Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH

MADRASAH ALIYAH NW PESENG


TAHUN PELAJARAN 2016-2017
BAB I
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) Pendiri Muhammadiyah Ahmad


Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy), adalah pelopor dan bapak
pembaharuan Islam. Kyai Haji kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus 1868, inilah
yang mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912.
Pahlawan Nasional Indonesia ini wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta,
23 Februari 1923.
Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah
untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di nusantara. Ia ingin
mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal
menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia
untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Ia
mendirikan Muhammadiyah bukan sebagai organisasi politik tetapi
sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak
di bidang pendidikan.
Pada saat Ahmad Dahlan melontarkan gagasan pendirian
Muhammadiyah, ia mendapat tantangan bahkan fitnahan, tuduhan dan
hasutan baik dari keluarga dekat maupun dari masyarakat sekitarnya. Ia
dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam.
Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa
Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula
orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita
dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua
rintangan tersebut. Pertama, atas jasa-jasa Kyai Haji Ahmad Dahlan dalam
membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan
pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai
Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.
Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional didasarkan pada empat
pokok penting yakni: Pertama, Kyai Haji Ahmad Dahlan telah mempelopori
kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa
terjajah yang masih harus belajar dan berbuat. Kedua, dengan organisasi
Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam
yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan,
kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar
iman dan Islam. Ketiga, dengan organisasinya, Muhammadiyah telah
mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan
bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
Keempat, dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah)
telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan. Diasuh di lingkungan pesantren Muhammad Darwisy lahir dari
keluarga ulama dan pelopor penyebaran dan pengembangan Islam di
tanah air. Ayahnya, KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib
terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, dan ibunya, Nyai Abu
Bakar adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu
Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Ia anak keempat dari tujuh orang bersaudara, lima saudaranya
perempuan dan dua lelaki yakni ia sendiri dan adik bungsunya. Dalam
silsilah, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik
Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali
Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan
pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).
Silsilahnya lengkapnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan)
bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai
Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru
Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana
Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana
Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968). Sejak kecil
Muhammad Darwisy diasuh dalam lingkungan pesantren, yang
membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada usia 15 tahun
(1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan
dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima
tahun. Ia pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani,
Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam
pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran
Darwisy.
Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian diwujudkannya
dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui
Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang
masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks
itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan
dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang,
pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui,
dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali
kepada al-Qur'an dan al-Al Hadist.
Setelah lima tahun belajar di Makkah, pada tahun 1888, saat berusia
20 tahun, Darwisy kembali ke kampungnya. Ia pun berganti nama menjadi
Ahmad Dahlan. Lalu, ia pun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan
Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk
kedua kalinya, sekaligus dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama
kepada beberapa guru di Makkah hingga tahun 1904.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya
sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah, kemudian lebih
dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional
dan pendiri Aisyiyah. Pasangan ini mendapat enam orang anak yaitu
Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah
(Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, Kyai Haji Ahmad Dahlan
pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah
menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. Kyai Haji Ahmad Dahlan
juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik
Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula
menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968:
9).
Mendirikan Muhammadiyah semangat, jiwa dan pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, yang diperolehnya dari Muhammad
Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, ibn Taimiyah dan lain-lain selama belajar
Makkah (1883-1888 dan 1902-1904), kemudian diwujudkannya dengan
menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah.
Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di
sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan


kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan)
ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis
itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau
pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.
Dahlan sendiri sadar bahwa semaangat pembaharuannya tidak akan
serta-merta dapat dipahami dan diterima keluarga dan masyarakat
sekitarnya. Tidak mudah melakukan pemharuan pada suatu sifat ortodoks
yang sudah membeku. Maka, entah terkait atau tidak, ada sebuah
nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri.
Bunyinya demikian: "Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya
besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti
harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan
selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai
Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri
bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan,
hisab, surga, dan neraka.
Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang
terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh
Djarnawi Hadikusumo). Dalam artikel riwayat Ahmad Dahlan di situs resmi
Parsyarikatan Muhammadiyah (muhammadiyah.or.id), pesan ini disebut
menyiratkan sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat.
Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir
bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu
dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela
agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan
membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah
Allah.
Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat
yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-
upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia
melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Dijelaskan dalam artikel itu, kesadaran seperti itulah yang
menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat Islam di
tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk
membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar
bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi
harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama.
Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi.
Perkumpulan, parsyarikatan dan gerakan dakwah: Muhammadiyah.
Dahlan pun memilih strategi yang amat baik dengan lebih dahulu
membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan
upaya dakwah tersebut, sekaligus meneruskan cita-citanya memajukan
bangsa ini. Apalagi ia berkesempatan mengakselerasi dan memperluas
gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah itu dengan
mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA
Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis
Yogyakarta. Karena, ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk
mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Tentu saja para
calon pamongpraja tersebut dapat diharapkan mengaselerasi dan
memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang
yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Begitu pula para
calon guru akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang
gerakan dakwah Muhammadiyah, kepada murid-muridnya. Guna
mengintensifkannya, Dahlan pun mendirikan sekolah guru yang kemudian
dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan
Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Di sekolah ini,
Dahlan mengajarkan agama Islam dan menyebarkan cita-cita
pembaharuannya Dahlan dikenal sebagai seorang yang aktif dalam
kegiatan bermasyarakat. Dengan gagasan-gagasan cemerlang dan
kegiatan kemasyarakatannya, Dahlan juga dengan mudah diterima dan
dihormati di tengah kalangan masyarakat. Termasuk dengan cepat
mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat
Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.
Pada tahun 1912, tepatnya tanggal 18 Nopember 1912, Ahmad
Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
cita-cita pembaharuan Islam. Ia punya visi untu melakukan suatu
pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama
Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup
menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.
Berbagai tantangan ia hadapi sehubungan dengan gagasan
pendirian Muhammadiyah itu. Bahkan ia dituduh hendak mendirikan
agama baru yang menyalahi agama Islam. Kiai palsu. Sampai ada pula
orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar Dahlan teguh pada pendiriannya. Pada tanggal
20 Desember 1912, ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru
dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914. Tampaknya, Pemerintah Hindia Belanda ada
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Sehingga izin itu hanya
berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak
di daerah Yogyakarta. 6Namun, walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi
di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain
tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah.
Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka Kyai Haji Ahmad Dahlan
menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan,
Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh
Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah
dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan
kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini
mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah
Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul
Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba,
Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul
Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33). Gagasan
