Anda di halaman 1dari 19

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pemboran

Pada dasarnya tujuan kegiatan pemboran adalah diperuntukkan dalam

pembuatan lubang ledak. Namun sebelum kegiatan pemboran dilakukan perlu

ditetapkan pola pemboran yang akan diterapkan. Perancangan pola pemboran dan

lubang bor yang tepat akan memperkecil biaya pembongkaran.

2.1.1Persiapan Pemboran

Sebelum memulai kegiatan pemboran, perlu dilakukan persiapan

dimaksudkan untuk pencapaian hasil yang maksimal. Secara garis besar, persiapan

tersebut meliputi persiapan alat yang akan dipakai dan penentuan medan/lokasi yang

akan dikerjakan.

Persiapan terhadap mesin bor meliputi ; pengecekan pipa-pipa udara, mata bor,

track dan pemberian pelumas pada bagian yang akan mengalami pergerakan, juga

pemeriksaan terhadap kondisi mesin dan kompresor meliputi pemeriksaan air

pendingin, oli dan tabung dari kompresor karena apabila terjadi kebocoran akan

menyebabkan mesin bor tidak berfungsi.

Persiapan terhadap medan/lokasi kerja meliputi pembersihan jenjang dari

boulder hasil peledakan dan ditempatkan pada suatu tempat tertentu. Pembersihan ini

dilakukan dengan Bulldozer. Selanjutnya adalah memberikan tanda pada titik-titik

Proposal Kerja Praktek 5


yang akan dibor dengan menggunakan batuan yang ditumpuk dan plastik yang

digunakan untuk menutup lubang hasil pemboran dimaksudkan untuk mencegah air

masuk kedalam lubang pada saat musim hujan.

2.1.2 Diameter Lubang Bor

Penentuan besar diameter lubang bor tergantung pada tingkat produksi yang

diinginkan. Dengan diameter lubang bor yang besar, lebih besar pula tingkat produksi

yang dihasilkan.

Juga penentuan lubang bor secara tepat adalah penting untuk memperoleh

hasil fragmentasi secara maksimal dengan biaya yang relatif rendah. Ada 3 faktor

dalam penentuan lubang bor antara lain : kesediaan alat bor, kedalaman lubang yang

akan diledakkan dan jarak terdekat dengan bangunan. Penentuan lubang bor juga

dibatasi oleh beberapa ukuran fragmentasi yang diinginkan dan perhitungan bahaya

getaran yang akan ditimbulkan. Diameter lubang juga berkaitan dengan ketinggian

jenjang, yang perbandingannya dapat ditentukan berdasarkan pada persamaan :

d = 5 10 K ...........................................................................................................(2.1)

Dimana :

d = diameter lubang bor (mm)

K = tinggi jenjang (m)

2.1.3 Kedalaman Lubang dan Ketinggian Jenjang

Tinggi jenjang maksimum sangat ditentukan oleh peralatan lubang bor dan

alat muat yang tersedia. Ketinggian jenjang disesuaikan dengan kemampuan alat bor

dan diameter lubang. Jenjang yang rendah dipakai untuk diameter lubang kecil,

Proposal Kerja Praktek 6


sedang diameter lubang bor besar untuk jenjang yang tinggi. Secara matematis

hubungan antara tinggi jenjang dan diameter lubang bor dapat dilihat pada persamaan

berikut :

K = 0,1 0,2 d ........................................................................................................ (2.2)

Dimana :

K = tinggi jenjang (m)

d = diameter lubang bor (mm)

2.1.4. Arah Pemboran

Pada prinsipnya terdapat dua cara untuk membuat lubang bor, yaitu membor

dengan lubang miring dan membor dengan lubang tegak. Membor dengan lubang

miring akan mengurangi problem backbreak dan juga banyak memiliki keuntungan,

antara lain :

a. Mengurangi biaya pemboran dan kebutuhan bahan peledak.

b. Akan diperoleh jenjang yang stabil.

c. Mengurangi resiko timbulnya tonjolon.

d. Hasil tumpukan (much pile shape).

e. Gelombang ledak (shock wave) yang dipantulkan dari lantai dasar jenjang

akan lebih besar.

Tetapi juga terdapat kesulitan dalam pembuatan lubang bor miring, antara lain :

1). Sulitnya melakukan pemboran secara akurat (human error) khususnya bila

membor yang lebih dalam.

Proposal Kerja Praktek 7


2). Struktur batuan yang berongga juga menjadi pertimbangan dalam membor

miring.

