Anda di halaman 1dari 14

MODAL SOSIAL DAN PEMBANGUNAN MANUSIA INDONESIA

Witrianto, S.S., M.Hum., M.Si.


ABSTRAK
Dalam konteks pembangunan manusia, Modal Sosial memiliki pengaruh yang sangat
menentukan. Di suatu komunitas yang memiliki Modal Sosial rendah, kualitas pembangunan
manusianya akan jauh tertinggal. Beberapa dimensi pembangunan manusia yang sangat
dipengaruhi oleh Modal Sosial antara lain kemampuannya menyelesaikan berbagai masalah
kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat di tengah masyarakat, memperluas kesadaran
bersama bahwa banyak jalan yang bisa dilakukan oleh setiap anggota kelompok untuk
memperbaiki nasib secara bersama-sama, memperbaiki mutu kehidupan seperti
meningkatkan kesejahteraan, perkembangan anak dan banyak keuntungan lainnya yang dapat
diperoleh. Bangsa yang memiliki Modal Sosial tinggi akan cenderung lebih efisien dan
efektif menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan rakyatnya.
Suatu kelompok masyarakat yang memiliki Modal Sosial tinggi akan membuka kemungkinan
menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih mudah. Hal ini memungkinkan terjadi
terutama pada masyarakat yang terbiasa hidup dengan rasa saling mempercayai yang tinggi.
Masyarakat yang bersatu dan memiliki hubungan keluar lingkungan kelompoknya
(eksternalitas) secara intensif dan dengan didukung oleh semangat kebajikan untuk hidup
saling menguntungkan, akan merefleksikan kekuatan itu sendiri.
Pembangunan manusia di Indonesia yang cenderung lambat terutama disebabkan rendahnya
Modal Sosial yang dimiliki bangsa Indonesia. Jika sekilas dibuat gambaran tentang
mentalitas orang Indonesia, seperti umumnya mentalitas Melayu, bangunannya adalah
cenderung gemar menempuh jalan pintas, yang benar adalah kami, asing dengan perubahan,
terobosan dan inovasi dan cenderung tidak rela orang lain mencapai prestasi yang lebih baik.
Secara umum dasar-dasar kebudayaan Melayu (Indonesia) adalah tidak memiliki tradisi
inovatif, lekas puas dengan tercapainya kebutuhan sederhana, cenderung boros dan senang
bergantung (tetapi kemudian berkhianat) kepada mereka yang diasumsikan sebagai yang
lebih kuat. Streotip ini kemungkinan terlalu sederhana, tetapi kandungan kebenaran di
dalamnya sulit dibantah.
Pendahuluan
Potret kehidupan masyarakat Indonesia dalam keseharian sulit untuk dipahami. Pencapaian
pembangunan Indonesia selalu terpuruk. Pemerintahan silih berganti, tetapi Indonesia seperti
jalan di tempat. Pengangguran terus bertambah. Kemiskinan semakin sulit dikendalikan.
Kriminalitas meningkat di mana-mana. Investasi swasta semakin sulit berkembang.
Perusahaan-perusahaan industri dalam negeri semakin sulit bersaing. Bangsa Indonesia jika
tidak diwaspadai dari sekarang, tidak saja akan menjadi serambi belakang bangsa Asia
Tenggara dan Asia Timur, tetapi lebih jauh menjadi pusat menoleh tentang sebuah bangsa
yang terus menerus perlu dikasihani. Pertanyaannya, ada apa dengan Indonesia?
Desa-desa di Indonesia sebetulnya tidak miskin. Rakyatnya hidup di tanah yang subur.
Sungai mengalir lebar dan ikan-ikan, beberapa waktu yang lalu, pernah melimpah ruah.
Rakyat tidak mengalami kekurangan. Saat ini, yang hilang di desa sebenarnya bukanlah ikan-
ikan di sungai, bukan hutan sebagai sumber kehidupan, bukan hama babi dan tikus yang
mengganggu padi, bukan karena pemerintah mengalirkan subsidi pengganti Bahan Bakar
Minyak (BBM) dalam jumlah yang kurang besar. Yang hilang adalah sebuah energi. Yang
tidak tampak adalah energi kolektif masyarakat untuk mengatasi problem bersama.
Mereka menjerit minta agar gedung sekolah diperbaiki, tetapi tidak ada upaya bersama
begaimana memelihara gedung itu dan membetulkan plafon yang ambruk sebelum datang
bantuan dari pemerintah. Mereka menghendaki jalan desa mulus dan tidak lagi berlumpur,
tetapi tidak gerakan untuk bergotong royong mengatasi jalan yang rusak. Mereka menjerit
tentang tikus dan babi, tetapi langkah bersama untuk mengatasinya juga tidak terlihat.