pembaharuan Islam, Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan
dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui
relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan
sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia.
Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk
menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin
lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu,
pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921. Dalam bulan
Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam
kongres Al-Islam di Cirebon kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam
(SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam.
Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan
golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad
Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks
dari Surabaya dan Kudus.
Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan
(tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar
mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an
baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan
terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya
dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat
agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang
menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat
Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari
langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan
dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin
dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota
(sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene
Vergadering (persidangan umum). Di samping aktif dalam menggulirkan
gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa
akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada
keluarganya. Sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang
menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta, ia
mempunyai penghasilan cukup tinggi. Ia juga berkecimpung sebagai
seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik.

BAB II

A.Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah.

Sejak awal, gerakan Muhammadiyah telah berkecimpung dalam


bidang sosial, terutama pendidikan. Sekolah yang pertama didirikan oleh
Kyai Haji Ahmad Dahlan pada tahun 1911 di Yogyakarta diselenggarakan
dengan fasilitas yang amat sederhana. Sekolah kecil ini akhirnya menjadi
titik awal munculnya organisasi secara formal pada tahun 1912 di bawah
pimpinan Kyai Haji Ahmad Dahlan. Setelah resmi menjadi organisasi,
Muhammadiyah terus berangsur-angsur mengembangkan sayapnya
melalui berbagai aktifitas sosial. Mulai dari pendidikan, pelayanan
masyarakat, kesehatan, dan lain-lain sehingga pada akhirnya aktifitas
dalam bidang sosial ini dapat menjadikan Muhammadiyah sebagai
gerakan soaial keagamaan yang memperoleh sukses besar ditinjau dari
aspek tertentu, berdirinya Muhammadiyah merupakan suatu kemunculan
gerakan iman, ilmu, dan amal. Sebagai gerakan iman, Muhammadiyah
dapat dilihat kepeloporannya dalam usaha mengembalikan paham agama
kepada ajaran Tauhid murni tanpa dicampuri oleh unsur-unsur syirik,
takhayul, dan khurafat. Dalam versi lain gerakan ini sering disebut
gerakan purifakasi. Sedangkan indikasinya sebagai gerakan ilmu dapat
dilihat pada komitmennya terhadap persoalan pendidikan, di samping
keberaniannya mendobrak tradisi lama untuk membuka kembali pintu
ijtihad yang telah dinyatakan tertutup sejak Abad Pertengahan. Semenjak
itu , sebagai gerakan Amal, Muhammadiyah berhasil mengubah pola amal
individu menjadi amalan kelompok dalam kehidupan masyarakat,
terutama dapat dilihat dalam usaha menyantuni kaum dhuafa, pelayanan
kesehatan, dan lain-lain.
Keberhasilan Muhammadiyah dalam gerakan sosial itu tidak dapat
dilepaskan dari hal-hal yang menjadi dasar dan pedoman gerakan itu
sendiri. Sebagai organisasi religius, Muhammadiyah menjadikan agama
sebagai azas gerakan untuk menciptakan tatanan sosial yang baru
dengan warna keagamaan. Dalam konteks sosiologis, harapan
Muhammadiyah itu dapat saja dibenarkan, oleh karena agama dalam
perspektif sosial dapat dilestarikan oleh masyarakat serta memeliharanya
di hadapan manusia,karena ia memberi nilai bagi manusia.4 Dengan
demikian, gerakan sosial Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari
keterlibatan paham keagamaannya secara intensif dalam bab ini akan
diusahakan untuk menjelaskan pandangan filosofis dan dasar-dasar
gerakan sosialnya serta amal usaha yang telah dilaksanakan sebagai
konsekuensi implikatif dari paham keagamaannya.
Lembaga-lembaga sosial yang terbentuk berdasarkan tatanan nilai
tertentu di dalam masyarakat merupakan bagian-bagian yang saling
memiliki ketergantungan satu sama lain. Dengan demikian, adanya
perubahan pada salah satu bagian ( lembaga) , akan mempunyai dampak
kepada yang lainnya. Agama di samping mengandung nilai-nilai yang
dapat menjadi dasar pembentukan lembaga sosial, ia juga mengatur
tingkah laku yang bisa melembaga.Oleh karena itu, maka tidak diragukan
lagi bahwa secara fungsional, agama akan memainkan peranan penting
dalam pembentukan perilaku sosial. Namun dalam beberapa hal
Muhammadiyah sanggup menawarkan solusi, baik secara filosofis maupun
memberikan harapan bagi perbaikan pola tingkah laku dan taraf
kehidupan sosial, maka dalam waktu yang relatif singkat gerakan ini
dapat memperoleh simpati dalam berbagai kalangan. Sehingga kemudian
dalam hal ini, Muhammadiyah telah mampu membentuk pola lembaga
soaial baru dengan berdasarkan pada seperangkat tata nilai yang
ditawarkannya, yang berbeda dari pola sebelumnya.

