Anda di halaman 1dari 12

PERBANDINGAN KEJADIAN KEBAKARAN HUTAN

1. Australia

1.1 Faktor Penyebab

Teka-teki penyebab kebakaran hutan terburuk sepanjang sejarah Australia itu mulai terkuak.
Gambar hasil rekaman satelit milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menunjukkan
rokok menjadi penyebab kebakaran. Satelit NASA menangkap jelas gambar rokok yang
menjadi penyebab utama kebakaran yang melanda hutan dan perkebunan di bumi Kanguru.
Gambar rokok ini didapat di salah satu titik api di tenggara Australia. Polisi menangkap seorang
perokok yang menjadi penyebab kebakaran. Selain itu pihak otoritas ini mengamankan
tersangka dari amuk massa. Kebakaran, Jumat (13/2) kemarin, di dekat Kota Churchill
menewaskan sedikitnya 21 orang

1.2 Intensitas

Berdasarkan peta satelit terlihat bahwa api bermula dari kebakaran semak meluas dengan
cepat akibat angin kencang dan udara kering musim panas. Kebakaran ini kemudian melanda
hutan dan pemukiman warga dan hingga 9 Februari 2009 telah menelan sedikitnya 170 korban
jiwa, membakar habis sekitar 700 rumah dan mencakup wilayah seluas kurang lebih
3000 km persegi

1.3 Dampak

Jumlah korban tewas akibat kebakaran semak, hutan dan perkebunan di Negara Bagian
Victoria, Australia, mencapai lebih 180 orang dan lebih dari 7.000 orang kehilangan tempat
tinggal. Sekitar 1700 ternak mati akibat kebakaran yang terjadi pada akhir pekan lalu (1/2014).

Puluhan rumah dikonfirmasi terbakar di sejumlah wilayah dan berdampak pada 200
peternakan yakni hancurnya kendaaran yang digunakan untuk pertanian serta hancurnya
puluhan kilometer pagar pembatas wilayah pertanian.

Pihak pemadam kebakaran setempat mengungkapkan sekitar 20an gudang juga ikut
hangus dan 75 persen kawasan hutan pinus Wirrabara Forest's musnah. Pada peristiwa
kebakaran sebelumnya, Australia Selatan juga telah kehilangan kawasan hutan sekitar 60
persen.

2. Kalimantan Timur
2.1 Faktor Penyebab

Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk mengubah lingkungan
hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan hingga akhir zaman Paleolitik,
1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia mengenal dan menguasai teknologi api, maka api
dianggap sebagai modal dasar bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk
membuka hutan, meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir
satwa liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja, 1997).
Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara
berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi
secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga
telah membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan
membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari
masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang
baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999).
Menurut Danny (2001), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur
adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian
alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran
petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut
Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk
kasus Kalimatan kurang dari 1 %.

Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti
kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 (Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan
terjadinya perluasan penyebaran lokasi kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi
hampir di seluruh propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non
hutan.

1. Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena
alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal
dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:
Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.
2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu
maupun perkebunan kelapa sawit.
3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata
pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.
Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana
pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan
praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan
terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar
mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar
yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH. Pembukaan hutan oleh
pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan
perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan
cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling
murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya
terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan,
tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik
modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa
kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para
investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan
masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan
yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi
pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk
memadamkannya.

2.2 Intensitas

2.2.1 Kebakaran Tahun 1982-1983 dan 1994

Kebakaran hebat pertama yang merupakan akibat dari kombinasi antara pengelolaan hutan
di era Soeharto dan fenomena iklim El Nino menghancurkan 210.000 km2 dari wilayah Propinsi
Kalimantan Timur selama tahun 1982-1983. Kalimantan Timur merupakan fokus pertama
ledakan produksi kayu Indonesia, dan hampir seluruh kawasan dibagi menjadi kawasan HPH
selama tahun 1970-an. Praktek kegiatan pembalakan disini umumnya buruk, meninggalkan
akumulasi limbah pembalakan yang luar biasa dalam hutan. Banyak spesies pionir dan
sekunder tumbuh pesat di kawasan-kawasan yang telah dibalak, sehingga membentuk lapisan
vegetasi bawah yang padat dan mudah terbakar daripada lapisan penutup tanah yang tidak
begitu rapat, yang merupakan ciri hutan-hutan hujan primer. Peristiwa itu menunjukan
bagaimana kondisi alam dan kegiatan manusia dapat secara bersama-sama menimbulkan
suatu situasi, sehingga bahwa hutan di daerah tropika yang terletak di khatulistiwa itu bisa
terbakar.