Mereka mengeluh miskin, tetapi di desa yang miskin tersebut, tanah-tanah pekarangan yang
masih luas dibiarkan kosong. Untuk mengkonsumsi sayuran pun mereka enggan menanam,
tetapi harus membeli dari pasar.
Kebersamaan masyarakat desa saat ini hanya terbatas untuk urusan-uruan perayaan kematian,
perkawinan, dan tahlilan. Kehidupan memberi warna dikotomistik. Di satu sisi, untuk acara-
acara ritual terlihat ada kebersamaan. Di sisi lain, untuk meningkatkan mutu kehidupan
bersama, mereka menunjukkan sikap hidup kemasing-masingan. Tidak terlihat kepedulian
dan kebersamaan untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi, sosial dan lingkungan fisik
yang muncul dan membelenggu kehidupan mereka. Kondisi ini mencerminkan bahwa
masyarakat sedang tertimpa penyakit yang sangat kronis, yaitu hilangnya kebersamaan dan
energi kelompok karena hilangnya Social Capital(Modal Sosial) tersebut.
Di negeri yang besar dan dengan kompleksitasnya persoalan, dimensi Modal Sosial hampir
diabaikan, jauh berada di luar alam pikir pembangunan. Padahal di berbagai belahan dunia
dewasa ini, kesadaran akan pentingnya faktor tersebut cukup tinggi, dan sedang menjadi
kepedulian bersama.Social Capital (Modal Sosial) diyakini sebagai salah satu komponen
utama dalam menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, kesalingpercayaan, dan
kesalingmenguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama.
Francis Fukuyama (1999) dengan meyakinkan berargumentasi bahwa Modal Sosial
memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan
masyarakat modern. Modal Sosial sebagai sine qua non bagi pembangunan manusia,
pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan stabilitas demokrasi. Di dalamnya merupakan
komponen kultural bagi kehidupan masyarakat modern. Korupsi dan penyimpangan yang
terjadi di berbagai belahan bumi dan terutama di negara-negara berkembang Asia, Afrika, dan
Amerika Latin, salah satu determinan utamanya adalah rendahnya Modal Sosial yang tumbuh
di tengah masyarakat. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong,
memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Apa dan bagaimana Modal Sosial itu sesungguhnya, dengan varian dimensi yang ada di
dalamnya seperti teori, konsep definisi, cakupan, dan situasinya di Indonesia, akan menjadi
inti penting materi telaah selanjutnya dalam kertas kerja ini. Secara khusus kertas kerja ini
berusaha menyibak perilaku sosial (yang dibatasi pada dimensi yang berkaitan dengan Modal
Sosial) Manusia Indonesia dan bagaimana solusi yang memungkinkan untuk menuju
keunggulan budaya sekaligus menjadi Manusia Indonesia yang unggul dan inklusif di masa
depan.
Konsep tentang Modal Sosial
Modal Sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan
sumberdaya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumberdaya (resources)
adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan.
Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Dimensi Modal Sosial
cukup luas dan kompleks. Modal Sosial berbeda dengan istilah populer lainnya, yaitu Modal
Manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi
individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Pada Modal Sosial
lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antarindividu dalam suatu
kelompok dan antarkelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan
kepercayaan antarsesama yang lahir dari anggota kelompokdan menjadi norma kelompok.
Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal
sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan.
Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan
keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu bentuk
hubungan sosial. Robert D. Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu entitas
masyarakat yang memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi
akan dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat Modal Sosial yang rendah.
Salah satu tokoh utama yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Modal Sosial yaitu James
Coleman (1990). Atas hasil studinya tentang pemuda dan pendidikan (youth and schooling)
mendefinisikan konsep Modal Sosial sebagai varian entitas, terdiri dari beberapa struktur
sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya, apakah dalam bentuk personal atau
korporasi dalam suatu struktur sosial. Modal sosial menurutnya inheren dalam struktur relasi
antarindividu. Struktur relasi dan jaringan inilah yang menciptakan berbagai ragam
kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan
menetapkan norma-norma dan sangsi sosial bagi para anggotanya. Coleman dan Bourdieu
memiliki kesamaan dalam fokus kajian yaitu individual, terutama yang berkaitan dengan
peran dan hubungan dengan sesama sebagai unit analisis Modal Sosial. Formulasi lain
tentang konsep Modal Sosial dikemukakan juga oleh Adler dan Kwon (2000) yang
menyatakan bahwa Modal Sosial merupakan gambaran dari keterikatan internal yang
mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungan-keuntungan bersama
dari proses dan dinamika Modal Sosial yang terdapat dalam struktur dimaksud.
Francis Fukuyama (2003) menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala sesuatu
yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar
kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan
dipatuhi. Situasi tersebutlah yang akan menjadi resep kunci bagi keberhasilan pembangunan
di segala bidang kehidupan, dan terutama bagi kestabilan pembangunan ekonomi dan
demokrasi. Pada masyarakat yang secara tradisional telah terbiasa dengan bergotong royong
serta bekerjasama dalam kelompok atau organisasi yang besar cenderung akan meraskan
kemajuan dan akan mampu, secara efisien dan efektif, memberikan kontribusi penting bagi
kemajuan negara dan masyarakat.