3). Diperlukan pengawasan yang ketat.

Dengan pemboran tegak, pada bagian atas jenjang kurang bagus karena adanya

backbreak, persentase fragmentasi kecil karena pada bagian lantai dasar daya ledak

tidak semuanya tersalurkan.

2.1.5. Pola Pemboran

Secara umum pola pemboran yang digunakan dalam pembuatan lubang

peledakan terdiri dari dua pola yaitu :

a. Pola sejajar (square pattern)

b. Pola zig-zag (stanggred pattern)

Untuk pola sejajar (square pattern) jarak antara burden dan spacing sama,

sedang pada pola zig zag (stanggred pattern) adalah pola variasi dari pola sejajar

(square pattern atau rectangular pattern) yang dibuat miring (lihat gambar 3.1).

Pola pemboran merupakan pengaturan jarak antar lubang dalam satu baris

(spacing) maupun jarak antara lubang ledak dengan bidang bebas (free face). Pola

pemboran yang biasanya dipakai adalah pola pemboran sejajar (paralel pattern)

terkadang pula digunakan pola zig zag (stanggred pattern). Pola pemboran secara

umum ditentukan oleh jumlah baris dan banyaknya lubang dalam sekali peledakan,

namun yang sering digunakan pada PT Bosowa Mining adalah pola pemboran zig-

zag.

Proposal Kerja Praktek 8


Dipilih pola pemboran zig-zag dimaksudkan agar hasil dari kegiatan

peledakan terutama ukuran fragmentasinya relatif kecil dibandingkan dengan pola

sejajar. Hal ini disebabkan energi hasil peledakan yang ditimbulkan lebih merata.

Gelombang energi yang dihasilkan akan disebarkan ke semua arah berbentuk

lingkaran yang konsisten, sehingga daerah yang tidak mengalami penyebaran energi

dari bahan peledak lebih kecil bila dibandingkan dengan pola sejajar. (lihat pada

gambar 2.1)

Free Face

Pola Pemboran Sejajar

Free Face

Pola Pemboran Zig Zag

Sumber : PUSDIKLAT Teknologi Mineral Dan Batu Bara Bandung

(gambar 2.1 pola pemboran sejajar dan zig zag)

` Daerah yang diarsir merupakan bagian yang tidak terhancurkan oleh bahan

peledak. Pada pola pemboran sejajar daerah yang diarsir lebih besar dibanding

dengan pola pemboran zig-zag, sehingga pada pola pemboran sejajar kemungkinan

terjadinya boulder lebih besar.

Proposal Kerja Praktek 9


2.1.6. Kecepatan Pemboran

Pada dasarnya kecepatan pemboran didefinisikan sebagai kedalaman yang

didapat persatuan waktu atau produksi alat bor dalam membuat lubang bor dengan

kedalaman tertentu. Proses ini tidak selamanya konstan. Hal ini dikarenakan adanya

kendala berupa kerusakan alat dan kesalahan manusia serta juga kendala yang

terdapat pada batuan itu sendiri seperti adanya pergeseran atau rekahan yang

menyebabkan terhambatnya putaran dari batang bor.

Hal-hal yang secara spesifik mempengaruhi kecepatan pemboran adalah :

a. Sifat batuan.

b. Waktu yang diperlukan untuk mengganti batang bor.

c. Waktu untuk menurunkan mata bor dan menstel kembali.

d. Kedalam lubang bor.

e. Pergeseran arah lubang bor.

f. Penggunaan udara, air atau material lain untuk mengeluarkan cuttings.

g. Persentase kehilangan waktu karena adanya proses peledakan, istirahat dan

waktu tunda.

h. Ukuran, berat dan tipe alat bor yang digunakan.

i. Udara atau steam press pada bor.

j. Keahlian operator.