B. Proses Berdirinya Muhammadiyah

Sebagai gerakan islam, tata nilai yang ditawarkan Muhammadiyah


untuk merubah pola kehidupan sosial itu secara filosofis berdasarkan atas
pemahamannya terhadap ajaran islam, yang disesuaikan dengan jiwa
zamannya. Hal ini tentu tidak terlepas dari identitas gerakan ini,yaitu
sebagai gerakan tajdid (pembaruan). Menurut Muhammadiyah, secara
umum kehidupan sosial termasuk ke dalam bidang gerakannya,
berkenaan dengan masalah Muamalah Duniawiyah. Dalam persoalan ini,
Muhammadiyah berusaha mencurahkan kemampuan akal secara optimal
dengan berdasarkan pada ruh ajaran islam untuk kemaslahatan
kehidupan sosial. Jadi, perubahan sosial yang diharapkan oleh
Muhammadiyah adalah berperannya nilai-nilai agama (al-islam) secara
fungsional dalam segala segi kehidupan, sehingga tidak ada celah-celah
kehidupan yang sunyi dari nilai-nilai ibadah untuk merealisasikan dasar
pemikiran ini, Muhammadiyah menetapkan nilai-nilai dasar, baik yang
berkenaan dengan aspek filosofis maupun yang berkenaan dengan aspek
praktis (operasional). Nilai-nilai dasar yang berkenaan dengan aspek
filosofis dirumuskan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, Kepribadian
Muhammadiyah, Cita-cita Hidup Muhammadiyah. Sedangkan yang
menyangkut aspek praktis (operasional) dirumuskan dalam Khittah
Perjuangan Muhammadiyah dalam realisasinya, nilai-nilai dasar tersebut
akan dapat dilihat dalam identitas gerakan Muhammadiyah itu sendiri.
Yaitu sebagai gerakan islam, dakwah dan tajdid (pembaruan).
Dengan demikian, maka Muhammadiyah dalam setiap gerakannya
selalu terkandung tiga maksud, yaitu:
1. Sebagai pengamalan islam itu sendiri.
2. Sebagai ajakan (dakwah) kepada segenap umat manusia untuk
memahami dan mengamalkan ajaran islam.
3. Sebagai evaluasi, koreksi dan interpretasi baru terhadap bebagai
aktifitas pemikiran dan pengamalan yang pernah dilakukan.
Sasaran utama gerakan dan amal usaha Muhammadiyah dalam
kehidupan sosial itu adalah untuk mewujudkan masyarakat islam yang
sebenar-sebenarnya di mana kesejahteraan, kebaikan, dan kebahagiaan
tersebar luas secara merata. Untuk mencapai cita-cita itu,
Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya
sebagaimana prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah.
Pertama, hidup berdasarkan Tauhid, ibadah dan taat kepada Alloh.
Makna yang terkandung dalam prinsip ini adalah bahwa Muhammadiyah
sebagai gerakan sosial, segala pemikiran dan tindakan yang
dimunculkannya harus merupakan gerakan ibadah yang berdasarkan
Tauhid. Jika Tauhid berperan sebagai jiwa, maka ibadah merupakan wujud
nyata dan bangunan yang berdiri di atas pola dasar Tauhid itu. Dari sinilah
kelihatan munculnya perumusan-perumusan tentang ibadah dalam
pemaham keagamaan Muhammadiyah. Dalam hal ini, ibadah dirumuskan
dalam dua pengertian, yaitu ibadah dalam arti khusus (Ibadah Mahdhah)
dan ibadah dalam arti umum (Ibadah Ghairu Mahdhah). Ibadah dalam arti
khusus adalah segala amal ibadah yang perincian, tingkah laku dan tata
caranya telah ditetapkan oleh Alloh. Jadi, baik secara prinsip maupun
teknisnya telah ditetapkan dan diatur oleh Alloh, baik secara langsung
maupun melalui Nabi Muhammad s.a.w. Sementara ibadah dalam
pengertian umum adalah segala amal perbuatan yang diizinkan oleh
Alloh, tanpa ditunjukkan teknis pelaksanaanya Dalam pengertian ibadah
umum yang juga disebut Muamalah Duniawiyah itulah segala gerakan
dan amal usaha Muhammadiyah memperoleh dasar-dasar filosofis secara
luas.
Kedua, hidup bermasyarakat. Hidup bermasyarakat merupakan
Sunnatullah, sesuai hokum Qudrat dan Iradat-Nya bagi manusia dalam
membangun masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai oleh Alloh
s.w.t., tentu Muhammadiyah tidak mungkin dapat berkerja dengan
sendirian. Oleh sebab itu, hal ini mesti diusahakan dengan menjalin
kerjasama dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya, terutama sekali yang
memiliki hubungan aspiratif dengan Muhammadiyah. Sebagai gerakan
sosial, Muhammadiyah dalam setiap langkah gerakannya harus secara
sadar menempatkan diri sebagai suatu potensi umat. Adapun dalam
konteks nasional, Muhammadiyah menempatkan diri sebagai unsur
kekuatan bangsa. Sedangkan pada peringkat individu sebagai anggota
Persyarikatan, dalam hal ini berarti apa yang dilakukan harus dalam
kerangka hidup bermasyarakat. Keharusan dasar gerak dengan hidup
bermasyarakat bagi Muhammadiyah juga didasari atas kondisi subjektif
dan objektif organisasi itu sendiri. Kondisi subjektifnya adalah bahwa
organisasi tersebut muncul dari kekuatan masyarakat. Oleh sebab itu,
Muhammadiyah harus bergerak dalam masyarakat yang sekaligus
sebagai obyek gerakannya.
Ketiga, mematuhi dan menyakini ajaran islam sebagai satu-satunya
landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia
dan akhirat. Muhammadiyah berkeyakinan sepenuhnya bahwa hanya
dengan ajaran islamlah kebaikan dan kebahagiaan bersama itu akan
tercapai, baik di dunia maupun di akhirat. Agama islam mengandung
ajaran yang sempurna dan penuh kebenaran, merupakan petunjuk dan