Masing-masing tokoh yang mempopulerkan konsep Modal Sosial memiliki perbedaan
penekanan terhadap unsur-unsur yang membentuknya. Perbedaan tersebut juga dalam hal
pendekatan analisis. dari berbagai konsep yang telah disebutkan di atas, intinya konsep
Modal Sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan
memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian
secara terus menerus. Dalam proses perubahan dan upaya untuk mencapai tujuan, masyarakat
senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap,
bertindak dan bertingkah laku serta berhubungan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan
unsur yang merupakan ruh Modal Sosial antara lain sikap yang partisipatif, sikap yang saling
memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai, dan diperkuat
oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peran penting
adalah kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk secara terus menerus pro aktif,
baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan-jaringan kerjasa, maupun dengan
penciptaan kreasi dan ide-ide baru.
Etos Kerja Bangsa Indonesia
Secara sederhana kata etos, dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu masyarakat.
Perwujudan etos itu dapat dilihat dari struktur dan norma sosial masyarakat itu (Sairin, 2002).
Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan bagi perilaku diri sendiri dan
lingkungan sekitarnya, yang terpencar dalam kehidupan masyarakat (Geertz, 1973). Oleh
karena etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia, maka etos itu juga berhubungan
dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai dalam kehidupan masyarakat (Abdullah, 1982).
Masyarakat Indonesia sejak lama dikenal memiliki etos kerja yang rendah dibandingkan
dengan bangsa-bangsa lain. Mitos Melayu malas sering dilontarkan oleh penulis Barat dalam
menilai etos kerja pribumi di Indonesia. Namun pendapat itu ada pula yang membantah
dengan menunjukkan bagaimaan kerasnya kerja yang dilakukan para petani dan buruh di
berbagai tempat di Indonesia. Rendahnya tingkat kemajuan bangsa Indonesia menurut
pendapat terakhir ini, tidak berkaitan sama sekali dengan etos kerja orang Indonesia, tetapi
lebih berkaitan dengan politik ekonomi pembangunan. Kedua pendapat di atas jelas
mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing, tetapi sukar untuk disangkal bahwa
tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh etos
kerja yang ada pada masyarakat itu.
Dari pengamatan terkesan bahwa mayoritas bangsa Indonesia masih memandang bekerja
adalah untuk mencari nafkah dan mendapatkan status sosial. Pada masyarakat Indonesia, kata
bekerja selalu dikaitkan dengan upaya untuk mengisi perut. Jika seseorang akan pergi ke
kantor atau ke tempat ia bekerja, sering ia mengatakan pergi mencari makan. Hal ini
mencerminkan bahwa orientasi nilai bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan kegiatan
bekerja hanyalah sekedar mencari nafkah. Akibatnya etos kerja menjadi sangat rendah.
Ungkapan bekerja dengan makna mencari makan itu jelas merupakan ungkapan yang tumbuh
pada masyarakat yang subsisten dan tradisional, yaitu masyarakat yang hanya bekerja untuk
memenuhi kebutuhan dasar mereka. Tanpa harus bekerja lebih keras untuk mencapai tingkat
produktivitas yang lebih dari itu.
Rendahnya etos kerja juga dipengaruhi oleh tegas atau tidaknya suatu masyarakat dalam
membedakan antara konsep waktu yang ditentukan oleh gejala alam dengan waktu yang
ditentukan oleh ukuran jam. Umumnya etos kerja pada masyarakat yang dapat membedakan
antara kedua waktu itu lebih tinggi dari yang tidak dapat membedakannya. Mereka yang
dapat membedakan kedua waktu itu dengan tegas, akan berbeda kinerjanya dengan mereka
yang mencampuradukkan antara kdua waktu tersebut. Mereka yang tahu waktu menurut jam
akan bekerja memenuhi target waktu yang jelas, sedangkan yang tidak mengenal waktu
menurut jam, akan selalu terbawa pada keinginan untuk mengulur-ulur pekerjaannya. Pada
masyarakat Indonesia, penggunaan waktu menurut ukuran jam masih merupakan sesuatu
yang langka. Umumnya masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan waktu yang bersifat
relatif, seperti nanti, sebentar, besok, dan sebagainya. Hal ini juga membawa pengaruh pada
etos kerja masyarakat Indonesia.
Gambaran lain yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia adalah adanya nilai-nilai
tertentu dan juga norma sosial yang sangat tidak menguntungkan dari perspektif untuk
tumbuh kembangnya Modal Sosial. Konsep baik, terutama bila seseorang disebut baik, bukan
terletak pada perilaku orang tersebut yang sejalan dengan ajaran agama atau dengan nilai-
nilai universal, melainkan apakah orang atau individu tersebut memiliki atau menunjukkan
perilaku yang sesuai atau tidak dengan tuntunan adat.