Kekeringan akibat fenomena El Nino yang hebat melanda kawasan ini antara bulan Juni
1982 dan Mei 1983, dan kebakaran terjadi serempak hampir diseluruh wilayah propinsi ini pada
akhir tahun 1982. Kebakaran ini tidak dapat dikendalikan. Fenomena ini mengakibatkan
lebatnya hujan di daerah Pasifik Timur dan berkurangnya hujan di Pasifik Barat. Ada dugaan
bahwa kekeringan di Kalimantan yang diderita tahun itu mungkin merupakan kejadian yang
berulang setiap 100 tahun. Data kejadian di masa lalu tidak dapat diperoleh sehingga pendapat
itu tidak dapat diuji kebenarannya. Sebagaimana diketahui, kebakaran justru terjadi di kawasan
hutan yang kompleks dengan kekayaan jenis yang masih tersisa di kawasan Asia Tenggara.
Kalimantan Timur adalah pusat penyebaran jenis-jenis pohon, termasuk
keluarga Dipterocarpaceae yang bernilai ekonomi penting.

Sampai akhirnya musim hujan tiba kembali pada bulan Mei 1983. Saat itu 3,2 juta ha hutan
habis terbakar; 2,7 juta ha diantaranya adalah hutan hujan tropis. Tingkat kerusakan bervariasi
di areal yang berbeda, dari kebakaran bawah yang merambat perlahan di hutan primer sampai
pengrusakan yang menyeluruh di areal yang baru saja dibalak dan di hutan-hutan rawa gambut.
Sekitar 73.000 ha hutan-hutan dataran rendah Dipterocarpaceae yang bernilai komersial
mengalami kerusakan berat dan 2,1 juta ha lainnya mengalami kerusakan ringan atau sedang.

Akibat kejadian ini habitat dari banyak jenis satwa yang populasinya jarang dan terancam
punah, seperti mawas (Pongo pygmaeus), bekantan (Nasalis larvatus), banteng (Bos
Javanicus), beruang madu (Helartos malayanus), dan banyak jenis burung rangkok, serta jenis
pohon terkenal, seperti meranti, liana, anggrek, palma, dan pohon buah yang hidup liar.
Beberapa jenis hidupan liar dapat menghindari dari api, akan tetapi banyak lainnya yang
musnah. Diduga banyak jenis tanaman dan binatang yang langka yang belum sempat dikenal
oleh ahli biologi telah lenyap akibat kebakaran.

Tingkat kerusakan kebakaran secara langsung berkaitan dengan tingkat degradasi hutan:
hanya 11 persen dari hutan-hutan primer yang tidak dibalak pada areal yang dipengaruhi oleh
kekeringan dan kebakaran yang sesungguhnya terbakar. Kerusakan terjadi sebatas vegetasi
bawah, dan hutan sama sekali tertutup kembali menjelang tahun 1988. Sebaliknya, di kawasan
yang luasnya hampir satu juta ha pada areal hutan 'yang dibalak secara sedang' (80% dibalak
lebih dulu sebelum kebakaran), 84% hutan terbakar, dan kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih
hebat (Schindler dkk, 1989). Suatu perkiraan menghitung biaya akibat kebakaran tahun 1982-
1983 sekitar 9 miliar dolar, dimana hampir 8,3 miliar dolar berasal dari hilannya tegakan pohon
(Hess,1994).

Kebakaran yang luas kembali terjadi beberapa kali dalam dekade berikutnya setelah
kebakaran di Kalimantan Timur, diperkirakan membakar 500.000 ha pada tahun 1991 dan
hampir 5 juta ha pada tahun 1994 (BAPPENAS, 1999).