rahmat Alloh kepada manusia untuk mendapatkan kebahagiaan hidup
hakiki di dunia dan akhirat.
Keempat, berjuang untuk menegakkan dan menjunjung tinggi
ajaran islam. Muhammadiyah menjadikan perjuangannya untuk
menjunjung tinggi, menyebarluaskan, dan mempertahankan agama islam
sebagai dasar filosofis gerakannnya. Semangat perjuangan itu muncul
karena adanya sejumlah perintah dan gambaran keutamaan berjuang di
jalan Alloh. Berjuang di jalan Alloh memang selalu menjadi tuntunan
sepanjang masa. Tuntunan itu muncul karena adanya dua faktor penting,
yaitu :
a. Faktor yang secara subyektif muncul dari diri seseorang yang beriman,
meliputi:
1. Kesadaran akan kewajiban beribadah kepada Alloh untuk berbuat
ikhsan dan ishlah kepada manusia / masyarakat.
2. Pahamnya akan islam dengan sebenar-benarnya, dengan keyakinan
akan keutamaan dan tepatnya sebagai sendi untuk mengatur hidup
dan kehidupan manusia / masyarakat.
b. Faktor kondisi obyektif umat.
Secara jelas dalam Penjelasan Muqaddimah dinyatakan : Rusaknya
masyarakat islam khususnya dan masyarakat umumnya, dikarenakan
mininggalnya atau menyeleweng dari ajaran islam baik karena tidak
mengetahui, salah atau kurang memahami ajaran agama islam yang
sebenarnya, atau karena adanya usaha dari luar yang sengaja ingin
merusak dan mengalahkan islam.
Kelima, ittiba kepada langkah dan perjuangan Nabi s.a.w
Muhammadiyah menjadikan Rasulullah s.a.w sebagai tauladan
(uswah) perjuangan yang diikuti, sesuai dengan nama organisasi itu
sendiri. Dalam berbuat sesuatu, tauladan itu, orang dapat memahami
dan menghayati kenyataan sejarah atas norma-norma yang diyakini dan
dijadikan pedoman hidupnya, bahkan ia akan mengikuti jejak-jejak
mereka. Islam datang dengan ajaran yang lengkap, sekaligus Rasul
sebagai tauladan pelaksanaan bagi umatnya. Perjuangan Rasul sebagai
tauladan pelaksanaan bagi umatnya. Perjuangan Rasul dalam
menegakkan agama penuh dengan kesungguhan, pengorbanan,
rintangan, kesabaran, dan ketabahan, hanya semata-mata menuntut
keridhaan Alloh.
Hal seperti itulahyang mesti dihadapi oleh Muhammadiyah yang
menamakan diri sebagai pengemban risalah Rasullullah. Semenjak
kelahirannya, Muhammadiyah telah menghadapi banyak rintangan, baik
yang datang dari kalangan umat islam sendiri, maupun dari kalangan non
islam hanya dengan penuh kesabaran dan ketabahan dengan
mengharapkan ridha Alloh serta semangat ittiba kepada Rasul-Nya,
perjuangan Muhammadiyah telah banyak membuahkan hasil dan tetap
berlanjut hingga sekarang.
Keenam, keharusan beroganisasi. Organisasi merupakan fenomena
modern bagi umat islam. Walaupun pada zaman Rasulullah belum
terdapat tauladan untuk itu, namun kelihatannyanilai-nilainya sudah ada,
seperti musyawarah untuk mufakat, tolong-menolong untuk berbuat baik
dan taqwa. Penyiaran dan pengembangan agama islam tidak mungkin
hanya dilaksanakan secara individual. Oleh sebab itu kehadiran suatu
organisasi merupakan alternatifyang baik. Dengan memandang karena
nilai-nilai positif dari organisasi itu, serta dengan dijiwai oleh firman Alloh
Surat Ali Imron(104), maka Muhammadiyah menjadikan organisasi
sebagai satu-satunya alat atau cara perjuangan yang sebaik-baiknya.
Ketegasan Muhammadiyah untuk menjadikan organisasi sebagai satu-
satunya alat, berdasarkan pula atas pemikiran tidak akan tegaknya amal
baik yang wajib dilakukan tanpak organisasi, mendorong Muhammadiyah
ber-ijtihad dengan menetapkan bahwa organisasi untuk melakukan
kewajiban (perintah agama) adalah wajib. Pemikiran ini berdasarkan
kaidah Ushul Fiqih, yaitu: Ma ala yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib
(sesuatu kewajiban tidak diselesai kecuali dengan adanya suatu barang,
maka barang itu hukumnya wajib).
Pemahaman Muhammadiyah tentang perintah pembentukan
ummah dalam surat Ali Imron 104 itu adalah bahwa ummah berarti
satu golongan atau kelompok yang memiliki satu kesamaan kondisi,
maksud, dan tujuan. Maksudnya mereka mesti bekerjasama. Oleh karena
itu jelas memerlukan adanya pemimpin, pembagian tugas, dan bidang,
serta tata tertib atau tata peraturan. Itulah yang dinamakan organisasi.
Wujud nyata dari gerakan Muhammadiyah yang paling dapat dirasakan
secara langsung secara langsung, baik oleh warga Muhammadiyah
sendiri maupun umat islam di nusantara ini pada umumnya, adalah amal
usaha sosialnya. Amal usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah itu
pada awalnya muncul berkaitan dengan keresahan Kyai Haji Ahmad
Dahlan sebagai tokoh sentral gerakan ini, ketika melihat kenyataan
kondisi kehidupan sosial yang memperhatinkan. Kenyataan kondisi
kehidupan sosial yang sangat memperhatinkan itu antara lain: pertama,
ajaran islam dilaksanakan tidak secara murni bersumber al-Quran dan al-
Hadist, tetapi bercampur aduk dengan perbuatan syirik, bidah, dan
khurafat. Kedua, keberadaan lembaga-lembaga pendidikan islam tidak
lagi dapat memenuhi tuntunan zaman, akibat terlampau mengisolir diri
dari pengaruh luar. Ketiga, keadaan umat yang sangat menyedihkan
dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan kultural, akibat penjajahan.