Pandangan tentang hidup yang melakat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam adalah ketimpangan dalam pemahaman tentang hidup di dunia dan
pandangan tentang hari kemudian. Untuk apa bekerja keras, karena hidup di dunia sangat
sementara, hidup yang sebenarnya adalah di hari kemudian. Biar miskin di dunia, asal kaya di
akhirat. Masyarakat pun kemudian menjalani kehidupan dengan pasif. Pandangan bahwa
hidup di dunia adalah sesuatu yang berharga dan manusia harus mampu menjadi pemimpin
bagi alam semesta sedikit sekali memberi sentuhan.
Pengembangan Modal Sosial untuk Pembangunan
Modal Sosial, tidak diragukan, merupakan energi pembangunan. Pembangunan yang
mengabaikan dimensi ini sebagai pendorong munculnya kekuatan masyarakat dan bangsa,
tidak saja akan kehilangan fondasi kemasyarakatan yang kuat, tetapi juga akan mengalami
stagnasi dan kesulitan untuk keluar dari berbagai krisis yang dialami. Sebagai energi, Modal
Sosial akan efektif memberikan dorongan keberhasilan bagi berbagai kebijakan, baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta. Keyakinan ini didasarkan pada
kekuatan yang dimilikinya guna merangsang masyarakat membangun secara swadaya, yang
hasilnya akan memaksimalkan pencapaian dari setiap kebijakan pembangunan yang dibuat
oleh pemerintah.
Secara historis, negara tidak memiliki tradisi penciptaan Modal Sosial. Seperti yang
dikemukakan oleh Fukuyama (1999), Modal Sosial tersebut bersumber atau by product dari
agama, tradisi dan pengalaman-pengalaman bersama yang selalu berulang di tengah
masyarakat, dan ini di luar kemampuan dan kontrol pemerintah. Ketika kebijakan-kebijakan
dirancang, semestinya pemerintah menyadari bahwa Modal Sosial yang tumbuh di
masyarakatnya merupakan produk dari masyarakat itu sendiri. Pemerintah tetap dapat
berperan sebagai pendorong untuk tumbuh dan munculnya energi Modal Sosial itu kembali,
tetapi bukan pencipta.
Agama, menurut Francis Fukuyama, merupakan salah satu sumber utama Modal Sosial.
Prkumpulan-perkumpulan keagamaan sangat potensial untuk menghadirkan dan membangun
suatu bentuk dan ciri tertentu dari Modal Sosial. Ajaran agama merupakan salah satu sumber
dari nilai dan norma yang menuntun perilaku masyarakat. Agama lah yang menjadi sumber
utama inspirasi, energi sosial, serta yang memberikan ruang bagi terciptanya orientasi hidup
penganutnya.
Tradisi yang telah berkembang secara turun temurun juga sebagai sumber terciptanya norma-
norma dan nilai, hubungan-hubungan relasional antarmasyarakat serta kelompok-kelompok
sosial. Tatanan yang terbangun merupakan produk kebiasaan yang turun temurun, dan
kemudian membentuk kualitas Modal Sosial. Kelompok-kelompok masyarakat yang
terbangun oleh suatu organisasi sosial yang khas dan berbasis kepada garis keturunan
merupakan salah satu dari sekian sumber yang melahirkan Modal Sosial.
Di samping itu, Modal Sosial yang terbentuk dari produk-produk yang disebutkan di negara
dengan kehidupan masyarakat yang masih tradisional perlu dicermati. Kaitannya dengan
kehidupan kelompok, biasanya memiliki radius Modal Sosial yang pendek yang dapat
menghasilkan pandangan-pandangan negatif terhadap kelompok di luarnya (negative
externalities). Melalui lembaga-lembaga pendidikan, Modal Sosial juga dapat tumbuh.
Lembaga pendidikan tidak hanya memberikan pelajaran-pelajaran keilmuan semata, tetapi
idealnya sebagai tempat membangun Modal Sosial dalam bentuk aturan-aturan dan norma
serta nilai. Kemungkinan ini tidak hanya melalui lembaga-lembaga pendidikan di tingkat
dasar dan menengah, tetapi juga melalui lembaga pendidikan tinggi. Produk lembaga
pendidikan tinggi sebaiknya tidak hany beruruan dengan keilmuan semata, tetapi juga
menciptakan nilai-nilai baru yang berorientasi pada dimensi kebebasan berpendapat,
kesamaan kedudukan, dan etika yang tinggi.