Kecepatan pemboran rata-rata untuk berbagai kedalaman lubang bor dapat

dihitung dengan menggunakan rumus :

Proposal Kerja Praktek 10


H (meter)
Dt (meter)
Vt = ........................................................................... (2.3)

Dimana :

Vt = Kecepatan pemboran (meter/menit)

H = Kedalaman lubang bor (meter)

Dt = Waktu membor (menit)

2.1.7. Produktifitas Alat Bor

Penentuan produktifitas alat bor dilakukan dengan pengamatan terhadap

gerakan dan waktu yang digunakan alat bor tersebut. Pengamatan terhadap alat bor

meliputi waktu mengebor, menarik batang bor, pengeluaran cutting dari lubang bor

serta pemindahan alat bor ke posisi yang telah ditentukan. Waktu pemboran dihitung

mulai pada saat mata bor menyentuh permukaan batuan dan hitungan berakhir apabila

pengeboran berhenti pada kedalaman tertentu. Sedangkan waktu menarik batang bor

dihitung sejak batang bor ditarik, disini terjadi beberapa kali pelepasan batang bor

dan dianggap selesai bila batang bor berhenti ditarik. Setelah itu untuk membersihkan

rod drill dan mata bor dari cutting yang masih ada dilakukan dengan penghembusan

udara. Sedangkan waktu pindah posisi dihitung sejak alat bor berpindah dan selesai

jika alat bor berhenti pada tempat yang telah ditentukan.

Untuk menentukan produktifitas alat bor, maka parameter parameter yang

diperlukan antara lain :

Proposal Kerja Praktek 11


a. Cycle Time Pemboran

Cycle time pemboran merupakan awal dari siklus alat bor dalam satu kali

membor sampai pindah ke lubang yang lainnya dalam waktu tertentu.

Cycle Time pemboran satu siklus adalah sebagai berikut :

1). Waktu membor (Wb)

2). Waktu melepas dan menyambung rod (Wm)

3). Waktu mengangkat / menaikkan rod (We)4). Waktu pindah posisi (Wp)

Total Cycle Time = Wb + Wm + We + Wp .................................................... (2.4)

b. Efesiensi Kerja Alat Bor

Yang dimaksud dengan efesiensi kerja alat bor adalah perbandingan antara

waktu yang digunakan oleh alat untuk produksi dengan waktu yang tersedia dikali

seratus persen, sehingga dinyatakan dalam %. Untuk lebih jelasnya dapat dirumuskan

sebagai berikut:

T1
100 %
T2
Eff = ......................................................................................... (2.5)

Dimana :
Eff = Effisiensi kerja (%)
T1 = Waktu kerja efektif (jam)
T2 = Total waktu yang tersedia (jam)
c. Kemampuan Pemboran

Proposal Kerja Praktek 12


Kemampuan pemboran adalah kesanggupan alat bor untuk mencapai

kedalaman tertentu dalam waktu siklus tertentu (cycle time). Nilai kemampuan

pemboran dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

Eff x 60 (menit/jam )
CT (menit)
P= ................................................................................. (2.6)

Dimana :

P = Kemampuan pemboran (Lubang/jam)

Eff = Effisiensi kerja alat bor (%)

CT = Cycle time (menit)

Untuk mengetahui keadaan alat bor dalam penggunaannya dapat dituliskan

sebagai berikut :

1). Efesiensi Operasional (Physical Availability)

Tingkat kemampuan alat untuk berproduksi yang dipengaruhi oleh operator dapat

dihitung dengan menggunakan rumus :

W S
T
PA = X 100 % .......................................................................... (2.7)

2). Efesiensi Mekanis (Mechanical Availability)

Tingkat kemampuan alat untuk berproduksi yang dipengaruhi oleh faktor

mekanis pengisian bahan bakar dan perbaikan dapat dirumuskan sebagai berikut :

W
TR
MA = X 100 % ........................................................................ (2.8)

Proposal Kerja Praktek 13


3). Efesiensi Waktu (Use of Availability)

Tingkat kemampuan alat atau pemakaian alat dalam kondisi siap pakai atau

untuk mengetahui kemampuan alat mekanis yang beroperasi pada saat alat-alat

mekanis itu dapat digunakan, dimana jumlah jam kerja produktif dan jumlah jam siap

dipakai di pandang sebagai jam kerja seluruhnya, dapat dirumuskan sebagai berikut :

W
W S
UA = ....................................................................................... (2.9)

4). Efektif Utilization (EU)

Tingkat produktivitas alat (jam kerja produktif) atau waktu yang digunakan alat-

alat mekanis untuk beroperasi dari waktu kerja yang disediakan, dapat dirumuskan

sebagai berikut :

W
T
UE = X 100 % .............................................................................. (2.10)

Dimana :

W = Waktu Operasi (menit)

R = Waktu Perbaikan (menit)

S = Waktu Stand by (menit)

T = W + S + R (Total Waktu yang Tersedia) (menit)

2.2 Peledakan Batugamping

Peledakan merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemboran, dimana

merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk melepaskan batuan dari

Proposal Kerja Praktek 14


batuan induknya dengan harapan menghasilkan bongkaran batuan yang berukuran

lebih kecil sesuai dengan yang diharapkan sehingga memudahkan dalam proses

pendorongan, pemuatan, pengangkutan dan komsumsi material pada crusher yang

terpasang.