C. Tujuan dan Perkembangan Muhammadiyah

Pada mulanya Muhammadiyah hanyalah sebuah kelompok kecil


yang mepunyai misi agak bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan
penduduk Indonesia namun Muhammadiyah merupakan kelompok yang
terdiri dari orang-orang yang peuh pengabdian serta mempunyai rasa
tanggung jawab yang tinggi atas tersebarnya apa yang mereka yakini
sebagai ajaran yang benar dari Muhammad s.a.w. dan dalam rangka
peningkatan kehidupan keagamaan mereka sendiri. Pada masa-masa
awal sebelum dan setelah Muhammadiyah didirikan, Kyai Haji Ahmad
Dahlan lebih menekankan usahanya dengan menginsyafkan beberapa
Orang keluarganya serta teman-teman sejawatnya di Yogyakarta dengan
menyalurkan cara-cara berfikir baru melalui pengajian-pengajian dan
ceramah agama.
Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilihat melalui keterlibatannya
dalam organisasi Budi Utomo dan Syarikat Islam (SI). Muhammadiyah
secara resmi didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 M,
bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijjah 1330 H oleh Kyai Haji Ahmad
Dahlan. Para tokoh yang turut menjadi anggota pimpinan Muhammadiyah
pada masa berdirinya itu adalah:
1. Kyai Haji Ahmad Dahlan (Ketua)
2. Abbdullah Siradj (Sekretaris)
3. Haji Achmad
4. Haji Sarkawi
5. Haji Muhammad
6. Raden Haji Djaelani
7. Haji Anies
8. Haji Muhammad Pakih
Pada tanggal 20 Desember 1912 organisasi baru ini mengajukan
permohonan badan hukum kepada pemerintahan kolonial Belanda
dengan dilengkapi Rancangan Anggaran Dasarnya. Namun pemerintah
Belanda belum memberikannya, karena masih merasa keberatan atas
territorial yang meliputi Jawa dan Madura yang tercantum dalam
Rancangan Anggaran Dasar itu. Atas nasehat Liefrinck-Resident kolonia
Belanda di Yogyakarta dan Rinkers, seorang penasihat untuk urusan
pribumi. Akhirnya Gubernur Jendral Hindia Belanda mengeluarkan Besluit
No. 18, tertanggal 22 Agustus 1914 sebagai pengakuan secara legal atas
berdirinya Muhammadiyah dengan wilayah operasionalnya terbatas pada
residensi Yogyakarta. Setelah Muhammadiyah menerima Besluit tersebut,
selanjutnya organisasi itu merumuskan tujuannya sebagai berikut:
1. Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w
kepada penduduk Indonesia di dalam
residensi Yogyakarta.
2. Memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah memulai
gerakannya secara sederhana. Pada mulanya kurang terlihat adanya
pembagian kerja dengan tugas dari para pimpinanya yang terdiri dari
sembilan orang itu. Menurut Deliar Noer (1991), hal ini disebabkan oleh
masih terbatasnya daerah aktifitas yang hanya meliputi Kauman
Yogyakarta saja.21 Sampai pada tahun 1917 gerakan Muhammadiyah
masih terbatas di kota Yogyakarta saja. Kegiatan yang dilaksanakann
masih terbatas pengajian-pengajian dengan menteri keagamaan dan
keorganisasian. Bertepatan menjelang diselenggarakannya Kongres ke-9
Budi Utomo pada tahun 1917, pembenahan administrasipun dimulai
untuk menyambut pengembangan Muhammadiyah keluar Yogyakarta.
Momentum yang sangat tepat telah diperoleh Muhammadiyah
ketika Kyai Haji Ahmad Dahlan mendapat kesempatan untuk ber-tabligh
dalam konggres Budi Utomo. Tabligh Kyai Haji Ahmad Dahlan sangat
menarik para peserta konggres yang banyak di antara mereka datang
dari luar kota Yogyakarta, sehingga kemudian Muhammadiyah banyak
menerima permohonan yang datang dari beberapa daerah diJawa untuk
mendirikan cabangnya.23 Setelah keluarnya izin pemerintah untuk
mendirikan cabang-cabangnya di luar Yogyakarta dan Jawa pada tahun
1921, maka mulailah gerakan tersebut meluas hingga ke Surabaya,
Srandakan, Imogiri, Blora, Kepanjen,(cabang-cabangnya berdiri tahun
1921), Solo, Purwokerto, Pekalongan, Pekajangan, Banyuwangi, Jakarta,
dan Garut (cabang-cabangnya berdiri tahun 1922). Pada tahun 1925
berdiri cabang Muhammadiyah di Kudus dan pada tahun itu juga,
Muhammadiyah telah mendirikan cabangnya di Padang Panjang,
Sumatera Barat. Hingga tahun 1938 cabang Muhammadiyah telah
merata ke seluruh daerah di Hindia Belanda.
Seiring dengan berkembanganya Muhammadiyah secara
kelembagaan merata di seluruh daerah Nusantara hingga masa
kemerdekaan, dari ide pembaharuan pun turut berkembang pula. Namun
antara keduanya semakin memiiki rentan jarak yang makin tidak
seimbang. Dengan arti kata bahwa pembaharuan yang dapat diukur
dengan menggunakan standar amal praktis kelihatan melaju,
sementaraide pembaharuan dalam bidang pemikiran dipandang
mengalami gejala kemandekan. Gejala kemandegan ini diduga muncul
dari adanya aspek rutinitas, yaitu Keasyikan para pemimpin dalam
