Anda di halaman 1dari 29

BAB

PROSES PERKEMBANGAN
SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA
MANUSIA PURBA

Konsep
berburu dan
meramu
bertani
perundagian
teknologi
sistem
kepercayaan
difusi budaya
Pada Bab ini, kita akan mempelajari :
Ciri-ciri social, budaya, dan
ekonomi perkembangan kehidupan
masyarakat berburu sampai
munculnya masyarakat pertanian
di Indonesia
Perkembangan teknologi dan
sistem kepercayaan awal
masyarakat Indonesia

0
BAB PROSES PERKEMBANGAN
SOSIAL, EKONOMI, DAN BUDAYA
8
MANUSIA PURBA

KOMPETENSI DASAR
2.1 Kemampuan menganalisis kehidupan awal masyarakat di Indonesia

INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI


Menjelaskan perkembangan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya
(teknologi dan system kepercayaan) awal masyarakat Indonesia.
Mengklasifikasikan perkembangan kehidupan masyarakat prasejarah
Menganalisis ciri-ciri ekonomi, sosial dan budaya awal masyarakat
Indonesia.

A. CIRI-CIRI SOSIAL, BUDAYA, DAN EKONOMI PERKEMBANGAN


KEHIDUPAN MASYARAKAT BERBURU SAMPAI MUNCULNYA
MASYARAKAT PERTANIAN DI KEPULAUAN INDONESIA

Bagaimanakah kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya nenek moyang


kita jutaan tahun yang lalu? Secara umum ada kemajuan yang berkelanjutan terhadap
kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat kita. Kehidupan masyarakat
yang sederhana akan terus diperbaiki sejalan dengan perkembangan kemampuan
yang dimilikinya. Gambaran umum kehidupan manusia prasejarah dan
perkembangan budayanya menurut konsepsi baru sosial ekonomi (R.P. Soejono)
adalah sebagai berikut: (1) Masa berburu dan meramu, (2) Masa bercocok tanam,
dan (3) Masa perundagian.

1
1.Masa Berburu dan Mengumpulkan
Makanan
Masa berburu dan mengumpulkan makanan (meramu) merupakan
tahap awal perkembangan kehidupan manusia purba. Kehidupan manusia masih
sangat sederhana. Kehidupan masyarakat belum berkembang. Aktivitas kehidupan
sehari-hari sekadar untuk bertahan hidup dari ancaman di sekitarnya. Menurut R.P.
Soejono (1981) dijelaskan bahwa masa berburu dan mengumpulkan makanan dibagi
menjadi 2 periode, yaitu periode berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
sederhana dan periode berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut.

Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan


Tingkat Sederhana
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana disebut
juga dengan tradisi paleolitik. Penamaan tradisi palaeolitik didasarkan pada alat-alat
yang digunakan manusia pada masa itu yang didominasi alat dari batu. Tradisi ini
berlangsung selama kala Pleistosen ( 3 juta tahun). Bagi penganut konsepsi
teknologis, periode ini disebut juga dengan nama Masa Palaeolitikum (Masa Batu
Tua). Secara umum ciri-ciri kehidupan masyarakat masa berburu dan mengumpulkan
makanan tingkat sederhana adalah sebagai berikut :

Ciri-Ciri Sosial
Jejak-jejak kehidupan awal manusia di kepulauan Indonesia dimulai
pada kala Pleistosen. Berdasarkan pengujian radioisotopic diperoleh informasi bahwa
sejak 1,9 juta tahun yang lalu telah berkembang kehidupan awal manusia. Pada masa
itu telah ada kelompok manusia dari jenis Pithecanthropus mojokertensis. Dalam
waktu yang bersamaan, ada kehidupan manusia jenis Meganthropus palaeojavanicus.
Hubungan keduanya belum dapat dipatikan karena keterbatasan temuan fosil
Meganthropus. Mengingat ciri-ciri fisik Meganthropus lebih primitif dari dari
Pithecanthropus, maka dapat disimpulkan bahwa Meganthropus telah berkembang
lebih dahulu sebelum jenis Pithecantropus (Homo erectus).

2
Kedua jenis manusia di atas merupakan pendukung masyarakat
berburu dan mengumpulkan makanan yang paling awal. Dalam perkembangan
berikutnya, hiduplah manusia yang memiliki ciri fisik lebih maju. Pada kala
Pleistosen Tengah (1 juta 200 ribu tahun yang lalu) berkembang manusia jenis
Homo erectus yang lebih maju, seperti Pithecanthropus erectus yang ditemukan di
Trinil, Sangiran, Sangiran, Patiayam, dan Kedungbrubus. Populasi manusia Homo
erectus diperkirakan lebih banyak dari pada pendahulunya.
Pada kala Pleistosen Atas telah berkembang manusia yang lebih maju
lagi, yaitu manusia jenis Pithecanthropus soloensis (Homo soloensis) dan Homo
wajakensis. Kedua spesies yang terakhir ini memiliki ciri-ciri fisik Homo sapiens
yang primitif. Hal ini memberi petunjuk bahwa pada akhir kala Pleistosen Atas (200
ribu sampai 10 ribu tahun yang lalu) telah berkembang kehidupan manusia yang
menyerupai jenis manusia Homo sapiens. Sayangnya, sampai saat ini spesies Homo
sapiens pada kala Pleistosen hanya ditemukan di Wajak. Informasi yang dapat
diperoleh dari jenis manusia inimasih sangat terbatas.
Manusia-manusia itu diperkirakan hidup berkelompok dalam jumlah
yang kecil antara 10-15 orang. Mereka hidup berpindah-pindah (nomaden) dari
tempat yang satu ke tempat lain yang cukup tersedia makanan. Perpindahan ini
mengikuti ketersediaan makanan dari alam (migrasi binatang dan siklus tumbuhan).
Karena tidak ada bukti arkeologis tentang tempat tinggal, para ahli menduga mereka
hidup di alam terbuka atau gua-gua alam. Mereka akan memilih daerah-daerah yang
dekat dengan sumber air.
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sangat pentingnya dalam upaya
mempertahankan hidup. Bukti arkeologis belum memberi informsi tentang adanya
pembagian kerja secara jelas. Meskipun demikian diperkirakan pembagian kerja
secara tidak langsung terjadi berdasarkan perbedaan seks. Kaum laki-laki bertugas
mencari makan dengan berburu binatang, sedang kaum perempuan mengasuh anak
dan mengumpukan makanan.

3
Ciri-Ciri Ekonomi
Pada masa awal kehidupan manusia purba, ketergantungan pada alam
sangat tinggi. Faktor alam, seperti iklim, kesuburan tanah, keadaan binatang buruan,
amat berpengaruh dan menentukan cara hidup mereka sehari-hari. Pada kala
Pleistosen manusia hidup dari berburu (hunting) dan meramu (food gathering).
Mereka hidup dari kemurahan alam dalam menyediakan sumber makanan. Berburu
binatang di hutan, menangkap ikan, dan mengumpulkan makanan dari alam (food
gathering) merupakan ciri kehidupan ekonomi manusia purba. Pada kala Pleistosen,
alam menyediakan makanan, seperti hewan, tumbuhan ,dan air dalam jumlah cukup.
Berdasarkan penemuan arkeologis fosil hewan dapat diperoleh gambaran hewan
buruan pada kala Pleistosen. Hewan-hewan yang tergolong Fauna Jetis (Pleistosen
Bawah), Fauna Trinil (Pleistosen Tengah), dan Fauna Ngandong (Pleistosen Atas)
merupakan sumber makanan bagi manusia masa berburu dan mengumpulkanan
makanan tingkat sederhana.
Walaupun alam menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup,
tantangan kehidupan manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan
tingkat sederhana sangatlah berat. Peristiwa melelehnya es, perubahan iklim, turun
naiknya air laut, munculnya daratan-daratan baru karena proses geologi, letusan
gunung api, timbul dan tenggelamnya sungai dan danau akan mempengaruhi
kelangsungan dan cara hidup manusia pada masa berburu dan meramu tingkat
sederhana. Tantangan yang berat ini harus dihadapi oleh manusia masa itu, sementara
manusia sedang mengalami perkembangan fisik dan akal budinya. Jika tidak mampu
menghadapi atau menyesuaikan dengan perubahan alam tersebut, maka kelompok
manusia itu tentu akan punah.
Ciri-Ciri Budaya
Ciri-ciri budaya manusia masa berburu dan mengumpulkankan
makanan tingkat sederhana terbatas pada konteks teknologi (pembuatan alat
kehidupan berburu dan meramu). Seperti yang diuraikan pada ciri ekonomi,
tantangan alam yang sangat berat harus dihadapi manusia yang memiliki kemampuan
sangat terbatas. Manusia menggunakan kelebihan akalnya untuk menciptakan alat
untuk memperoleh makanan. Alat ini sangat penting dalam upayanya
mempertahankan kehidupannya.