Kebakaran di Kalimantan Timur telah pula mengancurkan kayu niaga dalam jumlah yang
amat besar. Lennertz dan Pance (1983) menyebutkan bahwa di dalan hutan yang belum
ditebang, sabagai akibat dari kebakaran itu kira-kira 50% kayu yang ekonomis mati tebakar
atau mengalami kekeringan, dengan nilai mencapai US $ 2 miliard. Diperkirakan 60% hutan
yanh telah dikonsesikan juga rusak sehingga tidak menghasilkan sama sekali kayu tebangan.
Kerugian ini diduga berkisar antara US $ 3,6 hingga 6 miliard berdasarkan perhitungan nilai
kayu yang potensial. Banyak pohon di hutan yang terhindar dari api saat ini telah diganggu oleh
serangga penggerek kayu serta oleh jamur parasit dan tidak lama lagi akan mati juga. Pohon-
pohon lainnya mungkin akan tertebang juga seperti pohon-pohon yang lain. Banyak pertanyaan
timbul mengenai bagaimana proses pemulihan hutan dari kerusakan hutan akibat kebakaran
oleh api yang besar akan berlangsung. Prosesi suksesi tentunya berbeda bila dibandingkan
dengan kejadian di kawasan hutan yang diramba oleh kasus perladangan berpindah-pindah.

Dari penelitian Riswan dan Yusuf (1984) disimpulkan bahwa kebakaran hutan di KALTIM
menyebabkan kematian 130 pohon per hektar di hutan primer dan 197 pohon per hektar di
hutan sekunder lama. Enam bulan sesudah kebakaran ternyata tinggal hampir 23% dari pohon-
pohon yang tersisa di hutan primer sedangkan 32,5% dari pohon-pohon yang tersisa di hutan
sekunder lama bertunas kembali dan pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) tampaknya
merupakan tanaman yang palinh tahan dan mampu hidup kembali sesudah masa kebakaran.
Dari survei-survei terlihat bahwa beberapa daerah yang terbakar itu telah ditumbuhi kembali
oleh vegetasi sekunder melebat, seperti tanaman-tanaman merambat terbuka
dari Convolvulaceae dan Cucurbitaceae. Di tempat-tempat terbuka vegetasi sekunder
didominasi olehMacaranga, Trema, Mollotus, Omallanthus, dan jenis tanaman sekunder dan
semak-semak. Tentu saja daerah yang terbakar berat tidak pernah lagi pulih seperti
keadaannya semula dengan keanekaragaman ekologinya.

2.2.2 Kebakaran tahun 1997-1998

Ketika kemarau panjang berikutnya akibat El Nino yang hebat melanda Indonesia pada
tahun 1997-1998, akibat-akibatnya merupakan bencana. Menjelang awal tahun 1998 hampir 10
juta ha telah terkena dampak kebakaran, yang menyebabkan berbagai kerusakan yang
diperkirakan hampir senilai 10 miliar dolar. Asap akibat kebakaran ini membuat sebagian besar
kawasan Asia Tenggara berkabut hingga beberapa bulan.

Meskipun sudah ada peringatan dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup menjelang
tahun 1997 akan terjadinya fenomena El Nino, pembakaran terutama untuk membuka lahan
hutan dan belukar yang terdegradasi untu perkebunan , terus terjadi di areal yang luas di
Sumatera dan Kalimantan . Pembukaan lahan dengan cara membakra hutan tidak terbatas
hanya di Kalimantan dan Sumatera - kebakaran dilaporkan terjadi di 23 dari 27 propinsi
Indonesia pada tahun 1997-1998. Namun, sejumlah besar kebakaran hutan yang luar biasa
terjadi di kedua pulau tersebut disebabkan oleh perusahaan perkebunan dan berbagai proyek
pemerintah yang melenyapkan puluhan ribu hektar dalam satu kesempatan saja.

Musim kemarau panjang yang melanda propinsi Kalimantan Timur ini sangat menyulitkan
upaya pemadaman kebakaran. Berbagai upaya, baik lewat darat maupun udara, sepertinya
hanya berpengaruh sangat kecil terhadap proses pemadaman api. Areal hutan dan lahan yang
terbakar mencapai 155.611,58 hektar. ''Dari jumlah tersebut, hutan yang terbakar seluas
151.236,22 hektar dan lahan seluas 4.375,36 hektar,'' ungkap Awang Faroek Ishak, Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kaltim.

Sekitar 63 persen dari areal yang terbakar adalah di kawasan milik perusahaan besar yang
memiliki HPH (Hak Penguasaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri) (lihat tabel).
Perusahaan besar ini sebagian besar telah melakukan pembukaan lahan dengan cara bakar.
Diduga, salah satu faktor yang memicu musibah kebakaran ini adalah pembakaran lahan
dengan sengaja.

