Anda di halaman 1dari 24

FUO

Seorang anak usia 3 tahun, menderita demam sejak sekitar 2 minggu yang lalu.
Demam tinggi hingga mencapai 40C, demam bersifat remiten tetapi tidak
menggigil, disertai fatique dan anoreksia. Penderita telah dirawat selama 10 hari
tetapi demam nya tidak turun. Dari hasil anamnesis tidak didapatkan keluhan
yang spesifik mengenai organ, hanya saja penderita mengalami diare selama 1
minggu terakhir. Hasil pemeriksaan fisik suhu 39,2C. Pemeriksaan lainnya
dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan laboratorium :

Leukosit 11.600/mm3 dengan 93% sel PMN, hematokrit 35%, trombosit


228.000/mm3, serum albumin 3.0 g/dl, total protein 6,2 g/dl, alkalin fosfatase
327 IU/L, kultur darah 2x negatif, X-foto toraks dalam batas normal.
STEP 1

1. Remiten :

suhu tubuh turun setiap hari tanpa mencapai suhu normal, biasanya
selisih 2C lebih tinggi dari suhu normal. Bisa disebabkan oleh bakteri atau
virus.

STEP 2

1. Etiologi demam?
2. Mekanisme demam dan respon tubuh?
3. Tipe tipe demam (yang menyebabkan menggigil atau tidak)?
4. Apa hubungan diare dengan demam?
5. Intepretasi hasil laboratorium?
6. Pemeriksaan untuk penegakkan diagnosis?
7. Penatalaksanaan?

STEP 3

1. Etiologi demam?
Parasit, virus, jamur, bakteri, lesi pada otak, suhu lingkungan. Bisa juga
karena akibat dari HIV atau pemakaian obat-obatan

2. Mekanisme demam dan respon tubuh?

Pirogen
Pirogen dimaksudkan sebagai berbagai macam substansi yang
menyebabkan demam Pirogen eksogen berasal dari luar pasien seperti
produk mikrobial, toksin mikrobial atau mikroorganisme utuh. Contoh
klasik dari pirogen eksogen ini adalah lipopolisakarida (endotoksin) yang
diproduksi oleh semua bakeri Gram negatif. Produk pirogenik organisme
Gram positif meliputi enterotoksin dari Staphylococcus aureus dan toksin
streptococcal group A dan B, yang dikenal dengan superantigen.
Endotoksin merupakan molekul yang sangat pirogenik pada manusia:
ketika diinjeksikan secara IV, dosis 23 ng/kgBB menyebabkan demam,
leukositosis, protein fase akut dan gejala-gejala umum malaise.

Sitokin pirogenik
Beberapa sitokin mampu menyebabkan demam (sitokin pirogenik),
termasuk diantaranya IL-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF), ciliary
neurotropic factor (CNTF) dan interferon (IFN). Sitokin pirogenik lainnya
juga mungkin ada. Tiap sitokin dikodekan oleh gen yang terpisah dan
menyebabkan demam pada manusia. Ketika diinjeksikan pada manusia,
IL-1 dan TNF menimbulka demam pada dosis rendah (10100 ng/kgBB);
sebaliknya, untuk IL -6, dosis 110 g/kg dibutuhkan supaya timbul demam.
Spektrum luas produk bacterial dan jamur menginduksi sintesis dan
pelepasan sitokin pirogenik. Namun, demam juga dapat berupa
manifestasi suatu penyakit tanpa adanya infeksi mikroba seperti pada
proses peradangan, trauma maupun nekrosis jaringan dimana produksi IL-
1, TNF dan/atau IL-6, baik secara individual maupun kombinasimemacu
hipothalamus untuk meningkatkan set point hingga
level demam.

Elevasi Hypothalamic Set Point oleh Sitokin

Selama demam, level prostaglandin E2 (PGE2) meningkat dalam jaringan


hipotalamik dan ventrikel serebral ketiga. Konsenterasi PGE2 tertinggi
pada organ
vaskuler circumventricular (organum vasculosum dari lamina terminalis)
jaringan pembesaran kapiler yang mengelilingi pusat regulatoris
hipotalamik. Penghancuran
organ-organ ini menurunkan kemampuan pirogen untuk menyebabkan
demam. Dari
penelitian ditunjukkan bahwa baik pirogen eksogen maupun endogen
berinteraksi
dengan epitelium kapiler-kapiler ini dan interaksi ini merupakan langkah
pertama
mengawali demam.
Kunci kejadian demam ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Seperti
telah disebutkan sebelumnya, beberapa tipe sel dapat memproduksi
sitokin pirogenik. Sitokin pirogenik seperti IL-1, IL-6 dan TNF dilepaskan
dari sel dan memasuki sirkulasi sistemik. Meskipun efek sistemik dari
sitokin yang bersirkulasi ini berujung pada demam melalui induksi sintesis
dari PGE2, namun juga mampu menginduksi PGE2 dalam jaringan perifer.
Peningkatan PGE2 perifer berperan pada timbulnya mialgia non-spesifik
dan artralgia yang sering ditemukan dengan demam. Diperkirakan bahwa
beberapa PGE2 sistemik lolos dari destruksi oleh paru-paru dan
memperoleh akses ke hipotalamus melalui karotis internal. Namun, elevasi
dari PGE2 dalam otak yang memulai proses peningkatan hypothalamic set
point untuk suhu basal.

Tabel 2.1
Kronologi kejadian yang dibutuhkan untuk induksi demam.
AMP, adenosine 5'-monophosphate; IFN, interferon; IL, interleukin;
PGE2,
prostaglandin E2; TNF, tumor necrosis factor.