4
Alat-alat keperluan hidup dibuat dengan memanfaatkan bahan yang
disediakan oleh alam. Alat dari batu, tulang, tanduk, dan kayu dibuat sangat
sederhana, sekadar untuk memenuhi segi praktis dan tujuan penggunaannya saja.
Mereka hanya mempertimbangkan bagaimanakah dengan alat itu dapat
mempertahankan kehidupannya. Alat-alat itu antara lain tradisi kapak perimbas,
tradisi serpih, alat-alat dari tulang, dan tanduk. Penjelasan ini dapat kita lihat pada
bab ke-7 tentang hasil budaya manusia purba.
Hasil budaya lain yang dihasilkan oleh manusia masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat sederhana adalah pembuatan api. Pengetahuan
tentang api mungkin diperoleh melalui alam, misalnya percikan gunung api. Karena
api ternyata memiliki manfaat untuk memasak makanan, menerangi lingkungan, dan
mengusir binatang buas, maka manusia purba mulai memanfaatkan api tersebut.
Suatu saat mereka dapat menghasilkan api dengan membenturkan 2 batu sehingga
menimbulkan percikan api. Cara tersebut dapat kita lihat ketika suku Dani di Irian
(Papua) membuat api untuk memasak ubi dan babi dalam rangka pelaksanaan
upacara adat.
Bukti adanya pemanfaatan api dapat diperoleh dari fosil tumbuhan
yang terbakar bersamaan ditemukannya manusia Pithecanthropus erectus di Trinil
dan Sangiran. Fosil tumbuhan yang terbakar itu mungkin sisa tanaman yang terbakar
akibat bencana gunung meletus pada kala Pleistosen. Dalam waktu yang bersamaan
dengan kehidupan manusia Pithecanthropus erectus, api telah dikenal oleh manusia
jenis yang sama yang ditemukan di Cina. Sisa-sisa tulang binatang yang terbakar
ditemukan bersamaan dengan penemuan tradisi kapak perimbas (chopper chopping
tool).
Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Tingkat Lanjut
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut disebut juga
dengan tradisi epi-paleolitik. Penamaan tradisi epi-palaeolitik menandai akhir dari
masa batu tua atau peralihan dari suatu periode. Tradisi ini berlangsung selama kala
Pos-Pleistosen atau pada awal kala Holosen ( 10.000 tahun yang lalu). Bagi
penganut konsepsi teknologis, periode ini disebut juga dengan nama Masa

5
Mesolitikum (Masa Batu Tengah). Secara umum ciri-ciri kehidupan masyarakat masa
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lamjut adalah sebagai berikut :

Ciri-Ciri Sosial
Jenis manusia pendukung masa ini adalah manusia jenis
Austromelanesoid dan Mongoloid. Hal ini dapat dibuktikan dari temuan rangka
manusia yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Ras Austromelanesoid dapat
ditemukan di Sumatra Utara, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara. Sedangkan, ras
Mongoloid dapat ditemukan di Sulawesi Selatan. Kehidupan sosialnya masih seperti
pada masa sebelumnya, walaupun telah mengalami perkembangan. Kemajuan dalam
menggunakan akal membuat kehidupan sosialnya semakin berkembang.
Mereka mulai hidup dan bertempat tinggal di gua-gua alam ataupun
gua-gua payung (abris sous roche) dan di pantai (kjokkenmoddinger) walaupun tidak
secara menetap. Manusia tetap hidup mengelompok dalam jumlah yang hampir sama
dengan masa sebelumnya. Mereka memilih tempat yang tidak jauh dari sumber air
dan makanan. Bukti arkeologis menunjukkan adanya pergeseran tempat tinggal dari
pedalaman ke tepi pantai. Mereka semi nomaden, artinya mereka telah bertempat
tinggal dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu sampai sumber makanan
tidak lagi mencukupinya. Bukti adanya kehidupan yang menetap dapat dilihat dari
sisa-sisa kerang yang membentuk bukit kerang yang dinamakan kjokkenmoddinger
(Sampah dapur dari sisa-sisa kulit kerang).
Dengan kehidupan yang semi menetap, pembagian kerja secara tidak
langsung berdasarkan perbedaan seks masih terus dilanjutkan. Kaum laki-laki
bertugas mencari makan dengan berburu binatang dan mencari ikan, sedang kaum
perempuan mengasuh anak dan mengumpukan makanan.

Ciri-Ciri Ekonomi
Corak kehidupan yang menggantungkan diri pada alam masih terus
dilanjutkan. Berburu, mencari ikan, mengumpulkan kerang merupakan kegiatan
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Pemanfaatan Ketika mereka
hidup di tepi pantai Pada masa ini diperkirakan telah dikenal upaya bercocok tanam
yang sederhana terutama menanam ubi. Pengetahuan menanam ubi mungkin

6
diperoleh secara tidak sengaja. Ketika sisa ubi yang dibuang ternyata dapat tumbuh
dan menghasilkan ubi lagi, maka manusia mencoba untuk menanamnya secara
sengaja.

Ciri-Ciri Budaya
Kehidupan manusia terus berkembang pada masa berburu dan
mengumpulkan makanan tidak lanjut. Perkembangan ini nampak pada peninggalan
budayanya. Peninggalan budaya tidak terbatas pada pembuatan alat kehidupan
sehari-hari tetapi juga menyangkut seni lukis, kepercayaan, dan penguburan mayat.
Alat-alat dari batu, tulang, dan tanduk terus dikembangkan. Alat-alat yang dihasilkan
pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut antara lain kapak
genggam Sumatra, alat serpih-bilah, dan alat-alat dari tulang. Hal ini dapat kita lihat
dari penemuan arkeologis di gua remis Sumatra Utara, kebudayaan Toala di Sulawesi
Selatan, kebudayaan Sampung (Sampung Bone Culture) di Jawa Timur, dan
kebudayaan Toge di Flores.
Kehidupan yang semi-menetap menyebabkan adanya waktu luang di
sela-sela usaha berburu dan meramu. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk
mencurahkan ekspresi seni. Bukti arkeologis di gua-gua Sulawesi Selatan
menunjukkan adanya perkembangan seni lukis pada masa berburu dan
mengumpulkankan makanan tingkat lanjut. Budaya ini menunjukkan adanya
perkembangan kehidupan manusia yang tidak hanya terpusat pada masalah
penenuhan kebutuhan pokok saja.
Kepercayaan terhadap kekuatan ghaib di luar diri manusia mulai
dikenal pada masa ini. Lukisan-lukisan dinding gua
Fact File dan karang di Sulawesi Selatan, kepulauan Seram, Kei,

H.W.F. Saggs dalam dan Irian tidak hanya bersifat estetis semata tetapi
makalahnya yang berjudul Two mengandung unsur relegius. Hal ini nampak pada
Revolusions mengidentifikasi
ciri-ciri kehidupan manusia bentuk-bentuk lukisan dan pemilihan warna yang
masa palaeolitik antara lain : dianggap sakral. Bentuk lukisan yang mengandung
berburu dan meramu sebagai
dasar kehidupan ekonominya, nilai magis, misalnya cap tangan dengan jari yang
mereka mengelompok antara tidak lengkap, lukisan perahu, lukisan binatang yang
35-50 orang, mengeksploitasi
berbagai tanaman dan binatang,
dianggap sebagai awal dari pemujaan binatang
berpindah-pindah mengikuti
perpindahan binatang,
persamaan kedudukan laki-laki 7
dan perempuan, serta tidaka
kekeyaan pribadi.
(totemisme), dan gambar-gambar bagian tubuh manusia. Penggunaan warna juga
memiliki makna magis (merah, putih, dan hitam). Warna-warana ini mengandung
arti kekuatan atau simbol kekuatan untuk menolak roh-roh jahat.