Dari penelitian Bapedalda Kaltim, kerugian kebakaran hingga awal April ini mencapai Rp
2.672.880.600.000. Taksiran kerugian dihitung dari nilai ekonomis kayu/tanaman yang terbakar.
''Ini belum termasuk kerugian akibat hilangnya flora/fauna, hilang atau rusaknya permukaan
tanah/topsoil, kerusakan lingkungan, kesehatan masyarakat, kerugian perusahaan
penerbangan dan kegiatan lainnya,'' ujar Awang Faroek.
Penyebab kebakaran sebagian besar dikarenakan manusia, dan kebanyakan dilakukan
dengan sengaja. Selain itu adanya sumber batubara di dalam tanah menjadi salah satu faktor
alam penyebab kebakaran yang sangat sulit dihindari. Dari pantauan Integrated Forest Fire
Management (IFFM), proyek kerjasama pemerintah Indonesia dan Jerman dalam mengatasi
kebakaran hutan di Kaltim, sudah 797 titik api yang menyebar di kawasan Kaltim. Letak titik api
yang menyebar sangat menyulitkan proses pemadaman api.

Sebenarnya sudah cukup banyak upaya yang dilakukan untuk memadamkan api. Namun
kondisi medan yang sangat sulit dan juga lokasi kebakaran api yang berjauhan sangat
menyulitkan upaya pemadaman. ''Dampak kegiatan pemadaman selama ini mungkin hanya
sekitar 0,1 persen saja,'' ungkap Ludwig Schindler, Ketua IFFM. Padahal penanggulangan
kebakaran lewat darat dan udara sudah banyak dilakukan. Misalnya dengan bahan kimia,
granat pemadam api dan membuat sekat bakar. Selain itu juga dilakukan pemboman lewat
udara dengan pesawat Hercules Transall C-160 dan pesawat Pilatus Poiter PC-6.

Menurut Schindler, dengan kondisi kemarau panjang seperti sekarang ini, pemadaman api
bukanlah bidang yang paling penting untuk dilakukan. ''Tetapi yang penting diperhatikan adalah
pencegah~an, pendidikan masyarakat dan kebijaksanaan penggunaan hutan. Oleh karena itu
musim hujanlah saat yang tepat untuk mengatasi kebakaran,'' jelas Schlindler yang telah
melakukan berbagai kegiatan manajemen kebakaran hutan di Kaltim sejak empat tahun lalu.

Luas Areal Kebakaran Hutan dan Lahan di Kaltim

No. Lokasi Terbakar Luas (Ha)

1. Areal Hak Penguasaan Hutan (HPH) 34.185,65


2. Areal HPHTI 64.838,72
3. Kawasan Konservasi Bukit Soeharto 4.204,00
4. Hutan Lindung Sungai Wain 2.389,00
5. Hutan Lindung DAS Manggar 126,00
6. Hutan Lindung Bontang 6.635,00
7. Cagar Alam M. Kamam 150,00
8. Cagar Alam Kersik Luwai 75,50
9. Taman Nasional Kutai 40.181,00
10. Hutan Penelitian 406,88
11. Areal Perkebunan 1.923,68
12. Areal Transmigrasi 15,00
13. Ladang Penduduk/alang/semak 1.448,77
14. Kebun masyarakat 987,91

Sumber: Bapedalda Kaltim. Mag


2.3 Dampak

2.3.1 Kerugian yang ditimbulkannya

Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan dan
ekonomi khususnya setelah terjadi kebakaran besar di berbagai belahan dunia tahun 1997/98
yang menghanguskan lahan seluas 25 juta hektar. Kebakaran tahun 1997/98 mengakibatkan
degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar US $ 1,6-2,7 milyar dan biaya
akibat pencemaran kabut sekitar US $ 674-799 juta. Kerugian yang diderita akibat kebakaran
hutan tersebut kemungkinan jauh lebih besar lagi karena perkiraan dampak ekonomi bagi
kegiatan bisnis di Indonesia tidak tersedia. Valuasi biaya yang terkait dengan emisi karbon
kemungkinan mencapai US $ 2,8 milyar (Tacconi, 2003).
Hasil perhitungan ulang kerugian ekonomi yang dihimpun Tacconi (2003), menunjukkan bahwa
kebakaran hutan Indonesia telah menelan kerugian antara US $ 2,84 milayar sampai US $ 4,86
milyar yang meliputi kerugian yang dinilai dengan uang dan kerugian yang tidak dinilai dengan
uang. Kerugian tersebut mencakup kerusakan yang terkait dengan kebakaran seperti kayu,
kematian pohon, HTI, kebun, bangunan, biaya pengendalian dan sebagainya serta biaya yang
terkait dengan kabut asap seperti kesehatan, pariwisata dan transportasi.

