bila tidak menjaga
kebersihan alat-alat genitalnya karena organ vagina yang letaknya dekat dengan
anus.

Akses terhadap pendidikan kesehatan

Remaja perlu mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi


sehingga remaja mengetahui hal-hal yang seharusnya dilakukan dan hal-hal yang
seharusnya dihindari. Remaja mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang
benar tentang kesehatan reproduksi dan informasi tersebut harus berasal dari
sumber yang terpercaya. Agar remaja mendapatkan informasi yang tepat,
kesehatan reproduksi remaja hendaknya diajarkan di sekolah dan di dalam
lingkungan keluarga. Hal-hal yang diajarkan di dalam kurikulum pendidikan
kesehatan reproduksi remaja mencakup tentang tumbuh kembang remaja, organ-
organ reproduksi, perilaku berisiko, Penyakit Menular Seksual (PMS), dan
abstinesia sebagai upaya pencegahan kehamilan, Dengan mengetahui tentang
kesehatan reproduksi remaja secara benar, kita dapat menghindari dilakukannya
hal-hal negatif oleh remaja. Pendidikan tentang kesehatan reproduksi remaja
tersebut berguna untuk kesehatan remaja tersebut, khususnya untuk mencegah
dilakukannya perilaku seks pranikah, penularan penyakit menular seksual, aborsi,
kanker mulut rahim, kehamilan diluar nikah, gradasi moral bangsa, dan masa
depan yang suram dari remaja tersebut.
Hubungan seksual pranikah

Kehamilan dan persalinan membawa risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih
besar pada remaja dibandingkan pada wanita yang berusia lebih dari 20 tahun.
Remaja putri yang berusia kurang dari 18 tahun mempunyai 2 sampai 5 kali risiko
kematian dibandingkan dengan wanita yang berusia 18-25 tahun akibat persalinan
yang lama dan macet, perdarahan, dan faktor lain. Kegawatdaruratan yang
berhubungan dengan kehamilan juga sering terjadi pada remaja yang sedang hamil
misalnya, hipertensi dan anemia yang berdampak buruk pada kesehatan tubuhnya
secara umum.
Kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja seringkali berakhir dengan aborsi.
Banyak survey yang telah dilakukan di negara berkembang menunjukkan bahwa
hampir 60% kehamilan pada wanita berusia di bawah 20 tahun adalah kehamilan
yang tidak diinginkan atau salah waktu (mistimed). Aborsi yang disengaja
seringkali berisiko lebih besar pada remaja putri dibandingkan pada mereka yang
lebih tua. Banyak studi yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa kematian
dan kesakitan sering terjadi akibat komplikasi aborsi yang tidak aman. Komplikasi
dari aborsi yang tidak aman itu antara lain seperti yang dijelaskan dalam buku
Facts of Life yaitu:

Kematian mendadak karena pendarahan hebat

Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal

Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan

Rahim yang sobek (Uterine Perforation)


Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya

Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita)


Kanker indung telur (Ovarian Cancer)

Kanker leher rahim (Cervical Cancer)

Kanker hati (Liver Cancer)

Kelainan pada placenta/ ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya

Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)

Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)

Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)

Selain itu aborsi juga dapat menyebabkan gangguan mental pada remaja yaitu
adanya rasa bersalah, merasa kehilangan harga diri, gangguan kepribadian seperti
berteriak-teriak histeris, mimpi buruk berkali-kali, bahkan dapat menyebabkan
perilaku pencobaan bunuh diri.

Penyalahgunaan NAPZA

NAPZA adalah singkatan untuk narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya. Contoh obat-obat NAPZA tersebut yaitu: opioid, alkohol, ekstasi, ganja,
morfin, heroin, kodein, dan lain-lain. Jika zat tersebut masuk ke dalam tubuh akan
mempengaruhi sistem saraf pusat. Pengaruh dari zat tersebut adalah penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, ketergantungan, rasa nikmat dan
nyaman yang luar biasa dan pengaruh-pengaruh lain. Penggunaan NAPZA ini
berisiko terhadap kesehatan reproduksi karena penggunaan NAPZA akan
berpengaruh terhadap meningkatnya perilaku seks bebas. Pengguna NAPZA
jarum suntik juga meningkatkan risiko terjadinya HIV/AIDS, sebab virus HIV
dapat menular melalui jarum suntik yang dipakai secara bergantian.
Pengaruh media massa

Media massa baik cetak maupun elektronik mempunyai peranan yang cukup
berarti untuk memberikan informasi tentang menjaga kesehatan khususnya
kesehatan reproduksi remaja. Dengan adanya artikel-artikel yang dibuat dalam
media massa, remaja akan mengetahui hal-hal yang harus dilakukan dan dihindari
untuk menjaga kesehatan reproduksinya.

Akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi

Pelayanan kesehatan juga berperan dalam memberikan tindakan preventif dan


tindakan kuratif. Pelayanan kesehatan dapat dilakukan di puskesmas, rumah sakit,
klinik, posyandu, dan tempat-tempat lain yang memungkinkan. Dengan akses
yang mudah terhadap pelayanan kesehatan, remaja dapat melakukan konsultasi
tentang kesehatannya khususnya kesehatan reproduksinya dan mengetahui
informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi. Remaja juga dapat melakukan
tindakan pengobatan apabila remaja sudah terlanjur mendapatkan masalah-
masalah yang berhubungan dengan organ reproduksinya seperti penyakit menular
seksual.

