Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang

Malformasi anorektal merupakan suatu spektrum dari anomali kongenital yang terdiri
dari anus imperforata dan kloaka persisten. Anus imperforata atau atresia ani merupakan
kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna, sedangkan kloaka persisten
merupakan suatu kondisi yang diakibatkan karena pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genitalia, dan traktus digestivus tidak terjadi. Jadi, atresia ani adalah kelainan kongenital anus
dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah
terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat
atau pemeriksaan perineum.1

Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000
kelahiran. Secara umum, malformasi anorektal lebih banyak ditemukan pada laki-laki
daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui
pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal, sedangkan pada bayi perempuan, jenis
malformasi anorektal yang paling banyak ditemui adalah anus imperforata diikuti fistula
rektovestibular dan fistula perineal. Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester
menunjukkan bahwa malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan
dibandingkan malformasi anorektal letak tinggi.2
BAB II

ISI

Epidemiologi

Atresia ani terjadi pada sekitar 1 dari 5000 kelahiran, dengan insiden yang sama
antara pria dan wanita. Pada laki-laki, yang lebih sering terjadi adalah atresia ani dengan
fistula rektouretral, diikuti fistula rektoperineal kemudian fistula rektovesika, sedangkan pada
perempuan adalah fistula rektovagina dan fistula rektovestibuler kemudian kloaka persisten.
Empat puluh sampai tujuh puluh persen dari penderita mengalami satu atau lebih defek
tambahan dari sistem organ lainnya. Defek urologi adalah anomali yang paling sering
berkaitan dengan kelainan ini, diikuti defek pada vertebra, ekstremitas, dan sistem
kardiovaskular.3, 4

Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
3. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen genetik.
Pada tahun 1950, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki
saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan
populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya
hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal
tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat
menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik .5

Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain 3:


1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus,
rektum bagian distal, serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu
keempat sampai keenam usia kehamilan.

Sebanyak 60% pasien dengan atresia ani dapat disertai dengan beberapa
kelainan kongenital saat lahir yang disebut dengan Sindroma VACTERL (Vertebrae,
Anal, Cardial, Tracheoesophageal, Renal, Limb). Kelainan yang ada, yaitu 5, 6:
1. Kelainan pada sistem kardiovaskular
- Atrial Septal Defect
- Patent Ductus Arteriosus
- Tetralogy of Fallot
- Ventricular Septal Defect
2. Kelainan sistem pencernaan
- Obstruksi duodenal
- Kelainan tracheoesophageal
3. Kelainan sistem perkemihan
Kelainan ini merupakan kelainan yang paling sering terjadi, dan terdapat pada
50% pasien dengan atresia ani. Refluk vesikoureter dan hidronefrosis merupakan
kondisi yang paling sering terjadi, namun juga dapat terjadi renal agenesis,
horseshoe, dan dysplastic. Semakin tinggi letak anomali yang ada, maka semakin
besar frekuensi terjadinya abnormalitas urologi.
4. Kelainan tulang belakang
- Hemivertebrae
- Skoliosis
- Syringomyelia
- Spinal lipoma
- Myelomeningocele

Patofisiologi
Kelainan atresia ani terjadi akibat kegagalan pembentukan septum urorectal secara
komplit. Embryogenesis dari kelainan ini masih belum jelas. Anus dan rektum diketahui
berasal dari bagian dorsal hindgut atau rongga cloacal ketika pertumbuhan lateral bagian
mesenchyme, kloaka akan membentuk sekat di tengah yang disebut septum urorectal. Septum
urogenital membagi kloaka (bagian caudal hindgut) menjadi rektum dan sinus urogenital,
urogenital sinus terutama akan membentuk kandung kecing dan uretra. Penurunan
perkembangan dari septum urorectal dipercaya menutup saluran ini ketika usia 7 minggu
kehamilan. Selama waktu ini, bagian ventral urogenital mengalami pembukaan eksternal/
keluar; bagian dorsal dari anal membuka kemudian. Anus berkembang dari fusi antara
tuberculum anal dan invagination bagian luar/ eksternal, yang dikenal sebagai proctodeum,
yang mendalam ke arah anus. Awalnya, perineum memisahkan kloaka membran menjadi
membran urogenital anterior dan membran anal posterior rektum dan bagian superior kanalis
anus terpisah dari eksterior oleh membran anal. selaput pemisah ini akan menghilang saat
usia kehamilan 8 minggu.4
Gangguan pada perkembangan struktur anorectal bermacam-macam tingkatannya
dengan berbagai macam kelainan, antara lain anal stenosis, rupture selaput anal yang tidak
komplit, atau complete failure atau anal agenesis dari bagian atas dari kloaka sampai
kebawah dan kegagalan proktoderm mengalami invaginasi. Hubungan langsung antara
saluran urogenital dan bagian rectal dari kloaka menyebabkan rectourethral fistule atau
rectovestibular fistule.4

