Anda di halaman 1dari 4

P E N U L I S : N O DY A R I Z O NA L I T E R AT U R 2 0 S E P T E M B E R 2 0 1 2

INDONESIA DALAM
SECANGKIR KOPI
Bukan sebuah kebetulan bila kolonial Belanda
mengintroduksi tanaman kopi ke bumi Nusantara.
Tentu juga bukan sebuah kebetulan bila rakyat atau
petani kecil mengikuti jejak kaum kolonial menanam
kopi di pekarangan rumah ataupun di ladang-ladang
mereka.

P ernyataan menggelitik itu tertera di sampul belakang buku yang

berjudul Secangkir Kopi Meracik Tradisi yang diterbitkan Pusat Penelitian


Kopi dan Kakao Indonesia beberapa waktu silam. Tiga kata: Bukan
sebuah kebetulan, yang tercatat pada masing-masing kalimat memang
bukan sebuah kebetulan belaka dihadirkan hingga dua kali. Sinopsis itu
berupaya memancing setiap pembaca untuk mencari jawaban atas Bukan
Sebuah Kebetulan kopi hadir di Indonesia dan sampai tiga abad kemudian
masih bertahan atau dipertahankan.

Kisah kopi di Nusantara diawali oleh Andrian Van Ommen, pimpinan


Belanda di Malabar India, mengirimkan bibit kopi arabika dari Kananur
Malabar ke Jawa, kemudian ditanam Gubenur Jenderal Willem Van
Outshoorn pada 1696. Tiga tahun setelah masa penanamannya, tanaman
kopi di perkebunan Kedawung Batavia digagalkan banjir. Bibit kopi yang
pertama ditanam di Nusantara ini gagal menghasilkan biji kopi.
Biji kopi pertama yang dipetik kolonial Belanda adalah benih yang
dikirimkan dari asal yang sama oleh Hendricus Swaardecroon, seorang
yang pernah menjabat sebagai komisaris VOC di Malabar dan Gubenur Sri
Langka, untuk mengantikan bibit yang dikirimkan sebelumnya karena
banjir. Benih dari Swaardecroon ini adalah benih awal yang dipetik di Jawa
kemudian menyebar ke seluruh Nusantara.

Di masa itu Eropa telah mengenal kopi dan menjadikannya seduhan


istimewa nan eksotis dari Timur. Demam kopi terjadi di mana-mana di
tahun-tahun ini, hingga para perempuan di London Inggris harus berkoalisi
melakukan aksi protes lantaran para suami mereka yang lebih banyak
menghabiskan waktunya di caf (warung kopi). Di negeri Belanda
masyrakatnya telah mengenal kopi sejak 1640 setelah para pedagang
Belanda mendatangkan kopi dari Yaman.

Komoditas kopi dari Nusantara pertama kali diekspor melalui pelabuhan


Batavia pada 1711 dengan total ekspor 405 kilogram. Nilai ekonomis dari
komoditas ini mampu memberikan pemasukan yang besar bagi kas
kerajaan Belanda sebagai pemegang saham VOC. Sehingga, untuk
menjaga komoditas ini pada 1725 VOC meski mengeluarkan peraturan hak
monopoli perdagangan kopi hanya pada VOC semata. Tak seperti gula,
komoditas lain yang di masa itu juga dikembangkan, permintaan dalam
negeri atas kopi pada masa itu tidak begitu signifikan, karenanya para
petani dan pekerja kopi yang rata-rata pribumi tidak sanggup memberikan
perlawanan pada VOC yang secara sepihak menetapkan harga atas kopi.

Di masa setelah masa terpuruknya VOC akibat buruknya tata kelola dan
praktek korupsi akut yang menjangkiti birokrasinya, kopi menjadi komoditas
yang ditekan untuk Pemerintah Hindia Belanda mengisi pundi-pundi kas
yang kosong. Peran kopi menjadi teramat penting bagi kas Belanda sejak
Gubenur Johannes Graaf van Bosch.
Di masa itu, rencana sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) diterapkan.
Kebijakannya antara lain ialah mewajibkan setiap petani untuk memberikan
20 persen tanah garapannya untuk komoditas ekspor yang terdiri dari kopi,
tebu, tembakau, dan nila. Bagi mereka yang tidak memiliki lahan, wajib
memberikan 75 hari kerjanya dalam setahun untuk keperluan komoditas
prioritas ekspor.

Hasilnya memang memukau dalam periode 1831-1871 sistem kerja paksa


ini mampu menutup hutang Belanda yang senilai 12 juta Gulden. Di
periode yang sama, pemerintahan di Batavia yang nyaris bangkrut akibat
kelalaian di masa VOC bisa memberikan 823 juta Gulden laba bersih ke
kas Belanda.

Budidaya tanaman kopi di Nusantara itu dengan mengikuti saran yang


dilontarkan Nicolaas Witsen, Gubernur Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) sekaligus Walikota Amsterdam, yang memberikan
rekomendasi tananam kopi dikembangkan di tanah koloni Belanda yang
terkenal sebagai tanah surga memang berhasil. Tananam kopi mempunyai
nilai ekonomi yang tinggi, sedangkan Jawa memiliki potensi jika kopi bisa
tumbuh dengan subur. Dua alasan ini yang pada akhirnya menjadi jawaban
mengapa kopi ditanam di Indonesia dan bertahan hingga sekarang.

Karakteristik tanah yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah yang
lain menjadikan kopi Nusantara memiliki ciri khas yang berbeda di tiap-tiap
wilayah. Keunggulan ini acapkali diperingkas dengan adagium: benih boleh
sama jika ditanam di tanah yang berbeda hasilnya pun berbeda.

Dari ujung Sumatera hingga ujung Papua tercipta kopi yang berbhinneka
rasanya. Di antaranya mampu memberikan kopi spesial yakni Aceh Gayo,
Sumatra Mandhailing, Lintong, Sidikalang, Java Ijen, Java Raung,
Kintamani, Bajawa Flores, Robusta Lampung, Toraja, dan masih banyak
lagi daerah yang menghasilkan kopi istimewa, hingga Kopi Papua yang
dihasilkan petani kopi di Wamena.

Satu lagi, tidak lengkap rasanya bila berbicara kopi Indonesia tanpa
membahas Kopi Luwak, kopi yang dianggap sebagai The most expensive
coffe in the world. Kopi Luwak ini sebenarnya kopi yang telah melewati
proses fermentasi di perut binatang luwak. Di berbagai daerah yang
memiliki pertanian kopi hampir selalu menyediakan produk khusus Kopi
Luwak. Kopi ini masih menjadi nomor satu di dunia bagi penikmat kopi
sejati. Dari segi harga pun kopi luwak juga teristimewa dari beragam jenis
kopi di dunia perkilogramnya di pasaran dunia dibandrol berkisar US$220-
1.350.

Dari kopi kita bisa mengenal Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Dari
ujung Aceh hingga Papua kita memiliki ke-Bhinneka-an jenis kopi. Namun
hal itu tidak pernah menjadi pemisah antara masing-masing identitas
kedaerahan. Kopi di meja dan kretek di tangan, ragam etnis, suku, agama,
dan antar golongan bertemu dan berbincang-bincang di warung kopi.
Barangkali, itu sebenar-benarnya Indonesia kita.

Anda mungkin juga menyukai