Peran Agama dan Keterpinggiran Agama oleh Budaya Lokal
Di tengah kuatnya arus sekularisasi di dunia, peran agama tetap memiliki kedudukan sentral
dalam memperlemah atau memperkuat dimensi Modal Sosial. Walaupun pada agama-agama
tertentu kian meluntur terutama di dunia Barat, namun secara umum saat ini justru terjadi
kebangkitan kesadaran manusia terhadap pentingnya agama dalam memperkaya dimensi
spiritual dalam kehidupannya. Agama yang memberikan inspirasi terhadap perubahan-
perubahan sosial saat ini tumbuh kuat terutama di dunia Islam yang membentang dari Afrika
Utara sampai Nusantara.
Ajaran agama yang dianut oleh para pengikutnya dengan mencampuradukkan antara pesan
murni yang terdapat pada kitab sucinya dan adat istiadat turun temurun yang umumnya
berasal dari nilai-nilai animisme akan sangat potensial dalam memperlemah Modal Sosial.
Islam yang dianut oleh sebagian besar orang Indonesia adalah agama yang memiliki
eksternalitas positif yang tinggi. Islam mendorong kerjasama yang kuat dalam kelompok,
tetapi dengan sikap yang inklusif yang memungkinkan diperluasnya jaringan-jaringan
kerjasama dengan pihak di luarnya. Kejujuran, semangat memberi yang tinggi (tangan di atas
lebih baik dari tangan di bawah), kebebasan, persamaan, dan kemajemukan merupakan
intisari ajaran Islam yang sangat berkait erat dengan dimensi Modal Sosial.
Ajaran-ajaran luhur tersebut, dalam praktiknya, kurang menjiwai perilaku para pengikutnya.
Apa yang menonjol justru menciptakan ekslusifisme dan, pada kelompok-kelompok,
cenderung memiliki eksternalitas negatif yang begitu kuat. Ajaran Islam tentang perlunya
keterbukaan dan membentuk jaringan-jaringan kerjasama antarindividu maupun
antarkelompok masyarakat telah dipersempit menjadi fanatisme kelompok. Semangat
kejujuran juga belum menjadi jiwa massal para pengikutnya. Jika benar korupsi, penipuan,
kebohongan, dan beragam tindakan penyimpangan lainnya di Indonesia telah menjadi sesuatu
yang massal dan massive, bukankah kata massal tersebut sebenarnya merujuk ke umat Islam
yang merupakan 88,22 persen dari jumlah penduduk Indonesia (SP 2000; Suryadinata, 2003).
Ini terjadi karena ajaran agama terpinggirkan. Yang lebih terasa dominan adalah
semangatinward looking dalam koridor extended family, kelompok kecil dan individu itu
sendiri. Seseorang tidak merasa bersalah untuk mengambil hak orang lain, walaupun ajaran
agama dengan keras melarangnya. Kekuatan tradisi kelompok yang bonding dan inward
looking jauh lebih besar, yang dimanifestasikan dalam bentuk tuntutan dan legalisasi
kejahatan oleh keluarga, kelompok, dan dari dalam individu itu sendiri yang kehilangan
empati terhadap yang lain.
Semangat memberi dengan ikhlas yang merupakan unsur resiprositas Modal Sosial,
merupakan salah satu jiwa dan semangat agama, tetapi dalam praktiknya, tanpa mengabaikan
beberapa kelompok yang berbuat nyata untuk menyantuni orang miskin dan anak yatim,
masih jauh dari yang diidealkan oleh misi agama. Pembagian zakat dan fitrah yang dilakukan
lebih terkesan sebagai sekedar memenuhi tuntutan kewajiban, bukan karena didasari oleh
semangat altruisme dan empati untuk saling membantu sesama umat, terutama orang miskin.
Dalam kehidupan keseharian, semangat resiprositas dan merasakan penderitaan antarsesama
hampir tidak memperlihatkan warnanya. Masyarakat hidup dalam sekat-sekat yang terpisah,
dan yang miskin akan tetap dalam kemiskinan dan ketidakberdayaannya.
Ajaran Islam juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan dan kebebasan (yang juga
menjadi inti jiwa Modal Sosial). Yang terjadi di tengah masyarakat, semangat persamaan dan
kebersamaan dalam memperoleh berbagai kesempatan begitu terpinggirkan. Elite
masyarakat, baik yang didasarkan oleh kemampuan ekonomi, keturunan, pengetahuan agama,
yang mendominasi tidak hanya atas kesempatan-kesempatan ekonomi, tetapi juga dalam
setiap dimensi pengambilan keputusan. Hal ini bersumber dari akomodatifnya para pemuka
agama di bawah dominasi adat-istiadat feodal dengan hirarki-hirarki tradisional yang
sesungguhnya tidak diidealkan oleh ajaran agama itu sendiri. Kenyataan-kenyataan ini telah
memperlemah bahkan memusnahkan potensi Modal Sosial yang seharunya tumbuh kuat di
masyarakat.