2.Masa Bercocok Tanam


Masa bercocok tanam merupakan lanjutan dari masa berburu dan
meramu. Kehidupan manusia telah berkembang pesat jauh melebihi masa
sebelumnya. Masa ini berlangsung pada kala Holosen. Menurut R.P. Soejono (1981)
dijelaskan bahwa masa bercocok tanam di Indonesia dibagi menjadi 2 periode, yaitu
periode tradisi neolitik dan tradisi megalitik atau kultus nenek moyanng. Ciri-ciri
kehidupan kedua periode tersebut adalah sebagai berikut :

Tradisi Neolitik
Menurut konsepsi teknologis, masa bercocok tanam juga disebut masa
Neolitikum (Masa Batu Baru). Masa bercocok tanam merupakan masa yang sangat
penting dalam keseluruhan proses kehidupan manusia. Masa ini lahir melalui proses
yang panjang dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang semakin sulit. Mereka
menyadari bahwa akhirnya alam memiliki keterbatasan dalam menyediakan
kebutuhan pokok, sementara populasi manusia terus bertambah. Dua hal yang sangat
penting yang menandai perubahan cara hidup dari masa sebelumnya adalah
pembudidayaan tanaman dan penjinakan bintang. Perubahan itu membawa
perubahan yang luar biasa pada kehidupan manusia. Masa bercocok tanam ini sering
disebutnya sebagai Revolusi Neolitik, karena kegiatan-kegiatan yang dilakukan
selama masa bercocok tanam menunjukkan adanya perubahan cara hidup yang
kemudian mempengaruhi perkembangan hidup ekonomi, sosial, dan budaya manusia
selanjutnya.

Ciri-Ciri Sosial
Manusia pendukung masa bercocok tanam belum diketahui secara
pasti di Indonesia karena bukti arkeologis terlalu sedikit. Untuk mengisi kekosongan
manusia pendukung masa bercocok tanam, kita dapat memperhatikan sisa-sisa
manusia dari masa bercocok tanam (neolitikum) di Thailand, Vietnam, dan Malaysia.

8
Penemuan rangka manusia dari situs Ban Kao (2000 500 SM) menunjukkan ciri-
ciri ras Mongoloid, seperti bentuk kepala semakin lebar, muka lebar, dan bentuk
giginya. Ciri yang sama juga ditemukan pada situs-situs Quynh Van dan Bac Son di
Vietnam. Sementara itu, temuan sisa manusia di gua Cha, Kelantan, Malaysia
menunjukkan ciri campuran antara ras Austromelanesoid dan ras Mongoloid.
Kondisi yang sama diharapkan hampir sama dengan manusia yang
mendiami kepulauan Indonesia pada masa bercocok tanam. Kesimpulan ini
mendekati kebenaran karena pada masa sesudahnya ciri-ciri Mongolid sangat
dominan di Indonesia bagian barat. Sementara itu, manusia yang mendiami wilayah
kepulauan Indonesia bagian timur lebih dominan dari ras Austromelanesoid.
Pada masa bercocok tanam manusia sudah hidup menetap. Kepadatan
penduduk semakin meningkat dan diperkirakan 2 oran per km2. Anak menjadi bagian
yang penting dalam hidup menetap karena tenaga produktif sangat membantu dalam
pekerjaan yang semakin kompleks. Jumlah anak setiap keluarga akan semakin
banyak dibandingkan dengan masa sebelumnya. Populasi penduduk yang sekain
bertambah menyebabkan adanya penumpukan sampah di satu tempat. Wabah
penyakit dimungkinkan telah terjadi pada masa bercocok tanam karena kepadatan
penduduk dan pola penebangan hutan untuk perkampungan.
Menggambarkan kembali bentuk tempat tinggal dan pola
perkampungan amat sulit karena tidak ada bukti arkeologis yang sampai kepada kita.
Untuk mengatasi kendala itu, kita dapat menggunakan teori pola perkampungan awal
yang dikemukakan oleh antropolog Amerika Gordon R. Willey. Berdasarkan teori
Pola Perkampungan Masa Prasejarah dikatakan bahwa pola perkampungan masa
prasejarah ditentukan oleh faktor fisik (alam) dan faktor ekonomi. Dari kedua faktor
ini diperkirakan pola perkampungan masa bercocok tanam dibangun di daerah yang
dekat dengan sumber air dan ladang-ladang mereka. Bentuk rumah diperkirakan
seperti bentuk rumah yang masih dikembangkan oleh suku-suku di pedalaman Irian
berupa bulatan-bulatan dengan atap dari daun yang menyentuh tanah. Dalam
perkembangan berikutnya, mereka baru membangun rumah tiang/panggung.
Kehidupan menetap dalam sebuah perkampungan kecil membuat
mereka harus mengatur tata kerja kelompok dalam hidup kebersamaan. Pembagian
kerja antara laki-laki dan perempuan diatur dengan dasar untuk kepentingan bersama.

9
Gotong royong untuk pekerjaan tertentu, seperti membuat rumah, membakar hutan,
menabur benih, memetik hasil panen, dan kegiatan menangkap ikan, nampaknya
telah dikenal pada masa ini. Pola kepemimpinan desa diperkirakan telah dikenal dan
dijabat oleh mereka yang tua dan berwibawa. Tradisi ini melahirkan sistem primus
inter pares. Tradisi menghormati orang yang lebih tua dan pimpinan merupakan
salah satu faktor penting dalam perkembangan kehidupan sosial selanjutnya.
Dengan mulai dikenalnya bercocok tanam, maka ada dua yang sangat
penting dalam hubungannya dengan pertumbuhan peradaban, yaitu telah adanya
kehidupan yang menetap dengan pola aturan yang semakin kompleks dan
tersedianya waktu luang di antara 2 musim tanam. Kehidupan yang menetap telah
melahirkan ikatan dengan tempat tinggal dan ikatan sosial antara individu dan
kelompok yang lebih luas. Sementara waktu luang memberi keempatan manusia
untuk berkreasi menghasilkan benda-benda budaya yang sekain maju.
Ciri-Ciri Ekonomi
Secara ekonomis, manusia telah berangsur-angsur meninggalkan
kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan. Kehidupan bercocok tanam telah
mengubah sifat food gathering menjadi food producing. Manusia telah mampu
membudidayakan tanaman pangan terutama ubi-ubian dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Penjinakan binatang tertentu diperkirakan telah dilakukan oleh
manusia masa ini. Sejalan dengan melimpahnya hasil pertanian dimungkinkan
adanya sistem perdagangan secara barter. Dalam perkembangannya komoditas
dagangan tidak terbatas pada hasil pertanian tetapi juga hasil kerajinan tangan
lainnya, seperti perhiasan dan gerabah. Penggunaan jalur air sebagai sarana
perdagangan memungkinkan terjadinya distribusi barang semakin luas.
Tidak selamanya daerah yang ditempati merupakan daerah yang
subur. Alam yang berbatu akan menghasilkan industri lokal yang menghasilkan alat-
alat kerja untuk kepentingan masyarakat. Kegiatan ini akan melahirkan mata
pencaharian baru pada masyarakat bercocok tanam. Spesialisasi kerja mulai
terbentuk pada masa becocok tanam.