Klasifikasi

Secara tradisional, klasifikasi atresia ani dibagi menjadi dua berdasarkan letak terminasi
rektum terhadap dasar pelvis, yaitu:
1. Anomali letak rendah
Rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung
rektum paling jauh 1 cm. Anomali ini dapat berupa stenosis anus yang hanya
membutuhkan dilatasi membran atau merupakan membran anus tipis yang mudah
dibuka segera setelah anak lahir. Baik pada laki-laki maupun perempuan, anomali
letak rendah berhubungan dengan perineal fistula. Pada laki-laki, fistula
berhubungan dengan midline raphe dari skrotum atau penis (Gambar 1). Pada
perempuan, fistula dapat berakhir pada vestibulum vagina (fistula
rektovestibular), karena rektum lebih ke depan mendekati vestibulum (Gambar
2). Terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi
normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.3, 6, 7
Gambar 1. Anomali letak rendah pada laki-laki, perineal fistula midline
raphe.3

Gambar 2. Fistula vestibular, pada fistula dimasukkan sebuah


kateter3

2. Anomali letak tinggi (supralevator)


Pada anomali letak tinggi, ujung rektum tidak mencapai tingkat muskulus levator
ani dengan jarak antara ujung buntu rektum sampai kulit perineum lebih dari 1
cm. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistel genitourinarius rektovesikal
(pria) atau rektovagina (perempuan). Pada perempuan, anomali letak tinggi sering
berhubungan dengan kloaka persisten. Jika fistula yang terbentuk adekuat, maka
secara klinis tidak terdapat tanda-tanda obstruksi. Sedangkan bila tidak adekuat,
maka terdapat tanda-tanda obstruksi yang lebih nyata.3, 6, 7

Laki-laki
1. Fistula perineal
Fistula perineal adalah kelainan yang paling sederhana yang dapat terjadi baik
pada pria maupun wanita. Pasien memiliki lubang kecil yang terletak pada
perineum anterior ke pusat sfingter eksternal, dekat dengan skrotum pada pria
atau vulva pada wanita. Pasien ini biasanya memiliki sakrum yang baik, alur garis
tengah, dan lesung anal. Frekuensi kerusakan organ lain terkait yang
mempengaruhi sekitar 10%. Diagnosis ditetapkan oleh inspeksi perineum
sederhana, tetapi sering kali diagnosis ini terlewatkan karena pemeriksaan
neonatal yang kurang memadai. Keterlambatan diagnosis mungkin memiliki
dampak signifikan yaitu obstipasi. 8

Gambar 3. Fistula perineal.8

2. Fistula rektouretral
Dalam fistula rektouretral, rektum berkomunikasi dengan bagian bawah uretra
(uretra bulbar) atau bagian atas dari uretra (uretra prostat). Mekanisme sfingter
pada umumnya baik, tetapi pada sebagian pasien memiliki otot-otot perineal dan
perineum datar. Sakrum juga memiliki derajat perkembangan yang berbeda,
terutama dalam kasus fistula rektouretral prostat. Sebagian besar pasien memiliki
sakrum yang kurang berkembang, perineum yang datar, skrotum terpecah
menjadi dua belah, dan letak lesung anal sangat dekat dengan skrotum.8

Gambar 4. Fistula rektouretral.8

3. Fistula rektovesikal (bladder neck)


Pada pasien yang memiliki fistula rektovesikal, rektum berkomunikasi dengan
saluran kemih pada tingkat leher kandung kemih. Mekanisme sfingter pada
umumnya kurang berkembang. Sakrum kurang berkembang dan perineum terlihat
datar. Kelainan ini terjadi pada 10% dari jumlah pasien laki-laki. Prognosis
biasanya tidak baik.8
Gambar 5. Fistula rektovesikal.8

