Design Flow Diagram
Design Flow Diagram
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Disusun oleh:
ROPRI NURHIDAYAH
NIM I 0106120
SKRIPSI
Disusun Oleh :
ROPRI NURHIDAYAH
NIM : I 0106120
Disusun Oleh:
ROPRI NURHIDAYAH
NIM : I 0106120
SKRIPSI
Disetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
SKRIPSI
Disusun Oleh:
ROPRI NURHIDAYAH
NIM : I 0106120
Telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Pendadaran Jurusan Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Sebelas Maret pada hari Kamis, 5 Agustus 2010:
Bapak dan Almarhumah ibu tercinta atas seluruh limpahan cinta dan
kasih sayang yang telah diberikan
Ropri Nurhidayah, 2010, Pola Distribusi Hujan Jam-Jaman di Sub DAS Alang.
Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Hasil analisis kepanggahan data hujan menunjukkan bahwa dari tiga stasiun
pencatat hujan di Sub DAS Alang semuanya panggah. Hasil analisis karakteristik
hujan menunjukkan bahwa hujan di Sub DAS Alang mempunyai karakteristik
hujan dengan durasi tiga jam. Hasil analisis antara hasil observasi dan empiris
menunjukkan pola agihan hujan jam-jaman durasi hujan 2 dan 6 jam sesuai
dengan metode Modified-Mononobe sedangkan pola agihan hujan jam-jaman
durasi hujan 3,4 dan 5 jam sesuai dengan metode Segitiga.
The data validation of rain can be identified by using Rescaled Adjusted Partial
Sums (RAPS). The rainy characteristic can be identified by using categorization of
observation based on duration and quality of rain. The observation of types of
rainy distribution on an hourly basis is used as reference of empiric product. The
types of rainy distribution on an hourly basis can be determinaed by using rain
intensity with Modified-Mononobe method.
The result of rainy data validation indicate that 3 rainy register stations at Sub
DAS Alang are valid. The result of rainfall characteristics indicate that Sub DAS
Alang has 3 hours duration. The product of observation and empiric show that the
types of rainy distribution by duration 2 and 6 hours match with Modified-
Mononobe methode. Where as the types of rainy distribution by duration by
duration 3, 4, and 5 hours match with Triangle methode.
Key Words: the climate changing, rain characteristics, the rainy distribution types
changing.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan YME yang telah memberikan berkat dan
kuasanya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi dengan judul Pola Distribusi Hujan Jam-jaman di Sub DAS Alang ini merupakan
salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas
Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, karena itu penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Dr.Ir. Mamok Soeprapto R, M. Eng, selaku Dosen Pembimbing Skripsi I.
2. Ir. Siti Qomariyah, M.Sc. selaku Dosen Pembimbing Skripsi II.
3. Drs. Ugro Hari Murtiono, M.Si selaku pembimbing dari Balai Penelitian Kehutanan.
4. Agus Setiya Budi, ST, MT selaku pembimbing akademis.
5. Dosen-dosen Jurusan Teknik Sipil FT UNS khususnya KBK Keairan yang telah
berkenan membantu dalam penyusunan skripsi ini.
6. Badan Penelitian Kehutanan yang telah memberikan data yang diperlukan dalam
penyusunan skripsi.
7. Dinas Pengairan Kabupaten Wonogiri yang telah memberikan data yang diperlukan
dalam penyusunan skripsi.
8. Winda Agustin, Yunie Wiyasri, Awaludin F Aryanto, Ferdian Agung, M. Yushar
Yahya, dan Nanang Sulistyanto selaku rekan di peminatan Keairan, Galuh Pinunjul
atas bantuannya dalam belajar GIS.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Segala kekurangan dan
keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis menyebabkan kekurangsempurnaan tersebut.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi
pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................... iii
MOTTO ........................................................................................................................ iv
PERSEMBAHAN ........................................................................................................... v
ABSTRAK...................................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... xiv
DAFTAR NOTASI ............................................ xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................. 1
1.3. Batasan Masalah ............................................................................................... 2
1.4. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 2
1.5. Manfaat Penelitian............................................................................................ 2
DAFTAR GAMBAR
Waduk Gajah Mungkur yang terletak di Wonogiri menampung air hujan yang
berasal dari 7 (tujuh) sub DAS, yaitu: 1) Keduang, 2) Tirtomoyo, 3) Temon, 4)
Bengawan Solo, 5) Alang, 6) Ngunggahan, 7) Wuryantoro.