2.3.2 Dampak Pada Keanekaragaman Hayati

Kebakaran hutan membawa dampak yang besar pada keanekaragaman hayati. Hutan yang
terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya
tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi
menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim
hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit
diperhitungkan.

Hutan alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem yang
rumit yang mengandung banyak spesies yang saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan
dengan pohon-pohon yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya
diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli
yang telah ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun untuk
dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan cepat; demikian juga komunitasnya yang
kompleks juga juga tidak mudah digantikan bila rusak.

Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan bumi, tetapi
mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di
dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini
menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas
bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis
tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis reptilia, 17 % dari total
jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia
menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya.
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, total daratan
yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan lahan, baik di dalam maupun di
luar kawasan, adalah : Hutan 93,92 juta ha (50 %), Non hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak
ada data 10,73 juta ha (6 %). Khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha,
kondisi penutupan lahannya adalah sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan
39,09 juta ha (29 %) dan Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %). (BAPLAN, 2005)

Kebakaran hutan Indonesia pada tahun 1997/98 saja telah menghanguskan seluas 11,7 juta
hektar. Kebakaran terluas terjadi di Kalimantan dengan total lahan terbakar 8,13 juta hektar,
disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 juta hektar, 1 juta
hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar (Tacconi, 2003). Kebakaran hutan setiap tahunnya
telah memberikan dampak negatif bagi keanekaragaman hayati. Berbagai jenis kayu kini telah
menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon
zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah
contoh dari beberapa jenis kayu yang sudah sulit ditemukan di alam. Selain itu, puluhan jenis
kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah
sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya.

Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada yang tergolong fast
growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi ada yang termasuk dalam slow
growing spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat
pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan
Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan kegiatan konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini
perlu dilakukan agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis tertentu akibat kebakaran ataupun
pembakaran hutan. Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari
suksesi hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi yang rapat.
Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran rendah sampai kaki
pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India. Suku Dipterocarpaceae merupakan
bagian dari kayu keras yang paling berharga di dunia. Selama beberapa dekade, hutan-hutan
Dipterocarpaceae di Indonesia sering mengalami kebakaran baik yang disengaja maupun yang
tidak disengaja yang berdampak langsung dengan hilangnya sejumlah spesies flora dan fauna
tertentu. Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies yang
memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya
obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang
untuk selamanya. Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin
mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan
mempertahankan dirinya secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang
penting.

3. RIAU

3.1 Penyebab
Kebakaran lahan gambut yang terjadi di Kepulauan Riau dan beberapa daerah di
Kalimantan itu disebabkan oleh pola cuaca yang tidak teratur, jika siang hari panas, malamnya
turun hujan deras.

Menkokesra Agung Laksono mengatakan, hal itu tidak dialami oleh Indonesia saja. Negara-
negara eropa seperti Jerman dan Hungaria juga mengalaminya. Kondisi seperti ini biasanya
terjadi di bulan Juni hingga Agustus.Untuk itu Kemenkokesra mengadakan rapat dengan BMKG
terkait masalah abu ini. "Hasil rapatnya sore ini adalah kami sampaikan bahwa analisis BMKG
menunjukkan ada gangguan atmosfir hingga munculnya tekanan rendah," kata Agung
Laksono dalam jumpa pers di kantornya, Rabu (19/6).

Untuk mengatasi beberapa kebakaran di hutan itu, Kementerian Kehutanan mengerahkan


tim Manggala agni untuk memadamkan titik-titik api. Politikus Golkar ini menjelaskan per
tanggal 18 Juni, titik api di Kepulauan Riau mencapai 148 titik. Sedangkan di Malaysia ada 8
titik. "Jumlah luas yang terbakar di Riau sekitar 850 hektar lahan gambut dan yang behasil
dipadamkan 650 hektar. Jumlah personel Manggala Agni ada 105 orang," ujarnya.

Selain itu tim modifikasi cuaca telah disiagakan untuk pemadaman api dari udara. Pihak
kepolisian juga telah bersiap menyelidiki jika adanya kemungkinan kesengajaan dalam
kebakaran tersebut. "Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa akan bertemu dengan pihak
Singapura untuk membahas masalah ini pada 20 Juni," ujarnya.