PGE2 memiliki 4 reseptor dan masing-masing memberikan sinyal pada sel


dengan cara berbeda. Dari keempat reseptor, reseptor yang ketiga (EP-3)
penting untuk demam, ketika gen untuk reseptor ini pada tikus percobaan,
tidak ada demam yang mengikuti setelah injeksi IL-1 atau endotoksin.
Delesi gen reseptor PGE2 lainnya menyebabkan demam tetap ada. PGE2
bukanlah neurotransmiter meskipun penting untuk demam. Justru
pelepasan PGE2 dari endotelium hipotalamik sisi otak merangsang
reseptor PGE2 pada sel glial dan stimulasi nini berujung pada pelepasan
cepat dari neurotransmiter cyclicadenosine 5'monophosphate (cyclicAMP).
Berdasarkan gambar diatas, pelepasan cyclic AMP dari sel glial
mengaktivasi akhiran neuronal dari pusat termoregulatoris yang
menyebar ke area
sekitar. Peningkatan cyclic AMP diperkirakan berperan pada perubahan
dalam hypothalamic set point baik secara langsung maupun tidak
langsung (dengan menginduksi pelepasan neurotransmiter). Reseptor
khusus untuk produk mikrobial ditemukan pada endotelium hipotalamik.
Reseptor-reseptor ini dikenal dengan Toll-like receptors dan serupa dalam
beberapa hal dengan reseptor IL-1. Aktivasi langsung dari Toll-like
receptors juga berujung pada produksi PGE2 production dan demam.

Produksi Sitokin dalam Sistem Saraf Pusat

Beberapa penyakit viral memproduksi infeksi aktif dalam otak. Glial dan
sel neuronal mensintesis IL-1, TNF dan IL-6. CNTF juga disintesis oleh sel
neural dan neuronal. Dari penelitian didapatkan bahwa produksi sitokin
oleh sistem saraf pusat dapat meningkatkan
set point hipotalamik, mem-bypass organ circumventricular yang terlibat
dalam demam akibat sitokin yang bersirkulasi. Sitokin sistem saraf pusat
mungkin berperan pada hiperpireksia di perdarahan , trauma maupun
infeksi sistem saraf pusat.

3. Tipe-tipe demam

1. Demam Septik:
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada
pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam
yang tinggi tersebut turun ketingkat yang normal dinamakan juga demam
hektik.

2. Demam Remiten:
Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak
pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin
tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu
yang dicatat pada demam septik.

3. Demam Intermiten:
Pada tipe damam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi
setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas
demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.

4. Demam Kontinyu:

Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih
dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali
disebut hiperpireksia.

5. Demam Siklik:
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari
yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
Suatu tipe demam kadang-kadang dapat dihubungkan dengan suatu
penyakit tertentu, seperti misalnya tipe demam intermiten untuk malaria.
Seorang pasien dengan keluhan demam mungkin dapat dihubungkan
segera dengan suatu sebab yang jelas, misalnya : abses, pneumonia,
infeksi saluran kencing atau malaria; tetapi kadan-kadang sama sakit,
biasanya digolongkan sebagai influenza atau common cold. Dalam
peraktek 90 % dari para pasien dengan demam yang baru saja dialami,
pada dasarnya merupakan suatu penyakit yang self-limiting seperti
influenza atau penyakit virus sejenis lainnya. Namum hal ini tidak berarti
bahwa kita tidak harus tetap waspada terhadap suatu infeksi bakterial.

Kausa demam selain infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan


toksemia, karena keganasan atau reaksi terhadap pemakaian obat. Juga
gangguan pada pusat regulasi suhu sentral dapat menyebabkan
peninggian temperatur seperti pada heat stroke, perdarahan otak, koma
atau gangguan sentral lainnya. Pada perdarahan internal pada saat
terjadinya reabsorpsi darah dapat pula menyebabkan peningkatan
temperatur. Kemungkinan beberapa hal secara khusus perlu diperhatikan
pada demam, adalah cara timbul demam, lama demam, sifat harian
demam, tinggi demam dan keluhan serta gejala lain yang menyertai
demam. Demam yang tiba-tiba tinggi lebih sering disebabkan oleh
penyakit virus.

4. Apa hubungan diare dengan demam?


Diare adalah buang air besar encer lebih dari 3 kali sehari dengan/tanpa
darah dan atau lendir dalam tinja. Diare akut adalah diare yang terjadi
secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak
yang sebelumnya sehat.
Penyebab diare adalah sebagai berikut :
1. Infeksi : virus, bakteri, parasit.
2. Makanan : basi, beracun, alergi terhadap makanan.
3. Gangguan penyerapan makanan : tidak toleransi terhadap karbohidrat,
lemak atau protein.
4. Sistem kekebalan tubuh menurun.
5. Psikologis : rasa takut dan cemas.

5. Intepretasi hasil laboratorium?


Dari skenario terlihat bahwa hasil laboratorium hanya trombosit nya.
Leukosit

6. Pemeriksaan untuk penegakkan diagnosis?


1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium

7. Penatalaksanaan?
Pemeberian obat analgesik- antipiretik atau anti inflamasi selama
penyebab belum diketahui, jangan menerapkan terapi empiris terlebih
dahulu.
STEP 4

Demam

International Union of Physiological Sciences Commission for


Thermal Physiology mendefinisikan demam sebagai suatu keadaan
peningkatan suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya) merupakan
bagian dari respons pertahanan organisme multiselular (host) terhadap
invasi mikroorganisme atau benda mati yang patogenik atau dianggap
asing oleh host. El-Rahdi dan kawan-kawan mendefinisikan demam
(pireksia) dari segi patofisiologis dan klinis. Secara patofisiologis demam
adalah peningkatan thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus
yang diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis
demam adalah peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai
rerata suhu normal di tempat pencatatan. Sebagai respons terhadap
perubahan set point ini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang
baru. Hal ini dicapai secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan
panas dan memproduksi panas.1,2

Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi


diurnal). Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 06.00 dan
tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00 18.00. Kurva demam
biasanya juga mengikuti pola diurnal ini. 1,2 Suhu tubuh juga dipengaruhi
oleh faktor individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas
fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena itu jelas bahwa tidak ada nilai
tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran suhu tubuh bervariasi
tergantung pada tempat pengukuran (Tabel 1).3,4

Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda

Tempat Jenis termometer Rentang; rerata Dema


pengukuran suhu normal m
(oC) (oC)
Air raksa, 34,7 37,3;
Aksila 37,4
elektronik 36,4

Air raksa, 35,5 37,5;


Sublingual 37,6
elektronik 36,6

Air raksa, 36,6 37,9;


Rektal 38
elektronik 37

Emisi infra 35,7 37,5;


Telinga 37,6
merah 36,6

Suhu rektal normal 0,27o 0,38oC (0,5o 0,7oF) lebih tinggi dari
suhu oral. Suhu aksila kurang lebih 0,55 oC (1oF) lebih rendah dari suhu
oral.5 Untuk kepentingan klinis praktis, pasien dianggap demam bila suhu
rektal mencapai 38oC, suhu oral 37,6oC, suhu aksila 37,4oC, atau suhu
membran tympani mencapai 37,6oC.1 Hiperpireksia merupakan istilah
pada demam yang digunakan bila suhu tubuh melampaui 41,1 oC (106oF).5

1.2. Pola demam

Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya


anak telah mendapat antipiretik sehingga mengubah pola, atau
pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat yang berbeda. Akan
tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis
untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis
yang berguna (Tabel 2.).1

Tabel 2. Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik

Pola demam Penyakit

Kontinyu Demam tifoid, malaria falciparum malignan

Remitten Sebagian besar penyakit virus dan bakteri

Intermiten Malaria, limfoma, endokarditis

Hektik atau septik Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik

Quotidian Malaria karena P.vivax

Double quotidian Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile


rheumathoid arthritis, beberapa drug fever (contoh
karbamazepin)

Relapsing atau Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis


periodik

Demam rekuren Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba),


variasi derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus
demam, dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi: 1,2,6-8

Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh


peningkatan suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4 oC
selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi
atau tidak signifikan.

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi


relatif)

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak
mencapai normal dengan fluktuasi melebihi 0,5 oC per 24 jam. Pola ini
merupakan tipe demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri
dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal
biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten


Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada
pagi hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan
jenis demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Gambar 3. Demam intermiten

Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten
menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat
besar.
Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme
demam yang terjadi setiap hari.
Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam
(siklus 12 jam)

Gambar 4. Demam quotidian

Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan


menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun
menjadi normal.
Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan
lama demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10
hari untuk infeksi saluran nafas atas.
Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval
irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya
traktus urinarius) atau sistem organ multipel.
Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang
berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis
merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas
untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever,
spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever
(Marburg, Ebola, dan demam Lassa).
Relapsing fever dan demam periodik:
o Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan
interval regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai
beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal.
Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan
bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap
hari ke-4) (Gambar 5.)dan brucellosis.

Gambar 5. Pola demam malaria

o Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam


rekuren yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar
6.)dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang


secara tiba-tiba berlangsung selama 3 6 hari, diikuti oleh periode
bebas demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat
mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne.
Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan
perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai
Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 8 jam),
yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan
oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh antibiotik.
JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi
ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan
brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai
reaksi anafilaktik full-blown.

o Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus
dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 10 minggu
sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.
o Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein
pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH).
Hanya sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini,
tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari
demam yang berlangsung 3 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam
durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan
dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia hemolitik.

Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).

1.3. Klasifikasi demam

demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis


masalah.2 Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas
akut, subakut, atau kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs.7 Tabel
3. dan Tabel 4. memperlihatkan tiga kelompok utama demam yang
ditemukan di praktek pediatrik beserta definisi istilah yang digunakan.

Tabel 3. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik

Lama demam
Klasifikasi Penyebab tersering pada
umumnya
Demam dengan
Infeksi saluran nafas atas <1 minggu
localizing signs

Demam tanpa localizing Infeksi virus, infeksi saluran


<1minggu
signs kemih

Infeksi, juvenile idiopathic


Fever of unknown origin >1 minggu
arthritis
Tabel 4. Definisi istilah yang digunakan

Istilah Definisi

Demam dengan Penyakit demam akut dengan fokus infeksi, yang


localization dapat didiagnosis setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik

Demam tanpa Penyakit demam akut tanpa penyebab demam


localization yang jelas setelah anamnesis dan pemeriksaan
fisik

Letargi Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada


interaksi dengan pemeriksa atau orang tua, tidak
tertarik dengan sekitarnya

Toxic appearance Gejala klinis yang ditandai dengan letargi, perfusi


buruk, cyanosis, hipo atau hiperventilasi

Infeksi bakteri serius Menandakan penyakit yang serius, yang dapat


mengancam jiwa. Contohnya adalah meningitis,
sepsis, infeksi tulang dan sendi, enteritis, infeksi
saluran kemih, pneumonia

Bakteremia dan Bakteremia menunjukkan adanya bakteri dalam


septikemia darah, dibuktikan dengan biakan darah yang
positif, septikemia menunjukkan adanya invasi
bakteri ke jaringan, menyebabkan hipoperfusi
jaringan dan disfungsi organ

Demam dengan localizing signs

Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik


berada pada kategori ini (Tabel 5.). Demam biasanya berlangsung
singkat, baik karena mereda secara spontan atau karena pengobatan
spesifik seperti pemberian antibiotik. Diagnosis dapat ditegakkan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan
sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen dada.