2.3 Geometri Peledakan

Penentuan desain peledakan atau yang lebih dikenal dengan istilah Geometri

Peledakan akan sangat menentukan hasil akhir dari suatu kegiatan

pembongkaran/peledakan (gambar 2.3). Istilah pemboran dan peledakan

dimaksudkan sebagai metode penggalian dan pembongkaran batuan secara tertentu.

Sebelum operasi pemboran dimulai penentuan letak lubang bor harus dievaluasi

dengan hati hati untuk mendapatkan hasil yang optimum dari bahan peledak yang

dipilih. Lebih dari pada itu, penyediaan lubang tembak yang tepat untuk

pembongkaran dengan biaya rendah, karakteristik massa batuan dan kemampuan

pembuatan lubang tembak harus diidentifikasi.

Kondisi kondisi tertentu pada suatu lokasi akan mempengaruhi secara detail

dari pada desain peledakan. Faktor faktor yang perlu dipertimbangkan dalam

mendesain peledakan :

a. Diameter lubang bor.

b. Ketinggian jenjang (bench high).

c. Burden dan Spacing.

Proposal Kerja Praktek 15


d. Struktur batuan.

e. Fragmentasi.

f. Kestabilan jenjang (bench stability requirement).

g. Type bahan peledak yang akan digunakan.

Walaupun variabel variabel desain peledakan telah tercover dengan baik,

namun peranan lain yang juga memainkan adalah faktor keseimbangan sensitif antara

ilmu dan unsur seni peledakan masih diperlukan. Informasi baik secara kualitatif

maupun kuantitatif perlu dianalisa secara matang dalam proses desain peledakan

Surface Blast Desain. (lihat pada gambar 2.2)

Proposal Kerja Praktek 16


Sumber :PUSDIKLAT Teknologi Mineral Dan Batu Bara Bandung
(Gambar 3.2. desain peledakan surface blast desain)
1). Burden

Burden adalah jarak tegak lurus dari lubang bor terhadap bidang bebas (free

face) yang terdekat pada saat terjadi peledakan. Burden merupakan variabel yang

sangat penting dan krisis dalam mendesain peledakan. Jarak maksimun burden

terhadap free face tergantung pada jenis bahan peledak dan batuan yang akan

diledakkan. Jarak burden juga sangat erat hubungannya dengan besar kecilnya

diameter lubang bor yang digunakan. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai

berikut :

Kb x De
12
B = ................................................................................................... (2.11)

Dimana :

B = Burden (m)

De = Diameter Lubang Bor (in)

Kb = Koreksi Burden

Bila karakteristik batuan dan bahan peledak diketahui, jarak burden dapat dihitung

menurut formula C. J. Konya sebagai berikut :

SGe
3,15 De 3
SGr
B = .......................................................................................... (2.12)

Dimana :

B = Burden (ft)

Proposal Kerja Praktek 17


De = Diameter Bahan Peledak (in)

SGe = Specific Gravity Bahan Peledak

SGr = Specific Gravity Batuan

2). Spacing

Spacing adalah jarak di antara lubang tembak dalam suatu baris. Spacing

adalah fungsi daripada burden dan dihitung setelah burden ditetapkan terlebih dahulu.

Secara teoritis optimum spacing berkisar antara 1,1 1,4 burden atau dapat dituliskan

sebagai berikut :

S = 1,1 1,4 B ............................................................................................... (2.13)

Jika spacing lebih kecil daripada burden cenderung mengakibatkan stemming

ejection yang lebih dini. Akibatnya gas hasil ledakan dihamburkan ke atsmosfer

dibarengi dengan noise dan air blast. Sebaliknya jika spacing lebih besar diantara

lubang tembak maka fragmentasi yang dihasilkan tidak sempurna. Biasanya rata-rata

S = 1,25 B.