Salah satu kata kunci mengatasi berbagai permasalahan sosial tersebut di atas adalah
dibangunnya gerakan bersama untuk kemungkinan mengkaji ulang metodologi dakwah yang
lebih membumi, mengutamakan praktik daripada kata-kata, dan mampu membebaskan umat
dari belenggu budaya yang melilit mereka. Dengan kata lain, kita membutuhkan reformasi
besar. Dalam konteks Modal Sosial, interpretasi ajaran membutuhkan penekanan yang sangat
kuat pada dimensi yang mencakup keseluruhan elemen dari Modal Sosial tersebut sebagai
prasyarat terbentuknya kebudayaan unggul. Tanpa dilakukan reformasi besar, untuk
meluruskan praktik keagamaan dan membangun modal sosial yang memang sejalan dengan
amanat agama, beragam stimulus pembangunan yang dilakukan akan mengalami kendala dan
bahkan kegagalan.
Reorientasi dan Reformasi Budaya Lokal
Bersamaan dengan reformasi besar dalam interpretasi ajaran agama, reformasi budaya juga
merupakan kebutuhan. Budaya lokal yang feodal, hierarkies, penuh dominasi kelompok
dalam suatu entitas, membelenggu kebebasan, menghindari kerja keras dan prestasi. Di
beberapa daerah di Nusantara, kehidupan sosial didominasi oleh kelompok bangsawan
(nobelity) yang relatif makmur, sementara rakyat biasa hidup dalam kemiskinan. Dalam
konteks tertentu, mereka hidup dalam situasi ketidakmerdekaan yang menyedihkan.
Hubungan sosial yang tercipta didasarkan atas hirarki dari masing-masing kelompok sosial
garis keturunan.
Beberapa dimensi budaya yang mendesak untuk dikaji ulang tidak hanya oleh pemerintah,
tetapi juga oleh semua komponen bangsa, terutama yang berkaitan dengan dominasi
kelompok sosial tertentu atas kelompok sosial yang lain, nilai-nilai dan norma yang
mengentalkan orientasi budaya inward looking, hilangnya semangat resiprositas, kohesifitas
yang dibatasi tembok-tembok keluarga, suku, kelompok kecil, dan sejenisnya. Nilai dan
norma tradisionallah yang telah membentuk pandangan hidup yang cenderung menghindari
produktivitas, memupuk kohesitivitas sosial ke dalam kelompok yang tinggi tetapi
menghindari eksternalitas.
Jalur Pendidikan sebagai Salah Satu Pilihan
Lembaga pendidikan bukan hanya tempat memberi dan menerima ilmu tetapi melalui
lembaga-lembaga tersebut kemungkinan terjadinya sosialisasi nilai-nilai baru seperti
profesionalisme, kejujuran, integritas, kesamaan, kebebasan, dan keadaban sebagai penopang
utama budaya unggul, sangat besar. Lembaga pendidikan dengan demikian tidak hanya
berhubungan dengan dimensicultural capital , human capital, tetapi yang tidak kalah
pentingnya adalah social capital. Akan tetapi, di Indonesia yang sering terjadi lembaga
pendidikan cenderung dipandang oleh masyarakat yang justru meredusir nilai-nilai
kepercayaan. Semangat kejujuran yang terkandung sebagai unsur vital Modal Sosial justru, di
banyak tempat, terdegredasi sedemikian rupa.
Lembaga pendidikan yang diidealkan menjadi contoh kejujuran justru disorot masyarajkat
sebagai salah satu lembaga yang diragukan kejujurannya. Proyek-proyek pembangunan
sekolah selalu dipertanyakan. Dalam beberapa hal, buku pelajaran, seragam sekolah, dan
perlengkapan sekolah lainnya telah menjadi komoditas dan instrumen perdagangan. Berbagai
pungutan yang dibungkus kesepakatan antra wakil orangtua dan wakil pengelola sekolah
telah menyulitkan sebagian bear orangtua dan terutama orang miskin. Ini juga sekaligus
menghilangkan rasa percaya terhadap lembaga pendidikan sebagai lembaga yang memiliki
bobot moral yang tingi.
Jaringan alumni yang diharapkan dapat memperkuat Modal Sosial, di satu sisi memang
menciptakan Modal Sosial dalam pengertian, mereka berkumpul dalam kelompok. Hanya
saja yang terjadi hanyalah dalam bentuk bonding social capital bukan sesuatu yang
menjembatani (bridging social capital) untuk semakin kuatnya jaringan sosial yang dibina
dengan pihak luar untuk memperkaya ide dan kemajuan masyarakat. Jaringan alumni
perguruan tinggi layaknya kelompok tradisional di pedesaan yang hanya berurusan dengan
kepentingan material kelompok elitnya semata. Adanya kelompok alumni dan keanggotaan
dalam kelompok tersebut hayalah untuk memperluas jaringan internal (internal networking)
untuk mendapatkan kesem[patan menjadi pegawai negeri atau kesempatan kerja yang lain.