Sub DAS Alang merupakan sub DAS terluas keempat setelah sub DAS Bengawan
Solo. Dengan demikian, peran sub DAS Alang terhadap proses pengisian waduk
Gajah Mungkur tidak dapat diabaikan. Untuk mengetahui masukan air dari sub
DAS Alang salah satunya dengan menghitung aliran dari data hujan yang tercatat
di stasiun hujan pada sub DAS Alang.
Dengan adanya fenomena alam mengenai perubahan iklim (climate change), yang
secara tidak langsung berpengaruh terhadap pola hujan di sub DAS Alang. Maka
kualitas data hujan yang menjadi masukan utama dalam analisis transformasi
hujan menjadi aliran, menjadi suatu hal yang sangat penting dan menarik untuk
dikaji. Pola hujan yang berubah akibat perubahan iklim (climate change) dapat
ditentukan dengan dua cara diantara nya adalah dengan cara empiris maupun
berdasarkan data observasi.
Iklim di Indonesia telah menjadi lebih hangat selama abad 20. Suhu rata-rata
tahunan telah meningkat sekitar 0,30C sejak 1900. Suhu tahun 1990an merupakan
dekade terhangat dalam abad ini dan tahun 1998 merupakan tahun terhangat, yaitu
hampir 10C di atas rata-rata tahun 1961-1990. Peningkatan suhu ini terjadi dalam
semua musim di tahun itu. Curah hujan tahunan telah turun sebesar 2 hingga 3
persen di wilayah Indonesia di abad ini, dengan pengurangan tertinggi terjadi
selama periode Desember- Februari, yang merupakan musim terbasah dalam
setahun. Curah hujan di beberapa bagian di Indonesia dipengaruhi oleh kejadian
El Nino. Kekeringan telah terjadi selama kejadian El Nino terakhir dalam tahun
1082/1983, 1986/1987 dan 1997/1998
(http.//www.dirgantara-lapan.or.id/apklimatling/index.htm).
Perubahan iklim telah merubah pola distribusi hujan yang cenderung menjadikan
daerah basah semakin basah, dan daerah kering semakin kering. Di negara dengan
empat musim, siklus musim (seasonal cycle) telah terpengaruh oleh perubahan
iklim yang ditandai dengan meningkatnya intensitas hujan pada musim dingin,
berkurangnya hujan di musim panas, dan peningkatan suhu (Susan Steele-Dunne,
dkk, 2008). Hujan rata-rata tahunan menunjukkan peningkatan sebesar 7%,
dikarenakan meningkatnya intensitas hujan pada bulan Oktober sampai Maret dan
menurunnya intensitas hujan selama Juli sampai September (Hans Thodsen,
2007).
Wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang dilintasi oleh garis Khatulistiwa.
Dalam setahun, matahari melintasi ekuator sebanyak dua kali. Matahari tepat
berada di ekuator setiap tanggal 23 Maret dan 22 September. Sekitar April-
September matahari berada di utara ekuator dan pada Oktober-Maret matahari
berada di selatan. Pergeseran posisi matahari setiap tahunnya menyebabkan
sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Pada saat matahari berada di utara ekuator, sebagian wilayah
Indonesia mengalami musim penghujan.
Hujan maksimum terjadi antara bulan Desember, Januari, dan Februari. Pada
kondisi ini, matahari berada di garis balik selatan, sehingga udara di atas Australia
mengalami tekanan rendah, sedangkan di Asia mengalami tekanan tinggi.
Akibatnya, udara bergerak di atas laut dengan jarak cukup jauh, sehingga arus
udara mampu membawa uap air cukup banyak (muson barat atau barat laut).
Selanjutnya wilayah yang dilalui oleh muson barat akan mengalami hujan lebat.
Untuk mempelajari perubahan ini diperlukan data curah hujan dalam seri yang
panjang. Perubahan tersebut mengakibatkan musim kemarau panjang terjadi pada
saat berakhirnya musim hujan yang mengakibatkan kekeringan. Musim hujan
yang berlangsung cepat dengan intensitas curah hujan tinggi mengakibatkan
banjir.