Tabel 5. Penyebab utama demam karena penyakit localized signs

Kelompok Penyakit
Infeksi saluran nafas ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis,
atas stomatitis herpetika

Pulmonal Bronkiolitis, pneumonia

Gastrointestinal Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis

Sistem saraf pusat Meningitis, encephalitis

Eksantem Campak, cacar air

Kolagen Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki

Neoplasma Leukemia, lymphoma

Tropis Kala azar, cickle cell anemia

Demam tanpa localizing signs

Sekitar 20% dari keseluruhan episode demam menunjukkan tidak


ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering
adalah infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama
kehidupan. Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah
menyingkirkan infeksi saluran kemih dan bakteremia. Tabel 6.
menunjukan penyebab paling sering kelompok ini. 1 Demam tanpa
localizing signs umumnya memiliki awitan akut, berlangsung kurang dari 1
minggu, dan merupakan sebuah dilema diagnostik yang sering dihadapi
oleh dokter anak dalam merawat anak berusia kurang dari 36 bulan. 6

Tabel 6. Penyebab umum demam tanpa localizing signs

Penyebab Contoh Petunjuk diagnosis

Infeksi Bakteremia/sepsis Tampak sakit, CRP tinggi,


leukositosis
Sebagian besar virus
(HH-6) Tampak baik, CRP normal, leukosit
normal
Infeksi saluran kemih
Dipstik urine
Malaria
Di daerah malaria

PUO Juvenile idiopathic Pre-articular, ruam, splenomegali,


(persistent arthritis antinuclear factor tinggi, CRP
pyrexia of tinggi
unknown
origin) atau
FUO

Pasca Vaksinasi triple, Waktu demam terjadi


vaksinasi campak berhubungan dengan waktu
vaksinasi

Drug fever Sebagian besar obat Riwayat minum obat, diagnosis


eksklusi

Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)

Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs


bertahan selama 1 minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi
di rumah sakit gagal mendeteksi penyebabnya. Persistent pyrexia of
unknown origin, atau lebih dikenal sebagai fever of unknown origin (FUO)
didefinisikan sebagai demam yang berlangsung selama minimal 3 minggu
dan tidak ada kepastian diagnosis setelah investigasi 1 minggu di rumah
sakit.

Pemeriksaan untuk penegakkan diagnosik

Demam merupakan salah satu gejala yang paling umum dalam


keluhan pasien selain nyeri. Demam secara khas sudah dianggap sebagai
salah satu bahwa ada sesuatu yang salah dengan tubuh seseorang,
karena temperatur tubuh telah meninggi.

Demam bisa jadi merupakan salah satu respons normal tubuh


terhadap adanya suatu peradangan. Namun sering kali demam menjadi
tidak tepat didefinisikan dalam keseharian, sehingga bisa menimbulkan
kebingungan. Demam memang diartikan suhu tubuh yang bertambah di
atas normal, namun tentu dengan ambangannya, lebih tinggi dari 37,8 C
jika diukur per-oral (via mulut) atau di atas 38,2 C jika diukur per-rektal
(via dubur) dengan termometer. Tentu saja untuk mengetahui demam
maka temperatur tubuh selayaknya diukur, tidak hanya dengan berkata
bahwa sedang merasa agak hangat, merasa dingin atau ketika
berkeringat.

Temperatur tubuh merupakan sebuah kesetimbangan yang berasal


dari produksi panas oleh organ-organ tubuh seperti hati, otot dan
hilangnya panas melalui pinggir luar tubuh. Pusat pengaturan panas tubuh
di hipotalamus biasanya mengatur agar suhu tubuh manusia tetap berada
pada kisaran 37 dan 38 C (ini tidak selalu sama pada masing orang, di
Indonesia misalnya, kisaran suhu tubuh pada 36,5 C dianggap yang
paling ideal).
Ketika ada sesuatu yang meningkatkan titik panas pada
hipotalamus, maka demam dihasilkan dengan memicu vasokonstriksi dan
membalikkan aliran darah di perifer guna menghindari kehilangan panas;
kadang dengan menggigil, yang mana akan meningkatkan produksi
panas. Proses ini berlanjut hingga temperatur aliran darah di seputar
hipotalamus telah sesuai dengan titik panas yang baru itu.

Nah sesuatu (substansi) yang menyebabkan demam disebut


dengan pirogen. Pirogen bisa berasal dari luar tubuh disebut sebagai
pirogen eksogenus, biasanya adalah mikroba atau produk dari mikroba itu
sendiri. Misalnya bakteri gram negatif memiliki selaput lipopolisakarida
yang dikenal sebagai endotoksin paten. Pirogen eksogenus seperti ini
biasanya menyebabkan demam dengan melepaskan pirogen endogenus
(seperti IL-1, TNF, interferon-?, IL-6).

Sayangnya tidak semua demam bisa ditentukan penyebabnya


dengan mudah, bahkan tidak mengarahkan dokter pada diagnosis umum
seperti faringitis (radang tenggorokkan), demam dengue, demam typhoid
(tifus), morbili (campak), atau diagnosis lainnya. Sehingga ketidakjelasan
ini memunculkan istilah demam yang tidak diketahui asalnya, atau fever
of unknown origin (FUO).