Hubungan harmonis dengan keluarga

Kedekatan dengan kedua orangtua merupakan hal yang berpengaruh dengan


perilaku remaja. Remaja dapat berbagi dengan kedua orangtuanya tentang
masalah keremajaan yang dialaminya. Keluarga merupakan tempat pendidikan
yang paling dini bagi seorang anak sebelum ia mendapatkan pendidikan di tempat
lain. Remaja juga dapat memperoleh informasi yang benar dari kedua orangtua
mereka tentang perilaku yang benar dan moral yang baik dalam menjalani
kehidupan. Di dalam keluarga juga, remaja dapat mengetahui hal-hal yang perlu
dilakukan dan yang harus dihindari. Orang tua juga dapat memberikan informasi
awal tentang menjaga kesehatan reproduksi bagi seorang remaja.

Penyakit Menular Seksual

Penyakit menular seksual adalah penyakit yang penularannya terutama melalui


hubungan seksual. Cara penularannya tidak hanya terbatas secara genital-genital
saja, tetapi dapat juga secara oro-genital, atau ano-genital. Sehingga kelainan yang
timbul akibat penyakit kelamin ini tidak hanya terbatas pada daerah genital saja,
tetapi juga pada daerah-daerah ekstra genital. Penyakit menular seksual juga dapat
terjadi dengan cara lain yaitu kontak langsung dengan alat-alat seperti handuk,
pakaian, termometer dan lain-lain. Selain itu penyakit menular seksual dapat juga
ditularkan oleh ibu kepada bayinya ketika di dalam kandungan.
Penyakit menular seksual yang umum terjadi di Indonesia antara lain: gonore,
vaginosis bakterial, herpes simpleks, trikomoniasis, sifilis, limfogranuloma
venerium, ulkus mole, granuloma inguinale, dan Acquired immune deficiency
syndrom (AIDS).

Pengetahuan

Sebelum seseorang berperilaku baru, ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau
manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Pengetahuan merupakan
hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap
suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Menurut Rogers
(1974) dalam Notoatmodjo (2003), sebelum seseorang berperilaku baru
(mengadopsi perilaku), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
antara lain :

Kesadaran (Awareness), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui


stimulus (objek) terlebih dahulu
Interest, yakni orang tersebut mulai tertarik kepada stimulus

Evaluation, yakni orang tersebut menimbang baik tidaknya stimulus bagi dirinya

Trial, orang tersebut mulai mencoba perilaku baru

Adoption, yakni subjek telah berperilaku sesuai dengan pengetahuan, kesadaran,


dan sikapnya terhadap stimulus.
Pengukuran pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau dengan menggunakan alat ukur
berupa angket atau kuesioner yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek
penelitian atau responden (Notoadmojo, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Penyakit Menular. Dalam: Wiknjosastro H,


Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo d/a Bagian Kebidanan dan Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006; 556.
2. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus. Dalam:
Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2008; 243-247.
3. Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C, Wenstrom, K D. Penyakit
Menular Seksual. Dalam: Cunningham F G, Gant N F, Leveno K J, Gilstrap L C, Hauth J C,
Wenstrom, K D. Obstetri Williams. Jakarta: EGC. 2006; 1677-1678.
4. Anonim. Etiologi HIV/AIDS. Dalam Petunjuk penting AIDS. Cetakan I. Jakarta: EGC. 1996.
5. Green WC. Latar belakang dan masalah umum. Dalam: Green WC (eds). HIV, kehamilan,
dan kesehatan perempuan. Yayasan spiritia, Jakarta; 2009:4-6.
6. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor risiko
penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan
penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 13-16.
7. Samsuridjal D. Gejala-gejala infeksi HIV/AIDS. Dalam kumpulan Artikel dan Makalah
untuk Pelatihan Penatalaksanaan HIV/AIDS di RS provinsi sumatera Utara. Medan; 2002.
8. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Informasi umum.
Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 10-12.
9. Lubis, Imran. Pemeriksaan Laboratorium untuk HIV, dalam AIDS pada Cermin Dunia
Kedokteran No.75, 1992. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan R.I., Jakarta.
10. Isselbacher, J Kurt. dkk. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison. Editor: Ahmad H.
Asdie. Volume 4, Edisi 13. Jakarta: EGC. 2000.
11. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom, KD. Penyakit
menular seksual. Dalam: Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC,
Wenstrom, KD. Obstetri Williams. EGC, Jakarta; 2006; 1680-1681.
12. Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia: PMTCT.net; 2008.
h.1.
13. Anonim. Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi terbaru dari WHO. 2006.
Diunduh dari: http://marhendraputra.co.cc/info-sehat/329-pedoman-pencegahan penularan-
hiv-dari-ibu-ke-bayi-terbaru-dari-who-.html (Diakses tanggal 29 April 2012).

Yayasan Spiritia. Pencegahan penularan dari ibu-ke-bayi. (PMTCT). 2008. Diunduh dari:
http://spiritia.or.id/cst/showart.php?cst=mtct [Diakses tanggal 29 April 2012).

Anda mungkin juga menyukai