10
Ciri-Ciri Budaya
Semakin berkembangnya kehidupan manusia, kebuadayaan yang
diciptakan juga semakin berkembang. Pada masa bercocok tanam manusia tidak
hanya mengembangkan budaya fisik dalam bentuk alat-alat kehidupan sehari-hari
tetapi juga budaya spritual. Hasil-hasil budaya yang bersifat fisik adalah sebagai
berikut :

Beliung Persegi
Beliung persegi merupakan alat batu yang paling menonjol dan
menjadi salah satu ciri khas masa bercocok tanam. Beliung persegi digunakan
sebagai alat untuk bercocok tanam (berfungsi sebagai pacul saat ini). Sesuai
dengan namanya beliung persegi berbentuk memanjang dengan penampang
lintang persegi. Seluruh bagiannya diupam (diasah) secara halus dengan bidang
tajaman yang dibuat miring. Berdasarkan bukti arkeologis, beliung persegi
memiliki variasi bentuk yang kemudian menjadi nama dari beliung persegi
tersebut, misalnya belincung, beliung bahu, beliung tangga, beliung atap, dan
beliung biola, dan beliung penarah. Variasi-variasi merupakan hasil pengaruh
dari beliung persegi yang berkembang di daratan Asia.
Penemuan beliung persegi terpenting di Indonesia adalah di
Kalumpang, Sulawesi (Van Stein Callenfels, A.A. Cense, H.R. van Heekeren),
Kedunglembu, Banyuwangi (R.P. Soejono), dan beberapa daerah di Bogor,
Tangerang, Purwakarta, serta Bali.

Kapak Lonjong
Kapak lonjong berbentuk lonjong dengan pangkal agak runcing
dan lebar pada bidang tajamannya. Tajaman kapak lonjong berbentuk simetris
karena diasah dua arah. Hal inilah yang membedakan dengan beliung persegi
yang tajamannya diasah satu sisi sehingga tidak pernah dicapai bentuk tajaman
yang simetris. Benda ini umumnya sebagai alat pertanian, tetapi untuk yang
berbentuk kecil diduga untuk benda wasiat.
Tradisi kapak lonjong memiliki daerah penyebaran yang sangat
terbatas di Indonesia bagian timur seperti Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores,

11
Maluku, Leti, Tanimbar, dan Irian. Berdasarkan penelitian uji-radioisotopic
terhadap kapak lonjong yang ditemukan digua Niah, Serawak diperoleh
penanggalan absolut 8.000 tahun yang lalu. Umur kapak lonjong ini
diperkirakan lebih tua daripada beliung persegi.
Seperti halnya beliung persegi, kapak lonjong juga ditemukan di
berbagai situs Asia daratan. Persebaran kapak lonjong dikaitkan dengan
persebaran kapak lonjong Asia daratan. Von Heine Geldern membuat hipotesis
tentang persebaran beliung persegi dan kapak lonjong yang dikaitkan dengan
proses migrasi bangsa-bangsa Asia daratan ke kepulauan Nusantara pada masa
bercocok tanam.

Alat-Alat Obsidian
Alat obsidian adalah alat yang khusus dibuat dari batu kecubung
(obsidian). Beberapa ahli, seperti Van Stein Callenfels. Von Koenigswald, dan
Van der Hoop menyebutnya sebagai bentuk mikrolit walaupun bentuknya tidak
geometris. Terhadap alat-alat obsidian ini, perdebatan antara para ahli tidak
hanya terbatas pada penamaan saja, tetapi juga menyangkut asal periodenya.
Von Heine Geldern dan Van Heekeren menyatakan bahwa alat-alat obsidian
merupakan alat dari masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut.

Mata Panah
Seperti halnya alat obsidian, mata panah juga memiliki ciri masa
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut. Mata panah dimasukkan
dalam budaya masa bercocok tanam karena ditemukan bersamaan dengan
gerabah, beliung persegi, ataupun benda-benda dari logam.
Mata panah banyak ditemukan di Jawa Timur dan Sulawesi
Selatan. Di Jawa Timur, mata panah banyak ditemukan di Sampung, Tuban,
Bojonegoro, Besuki, dan Punung. Di Sulawsi Selatan ditemukan di daerah
bekas budaya Toala, Maros sehingga mata panah Sulawesi Selatan sering juga
disebut dengan Lancipan Maros. Mata panah Jawa Timur biasanya berbentuk
segi tiga dengan bagian depan bersayap dan cekung. Penyiapan pengupaman

12
dilakukan sangat baik. Hal ini berbeda dengan mata panah di Maros yang
penyiapan pembuatan masih kasar dan tajaman bergerigi.
Bebrapa ahli, seperti Van Stein Callenfels, Van Heekeren, dan
Von Heine Geldern mencoba untuk menghubungkan mata panah ini dengan
pengaruh asing terutama Jepang yang dianggap memiliki persamaan dengan
mata panah yang ditemukan di Sulawesi Selatan. Penelitian yang terakhir
mencoba menghubungkan mata panah ini dengan budaya yang berkembang di
Australia Utara.

Gerabah
Gerabah merupakan ciri budaya yang hanya berkembang sejak
masa bercocok tanam. Dari bukti arkeologis di Kedunglembu (Banyuwangi),
Klapadua (Bogor), Serpong (Tangerang), Kalumpang dan Minangaa Sipakka
(Sulawesi Tengah) dapat didisimpulkan bahwa teknik pembuatan gerabah
masih sederhana. Dibandingkan dengan
temuan di Asia daratan yang telah memiliki Fact File
teknik pembuatan secara baik, gerabah H.W.F. Saggs menyatakan ciri-
Indonesia masih menggunakan teknik tatap ciri Revolusi Neolitik yang
menandai perubahan cara hidup
tangan dan tatap batu. berburu menjadi berproduksi
adalah : Wanita memperoleh
kepercayaan untuk
Alat Pemukul Kulit Kayu mengembangkan sistem
pertanian, adanya budi daya
Alat pemukul kulit kayu dibuat
tanaman dan penjinakan hewan,
dari batu dengan bentuk persegi panjang. dan adanya permintaan tenaga
kerja bidang pertanian.
Bagian pemukul kayu dibuah jalur-jalur
cekung yang sejajar. Alat ini banyak
ditemukan di Kalumpang dan Manangaa
Sipakka (Sulawesi Tengah).

Perhiasan
Perhiasan masa bercocok tanam terutama gelang dari batu dan
kulit kerang. Gelang dari batu dibuat dengan memipihkan batu dan memberi

13
lubang pada bidang datar. Gelang dari kerang diberi lubang dengan cara
menggurdi kulit kerang untuk memperoleh lubang seperti gelang dari batu.

Selain alat-alat budaya yang bersifat fisik, pada masa bercocok tanam
juga berkembang budaya rohaniah yang berupa pemujaan terhadap arwah nenek
moyang. Kepercayaan yang menonjol adalah adanya keyakinan bahwa setelah mati
ada kehidupan lain. Pada masa bercocok tanam, masyarakat percaya bahwa roh
orang yang meninggal tidak akan lenyap tetapi memiliki kelanjutan kehidupan secara
jasmaniah. Konsep kepercayaan memperoleh bentuk yang nyata pada masa
megalitik.