Data hujan yang dibutuhkan adalah data ketebalan hujan harian yang diperoleh
dari Stasiun Pengukur Curah Hujan, baik manual ataupun otomatis, yang terletak
di sub DAS Alang. Data yang tersedia di sub DAS Alang hanya berasal dari
stasiun hujan manual, yaitu: 1) Sambiroto, 2) Eromoko dan 3) Pracimantoro
dengan tahun pencatatan 1989-2008. Kualitas data yang ada diharapkan
memenuhi uji kualitas baik secara agihan waktu maupun ruang.
a. Kepanggahan atau Uji Konsistensi
Satu seri data hujan untuk stasiun tertentu, dimungkinkan sifatnya tidak panggah
(Sri Harto, 2000). Data semacam ini tidak bisa langsung dianalisis, karena
sebenarnya data di dalamnya berasal dari populasi data yang berbeda.
Ketidakpanggahan seperti ini biasanya terjadi karena berbagai sebab, yaitu:
1. Alat ukur yang diganti spesifikasi yang berbeda atau alat yang sama akan
tetapi dipasang dengan patokan aturan yang berbeda.
2. Alat ukur dipindahkan dari tempat semula, tetapi secara administratif nama
stasiun tersebut tidak diubah, misalnya karena masih dalam satu desa yang
sama.
3. Alat ukur sama, tempat tidak dipindahkan akan tetapi lingkungan berubah,
misalnya semula dipasang ditempat ideal menjadi berubah karena ada
bangunan atau pohon besar.
Uji konsistensi dapat dilakukan dengan lengkung massa ganda (Double Mass
Curve) untuk stasiun hujan 3 (tiga), dan untuk individual stasiun (stand alone
station) dengan cara RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums) (Sri Harto, 2000).
b. Uji Jaringan
Jumlah stasiun pencatat hujan yang harus ditempatkan pada DAS dengan
persyaratan tertentu seperti luas, ketinggian, dan sebagainya, akan tetapi tanpa
menyebutkan bagaimana penempatannya. Mengingat sifat-sifat hujan, jumlah alat
pencatat hujan harus memenuhi kriteria yang sesuai dengan kejadian dan
sebarannya. Cara Kagan cocok digunakan untuk memperkecil kesalahan pada
kerapatan jaringan stasiun hujan yang dipilih (Sri Harto dan Sudjarwadi, 2000).
Data yang digunakan dalam analisis frekuensi dapat dibedakan menjadi dua tipe
berikut ini (Bambang Triatmodjo, 2008):
Metode ini digunakan apabila tersedia data debit atau hujan minimal 10 tahun
runtut waktu. Tipe ini adalah dengan memilih satu data maksimum setiap tahun.
Dalam satu tahun hanya ada satu data. Dengan cara ini, data terbesar kedua dalam
suatu tahun yang mungkin lebih dari data maksimum pada tahun yang lain tidak
diperhitungkan.
Kualitas data sangat menentukan hasil analisis yang dilakukan. Panjang data yang
tersedia juga mempunyai peranan yang cukup besar. Sri Harto (1993)
mendapatkan bahwa perbedaan panjang data yang dipergunakan dalam analisis
memberikan penyimpangan yang cukup berarti terhadap perkiraan hujan dengan
kala ulang tertentu. Khusus untuk analisis frekuensi data hujan, pengambilan data
hendaknya dilakukan dengan prosedur yang benar. Data hujan yang dimaksudkan
dalam analisis adalah data hujan rata-rata DAS, sedangkan data yang diketahui
adalah data hujan dari masing-masing stasiun hujan. Dalam praktek analisis
frekuensi dijumpai lima cara penyiapan data.
1. Data hujan DAS diperoleh dengan menghitung hujan rata-rata setiap hari
sepanjang data yang tersedia. Bila tersedia data 20 tahun, berarti hitungan
hujan rata-rata kawasan diulang sebanyak 20 x 365 = 7300 kali. Cara ini yang
terbaik, tetapi waktu penyiapan data yang panjang.
b) Untuk tahun berikutnya cara yang sama dilakukan sampai seluruh data
yang tersedia.
3. Cara
ketiga dengan menggunakan data pada salah satu stasiun (data maksimum)
dan mengalikan data tersebut dengan koefisien reduksi.
5. Cara lain yaitu dengan analisis frekuensi data hujan setiap stasiun sepanjang
data yang tersedia. Hasil analisis frekuensi tersebut selanjutnya dirata-ratakan
sebagai hujan rata-rata DAS.