FUO didefinisikan sebagai temperatur tubuh di atas 38,3 C yang


tidak dihasilkan dari penyakit sementara dan sembuh dengan sendirinya,
penyakit yang fatal, atau penyakit dengan batas gejala lokal yang jelas
atau tanda atau dengan abnormalitas pada tes-tes umum seperti rontgen
dada, urinalisis atau kultur darah. Menurut Petersdorf dan Beeson (1961),
temperatur tersebut setidaknya menetap lebih dari 3 minggu selama
sakit, dan gagal mencapai sebuah diagnosis walau telah menjalani
penyelidikan rawat inap selama 1 minggu.

Tentu saja FUO bukan berarti tanpa penyebab, hanya saja


penyebabnya bukan sesuatu yang umum atau gampang diduga dan
dilacak. Karena itulah melacak demam yang disebabkan oleh FUO bisa jadi
menjadi sesuatu yang membuat frustasi.

Penyebab FUO biasanya dikategorikan menjadi 4 bagian besar:


infeksi (25-50%), penyakit jaringan ikat (10-20%), neoplasia/keganasan (5-
35%), lain-lain (15-25%).

Infeksi adalah penyebab FUO yang paling besar, apalagi pada


pasien dengan HIV, maka infeksi-infeksi opportunistic (seperti TB, jamur,
sitomegalovirus) sebaiknya diselidiki. Penyakit jaringan ikat yang umum
menyebabkan FUO antara lain SLE, RA, giant cell ateritis, vaskulitis. Pada
keganasan, yang paling umum adalah limfoma, leukemia, karsinoma sel
renal, karsinoma hepatoseluler, dan karsinoma metastase. Sedangkan
penyebab lainnya seperti reaksi obat, deep vein thrombosis, emboli paru
berulang, sarkoidosis, dan inflammatory bowel disesase.
Teka-teki FUO sering kali membuat dokter harus merombak ulang
semua penyelidikan yang ada. Tidak jarang mesti mengasumsikan bahwa
semua data yang dikumpulkan secara akurat oleh klinisi sebelumnya
sebagai sebuah kesalahan. Sehingga pemeriksaan dimulai lagi dari titik
nol. Penggalian riwayat difokuskan guna menggali adanya gejala fokal dan
fakta-fakta yang bisa mengarahkan ke penyebab demam (seperti
perjalanan, pekerjaan, riwayat keluarga, paparan pada vektor hewan,
riwayat asupan makanan).

Pada riwayat penyakit saat ini seharusnya dapat mengungkapkan


pola (kontsan atau intermiten) dan durasi demam yang terjadi. Pola
demam kadang hanya sedikit atau justru malah tidak bermakna dalam
diagnosis FUO, meski pun beberapa penyakit tertentu memiliki pola
demam yang khas, misalnya pada malaria (terutama pada pasien dengan
faktor risiko untuk itu). Nyeri fokal seringkali membantu menentukan
lokasi (meski bukan faktor penyebab) dari penyakit yang mendasari.
Sehingga nyeri tubuh mesti ditanyakan secara umum, dan kemudian
spesifik pada tiap-tiap bagian tubuh.

Pada peninjauan sistem tubuh, gejala-gejala nonspesifik juga mesti


diperhatikan, misalnya penurunan berat badan, anoreksia, kelelahan,
keringat malam hari, dan nyeri kepala. Juga gejala-gejala yang
menandakan kelainan jaringan ikat (seperti myalgia, athralgia, dan ruam)
serta kelainan saluran cerna (seperti diare, steatorea, dan
ketidaknyamanan perut) selayaknya dilacak.

Riwayat penyakit sebelumnya yang bisa menjadi kunci melacak


demam juga digali. Penyakit-penyakit yang sebelumnya dapat
menyebabkan demam kembali ditanyakan apakah pernah ada, seperti
kanker, TB, penyakit jaringan ikat, sirosis alkoholis, penyakit peradangan
usus, demam rematik, dan hipertiroidisme. Klinisi selayaknya
memperhatikan kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan terjadinya
infeksi, semisal kondisi immunocompromise (misal karena infeksi HIV,
kanker, diabetes, atau penggunaan immunosupresan), penyakit jantung
struktural, kelainan saluran kemih, operasi, pemasangan alat invasif
(seperti jalur intravena, pacemaker, prostesa sendi).

Riwayat obat-0batan yang dapat memicu demam juga ditanyakan.


Misalnya obat yang bisa meningkatkan produksi panas, seperti
amphetamines, kokain, methylenedioxymethamphetamine (MDMA,
ekstasi), antipsikotik, anestestik. Sementara beberapa obat lain dapat
menginduksi reaksi hipersensitivitas, seperti antibiotik beta-laktam, obat-
obatan sulfa (fenitoin, karbamazepin, prokainamid, quinidin, amfotericin
B), dan interferon.

Riwayat sosial juga termasuk pertanyaan-pertanyaan yang


mengarah pada kemungkinan datangnya infeksi, seperti penggunaan
jarum suntik bergilir, praktek seksual berisiko tinggi (seperti seks bebas
tanpa pengamanan, banyak partner seks), kontak dengan penderita
terinfeksi (misal TB), perjalanan ke daerah endemis, kemungkinan
paparan terhadap vektor (misal gigitan serangga). Faktor risiko untuk
kanker juga selayaknya dapat diungkap, termasuk merokok, penggunaan
alkohol, dan risiko paparan bahan kimia pada saat bekerja. Lingkungan
yang sedang mengalami penyakit atau wabah tertentu juga selayaknya
masuk dalam catatan.

Beberapa riwayat keluarga juga diperhatikan jika terdapat


kemungkinan beberapa penyebab demam yang diwariskan (seperti pada
familial Mediterranean fever).