4. Anus imperforata tanpa fistula


Kelainan ini memiliki karakteristik yang sama pada kedua jenis kelamin. Anus
yang tertutup biasanya ditemukan 2 cm diatas kulit perineum. Sakrum dan
mekanisme sfingter pada umumnya berkembang dengan baik. Prognosis pada
umumnya juga baik. Kelainan ini sering dikaitkan dengan sindrom down.8

Gambar 6. Anus imperforata tanpa fistula.8

5. Atresia rektum
Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang terjadi, yaitu hanya 1% dari
anomali anorektal. Karakteristik pada kedua jenis kelamin sama. Gambaran yang
unik dari kelainan ini yaitu bahwa pasien memiliki lubang anus yang normal dan
anus yang normal. Sebuah halangan terdapat sekitar 2 cm diatas permukaan kulit.
Prognosis fungsionalnya sangat baik karena memiliki sfingter yang normal dan
sensasi yang normal.8

Perempuan
1. Fistula vestibular
Kelainan ini merupakan kelainan yang sering pada wanita. Rektum terbuka di
depan alat kelamin wanita diluar selaput dara. Pasien sering disalah artikan
sebagai fistula rektovaginal. Prognosis fungsionalnya baik, sakrum biasanya
normal, alur garis tengah perineum, dan lesung anal yang semuanya menunjukkan
mekanisme sfingter masih utuh.8

Gambar 7. Fistula vestibular.8

2. Kloaka persisten
Dalam kasus kloaka persisten, rektum, vagina, dan saluran kemih bertemu dalam
satu saluran tunggal. Perineum memperlihatkan suatu lubang tunggal tepat di
belakang klitoris. Panjang saluran ini bervariasi antara 1-10 cm, panjang dari
saluran ini menunjukkan suatu prognosis. Pasien dengan saluran dengan panjang
< 3 cm pada umumnya sakrum dan sfingter berkembang dengan baik. Pasien
dengan panjang saluran > 3 cm sering kali menunjukkan kelainan yang lebih
kompleks dengan sakrum dan sfingter yang kurang berkembang dengan baik.
Pasien dengan kloaka persisten merupakan suatu kedaruratan urologi karena 90%
memiliki kelainan urologi. Sebelum dilakukan kolostomi, diagnosis urologi harus
segera ditegakkan untuk dekompresi saluran kemih.8

Gambar 8. Kloaka persisten8

Patofisiologi

Asal anus dan rektum merupakan stuktur embriologis yang disebut kloaka. Secara
embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut, dan Hindgut. Foregut akan
membentuk faring, sistem pernapasan bagian bawah, esofagus, lambung, sebagian
duodenum, hati, sistem bilier, serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian
duodenum, caecum, apendiks, kolon ascenden sampai pertengahan kolon transversum.
Hindgut meluas dari midgut hingga ke membran kloaka, membran ini tersusun dari endoderm
kloaka dan ektoderm dari protoderm/analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut
sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis
menghasilkan anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau
translevator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali
letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter
eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter.9

Atresia ani terjadi akibat kegagalan punurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Terjadinya atresia ani adalah karena kelainan kongenital dimana saat proses
perkembangan embriogenik tidak lengkap pada proses perkembangan anus dan rektum.
Dalam perkembangan selanjutnya, ujung ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang
juga akan berkembang jadi genito urinari dan struktur anorektal. Atresia ani ini terjadi karena
ketidaksempurnaan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7- 10 minggu selama
perkembangan janin. Kegagalan migrasi tersebut juga karena gagalnya agenesis sakral dan
abnormalitas pada daerah uretra dan vagina atau juga pada proses obstruksi. Atresia ani dapat
terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan
feses tidak dapat dikeluarkan.6

Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rektum dengan organ sekitarnya.3

Diagnosis

Pasien dengan atresia ani biasanya berada dalam kondisi yang stabil dan diagnosisnya
segera tampak setelah kelahiran. Cara penegakkan diagnosis adalah semua bayi yang lahir
harus dilakukan pemasukan termometer melalui anusnya, tidak hanya untuk mengetahui suhu
tubuh, tapi juga untuk mengetahui apakah terdapat atresia ani atau tidak. Selain itu juga
diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang secara cermat.3

Anamnesis

Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium
setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal, adanya membran anal, dan fistula
eksternal pada perineum.

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala
itu antara lain:8
- Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium sampai 24 jam
setelah lahir.
- Perut membuncit dan pembuluh darah di kulit abdomen terlihat menonjol. Perut
kembung biasanya terjadi antara empat sampai delapan jam setelah lahir.
- Muntah (cairan muntahan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga
berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium).