Radius kepercayaan tercipta dalam jaringan yang sempit, bukan sebagai Modal Sosial.
Dalam kaitannya dengan lembaga pendidikan, yaitu sekolah, sesungguhnya masih sangat
banyak gambaran kebersahajaan dan kesederhanaan dari para guru di Indonesia. Mereka
berusaha menjalankan amanah sebagai guru dan memberi tauladan moral, tetapi dalam
kehidupan di masyarakat sendiri, guru yang demikian tidak/belum mendapat tempat setinggi
tempat para guru yang kaya karena berbagai usaha yang dilakukannya yang berhubungan
dengan profesi yang disandang. Penghargaan yang tinggi dari pemerintah terhadap mereka
yang mengajar di daerah terpencil, yang sangat aktif dan berprestasi tetapi hidup dalam
kesederhanaan, dan sejenisnya menuntut perhatian bersama. Guru tidak akan berani
memungut sesuatu dari muridnya kalau aturan, pengawasan dan tindakan dari pengelola
pendidikan cukup kuat dan disiplin. Jika lembaga pendidikan bersih dari berbagai
penyimpangan, lembaga tersebut beserta produknya akan sangat efektif bagi upaya penguatan
Modal Sosial sekaligus sebagai katalisator perubahan ke arah yang lebih baik.
Kikis Semangat Kesukuan yang Negatif
Semangat kesukuan dalam suatu negara merupakan bentuk kohesifitas sosial inward
looking yang akan sangat merugikan dalam konteks penguatan sosial, baik untuk kepentingan
penguatan dan pengembangan masyarakat suku untuk memiliki budaya unggul, maupun
dalam kaitannya dengan penguatan Modal Sosial bangsa secara keseluruhan. Di Indonesia
terdapat 1.072 etnis dan subetnis (SP 2000; Suryadinata, 2003) yang masing-masing memilki
sistem budaya, bahasa, dan adat-istiadat masing-masing.
Pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan Sukarno dan Suharto tidak melakukan
pengelompokan masyarakat ke dalam berbagai etnis, tetapi hanya berdasarkan kelompok
agama dan kelompok kewarganegaraan dengan tujuan untuk menyatukan seluruh rakyat
Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis menjadi orang Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ini
justru diterima oleh masyarakat luar Jawa sebagai bentuk Jawanisasi, karena program
sentralisasi yang dilakukan pemerintah lebih mencerminkan pemaksaan pemberlakuan sistem
budaya Jawa ke seluruh Indonesia. Hal ini lah yang menyebabkan munculnya isu Putra
Daerah pada masa reformasi. Sensus Penduduk terakhir yang dilakukan Pemerintah
Indonesia tahun 2000 kembali memasukkan variabel etnis di dalamnya.
Sejak bergulirnya reformasi tahun 1998, gerakan-gerakan kesukuan meningkat semakin kuat
di Indonesia, terutama pada beberapa suku yang selama ini memang dikenal meimiliki
kohesifitas kelompok yang cukup rekat. Di Indonesia, terdapat dua ciri gerakan
kesukuan. Pertama, sebagai wujud protes atas hegemoni dan dominasi yang lama dari
khususnya etnis Jawa terhadap etnis-etnis di luar Jawa pada masa pemerintahan Suharto.
Gubernur, Bupati, dan para kepala dinas dan kantor wilayah didominasi oleh etnis Jawa.
Istilah Jawanisasi begitu populer di kalangan masyarakat lokal setempat.
Kedua, wujud keterisolasian budaya di beberapa tempat di Pulau Jawa maupun luar Jawa.
Pada jenis ini sentimen kesukuan memiliki latar belakang dan motif yang berbeda dengan
yang terjadi pada etni-etnis, yang dalam ukuran populasinya, relatif sedang dan kecil di luar
Jawa. Secara historis, para elite lokal suku agak sulit menerima dengan ikhlas kehadiran
pendatang dari luar sukunya. Walaupun demikian, karena sesuatu yang memang sulit
dihindari, arus pendatang cukup tinggi sebagai konsekuensi dari terpusatnya berbagai sentra
industri dan kesempatan kerja. Dalam interaksi keseharian, sekilas tidak memiliki persoalan,
tetapi kenyataan yang sebenarnya tetap saja sulit untuk menerima budaya lain ke dalam
kehidupan komunitas.