Pada pemeriksaan fisik penampilan umum diperhatikan, beri


catatan terutama jika ditemukan cachexia, jaundice dan pucat. Perhatikan
juga permukaan tubuh terutama kulit, eritema fokal bisa menjadi tanpa
tempat infeksi terjadi, sedangkan ruam bisa menjadi tanda penyakit
sistemik (misal pada SLE); inspeksi diarahkan pada perineum dan kaki,
terutama pada pasien diabetes yang cenderung mendapat infeksi pada
daerah ini. Klinisi juga sebaiknya memeriksa ada tidaknya temuan
kutaneus akan endokarditis, termasuk nodula subkutan eritematosa yang
sangat nyeri pada ujung-ujung jari (nodul Osler), makula hemoragik tanpa
nyeri pada telapak tangan atau kaki (lesi-lesi Janeway), petekiae, dan
perdarahan splinter di bawah kuku.

Seluruh tubuh (khususnya pada area tulang belakang, tulang,


persendian, abdomen, dan tiroid) dipalpasi untuk mencari area dengan
nyeri tekan, pembengkakan, atau organomegali; pemeriksaan rektum
digital dan pemeriksaan pelvis juga termasuk di dalamnya. Gigi diperkusi
untuk adanya nyeri (jika diduga ada abses apikal). Selama palpasi,
perhatikan adanya adenopati regional atau sistemik. Misalnya pada
adenopati regional merupakan karakteristik penyakit cat-scratch yang
berlawan dengan adenopati difus pada limfoma.

Pemeriksaan jantung juga dilakukan untuk menemukan adanya


tanda-tanda infeksi pada jatung, baik endokarditis maupun perikarditis.
Tanda-tanda temuan yang memerlukan perhatian lebih ketika anamnesis
dan pemeriksaan fisik berlangsung adalah adanya kecurigaan
immunocompromise, murmur jantung, adanya peralatan yang masuk ke
dalam tubuh, perjalanan baru-baru ini ke daerah endemis.

Beberapa tes laboratorium mungkin akan membantu. Misalnya


darah lengkap dengan hitung jenis leukosit, laju endap darah, tes fungsi
hati, kultur darah, tes antibodi HIV, uji konsentrasi RNA, dan uji PCR, tes
kulit tuberkulin. Kecurigaan adanya faktor rematik di dalamnya, perlu
dilakukan tes ANA. Jika dicurigai karena malignansi atau abses di dalam
tubuh, maka pemeriksaan X-RAY, USG, CT-SCAN, MRI dan pencitraan
lainnya akan diperlukan bersamaan dengan tes invasif seperti biopsi.
Dokter umum seringkali kesulitan dalam melacak kompleksitas dari
sebuah FUO. Sehingga pada kondisi tertentu perlu merujuk pasien pada
dokter yang lebih ahli sesuai dengan kecurigaan terbesar penyebab FUO.

Untuk memahami bagaimana manajemen FUO yang baik, silakan


merujuk pada artikel Fever of Unknown Origin pada situs eMedicine dan
Merck Manual. Perlu dipahami bahwa selain seringkali menyulitkan,
pelacakan demam yang tidak jelas sering berefek pada beban biaya
kesehatan yang tidak sedikit pada pasien, apalagi jika sampai
memerlukan pemeriksaan penunjang yang canggih seperti pencitraan
dengan kontras radioaktif atau uji laboratorium imunoserologis. Seorang
klinisi juga perlu mempertimbangkan cost benifit sebuah prosedur
pemeriksaan penunjang bagi pasiennya.

Penatalaksanaan

Anamnesis

Dalam menegakkan penyakit panas atau demam, ilmu dan seni


kedokteran harus disatukan. Tidak ada keadaan klinis lainnya dimana
anamnesis riwayat medis lebih penting, seperti kronologis gejala,
penggunaan obat-obatan atau adanya penanganan lain seperti tindakan
pembedahan atau perawatan gigi. Dari anamnesis ini dapat diketahui
kapan mulai demam, tinggi suhu badan, apakah demam hilang timbul,
adanya menggigil, kelelahan atau sakit.

Dari anamnesis juga ditanyakan tentang riwayat pekerjaan, adanya


kontak dengan heawn, asap beracun, organisme yang potensial
infeksius/zat yang dapat menjadi antigen, kontak dengan penderita lain
yang mengalami panas atau penyakit menular di rumah, tempat kerja
atau sekolah. Riwayat geografis tempat tinggal, riwayat perjalanan,
kecenderungan makan seperti daging mentah/yang tidak dimasak dengan
baik. Riwayat keluarga dengan penyakit tuberculosis, penyakit panas atau
penyakit demam lainnya.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang teliti harus dilakukan secara regular. Semua


tanda-tanda vital merupakan petunjuk yang relevan. Suhu tubuh dapat
diukur dengan menempatkan thermometer ke dalam rektal, mulut, telinga
dan ketiak. Penggunaan thermometer kaca berisi merkuri tidak lagi
dianjurkan karena dapat berbahaya dan juga meracuni lingkungan.

Pengukuran suhu mulut aman untuk dilakukan. Pengukuran ini lebih


akurat dibandingkan dengan suhu ketiak (aksila). Pengukuran suhu aksila
mudah dilakukan, namun hanya menggambarkan suhu perifer tubuh yang
sangat dipengaruhi oleh vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat
sehingga kurang akurat. Pengukuran suhu melalui anus atau rektal cukup
akurat karena lebih mendekati suhu tubuh yang sebenarnya dan paling
sedikit terpengaruh suhu lingkungan, namun pemeriksaannya tidak
nyaman bagi penderita. Pengukuran suhu melalui telinga (infrared
tympanic) tidak dianjurkan karena dapat memberikan hasil yang tidak
akurat sebab liang telinga sempit dan basah.