Adapun perbedaan gejala klinis antara anomali letak rendah dan letak tinggi, yaitu:
- Obstruksi usus halus letak tinggi memiliki gejala muntah lebih dahulu dan
dehidrasi yang sangat cepat.
- Obstruksi usus halus letak rendah, nyeri lebih dominan pada sentral distensi.
Muntah biasanya lebih lambat.

Pemeriksaan fisik

Inspeksi dan Palpasi Perianal

- Apakah terdapat anus atau tidak, bisa juga tidak ada anus dan hanya berupa
lengkungan (anal dimple).
- Jika tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula.
- Bila terdapat mekonium pada perineum mengindikasikan defek letak rendah dan
mekonium di urine merupakan bukti adanya fistula di saluran kemih. Bila
terdapat mekonium bercampur urin, maka terdapat 2 kemungkinan, yaitu fistula
rektouretral atau rektovesika. Pada fistula rektouretral didapatkan mekoneum
mula-mula keluar bersama miksi, urine selanjutnya makin lama makin jernih, dan
dapat juga mekoneum keluar tanpa melalui miksi. Sedangkan pada fistula
rektovesika, didapatkan miksi bercampur bersama dengan mekoneum dan dari
awal sampai akhir miksi berwarna kehitaman. Selain itu, cara membedakannya
juga dapat dengan menggunakan kateter. Jika setelah dipasang kateter didapatkan
urin jernih, maka fistula rektouretral karena fistula tertutup oleh kateter,
sedangkan bila terdapat urin bercampur mekonium maka fistula rektovesika.
- Pada perempuan diperiksa genitalia eksterna (fistula vestibulum).
- Pada perempuan jika urine bercampur mekonium dan terdapat hematuria maka
defek berupa letak tinggi. Jika dari uretra keluar mekonium, kencing jernih, dan
terdapat fistula pada perineum maka defek letak rendah.
- Dilihat pada saat anak menangis apakah anus menonjol atau tidak, jika menonjol
maka anomali letak rendah, sedangkan jika tidak maka anomali letak tinggi.
- Pada bayi yang baru lahir, hal yang harus kita lakukan adalah mengukur suhu
rektum sekaligus melihat apakah terdapat adanya lubang pada anus dengan
menggunakan termometer yang sudah diberi gel.
- Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi = perut tampak kembung
Palpasi = distensi, nyeri tekan tidak dijumpai.
Perkusi = hipertimpani
Auskultasi = Peristaltik meningkat, dapat terdengar metalic sound
- Jika dalam 24 jam pertama tidak tampak mekonium baik pada perineum ataupun
urin, dapat dilakukan cross table lateral x-ray dengan posisi bayi tengkurap.

Pemeriksaan penunjang

Meskipun diagnosis atresia ani dapat dibuat dengan pemeriksaan fisik, sering kali
sulit untuk menentukan apakah bayi memiliki lesi tinggi atau rendah. Sebuah radiograf polos
dari perut dapat membantu menemukan lesi. Selain itu, harus dicari adanya kelainan lain
yang terkait (Sindrom VACTERL) sampai tidak terbukti adanya kelainan tersebut. Untuk
memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
- Invertogram (Radiografi Abominal Lateral dengan marker radiopaque pada
perineum)
Teknik pengambilan foto ini dapat dibuat setelah udara yang ditelan oleh bayi
sudah mencapai rektum, dan bertujuan untuk menilai jarak puntung distal rektum
terhadap marker pada tempat bakal anus di kulit perineum. Pemeriksaan foto
abdomen setelah 18-24 jam setelah bayi lahir agar usus terisi udara, dengan cara
Wangensteen & Rice (kedua kaki dipegang dengan posisi badan vertikal dengan
kepala di bawah) atau knee chest position (sujud), dengan sinar horizontal
diarahkan ke trochanter mayor. Prinsipnya adalah agar udara menempati tempat
tertinggi. Selanjutnya, diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung distal
rektum ke tanda logam (marker Pb) di perineum. Cara Wangensteen dan Rice
digunakan pada kondisi dengan fistula, sedangkan pada knee chest position
digunakan pada kondisi tanpa fistula dengan adanya gejala ostruksi usus. Dengan
menggunakan invertogram, dapat diketahui anomali yang terjadi merupakan letak
rendah atau tinggi (Gambar 16). 3,10

a) b)

Gambar 9. Invertogram pada anomali letak rendah (gambar a) dan anomali letak tinggi (gambar b)

Adapun perbedaan gambaran radiologis antara anomali letak rendah dan letak tinggi,
yaitu:
- Obstruksi usus halus letak tinggi terdapat distensi minimal dan sedikir air fluid
level pada pemeriksaan radiologi.
- Obstruksi usus halus letak rendah terdapat multiple central air fluid level terlihat
pada pemeriksaan radiologi.