Apapun motifnya, baik yang terjadi pada etnis-etnis di luar Jawa maupun etnis-etnis yang ada
di Pulau Jawa, semangat yang demikian akan memperlemah Modal Sosial bangsa secara
keseluruhan. Pembaharuan ide melalui proses akulturasi budaya tidak terjadi. Jaringan sosial
dan kepercayaan yang seharusnya terbuka lebar melewati batas-batas klan dan etnis menjadi
terhambat. Mereka yang menduduki jabatan-jabatan penting di lembaga pemerintahan lokal
bukan karena kompetensinya atas jenis pekerjaan dan tugas yang harus dilakukan, melainkan
karena keterkaitan keluarga, atau karena sesama orang se-etnis dan se-bahasa daerah. Modal
Sosial bangsa semakin hancur, dan ini jika terus berkembang akan mematikan semangat
hidup bangsa itu sendiri. Bangsa akan menjadi lemah. Berbagai persoalan pembangunan akan
sukar dicari penyelesaian dan jalan keluar yang kreatif, karena yang menduduki berbagai
jabatan yang membutuhkan kehandalan pemikiran bukanlah mereka yang mampu, melainkan
karena kami satu suku.
PENUTUP
Kehidupan kelompok masyarakat yang kohesif tidak selamanya memiliki Modal Sosial yang
tinggi, tetapi tergantung kepada orientasi dan dimensi historis terbentuknya nilai, norma, dan
kelompok tersebut. Suatu kelompok yang menyandarkan pada pola budaya inward
looking cenderung akan menghasilkan negative externalities bahkan kontra produktif
terhadap pengembangan Modal Sosial tersebut yang berdampak pada lemahnya kemampuan
masyarakat dan bangsa secara keseluruhan untuk memperbaiki kualitas kehidupan.
Kelambanan pembangunan manusia di Indonesia merupakan akibat dari diabaikannya
dimensi Modal Sosial sehingga melahirkan masyarakat yang bukan berkebudayaan unggul
melainkan berkebudayaan inferior. Beragam aspek diduga telah menghambat perkembangan
Modal Sosial seperti lemahnya semangat kebersamaan untuk membangun
kelompok/perkumpulan, hancurnya rasa saling mempercayai, metodoloi pengajaran dan
interpretasi yang keliru terhadap beberapa ajaran agama, pola-pola budaya yang hirarkis dan
feodal, lembaga-lembaga pendidikan yang kurang mampu menjadi panutan moralitas,
perilaku politik dan beragam penyebab lainnya. Dampak nyata dari situasi tersebut adalah
kekurangoptimalan pencapaian dari berbagai program pembangunan yang dilaksanakan.
Setiap etnis berikut setting sosial yang ada di dalamnya, memiliki karakteristik dan strategi
of survivalyang khas. Apabila energi kolektif etnis dan nilai-nilai positif yang ada bisa
diperluas menjadi energi kolektif bangsa melalui tumbuhnya kesadaran jaringan dan
kesadaran outward looking yang kuat, niscaya keuntungan-keuntungan besar akan diraih. Hal
ini tidak hanya dalam batas upaya merekatkan kehidupan kebangsaan, melainkan akan
terbangun enrgi kolektif untuk bangkit dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan kestabilan
demokrasi.
Budaya yang telah turun temurun, yang diwarnai oleh berkembangnya nilai-nilai tertentu di
masing-masing kelompok, klan, dan etnis tidak harus dihancurkan, melainkan harus terus
dipupuk selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang menghendaki persamaan,
keadaban, kemanusiaan, dan pencapaian. Kekuatan setiap entitas sosial dalam wujud warna-
warninya kebudayaan etnis-etnis adalah kekayaan kebudayaan bangsa itu sendiri.
Jika rasa percaya (trust) tumbuh kembang melintasi batas-batas budaya lokal, kemungkinan
besar semangat membangun bersama akan lebih kuat. Perilaku yang bersifat destruktif yang
muncul dari masyarakat yang kehilangan trust akan dapat dikurangi. Jalannya pemerintahan
akan lebih efektif. Pembangunan pun dapat dilaksanakan dengan lebih efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Adler, P & S Kwon. 2000. Social Capital: The Good, the Bad and the Ugly. In E. Lasser
(ed.). Knowledge and Social Capital: Foundations and Applications. Butterworth-
Heinemann.
Ali, S. Husin. 1985. Rakyat Melayu Nasib dan Masa Depannya. Inti Sarana Aksara. Jakarta.
Coleman, J. 1990. Foundation of Social Theory. Harvard University Press. Cambridge.
Evers, Hans-Dieter. 1995. Sosiologi Perkotaan Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia
dan Malaysia. LP3ES. Jakarta.
Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia
Indonesia). MR-United Press. Jakarta.
Fukuyama, Francis. 1999. Social Capital and Civil Society. Institute of Public Policy. George
Mason University.
Fukuyama, Francis. 2003. Social Capital and Economic Development. Routledge. London.
Putnam, Robert D. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American
Community. Simon and Schuster. New York.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Suryadinata, Leo, et al. 2003. Penduduk Indonesia Etnisitas dan Agama dalam Era
Perubahan Politik.LP3ES. Jakarta.
[1] Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang.
Sekarang sedang menempuh pendidikan S-3 Program Studi Pembangunan Pertanian di universitas
yang sama.

Anda mungkin juga menyukai