Tradisi Megalitik
Tradisi megalitik dikenal sebagai tradisi pembuatan bangunan-
bangunan dari batu besar (mega = besar, lithos = batu). Menurut Von Heine Geldern
disimpulkan bahwa bangunan batu besar dapat dibedakan menjadi 2, yaitu periode
tradisi megalitik tua (dolmen, undakan batu, piramida, dan pelinggih) dan tradisi
megalitik muda (sarkopagus, peti kubur batu, dan bejana batu). Tradisi megalitik tua
berkembang pada masa neolitik, dan tradisi megalitik muda berkembang pada masa
perundagian. Oleh karena itu, tradisi megalitik dalam periodisasi prasejarah
Indonesia dimasukkan dalam tradisi transisi, yakni tradisi yang berkembang pada
akhir masa bercocok tanam (neolitik) tetapi terus berkembang pada awal masa
perundagian.
Secara sosial kehidupan masyarakat pada masa megalitik terus
berkembang. Jumlah masyarakat terus meningkat dan membentuk perkampungan-
perkampungan yang tetap. Pengaturan kemasyarakatan semakin berkembang dengan
diatur nilai-nilai kehidupan yang bersifat religius. Kehidupan ekonomi juga terus
berkembang baik dalam pembiakan hewan atau pemilihan bibit tanaman. Kehidupan
budaya pada masa megalitik berkaitan erat dengan pemujaan terhadap arwah nenek
moyang yang dianggap memiliki pengaruh kuat terhadap kehidupan di dunia.Oleh
karena itu, segala tingkah laku di dunia harus sesuai dengan tuntutan kehidupan
setelah mati.

14
Bangunan-bangunan megalitik dapat ditemukan hampir di seluruh
Indonesia. Tradisi megalitik berhubungan dengan kehidupan setelah mati. Bangunan
yang paling tua berfungsi sebagai kuburan, sedangkan bentuk yang paling muda
berfungsi sebagai pelengkap pemujaan arwah nenek moyang. Bangunan-bangunan
megalit itu adalah :

Menhir
Menhir adalah sebuah batu tegak, kasar, belum digarap yang
sengaja diletakkan manusia di suatu tempat untuk memperingati orang yang
telah mati, media penghormatan nenek moyang, dan tahta kedatangan roh.
Banyak ditemukan di Pasemah, Sumatra Selatan.
Dolmen
Meja batu besar yang difungsikan sebagai tempat sesaji untuk
arwah nenek moyang.
Kubur Berundak
Kubur berundak merupakan kubur batu satu atau lebih yang
diletakkan pada tanah yang telah dibuat susunan berundak-undak.
Peti Kubur Batu
Peti kubur batu adalah kubur berupa 6 buah batu tanpa penutup
atas.
Sarkopagus
Sarkopagus adalah tempat kubur yang terdiri atas wadah dan
tutup dalam bentuk dan ukuran yang sama. Sarkopagus banyak ditemukan di
Bali dengan tipe yang beraneka ragam. Menurut R.P. Soejono, Sarkopagus di
Bali dibedakan menjadi 7, yaitu tipe : Celuk, Angatiga, Boan, Bunutin, Cacang,
Ambyasari, dan Manuaba.
Waruga
Waruga adalah peti kubur yang berbentuk kubus yang ditutup
batu lain berbentuk atap rumah. Waruga banyak ditemukan di Minahasa.

15
Arca
Arca yang dibuat diibaratkan sebagai nenek moyang yang telah
meninggal.

3.Masa Perundagian / Masa Kemahiran


Teknik
Masa perundagian merupakan masa yang mengandung kompleksitas,
baik dari segi materi (bahan) maupun alam pikiran untuk menciptakan budaya
tersebut. Masa perundagian memperlihatkan kemajuan hal penguasaan teknologi,
khususnya seni tuang logam. R.P. Soejono membagi masa perundagian menjadi 2,
yaitu masa seni tuang perunggu dan masa seni tuang besi. Keduanya tidak akan
dipisah dalam pembahasan ciri sosial, ekonomi, dan budayanya karena terbatasnya
penemuan arkeologi benda-benda dari besi.

Ciri-Ciri Sosial
Masyarakat pendukung masa perundagian adalah manusia modern
yang memiliki ras campuran antara ras Austromelanesoid dan ras Mongoloid. Ciri-
ciri manusia dari ras Austromelanesoid yang dominan dapat ditemukan dari sisa-sisa
rangka manusia Anyer Lor, Buni (Jawa Barat), Flores, dan Sangiran. Sedangkan
manusia yang memiliki ras Mongoloid lebih kuat dapat ditemukan melalui sisa-sisa
rangka manusia di Puger (Gilimanuk) dan Melolo (Sumba Timur).
Masyarakat masa perundagian semakin kompleks dengan
perkampungan yang semakin besar. Pembagian kerja semakin ketat dengan
munculnya kaum yang memiliki pekerjaan khusus (undagi). Mobilitas manusia
semakin besar dengan dibuktikan adanya rangka-rangka manusia di pantai. Hal ini
memeprlihatkan adanya proses perpindahan antar wilayah atau pulau melalui sistem
pelayaran. Percampuran populasi semakin terbuka karena adanya kontak manusia
antardaerah yang semakin intensif.
Kegiatan-kegiatan masyarakat dilakukan secara terpimpin oleh tetua
desa. Kehidupan spiritual masyarakat berpusat pada pemujaan kepada arwah nenek
moyang. Upacara-upacara religius semakin penting sehingga setiap kegiatan

16
masyarakat selalu didahului dengan ritual yang sakral. Hal ini dapat dibuktikan
semakin banyak penemuan benda-benda upacara dan tempat-tempat upacara relius
pada masa perundagian.
Usia harapan hidup semakin besar sehingga jumlah penduduk
semakin padat. Kepadatan penduduk diperkirakan telah mencapai 20 orang per km2.
Semakin meningkatnya populasi penduduk berpengaruh terhadap kebersihan
lingkungan sehinnga penyakit semakin banyak. Kondisi menyebabkan tingkat
kematian anak semakin besar walaupun jumlah kelahiran tinggi.

Ciri-Ciri Ekonomi
Kegiatan ekonomi masyarakat bertumpu pada sistem pertanian sawah
dan peternakan. Kegiatan pertanian semakin maju. Penguasaan kemahiran teknik
mampu menghasilkan benda-benda yang bersifat ekonomi. Barang-barang diciptakan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sistem perdagangan semakin berkembang
tidak terbatas pada lingkup lokal tetapi lebih terbuka antardaerah, bahkan mungkin
antarpulau.

Ciri-Ciri Budaya
Ciri-ciri budaya yang menonjol pada masa perundagian adalah
dikuasainya teknik seni tuang logam (peleburan, percampuran, penuangan,
penempaan, dan pencetakan jenis-jenis logam). Alat-alat yang dibuat berasal dari
logam emas, perunggu, dan besi. Alat yang terbuat dari tembaga murni belum
ditemukan dalam penggalian arkeologis di Indonesia.
Penemuan alat-alat dari logam tidak menghilangkan peran alat-alat
dari batu dan gerabah. Alat-alat dari masih digunakan tetapi fungsinya semakin
berkurang. Alat dari batu kadang berubah fungsi menjadi benda pusaka. Begitu juga
dengan gerabah, fungsinya tidak tergantikan. Gerabah mengalami perkembangan
yang lebih baik dari teknik pembuatannya. Fungsi gerabah tidak hanya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi juga dimanfaatkan sebagai benda-benda
upacara.