3). Stemming

Stemming adalah tempat material penutup didalam lubang bor, diatas kolom

isian bahan peledak. Stemming berfungsi untuk mengurung gas hasil ledakan. Ukuran

stemming yang diperlukan tergantung besarnya jarak burden dan biasanya dituliskan

sebagai berikut :

T = 0,7 1 B ................................................................... (2.14)

Dimana :

T = Ukuran stemming (mm)

Proposal Kerja Praktek 18


B = Jarak burden (mm)

4). Subdrilling

Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari lubang bor dibawah rencana

lantai jenjang. Subdrilling perlu untuk menghindari problem tonjolan pada lantai,

karena dibagian ini merupakan tempat yang paling sukar diledakkan. Dengan

demikian gelombang ledak yang yang ditimbulkan pada lantai dasar jenjang akan

bekerja secara maksimum.

Apabila subdrilling berlebihan maka akan sia-sia dan hanya akan menghasilkan

excessive ground vibration, karena pengurangan faktor yang lebih. Secara praktis

subdrilling dibuat antara 20 40 % B, atau

J = 0,2 0,4 B ........................................................................ (2.15)

Dimana :

J = Subdrilling (mm)

B = Burden (mm)

2.4 Pola Peledakan

Efektivitas proses pembongkaran sangat dipengaruhi oleh pola peledakan.

Pola peledakan yang baik akan menghasilkan fragmentasi dan arah lemparan yang

diinginkan. Pola peledakan terdiri atas :

1. Square Pattern dengan V delay pattern

Proposal Kerja Praktek 19


Square pattern umumnya digunakan dengan kombinasi V delay pattern, yang

mana akan menyebabkan terjadinya penundaan antar lubang tembak yang saling

berdekatan. Ada beberapa keuntungan antara lain mengurangi getaran,

mengurangi overbreak dan fly rock dan mengurangi fragmentasi (lihat

gambar 2.3).

Sumber :PUSDIKLAT Teknologi Mineral Dan Batu Bara Bandung

(gambar 2.3 Square Pattern dengan V delay pattern)

2. Regtangular Pattern

Umumnya rectangular pattern dibuat dengan sistem stanggred pattern untuk

mendapatkan distribusi bahan peledak dengan baik.

Berdasarkan pola ini maka baris demi baris dari delay pattern lebih cocok

dengan apa yang dijelaskan diatas. Cara ini juga sering digunakan untuk memotong

overburden dimana lemparan optimum diperlukan (lihat pada gambar 2.4).

Proposal Kerja Praktek 20


Sumber :PUSDIKLAT Teknologi Mineral Dan Batu Bara Bandung

(gambar 2.4 Regtangular Pattern)

2.5 Geometri Peledakan Aktual Secara Empiris


1. Banyaknya isian bahan peledak/ loding density (de) :
Volume lubang/meter (V)

V = . De2 ........................ (2.

16)
Maka :
de = V x SG (2. 17)

2. Jumlah bahan peledak yang digunakan per lubang ledak (e) yaitu :
e = PC x de ............ (2.18)
3. Jumlah bahan peledak dalam setiap peledakan (E) :
E = e x N ............ (2. 19)
4. Jumlah primer (Dinamit) Dengan berat 0, 5 kg/batang.
Dipakai 1 dinamit untuk setiap lubangnya dengan kedalaman lubang 2

steel :
p = 0, 5 x banyaknya lubang (N)
5. Jumlah ANFO yang digunakan :
ANFO = E p (2. 20)
Maka :
AN = 94, 5%
FO = 5, 5% dimana density FO = 0, 845 kg/liter.

Untuk menghitung produksi peledakan dapat dilakukang dengan

persamaan volume setara. Volume stara menyatakan bahwa volume atau berat

Proposal Kerja Praktek 21


batuan yang terbongkar karena peledakan untuk setiap meter kedalaman lubng

ledak, dinyatakan dalam m3/m, atau bcm/m. Volume setara dapat dihitung

dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

BxSxL
Vs = H (2. 21)

Dimana :

Vs = Volume setara (m3/m atau ton/m)

B = Burden (m)

H = Kedalaman lubang ledak (m)

L = Tinggi jenjang (m)

S = Spacing (m)

6. Perhitungan produksi hasil peledakan secara nyata dari data

lapangan :
Volume setara batuan yang terbongkar secara nyata dilapangan

dalam satu kali peledakan adalah sebagai berikut :


Vs = B x S x H (2. 22)
7. Blasting Ratio (BR)
jumlah batauan yang terbongkar (Ton)
BR = jumlah bahan peledak( Kg) (2.

23)
8. Power Factor (PF)
jumlah bahan peledak( Kg)
PF = jumlah batuan yang terbongkar (Ton) (2.

24)

Proposal Kerja Praktek 22


Proposal Kerja Praktek 23

Anda mungkin juga menyukai