mengeluti urusan-urusan teknis keseharian organisasi sehingga
melengahkan dan mematikan dinamika berfikir serta kreatifitas dalam
meresponi persoalan-persoalan mendasar yang terus berkembang. Hal ini
kelihatannya problem yang sedang dihadapi oleh Muhammadiyah dewasa
ini.
Catatan Akhir:
1. Sekolah ini dinamakan Sekolah Muhammadiyah dan dilaksanakan
disebuah (bukan di surau seperti tradisi yang berlaku ketika itu)
dengan menggunakan meja dan papan tulis. Di dalamnya diajarkan
ilmu-ilmu agama dengan cara baru; huruf latin, ilmu hitung, ilmu bumi,
ilmu tubuh Afghani sampai K.H. Ahmad Dahlan (Yogyakarta:
Persatuan,t.t.) hlm 64.
2. Lihat Nurcholish Madjid,Aqidah Islam yang perlu Dikembangkan
Sebagai Landasan Pemikiran dan Amal Muhammadiyah dalam
Sujarwanto,et.al.,(ed), Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan
Sebuah Dialog Intelektual (Yogyakarta: Tiara Wacana,1990).hlm.407.
3. Misalnya dengan mengubah interpretasi Tasawuf yang biasanya hanya
menekankan pada aspek ritual yang bersifat individual dan
mengisolasikan diri, diganti oleh Muhammadiyah dengan amalan-
amalan positif untuk kepentingan masyarakat. Lihat Mukti Ali,
Muhammadiyah dan Universitasnya Menjelang Abad XXI dalam
M.Rusli Karim (ed), Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar
(Jakarta: Rajawali,1986).hlm. 242.
4. Thomas F.Odea, Sosiologi Agama; Suatu Pengantar(Jakarta:Rajawali,
1985).hlm.23. 5. Ibid.hlm.3.Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi
Konterporer (Jakarta: Rajawali,1984).hlm.25. Lihat juga Soerjono
Sukanto, Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat (Jakarta:
Ghalia Indonesia,1984).hlm.6.
6. Seperti yang tercantum dalam pokok pikiran pertama, point ke-6 dari
Penjelasan Tentang Muqaddamah Anggaran Dasar Muhammadiyah
mendasarkan hal ini pada Surat adz-Dzariyat:56, yang artinya:Dan
tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia itu kecuali agar mereka
beribadah (menghambakan diri) kepada-Ku.
7. Lihat A.W. Praktiknya (penyuting), Islam dan Dakwah; Pergumulan
Antara Nilai dan Realitas (Yogyakarta: PP Muhammadiyah,
1988).hlm.113.
8. Lihat Matan Rumusan Kepribadian Muhammadiyah dalam H.M.
Djindar Tamimy, Penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar dan
Kepribadian Muhammadiyah (Yogyakarta: Persatuan,1972).hlm.44.
9. Ibid.hlm.13.
10. Ibid.
11. Tantangan yang dinilai berat, misalnya, konfrontasi Muhammadiyah
dengan PKI yang berawal dari tahun 1920-an dan memuncak pada
tahun 1924. Misi PKI sudah jelas, di samping bertindak secara
konfontatif terhadap pemerintah, PKI juga gerakan anti agama yang
sangat membahayakan. Selengkapnya lihat Mitsuo Nakamura, The
Crescent Aries Over the Banyan Tree (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1993).hlm.64-66.
12. Lihat Penjelasan Tentang Muqaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah dalam H.M. Djindar Tamimy & H. Djarwani
Hadkusuma ,Op.Cit.hlm.70.
13. Lihat H. Djarnawi Hadikusuma, Risalah Islamiyah (Yogyakarta:
Persatuan, t.t).hlm.70. 14. Lihat Amin Rais, et.al., Pendidikan
Muhammadiyah dan Perubahan Sosial
(Yogyakarta:PLP2M,1985).hlm.13.
15. Ibid. hlm.47.
16. Aboebakar Atjeh, Salaf (Jakarta: Permata,1970). Hlm.86.
17. Budi Utomo adalah organisasi pertama yang bercorak nasionalis,
berdiri tahun 1908. K.H.A. Dahlan bergabung dengan organisasi ini
pada tahun 1909. Ia berusaha menyebarluaskan ajaran Islam
menurut pahamnya yang baru kepada para anggota Budi Utomo.
Atas desakan dua orang anggota organisasi itu, Mas Radji dan Raden
Ngabei Sosro Sugondo, K.H.A. Dahlan merelisasikan cita-citanya
mendirikan Muhammadiyah. Lihat Deliar Noer,Op. Cit.hlm. 114.
Syariat Islam adalah organisasi islam modernis, berdiri di Solo pada
tahun 1912. Lihat Deliar Noer, Op. Cit.hlm.115.
18. Departemen Penerangan RI, Op. Cit.hlm.157. Lihat Alfinan, Op. Cit.
hlm. 152. Lihat juga Solichin Salam, Op.Cit.hlm.55.
19. Alfian, Op. Cit.hlm.153-154.
20. Ibid. hlm.154. Lihat Solichin Salam, Op. Cit.hlm.58. Lihat juga A.
Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal
Abad keduapuluh (Surabaya: Bina Ilmu,1991).hlm.37.
21. Deliar Noer, Op. Cit.hlm.87
22. Djarnawi Hadikusumo, Op. Cit.hlm.69.
23. Deliar Noer, Loc. Cit.88 Djarnawi Hadikusumo, Op. Cit.hlm. 70-71.
24. Pihak Belanda merasa khawatir terhadap organisasi-organisasi
islam.
25. Azyumardi Azra,Dilema Pembaharuan Muhammadiyah dalam
Pelopor edisi III, Oktober 1990.hlm.19. Lihat juga A. SyafiI Maarif,
Peta Bumi Intelektualisme di Indinesia, (Bandung:
Mirzan,1993).hlm.236-237.
BAB III
KESIMPULAN