Pemeriksaan suhu tubuh dengan perabaan tangan tidak dianjurkan


karena tidak akurat sehingga tidak dapat mengetahui dengan cepat jika
suhu mencapai tingkat yang membahayakan. Pengukuran suhu inti tubuh
yang merupakan suhu tubuh yang sebenarnya dapat dilakukan dengan
mengukur suhu dalam tenggorokan atau pembuluh arteri paru. Namun hal
ini sangat jarang dilakukan karena terlalu invasif.

Kisaran nilai normal suhu tubuh adalah suhu oral antara 35,5-37,5
C, suhu aksila antara 34,7-37,3 C, suhu rektal antara 36,6-37,9 C dan
suhu telinga antara 35,5-37,5 C.

Pemeriksaan fisik juga harus diperhatikan pada kulit, kelenjar limfe,


mata, dasar kuku, sistem kardiovaskuler, dada, abdomen, sistem
muskuloskletal dan sistem saraf. Pemeriksaan rektal memberikan manfaat
yang cukup mengesankan untuk kasus-kasus tertentu. Penis, prostat,
skrotum, dan testis harus diperiksa dengan cermat, prepusium bila pasien
tidak disirkumsisi harus diretraksi. Pemeriksaan pelvis merupakan bagian
dari setiap pemeriksaan jasmani yang lengkap pada seorang perempuan.

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium
Salah satu pengukuran yang dapat dilakukan dalam tahap awal
adalah pemeriksaan hematologi, pada infeksi bakteri akut dapat
menunjukkan pergeseran hitung jenis ke kiri, dengan atau tanpa
leukositosis. Pemeriksaan mencakup hitung darah lengkap, hitung jenis
yang dilakukan secara manual atau dengan menggunakan alat yang
sensitif untuk mengenali sel-sel eosinofil, bentuk sel darah yang muda,
atau bentuk batang, bentuk granulasi toksik dan badan dohle. Tiga
bentuk sel darah yang terakhir ini sugestif ke arah bakterial.
Netropenia dapat terlihat pada sebagian infeksi virus khususnya
parvovirus B19, reaksi obat, SLE, penyakit tifoid, bruselosis, dan
penyakit infiltratif sumsum tulang, termasuk limfoma, leukimia,
tuberkulosis serta histoplasmosis. Limfositosis dapat terlihat pada
penyakit infeksi virus, tifoid, bruselosis, tuberkulosis. Limfosit atipikal
terlihat banyak penyakit virus, termasuk EBV (Epstein-Bar),
Sitomegalovirus (CMV), HIV, dengue, rubella, morbilli, varisella,
hepatitis virus, serum sickness dan toksoplasmosis. Monositosis
terdapat pada tifoid, tuberkulosis, bruselosis dan limfoma. Eosinofilia
dapat ditemukan pada reaksi obat hipersensitivitas, penyakit Hodgkin,
insufisiensi adrenal dan infeksi metazoa tertentu. Jika keadaan demam
tampak lama dan berat, sediaan apus harus diperiksa dengan cermat
dan pemeriksaan LED harus dilakukan.
Urinalisis dengan sedimen urine harus dilakukan. Cairan sendi harus
diperiksa untuk menemukan kristal. Biopsi sumsum tulang (bukan
aspirasi biasa) untuk pemeriksaan histopatologi (disamping
pemeriksaan kultur) diperlukan kalau terdapat kemungkinan infiltrasi
sumsum tulang oleh kuman patogen atau sel tumor. Tinja harus
diperiksa untuk menemukan leukosit, telur cacing ataupun parasit.
Pemeriksaan elektrolit, gula darah, Blood Urea Nitrogen , dan kreatinin
harus dilakukan. Tes faal hepar, SGOT, SGPT, GGT dapat memberi
petunjuk mengenai fungsi sel hati. Pemeriksaan biokimia selanjutnya
dapat membantu dengan mengukur kadar kalsium yang dapat
meningkat pada sarkoidosis dan karsinomatosis.

b. Mikrobiologi
Sediaan apus dan kultur dari tenggorok, uretra, anus, serviks, dan
vagina harus dibuat dalam situasi yang tepat. Pemeriksaan sputum
(pengecatan gram, BTA, kultur) diperlukan untuk setiap pasien yang
menderita demam dan batuk-batuk. Pemeriksaan kultur darah dan
kultur cairan abnormal serta urin diperlukan kalau keadaan demam
tersebut lebih dari penyakit virus yang terjadi tanpa komplikasi. Cairan
serebrospinal harus diperiksa dan dikultur bila terdapat meningismus,
nyeri kepala berat, atau perubahan status mental.

c. Radiologi
Pembuatan foto toraks merupakan bagian dari pemeriksaan untuk
setiap penyakit demam yang signifikan, seperti adanya gangguan pada
paru.

Penatalaksanaan lain

a. Non Farmakologis
Tindakan umum untuk menurunkan demam pada prinsipnya
diusahakan untuk beristirahat agar metabolisme tubuh menurun.
Cukup cairan agar kadar elektrolit tidak meningkat saat evaporasi
terjadi. Aliran udara yang baik misalnya dengan kipas, memaksa tubuh
berkeringat, mengalirkan hawa panas ke tempat lain sehingga demam
turun. Jangan menggunakan aliran yang terlalu kuat, karena suhu kulit
dapat turun mendadak. Ventilasi/regulasi aliran udara penting di
daerah tropik. Buka pakaian/selimut yang tebal agar terjadi radiasi dan
evaporasi. Lebarkan pembuluh darah perifer dengan cara menyeka
kulit dengan air hangat (tepid-sponging). Mendinginkan dengan air es
atau alkohol kurang bermanfaat (justru terjadi vasokonstriksi pembuluh
darah), sehingga panas sulit disalurkan baik lewat mekanisme
evaporasi maupun radiasi. Lagipula, pengompresan dengan alkohol
akan diserap oleh kulit dan dihirup pernafasan, dapat menyebabkan
koma.