3.2 Intensitas

Pantauan sebaran titik api (hotspot) di Riau dari Satelit NOAA18 sejak Selasa (11/02/2014)
hingga pagi menunjukkan peningkatan. Di Riau tercatat 243 titik api, sedangkan di Aceh 75 dan
Sumut 74 titik api. Hal ini dikatakan Sutopo Purwo Nugroho selaku Kepala Pusat Data Informasi
dan Humas BNPB, dalam pesan singkatnya, Rabu (12/02/2014).

Bulan Februari hingga Maret 2014 diperkirakan di ketiga wilayah tersebut akan makin kering
karena hujan di bawah normal menjadi kering. Kondisi ini memicu pembakaran lahan dan hutan
makin marak. Sebagian besar titik api berada di sekitar jalan atau dekat dengan permukiman.
Ini menunjukkan bahwa kebaran tersebut disengaja atau dibakar, baik oleh individu maupun
kelompok. Memang, 99% penyebab kebakaran lahan dan hutan di Indonesia adalah dibakar.

Kepala BNPB, Syamsul Maarif, telah memerintahkan semua aparat, khususnya di daerah
harus tegas menegakkan hukum. Sudah banyak peraturan yang dibuat terkait kebakaran lahan
dan hutan. Tetapi tidak dijalankan. Padahal kunci utama pengendalian kebakaran lahan dan
hutan adalah di penegakan hukum.

Sebaran titik api di beberapa wilayah adalah:


1. Riau = 243,
2. Aceh = 75,
3. Sumut = 74,
4. Sumbar = 40,
5. Jambi = 23,
6. Kalbar = 9,
7. Kalteng = 2,
8. Sumsel, Babel, Bengkulu, Kalsel = 1.

Hotspot pada kawasan konservasi:


1. 1 hotspot di TN Tesso Nilo Riau,
2. 2 hotspot di TN Gunung Leuser Sumut,
3. 1 hotspot di TN Gunung Leuser Aceh,
4. 1 hotspot di TN Berbak Jambi,
5. 5 hotspot di SM Giam Siak Kecil Riau,
6. 1 hotspot di SM Dangku Sumsel.(dna|ams)

3.3 Dampak

Wakil ketua Umum Bidang Ekonomi dan Kerjasama Internasional, Kadin Provinsi Riau,
Viator Butar Butar, mengatakan, dampak kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan telah
mengakibatkan Riau mengalami kerugian secara ekonomi sebesar Rp10 Triliun lebih.

"Kerugian sebesar Rp10 Triliun tersebut muncul antara lain akibat penurunan produktivitas
usaha, mobilisasi barang dan orang melalui transportasi darat, udara, dan laut tertunda dan
terganggu akibat kabut asap itu," kata dia di Pekanbaru, Rabu.

Pemerintah Provinsi Riau menetapkan status tanggap darurat kabut asap dengan kejadian
luar biasa akibat kebakaran hutan dan lahan untuk membuka lahan baru bagi perkebunan
kelapa sawit. Sementara itu Riau sudah masuk dalam kejadian luar biasa karena tujuh
kabupaten/kota sudah menyatakan daerah mereka dalam status tanggapan darurat. Menurut
dia, jika dihitung PDRB Riau setiap tahun yang mencapai Rp342,69 triliun lebih itu maka
diperkirakan sebulan saja terganggunya aktivitas usaha sebagai dampak kabut asap maka 30
persen dari total produktivitas dikali dengan Rp342,69 triliun PDRB Riau ditemukan kerugian
sebesar Rp10 triliun itu.

Selain itu, Kondisi ini menyebabkan jarak pandang di Riau hanya 1 km. Bahkan pada
Selasa (11/2) jarak pandang kurang dari 500 m. Selain akibat kabut asap juga bercampur
dengan awan fog yakni awan di permukaan tanah sebagai akibat penguapan yang tidak
menghasilkan hujan dan awan-awan tersebut turun hingga permukaan. Akibatnya jadual
penerbangan mengalami keterlambatan. Kemarin 3 penerbangan yang terlambat hingga 3 jam,
yaitu Garuda Indonesia, Lion Air dan Air Asia.

Gambar hutan Australia :


Gambar hutan Kalimantan :
Gambar hutan riau :

Anda mungkin juga menyukai