17
Di Indonesia benda-benda perunggu ditemukan hampir merat, seperti
di Sumatra, Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara, dan Irian. Benda-benda
perunggu yang dihasilkan adalah :
Nekara Perunggu
Nekara adalah benda perunggu yang bentuknya seperti dandang
telungkup dengan memiliki bidang pukul ada di atas, bagian bahu, tengah atau
pinggang yang kecil, dan bagian yang lebih lebar. Di Asia Tenggara dikenal
dengan nama drum. Nekara merupakan benda upacara yang bersifat sakral.
Klasifikasi nekara dilakukan oleh A.B. Meyer yang jumlahnya 6
tipe. Klasifikasi Meyer (M-I sampai dengan M-VI) kemudian disederhanakan
oleh F. Heger. Klasifikasi Heger inilah yang sekarang banyak dianut oleh para
ahli untuk mengklasifikasi jenis-jenis nekara di Asia Tenggara. Di Indonesia
telah ditemukan nekara dengan tipe Heger I dan IV. Nekara lokal juga
ditemukan di Indonesia, yakni nekara jenis Pejeng yang ditemukan di Bali dan
jenis moko yang bentuknya lebih kecil ditemukan di Alor.
Nekara tipe H-I yang memiliki bidang pukul lebar, bahu
cembung, pinggang silindris, dan kaki melebar ini banyak ditemukan di
Sumatra, Jawa, Selayar, Sumbawa, Roti, Kei, dan Irian. Sementara itu, tipe H-
IV yang bidang pukulnya menutup badan, bahu cembung, pinggang besar dan
lurus ke bawah sampai kaki ditemukan di Banten.

Kapak Perunggu
Kapak perunggu banyak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi, Irian, Rote, Jawa Timur, dan Bali. Van Heekeren mengklasifikasikan
kapak perunggu dalam 3 jenis, yaitu kapak perunggu memiliki banyak jenisnya,
antara lain kapak corong (sepatu), kapak upacara, tajak (tembilang). Klasifikasi
ini diperluas oleh R.P. Soejono menjadi 8 tipe berdasarkan bentuknya, misalnya
tipe I (dasar/kapak Makassar), tipe II (ekor burung), tipe III (pahat), tipe IV
(tembilang), tipe V (bulan sabit), tipe VI (jantung), tipe VII (candrasa), dan tipe
VIII (kapak Rote).

18
Bejana Perunggu
Bejana perunggu memiliki 2 tipe, yaitu bejana perunggu
Sumatra dan bejana perunggu Madura.
Patung Perunggu
Patung perunggu ada yang berbentuk manusai dan ada yang
berbentuk binatang. Patung-patung perunggu banyak ditemukan di Riau dan
Bogor.
Perhiasan Perunggu
Perhiasan perunggu yang ditemukan berupa gelang dan cincin.
Pada umumnya perhiasan ini tidak memiliki hiasan, kecuali beberapa perhiasan
yang diiberi pola hias geometris dan binatang.
Senjata Perunggu
Senjata perunggu yang ditemukan adalah ujung tombak, mata
pancing, ikat pinggang, bandul kalung, silinder kalung, dan belati. Benda-
benda ini banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, dan
Flores.

Selain benda dari perunggu juga ditemukan benda dari besi, gerabah,
dan kaca berupa manik-manik. Benda-benda dari besi, seperti : mata kapak, mata
pisai, mata sabit, mata tajak, mata prdang, mata tombak, gelang besi, dan tongkat.
Benda-benda ini ditemukan di Wonosari (Jawa Tengah) dan Besuki (Jawa Timur).
Sementara itu, gerabah masa perundagian telah memiliki bentuk dan cara pembuatan
yang lebih maju dibandingkan dengan gerabah masa bercocok tanam. Berdasarkan
penemuan arkeologis, gerabah di Indonesia dapat dibedakan menjadi 3 komplek
penemuan, yaitu gerabah Buni (Bekasi), gerabah Kalumpang (Sulawesi), dan
gerabah Gilimanuk. Gerabah yang ditemukan ini diyakini para ahli dipengaruhi oleh
gerabah dari Sa Huynh dari Vietnam dan Kalanay dari Philippina.

19
Garis Waktu Prasejarah Indonesia
Pleistos Pleisto Pleistos Pos- Holosen
en sen en Atas Pleistosen
Bawah Tenga
h
Palaeolitikum Mesolitiku Neolitik Megalitiku Logam
m um m
Berburu dan Meramu Berburu Bercoco Kultus Perungg Besi
Tingkat Sederhana dan k tanam Nenek u
Meramu Moyang
Tingkat
Lanjut
1,9 juta 10.000 tahun 10.000 2.000 Transisi 500 - Awal
yang lalu 2.000 500 awal Mas
tahun tahun Masehi ehi
yang lalu yang
lalu
Budaya Pacitanian, Budaya Budaya Budaya Budaya Buda
Ngandong Sampung, kapak Batu Nekara, ya
Toala, dan lonjong besar Gerabah Besi
Toge dan
persegi
Teori Out-Afrika / Pengaruh Pengaru Hipotesis Pengaruh
Multiregional Budaya h penyebar Dongson
Hoa Binh budaya an dari
Bac Son Laut
Tengah

B. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN SISTEM KEPERCAYAAN AWAL


MASYARAKAT INDONESIA

1. Perkembangan Teknologi Masyarakat Prasejarah


Perkembangan teknologi masa prasejarah terutama menyangkut
kemampuan manusia dalam menciptakan alat-alat budaya. Manusia menciptakan alat
budaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Teknologi yang dikembangkan tergantung dari tantangan alam yang dihadapi dan
kemampuan yang dimilikinya. Semakin berat tantangan alam, semakin kreatif
manusia untuk menciptakan alat agar dapat mempertahankan kelangsungan
hidupnya.
Perkembangan teknologi masyarakat parsejarah berlangsung sangat
lambat dari tingkat yang sederhana sampai pada tingkat yang sangat kompleks.

20
Masyarakat prasejarah telah mengembangkan alat mulai dari batu, tulang, tanduk,
gerabah, dan logam. Secara rinci teknologi yang dikuasainya dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Teknologi Pembuatan Alat dari Batu
Alat dari batu merupakan alat yang pertama diciptakan manusia
purba. Mengapa manusia purba memilih batu sebagai bahan membuat alat kehidupan
sehari-hari? Alasan pemilihan batu sebagai bahan untuk membuat alat budaya dapat
diibaratkan ketika kita sedang berkemah. Ketika kita menghadapi kesulitan dalam
menghadapi tantangan alam, kita tentu akan mencari apa saja yang mungkin dapat
digunakan sebagai alat untuk mengatasi masalah tersebut. Manusia purba
memanfaatkan bahan-bahan yang disediakan oleh alam untuk mengatasi kesulitan
dalam berburu atau bercocok tanam.
Bagaimanakah manusia purba membuat alat-alat dari batu tersebut?
Alat-alat batu itu masih digunakan oleh suku-suku pedalaman. Berbagai alat dari
batu, seperti : kapak genggam (hand-axe), kapak penetak (chopping), kapak
perimbas (chopper), dan serpih masih digunakan dalam kehidupannya di samping
alat-alat lain yang masuk kemudian. Perhatikan gambar cara membuat alat batu di
bawah ini! Pada awalnya alat dari batu dibuat dengan cara pemangkasan sederhana
secara langsung dari batu kerakal (batu utuh/inti) atau dari pecahan batu yang
diperoleh dari pembenturan batu-batu besar. Kulit batu masih melekat pada
permukaan batu inti. Berdasarkan bukti arkeologis dapat disimpulkan bahwa
manusia purba menggunakan 3 teknik untuk membuat bidang tajaman, yaitu : (1)
Teknik pukulan batu dengan batu, (2) Teknik pukulan tulang/tongkat pada batu, dan
(3) Teknik penyerpihan dengan tekanan.
Berbagi teknik pemangkasan dimaksudkan untuk memperoleh
ketajaman pada sisi tertentu dari alat batu tersebut. Alat batu yang dihasilkan
memiliki ketajaman satu sisi (monofasial) akibat efek pukulan sebelah. Teknologi
monofasial merupakan ciri pokok teknologi pembuatan alat batu masa berburu dan
meramu.
Sejalan dengan perkembangan evolusi manusia, teknologi pembuatan
alat budaya juga berkembang pesat. Alat serpih-bilah (flakes-blade) merupakan alat
yang dibuat dengan perpaduan teknik lama dan teknik baru. Untuk menghasilkan alat