Syarat dari pembuatan invertogram adalah sebagai berikut 5, 8:


1. Setelah usia > 24 jam (paling cepat 18 jam, karena udara sudah sampai ke anus).
2. Hip joint fleksi maksimal.
3. Arah cahaya dari lateral.
4. Kepala di bawah, kaki ke atas agar udara naik ke atas dan mekonium akan ke
bawah.
5. Interpretasi pada invertogram
a. Pada Wangensteen dan Rice
Bila letak udara paling distal: > 1 Cm : letak tinggi
< 1 cm : letak rendah
= 1 cm : letak intermediate
b. Pada knee chest position
Dengan Pubococcygeal line (PC line), yaitu dibuat garis imajiner antara
Pubo/Pubis (tumpang tindih dengan trochanter mayor) dengan os coccygeal.8
Interpretasinya adalah sebagai berikut:
Ujung buntu di atas PC Line = letak rendah
Ujung buntu di bawah PC Line = letak tinggi
- USG
USG abdomen dapat membantu menentukan apakah ada anomali saluran kemih
atau saraf pada tulang belakang. Selain itu, Ultrasound pada perineum (daerah
dubur dan vagina) juga berguna untuk menentukan jarak antara rektum distal
mekonium.3
- Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat kelainan bawaan
pada jantung pasien.3

Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan pada atresia ani berpusat pada penentuan klasifikasinya, yaitu
anomali letak tinggi atau letak rendah, ada atau tidak adanya fistula, dan mengevaluasi
apakah terdapat kelainan kongenital lain yang menyertai. Dibutuhkan waktu sampai 24 jam
sebelum fistula dapat ditemukan, oleh karena itu, observasi pada neonatus sangat dibutuhkan
sebelum operasi definitif dilakukan. Semua pasien dimasukkan nasogastric tube untuk
melihat adanya atresia esofagus dan dimonitoring apakah terdapat mekonium pada perineum
atau urine. Selain itu, dalam 24 jam pertama, bayi harus mendapatkan terapi cairan dan
antibiotik. Pada anomali letak tinggi dengan atau tanpa fistel dan atresia ani dengan fistula
yang tidak adekuat, sifat tatalaksananya adalah emergency, sedangkan pada ada atresia ani
dengan fistula yang adekuat dan anterior anus adalah elektif. 1, 10

Penatalaksanaan anomali letak rendah


Pada anomali letak rendah, tindakan yang dilakukan adalah operasi perineal
tanpa kolostomi. Operasi yang dilakukan berupa repair yaitu anoplasti. Terdapat 3
pendekatan yang dapat dilakukan. Untuk anal stenosis, dimana pembukaan anus
berada pada lokasi yang normal, maka dilatasi serial merupakan penatalaksanaan
kuratif. Dilatasi dapat dilakukan sehari-hari oleh orang tua atau pengasuh anak dan
ukuran dari dilator harus dinaikkan secara progresif. Jika pembukaan anal berada di
sebelah anterior dari sfingter eksternus dengan jarak yang kecil antara pembukaan dan
bagian tengah dari sfingter eksternus, dan perineal intak, maka anoplasti cutback
dilakukan. Tindakannya terdiri dari insisi dari orifisium anal ektopik menuju bagian
tengah dari sfingter anus, dan dengan demikian terjadi pelebaran pembukaan anal.
Namun, jika jaraknya lebar antara pembukaan anal dengan bagian tengah dari sfingter
ani eksternus, maka yang dilakukan adalah anoplasti transposisi, dimana pembukaan
anal yang tidak pada tempatnya dipindahkan ke posisi yang normal pada bagian
tengah dari otot sfingter, dan perineal di rekonstruksi.1