Munculnya gerakan pembaharuan di dunia islam secara umum


merupakan pengaruh dari perubahan sosial orang Barat, yang
disebabakan oleh kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sementara
itu pada saat yang sama kejayaan umat islam yang telah berabab-abab
menguasai dunia semakin mundur. Kondisi itu terus berlanjut sehingga
bangsa barat dapat menguasai dunia islam. Dalam keadaan semacam ini,
muncullah para tokoh pembeharu islam yang berusaha untuk
membangkitkan kembali kejayaan islam. Mereka berusaha menyadarkan
umat islam agar dapat lepaskan diri dari dominasi Barat dan mengejar
ketertinggalan dengan menyesuaikan diri pada kondisi yang ada.
Gerakan ini mulai muncul pada awal abad ke-19 M. Dan kemudian dikenal
dengan nama gerakan pembaruan dalam islam. Segera setelah
kemunculannya di Jawa Tengah, gerakan pembaruan dalam islam
selanjutnya merambah keseluruh penjuru dunia islam yang pada
umumnya memiliki nasib serupa, yaitu di bawah dominasi bangsa Barat,
termasuk kepulauan Nusantara yang dihuni mayoritas oleh umat islam.
Tapi gerakan pembaharuan di kepulauan Nusantara ini baru terlihat
secara pesat pada abab ke-20 M, ditandai dengan munculnya berbagai
organsasi islam yang bercorak modernis, seperti Syarikat Islam (SI),
Persis, Muhammadiyah.
Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912 M, oleh K.H.A. Dahlan
seorang tokoh modernis yang pada dasarnya merupakan reaksi
terhadap kehidupan keagamaan yang berimplikasi pada kehidupan sosial
ketika itu. Oleh karena itu, maka ide-ide pembaharuan yang
disebarkannya ditujukan untuk merubah kondisi kehidupan sosial
keagamaan yang didasarkan pada sumber ajaran yang murni al-Quran
dan as-Sunnah dengan pemahaman yang modern, yaitu disesuaikan
dengan tuntunan zaman untuk mengembangkan ide-ide
pembaharuannya, Muhammadiyah melaksanakan berbagai gerakan
sosial dengan mendirikan berbagai amal usaha, seperti lembaga
pendidikan, 21 panti asuhan, rumah sakit, badan usaha perekonomian,
dan lain-lain. Melalui berbagai amal usaha sosial ini, Muhammadiyah
segera dikenal oleh berbagai lapisan masyarakat, dan semakin banyak
anggota sertsosialnya simpatisannya, sehingga amal usaha
Muhammadiyah memperoleh kemajuan yang pesat.
Semua amal usaha Muhammadiyah yang merupakan realisasi dari
gerakan sosialnya itu, dimaksudkan untuk mengamalkan perintah Alloh
dan itttiba kepada Rasul-Nya. Menurut keyakinan Muhammadiyah, semua
amal usaha itu pada demikian, maka implikasi paham keagamaannya
dalam setiap gerakan sosial intens. Paham keagamaan Muhammadiyah
yang pada garis besarnya meliputi pesoalan Aqidah, Akhlaq, Ibadah, dan
Muamalah itu, secara umum masih relevan dan konduksif terhadap
perubahan tuntunan zaman. Kemungkinan ini terutama dapat dilihat
dengan adanya sikap keterbukaan Muhammadiyah terhadap adanya
berbagai perkembangandan perubahan baru, serta semangat
ijtihadnyayang masih tetap dipertahankan sebagai ciri khas gerakan ini.
Dalam masalah akhlaq, paham Muhammadiyah sepenuhnya
disandarkan kepada ajaran Akhlaq yang bersumber pada al-Quan dan as-
Sunnah di mana Rasullah sebagai al-uswah dan al-hasanah dengan
menolak segala bentuk ajaran Akhlaq hasil pemikiran manusia. Dalam
bidang ibadah, Muhammadiyah juga secara ketat merujuk pada al-Quran
dan as-Sunnah secara langsung tetapi persoalan yang muncul kemudian
adalah kesiapan Muhammadiyah sendiri, terutama dari segi sumber
manusia yang akan menjadi penggerak utama untuk menghadapi
perubahan dan perkembangan.

BAB IV
PENUTUP

Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy), adalah pelopor


dan bapak pembaharuan Islam. Kyai Haji kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus
1868, inilah yang mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18
November 1912. Pahlawan Nasional Indonesia ini wafat pada usia 54
tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923. Pada saat Ahmad Dahlan
melontarkan gagasan pendirian Muhammadiyah, ia mendapat tantangan
bahkan fitnahan, tuduhan dan hasutan baik dari keluarga dekat maupun
dari masyarakat sekitarnya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru
yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena
sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam
tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun
rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan
hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam
di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran
bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan
surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Penetapannya sebagai
Pahlawan Nasional didasarkan pada empat pokok penting yakni: Pertama,
KH Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk
menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar
dan berbuat. Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan dalam membangkitkan
kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka
Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961.
Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional didasarkan pada empat pokok
penting yakni: Pertama, KH Ahmad Dahlan telah mempelopori
kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa
terjajah yang masih harus belajar dan berbuat 23

Anda mungkin juga menyukai