21
serpih, manusia purba menggunakan dua cara, yaitu membelah batu inti yang
kemudian disebut Teknik Bilah Inti (Teknik Clacton) dan membelah dari batu yang
telah dipersiapkan atau kemudian disebut Teknik Levallois. Teknik pembuatan serpih
dengan Teknik Clacton menghasilkan alat serpih dengan bidang pemukul yang lebar
dan menonjol. Teknik Levallois akan menghasilkan alat serpih yang rapi dengan
menghasilkan faset-faset pada dataran pukulnya.
Teknologi pembuatan alat di atas menjadi dasar dalam membuat alat-
alat batu lainnya yang lebih kompleks. Pada masa berburu tingkat lanjut, alat yang
dibuat diasah (diupam) walaupun masih kasar. Bentuk alat dari batu mencapai tahap
perkembangan yang sangat maju pada masa bercocok tanam. Jika pada masa
plestosen alat-alat dari batu dibuat dengan teknologi sederhana tanpa pengasahan dan
cenderung kasar, tidak halnya dengan masa holosen di mana alat yang dibuat
menggunakan teknologi yang cukup baik dengan pengasahan yang rapi. Teknik
pengasahan yang halus dan rapi inilah yang menandai era masa bercocok tanam.
Alat-alat pertanian yang utama adalah beliung persegi dan kapak
lonjong. Beliung persegi dan kapak lonjong dibuat dengan teknik mengasah yang
halus pada seluruh permukaannya yang berbentuk persegi, kecuali bagian
pangkalnya sebagai tempat ikatan tangkai. Bidang tajamannya dibuat dengan teknik
pengasahan dari ujung permukaan bawah landai sampai permukaan atas. Dengan
cara ini akan diperoleh bentuk tajaman yang miring seperti bentuk tajaman cangkul
dewasa ini. Variasi-variasi bentuk disesuaikan dengan kebutuhan sehingga terbentuk
beliung persegi dengan bahu sederhana, tangkainya seperti tangga, dan ada yang
bentuknya menyerupai biola. Sementara itu, untuk kapak lonjong diasah tajamannya
dari dua arah sehingga menghasilkan bentuk tajaman yang lebih simetris.
Teknologi Pembuatan Gerabah
Apakah di rumah kita masih ada alat-alat yang terbuat dari tanah
lihat? Dapatkah kita menyebutkan alat-alat rumah tangga yang terbuat dari tanah
liat? Gerabah merupakan perkakas rumah tangga yang terbuat dari tanah liat. Sampai
saat ini alat-alat itu tetap dipertahankan walaupun alat-alat dari plastik dan logam
mudah ditemukan di pasaran. Banyak alasan yang menyebabkan alat-alat gerabah
masih tetap bertahan. Bahan untuk membuat gerabah sangat mudah didapatkan di

22
lingkungan sehingga harganya murah. Sebagian masyarakat mempercayai adanya
nilai praktis dan magis dari gerabah sehingga gerabah masih bertahan.
Bagaimanakah cara manusia purba membuat gerabah? Berdasarkan
penemuan arkeologis terbukti bahwa gerabah telah dikenal masyarakat pada masa
bercocok tanam. Hanya saja teknologinya masih sangat sederhana. Tanah liat sebagai
bahan baku diolah sedemikian rupa sehingga dapat dibentuk menjadi alat-alat yang
diinginkan. Alat yang digunakan untuk membuat masih mengandalkan ketrampilan
tangan atau alat tatap batu yang dapat menghaluskan dan membentuk benda menjadi
lebih baik. Gerabah yang dihasilkan tidak menggunakan pola hias. Gerabah polos
dengan pembakaran yang tidak sempurna merupakan ciri gerabah masa bercocok
tanam.
Pada masa perundagian, teknologi pembuatan gerabah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan itu tidak dapat dilepaskan dari
penemuan teknik roda pemutar dan pembakaran yang sempurna. Penggunaan teknik
roda pemutar dikuasai dengan baik ketika hubungan dengan budaya Sa-Huynh di
Vietnam terjadi pada tahun 500 SM. Penggunaan teknik tatap juga berkembang
dengan diberikan pola hias pada gerabah. Ragam hias pola tali dan pola geometris
telah dikenal dengan baik. Goresan-goresan pola hiasan dan pewarnaan semakin
memperindah bentuk gerabah yang dibuat.
Teknologi gerabah di Indonesia pada masa prasejarah dapat
dikelompokkan menjadi 3 besar, yaitu teknologi gerabah Buni, Gilimanuk, dan
Kalumpang. Gerabah Buni terdiri atas 2 jenis, yaitu gerabah warna merah dan
gerabah warna kelabu. Keduanya menggunakan teknik tatap. Dari teknik ini
diperoleh hiasan berupa lingkaran memusat, pola garis sejajar bersilang seperti pola
jaring. Kompleks penemuan gerabah masa prasejarah adalah gerabah Gilimanuk,
Bali. Ciri khas gerabah Gilimanuk adalah tipis dan pembakaran yang lebih sempurna.
Benda-benda gerabah yang ditemukan kebanyakan digunakan sebagai benda bekal
kubur. Kompleks penemuan gerabah yang ketiga adalah kompleks gerabah
Kalumpang, Sulawesi yang dianggap lebih tua dari masa pra-bercocok tanam.

Teknologi Pembuatan Alat dari Logam

23
Beberapa jenis bijih logam sekarang telah ditemukan diberbagai
wilayah di Indonesia. Perkembangan iptek telah mengantarkan bangsa Indonesia
mampu mengolah bijih logam menjadi bahan-bahan dasar industri. Kemampuan
mengolah logam telah dimiliki nenek moyang kita sejak masa prasejarah. Hal ini
dapat dibuktikan adanya temuan arkeologis alat-alat dari logam yang merata di
wilayah Indonesia.
Bagaimanakah cara nenek moyang kita membuat alat-alat dari logam?
Cobalah kalian perhatikan cara pandai besi dalam membuat alat dari logam! Nenek
moyang kita telah menguasai teknologi pembuatan alat dari perunggu dan besi.
Penemuan perunggu seperti nekara, kapak, patung, dan perhiasan sungguh menarik
karena manusia prasejarah telah mampu membuat campuran logam yang lebih rumit
dengan perbandingan tertentu dari berbagai unsur logam (tembaga dan timah).
Teknologi pembuatan alat dari logam yang telah dikuasai masyarakat
prasejarah adalah teknik setangkup (bivalve)dan teknik cetak lilin (a cire perdue).
Apakah perbedaan antara teknik setangkup (bivalve) dan teknik cetak lilin (a cire
perdue)? Teknik setangkup menggunakan cetakan yang terdiri atas 2 bagian yang
dapat ditangkupkan. Bagian atas cetakan diberi lubang untuk menuangkan cairan
logam. Cetakan baru dibuka setelah cairan logam itu mendingin. Jika kita ingin
membuat benda yang berongga di tengah (tidak masif), maka bagian tengah tersebut
diberi isi (inti) yang berupa tanah lempung. Hasil cetakannya akan membentuk
corong atau lubang di tengahnya. Teknik bivalve memberi keuntungan karena
cetakan dapat digunakan berkali-kali.
Teknik yang kedua adalah teknik cetak lilin. Cetak lilin menggunakan
benda alat tiruannya lebih dahulu dari lilin yang berintikan lempung. Bentuk lilin ini
kemudian dihiasi sesuai dengan kebutuhan. Bentuk lilin yang sudah lengkap
kemudian dibungkus dengan tanah liat. Bagian bawah dan atas diberi lubang. Bagian
atas digunakan untuk memasukkan cairan logam, dan bagian bawah digunakan untuk
tempat mengalirnya lilin yang meleleh. Jika sudah mendingin, cetakan dipecah
sehingga terbentuklah benda sesuai dengan cetakan lilin yang dibuatnya. Cetakan ini
hanya dapat digunakan sekali saja.