b. Farmakologis
Demam merupakan suatu keadaan yang sering menimbulkan
kecemasan, stres, dan fobia tersendiri bagi penderita. Oleh karena itu,
ketika seseorang seringkali melakukan upaya-upaya untuk
menurunkan demam. Salah satunya adalah dengan pemberian obat
penurun panas/antipiretik seperti parasetamol, ibuprofen, dan aspirin.
Antipiretik yang banyak digunakan dan dianjurkan adalah parasetamol,
ibuprofen, dan aspirin (asetosal)

- Parasetamol (Asetaminofen)

Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit fenasetin dengan


efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Efek
anti inflamasi parasetamol hampir tidak ada. Asetaminofen di Indonesia
lebih dikenal dengan nama parasetamol, dan tersedia sebagai obat bebas,
misalnya Panadol, Bodrex, INZA, dan Termorex .

Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu


menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga
juga berdasarkan efek sentral. Parasetamol merupakan penghambat
prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung
tidak terlihat pada obat ini, demikian juga gangguan pernafasan dan
keseimbangan asam basa.

Parasetamol diberikan secara oral. Penyerapan dihubungkan


dengan tingkat pengosongan perut, konsentrasi darah puncak biasanya
tercapai dalam 30- 60 menit. Parasetamol sedikit terikat pada protein
plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati dan
diubah menjadi sulfat dan glikoronida asetaminofen, yang secara
farmakologis tidak aktif. Kurang dari 5% diekskresikan dalam keadaan
tidak berubah. Metabolit minor tetapi sangat aktif (N-acetyl-p-
benzoquinone) adalah penting dalam dosis besar karena efek toksiknya
terhadap hati dan ginjal. Waktu paruh asetaminofen adalah 2-3 jam dan
relatif tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan kuantitas toksik atau
penyakit hati, waktu paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau lebih.

Reaksi alergi terhadap parasetamol jarang terjadi. Manifestasinya


berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam
dan lesi pada mukosa.
- Ibuprofen

Ibuprofen adalah turunan sederhana dari asam fenilpropionat. Obat


ini bersifat analgesik dengan daya antiinflamasi yang tidak terlalu kuat.
Efek analgesiknya sama seperti aspirin. Efek antiinflamasinya terlihat
dengan dosis 1200-2400 mg sehari.

Absorpsi ibuprofen dengan cepat melalui lambung dan kadar


maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam
plasma sekitar 2 jam. 99% ibuprofen terikat dalam protein plasma.
Ibuprofen dimetabolisme secara ekstensif via CYP2C8 (cytochrome P450,
family 2, subfamily C, polypeptide 8) dan CYP2C9 (cytochrome P450,
family 2, subfamily C, polypeptide 9) di dalam hati dan sedikit
diekskresikan dalam keadaan tak berubah. Kira- kira 90% dari dosis yang
diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit/konjugatnya.
Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi.

Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat


sebagai antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik. Efek antiinflamasi dan
analgetiknya melalui mekanisme pengurangan sintesis prostaglandin. Efek
ibuprofen terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin,
indometasin atau naproksen. Efek lainnya yang jarang seperti eritema
kulit, sakit kepala, trombositopenia, dan ambliopia toksik yang reversibel.

Dosis sebagai analgesik 4 kali 400 mg sehari tetapi sebaiknya dosis


optimal pada tiap orang ditentukan secara individual. Ibuprofen tidak
dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui.

- Aspirin

Aspirin atau asam asetilsalisilat adalah suatu jenis obat dari


keluarga salisilat yang sering digunakan sebagai analgesik (terhadap rasa
sakit atau nyeri), antipiretik (terhadap demam), dan antiinflamasi. Aspirin
juga memiliki efek antikoagulan dan digunakan dalam dosis rendah dalam
tempo lama untuk mencegah serangan jantung. Beberapa contoh aspirin
yang beredar di Indonesia ialah Bodrexin dan Inzana.

Efek-efek antipiretik dari aspirin adalah menurunkan suhu yang


meningkat, hal ini diperantarai oleh hambatan kedua COX
(cyclooxygenase) dalam sistem saraf pusat dan hambatan IL-1 (yang dirilis
dari makrofag selama proses inflamasi). Turunnya suhu, dikaitkan dengan
meningkatnya panas yang hilang karena vasodilatasi dari pembuluh darah
permukaan atau superfisial dan disertai keluarnya keringat yang banyak.

Aspirin merupakan obat yang efektif untuk mengurangi demam,


namun tidak direkomendasikan pada anak. Aspirin, karena efek
sampingnya merangsang lambung dan dapat mengakibatkan perdarahan
usus maka tidak dianjurkan untuk demam ringan. Efek samping seperti
rasa tidak enak di perut, mual, dan perdarahan saluran cerna biasanya
dapat dihindarkan bila dosis per hari lebih dari 325 mg. Penggunaan
bersama antasid atau antagonis H2 dapat mengurangi efek tersebut.

Aspirin juga dapat menghambat aktivitas trombosit (berfungsi


dalam pembekuan darah) dan dapat memicu risiko perdarahan sehingga
tidak dianjurkan untuk menurunkan suhu tubuh pada demam berdarah
dengue. Pemberian aspirin pada anak dengan infeksi virus terbukti
meningkatkan risiko Sindroma Reye.

Anda mungkin juga menyukai