Penatalaksanaan anomali letak tinggi

Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dan intermediat membutuhkan tiga


tahapan rekonstruksi. Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah kolostomi
terlebih dahulu segera setelah lahir untuk dekompresi dan diversi, diikuti dengan
operasi definitif berupa prosedur abdominoperineal pullthrough (Swenson, Duhamel,
Soave) setelah 4-8 minggu dan diakhiri dengan penutupan dari kolostomi yang
dilakukan beberapa bulan setelahnya. Tindakannya berupa pemisahan fistula
rektourinari atau rektovagina secara pull-through dari kantong rektal bagian terminal
menuju posisi anus yang normal. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi
definitif dan dilanjutkan beberapa bulan setelahnya dengan penutupan kolostomi.1, 10

Pena dan DeVries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi definitif
dengan pendekatan postero-sagital anorectoplasty (PSARP), yaitu dengan cara
membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan
mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel dengan stimulasi elektrik dari
perineum. Jika terdapat adanya kloaka persisten, maka traktus urinarius perlu
dievaluasi secara hati-hati saat kolostomi untuk memastikan terjadinya pengosongan
yang normal dan menentukan apakah vesica urinaria perlu di drainase dengan
vesikostomi. Pada perempuan, jika terdapat kloaka persisten maka perlu dilakukan
rekonstruksi traktus urinarius dan vagina. Jika terdapat keraguan dalam penentuan
letak anomalinya, lebih baik dilakukan kolostomi. Keberhasilan penatalaksanaan
atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi
fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Sebagai tujuan akhirnya
adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya baik.1
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Atresia ani merupakan kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak
sempurna, sedangkan kloaka persisten merupakan suatu kondisi yang diakibatkan karena
pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia, dan traktus digestivus tidak terjadi.

Secara umum, malformasi anorektal lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada
perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi
laki-laki, diikuti oleh fistula perineal, sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi
anorektal yang paling banyak ditemui adalah anus imperforata diikuti fistula rektovestibular
dan fistula perineal. Penegakkan diagnosis adalah semua bayi yang lahir harus dilakukan
pemasukan termometer melalui anusnya, tidak hanya untuk mengetahui suhu tubuh, tapi juga
untuk mengetahui apakah terdapat atresia ani atau tidak. Selain itu juga diperlukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang secara cermat.

Prinsip penatalaksanaan pada atresia ani berpusat pada penentuan klasifikasinya, yaitu
anomali letak tinggi atau letak rendah, ada atau tidak adanya fistula, dan mengevaluasi
apakah terdapat kelainan kongenital lain yang menyertai. Pada anomali letak rendah,
tindakan yang dilakukan adalah operasi perineal tanpa kolostomi. Operasi yang dilakukan
berupa repair yaitu anoplasti. Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dan intermediat
membutuhkan tiga tahapan rekonstruksi. Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah
kolostomi terlebih dahulu segera setelah lahir untuk dekompresi dan diversi, diikuti dengan
operasi definitif berupa prosedur abdominoperineal pullthrough (Swenson, Duhamel, Soave)
setelah 4-8 minggu dan diakhiri dengan penutupan dari kolostomi yang dilakukan beberapa
bulan setelahnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Grosfeld J, ONeill J, Coran A, Fonkalsrud E. Pediatric Surgery 6th edition.


Philadelphia: Mosby elseivier, 2006.
2. Boocock G, Donnai D. Anorectal Malformation: Familial Aspects and Associated
Anomalies. Archives of Disease in Childhood, 1987, 62, 576-579. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1778456&blobtype=pdf
(diakses 22 Agustus 2016).
3. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et al.
Pediatric Surgery. In: Schwartzs Principles of Surgery. 9 th edition. McGraw Hill;
2010.
4. Rosen, NG. Pediatric Imperforate Anus. Medscape. 2014. . Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/929904-overview#a0199 (diakses 22 Agustus
2016).
5. Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007.
Available from: http://www.ojrd.com/content/2/1/33 (diakses 22 Agustus 2016).
6. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, & Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. United States of America. Saunders Elsevier. 2007.
7. Williams N, Bulstrode CJK, Oconnell PR. Bailey and love short practice of surgery.
25th edition. Edward Arnold (Publisher) Ltd;2008.
8. Pena A. Surgical Condition of the Anus, Rectum, and Colon. Pediatric Surgery.
Germany: Springer; 2006.
9. Sadler, TW. Langman Embriologi Kedokteran. Edisi 10. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.2009.
10. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Kelainan Bawaan. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed3.
Jakarta : EGC, 2004.

Anda mungkin juga menyukai