24
1. Perkembangan Kepercayaan Awal Masyarakat
Prasejarah
Sistem kepercayaan masyarakat prasejarah berkembang sejak masa
berburu dan meramu tingkat lanjut. Sisa-sisa kepercayaan tersebut masih dapat
dijumpai pada masyarakat kita. Apakah di daerah kita ada tempat atau pohon yang
masih dikeramatkan? Mengapa mereka
Fact File
mengkeramatkan benda-benda tersebut? Pengakuan
A.C. Kruyt (1869-1949) melakukan atas kekuatan lain di luar kekuatan manusia
penelitian tentang kepercayaan
lama pada masyarakat Toraja dan
merupakan salah satu sebab manusia menghormati
menyimpulkan bahwa masyarakat benda dan roh tersebut.
purba memiliki kepercayaan
Berdasarkan penemuan arkeologis,
adanya kekuatan ghaib di luar
manusia. Zat halus yang munculnya sistem kepercayaan dapat dilihat pada
menggerakkan alam di dunia ini
lukisan-lukisan di dinding gua atau karang. Pemujaan
disebut sebagai Zielestof. Zat ini
berada pada bagian tubuh totemisme (pemujaan kepada binatang), pemujaan
manusia, binatang, tumbuhan, dan
terhadap pelindung dari gangguan roh jahat,
benda-benda tertentu.
Kepercayaan inilah yang kemudian penghormatan kepada nenek moyang dapat dilihat
melahirkan Animisme dan
dari ekspresi seni lukisnya. Kepercayaan yang
Dinamisme.
demikian itu sejalan dengan pola kehidupan
masyarakat berburu dan meramu. Kekuatan magis di
luar manusia dipercayai dapat mempengaruhi hasil buruannya. Manusia prasejarah
melakukan upacara-upacara ritual agar roh tidak mengganggu atau bahkan dapat
membantunya.
Kepercayaan adanya kekuatan roh atau makhluk halus itu disebut
dengan animisme. Kekuatan-kekuatan roh itu diyakini ada yang berada di pohon,
batu, gunung, sungai, dan pohon-pohon besar. Benda-benda tersebut memiliki
hubungan timbal balik dengan kepentingan kelangsungan hidup manusia. Benda-
benda itu kemudian dianggap memiliki nyawa sebagaimana manusia. Mereka dapat
marah dan dapat pula bersahabat. Agar terjadi harmonisasi dalam hidupnya, manusia
kemudian melakukan ritual pemujaan. Misalnya, gunung meletus dianggap sebagai
kemarahan karena manusia tidak menghormati lagi. Untuk menghidari kemarahan
itu, manusia melakukan ritual pemujaan dengan memberi sesaji. Kepercayaan yang
demkian disebut kepercayaan dinamisme.

25
Konsepsi kepercayaan manusia prasejarah mengalami perkembangan
pada masa bercocok tanam. Masyarakat bercocok tanam percaya bahwa tanah
merupakan kunci kehidupan. Kesadaran pentingnya tanah bagi hidupnya ini
melahirkan konsepsi pemujaan dewi kesuburan. Sebagai wujud penghormatan,
mereka melakukan ritual sebelum dan sesudah panen. Bentuk-bentuk ritual ini terus
berlanjut sampai saat ini pada masyarakat agraris di Indonesia.
Salah satu kepercayaan yang menonjol pada masa bercocok tanam
dan perundagian adalah sikap manusia terhadap alam kehidupan setelah mati.
Manusia prasejarah percaya bahwa saat meninggal, roh seseorang tidak lenyap tetapi
melanjutkan kehidupan di alam lain yang mirip dengan kehidupan di dunia.
Hubungan antara yang hidup dan yang mati masih dapat berlangsung. Kepercayaan
ini kemudian melahirkan sistem penguburan. Untuk bekal kehidupannya, roh harus
dibekali sehingga melahirkan bekal kubur sehingga kelangsungan hidup roh akan
terjamin. Tempat penguburan dibuat tidak jauh dari tempat tinggalnya. Tujuannya
agar roh orang yang mati tidak tersesat dalam perjalanan ke tempat yang akan dituju.
Pada akhir masa bercocok tanam, masyarakat prasejarah percaya
bahwa kehidupan manusia setelah mati tidak mengubah sifat dan kedudukan manusia
selama hidupnya. Seorang yang bermartabat rendah di dunia, akan menjadi rendah
pula di alam sana. Kedudukan di alam sesudah mati hanya dapat diperoleh melalui
pesta-pesta kematian yang puncaknya mendirikan bangunan-bangunan besar. Inilah
yang kemudian melahirkan kepercayaan megalitikum. Menurut Koentjaraningrat
(1985) dijelaskan bahwa dalam ada 5 komponen religi yang dapat dipakai untuk
menjelaskan tentang hakekat kepercayaan suatu masyarakat, yaitu : (1) emosi
keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3) sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan
upacara, dan (5) umat pendukungnya.
Sistem kepercayaan ini melahirkan tata aturan dalam masyarakat agar
warganya hidup sesuai tuntutan hidup di alam baka. Dalam perkembangannya akan
melahirkan norma-norma masyarakat yang patut dan tidak patut dilakukan oleh
anggota masyarakat. Sistem kepercayaan ini tetap dipertahankan walaupun pengaruh
kepercayaan baru telah datangl. Masyarakat melakukan akulturasi budaya dan
asimilasi antara kepercayaan lama dan kepercayaan baru yang datang kemudian.

26
GLOSSARRIES
abris sous roche : gua tempat tinggal manusia purba.
a cire perdue : mwmbuat alat dari logam dengan teknik cetakan lilin
animisme : percaya pada kekuatan machluk halus (roh).
bivalve : membuat alat dari logam dengan cetakan setangkup.
dinamisme : percaya pada benda memiliki roh atau kekuatan.
food gathering : mengumpulkan makanan.
food producing : menghasilkan makanan sendiri
kjokkenmoddinger : sampah dapur dari kulit kerang.
lancipan Maros : mata panah dari Maros, Sulawesi Selatan.
megalitikum : budaya batu besar.
mikrolit : alat dari batu kecil berbentuk geometris.
nomaden : hidup berpindah-pindah
revolusi neolitik : perubahan cara hidup pada masa batu baru
dari berburu menjadi bercocok tanam,
dari nomaden menjadi menetap.
rock shelter : gua payung.

teknik clacton : pembuatan alat batu dengan teknik tatap.


teknik levallois : pembuatan alat batu dengan mempersiapkan
bahan baku terlebih dulu
totemisme : pemujaan kepada binatang

INTI SARI

27
Key Points
Kehidupan berburu dan meramu tingkat sederhana berlangsung sangat lama

dengan perkembangan yang sangat lambat. Perubahan cara hidup dimulai


masa Mesolitikum yang berpusat di gua-gua pantai. Puncak perkembangan
itu terjadi pada masa neolitikum sehingga dikenal dengan Revolusi Neolitik.

Perkembangan teknologi sejalan dengan proses evolusi manusia. Semakin


maju tahap perkembangan manusia, semakin maju pula alat budaya yang
dihasilkannya. Pada masa berburu dan meramu pembuatan alat budaya masih
sederhana. Taraf penguasaan teknologi pembuatan peralatan dimulai pada
masa bercocok tanam dan mencapai puncaknya pada masa perundagian, yaitu
masa di mana masyarakat Indonesia telah membuat benda dari logam.

28

Anda mungkin juga menyukai