Dalam kaitan penyiapan data hanya cara yang pertama dan kedua yang dianjurkan
untuk digunakan.
Hujan terjadi karena udara basah naik ke atmosfer dan mengalami pendinginan
sehingga terjadi proses kondensasi. Naiknya udara ke atas dapat terjadi secara
siklonik, orografik, dan konvektif. Di daerah tropis, pada musim kemarau, udara
yang berada di dekat permukaan tanah mengalami pemanasan intensif. Pemanasan
tersebut mengakibatkan rapat massa udara berkurang, udara basah naik ke atas
dan mengalami pendinginan, sehingga terjadi kondensasi dan hujan.
Hujan yang terjadi karena proses ini disebut hujan konvektif yang bersifat
setempat, intensitas tinggi, dan durasi singkat (Bambang Triatmojo, 2008). Alat
penakar hujan yang berada di sub DAS Alang adalah alat penakar hujan manual.
Karakteristik distribusi hujan dinyatakan dengan koefisien distribusi yaitu
nisbah antara hujan tertinggi di suatu daerah dengan hujan rata-rata DAS.
Hujan sangat bervariasi dalam skala ruang dan waktu (Chow dkk., 1988). Hujan
dengan jumlah sama tidak jatuh secara seragam pada seluruh DAS (Ponce, 1989).
Dalam analisis hidrologi, hujan terukur dikenal sebagai hujan titik (point rainfall)
dan hujan wilayah (areal rainfall). Hujan titik merupakan dasar dalam analisis
hidrologi (Chow dkk., 1988), karena teori yang ada untuk menghitung hujan
wilayah didasarkan pada hujan titik. Kualitas dari data hujan sangat beragam dan
tergantung pada alat, pengelolaan serta sistem arsip.
Untuk keperluan analisis hujan rancangan diperlukan data hujan daerah aliran
sungai atau hujan kawasan. Hujan kawasan dapat ditentukan dari hujan titik
dengan berbagai cara, yaitu: 1) rerata aljabar, 2) poligon Thiessen, 3) isohiet. Cara
rerata aritmatik dapat dipakai bila stasiun hujan tersebar merata diseluruh wilayah.
Cara isohiet menghasilkan ketelitian paling tinggi, tetapi kurang didukung dengan
ketersediaan data. Cara poligon Thiessen lebih sering digunakan dalam berbagai
analisis. Sri Harto (1993) menyebutkan bahwa analisis intensitas hujan
memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari
rekaman data hujan. Dalam statistik dikenal empat macam distribusi frekuensi
yang banyak digunakan dalam hidrologi, yaitu Normal, Log-Normal, Gumbel dan
Log Pearson III. Untuk memilih distribusi yang sesuai dengan data yang ada maka
diperlukan uji statistik. Pengujian biasanya dilakukan dengan uji Chi-kuadrat dan
uji Smirnov-Kolmogrof.
Berdasarkan hasil analisis hujan rancangan untuk berbagai kala ulang baik dengan
metode Modified-Mononobe, maka lengkung intensitas hujan untuk durasi pendek
dapat diperkirakan. Untuk hujan dengan durasi pendek (<2 jam), lengkung
intensitas curah hujan dapat ditentukan berdasarkan rumus empiris Haspers
(Anonim, 2003a; Anonim, 1989). Bila durasi hujan diperkirakan lebih dari 2 jam,
maka untuk menghitung intensitas hujan jam-jaman dari hujan harian dapat
digunakan metoda Modified-Mononobe (Sosrodarsono dan Takeda, 1983;
Anonim, 1986).
Model distribusi seragam adalah yang paling sederhana yaitu dengan menganggap
hujan rancangan terdistribusi (P) secara merata selama durasi hujan rancangan
(Td). Triangular Hyetograph Method (THM)/ segitiga menggunakan satu tinggi
hujan untuk menentukan puncak hujan. Puncak hujan terjadi sekitar separuh
waktu hujan. Alternating Block Method (ABM) adalah cara sederhana untuk
membuat hyetograph rencana dari kurva Intensitas Durasi Frekuensi (IDF). Dari
hitungan pertambahan hujan dan interval waktu t, blok-blokpertambahan hujan
disusun kedalam rangkaian waktu, dengan intensitas hujan maksimum berada di
tengah-tengah durasi hujan (Td) dan blok-blok sisanya disusun dalam urutan
secara bolak-balik pada kanan dan kiri blok maksimum.
Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-punggung
gunung atau pegunungan. Air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir
menuju sungai utama. Batas DAS adalah kontur tertinggi di sekitar sungai.
b. Hujan Titik
Hujan titik adalah hujan yang tercatat pada alat ukur. Hujan titik merupakan dasar
perhitungan hujan wilayah. Kualitas dari data hujan sangat beragam dan
tergantung pada alat, pengelolaan serta sistem arsip
b. Hujan Wilayah
Cara polygon Thiessen menganggap bahwa hujan yang terjadi pada suatu titik di
suatu wilayah memiliki ketebalan yang sama dengan hujan yang dicatat pada
stasiun hujan terdekat. Ketinggian hujan yang tercatat pada suatu stasiun pencatat
hujan dapat digunakan atau mewakili kedalaman hujan pada wilayah sampai
dengan setengah jarak terhadap stasiun berikutnya. Cara ini lebih teliti
dibandingkan dengan cara aritmatik, namun kurang luwes karena jaringan poligon
baru harus dibuat jika ada perubahan jaringan stasiun hujan. Hujan wilayah
dengan cara polygon Thiessen dapat dihitung dengan persamaan berikut:
1
N
P= i =1
Ai .Pi (2.1)
Aw
dengan:
Poligon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu. Apabila
terdapat perubahan jaringan stasiun hujan, seperti pemindahan, penambahan dan
kerusakan stasiun hujan maka harus dibuat lagi poligon yang baru.
2.2.3 Uji Konsistensi (kepanggahan)
Cara RAPS (Rescaled Adjusted Partial Sums) membandingkan hasil uji statistik
dengan QRAPS / n. Bila yang didapat lebih kecil dari nilai kritik untuk tahun dan
confidence level yang sesuai, maka data dinyatakan panggah. Uji kepanggahan
dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan-persamaan berikut:
S 0* = 0
(2.3)
*
S
S k** = k
, dengan k = 0, 1, 2, 3, ...., n (2.4)
Dy
D =
2
n
(Y
i -Y )
2
(2.5)
y
i =1 n
dengan:
Yi = data hujan ke-i,
Y = data hujan rerata i,
Dy = deviasi standar,
n = jumlah data.
Untuk uji kepanggahan digunakan cara statistik:
Q RAPS = maks | S k** | , 0 k n, (2.6)
Atau nilai range
RRAPS = maksimum S k** - min imum S k** , dengan 0 k n (2.7)
Nilai kritik QRAPS dan RRAPS setiap Confidence Interval (C.I) pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Nilai kritik QRAPS dan RRAPS
Q R
n n n
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1.05 1.14 1.29 1.21 1.28 1.38
20 1.10 1.22 1.42 1.34 1.43 1.60
30 1.12 1.24 1.46 1.40 1.50 1.70
40 1.13 1.26 1.50 1.42 1.53 1.74
50 1.14 1.27 1.52 1.44 1.55 1.78
100 1.17 1.29 1.55 1.50 1.62 1.86
1.22 1.36 1.63 1.62 1.75 2.00
2.2.4 Uji Jaringan
Cara Kagan menyarankan penempatan alat pencatat hujan sebaiknya berada pada
simpul-simpul segitiga samasisi yang memiliki panjang sisi sesuai persamaan (1).
Korelasi antar stasiun dapat dihitung dengan persamaan (2), dan kesalahan
interpolasi dengan persamaan (3). Kagan dapat menetapkan jaringan stasiun hujan
sesuai dengan kriteria kesalahan yang ditetapkan. Jumlah stasiun hujan yang
diperlukan minimal sama dengan jumlah simpul segitiga samasisi yang terdapat di
wilayah kajian.
A
L = 1.07 (2.8)
N
dengan:
L = panjang sisi segitiga (km),
A = luas wilayah (km2),
N = jumlah stasiun pencatat hujan.
(- d d 0 )
rd = r0 exp (2.9)
dengan:
rd = korelasi antar stasiun dengan jarak d km,
r0 = korelasi antar stasiun dengan jarak yang sangat kecil ( 0 km ),
d = jarak antar stasiun (km),
d0 = radius korelasi.
0.23 A
1 - r0 +
d0 N
Z1 = Cv (2.10)
N
dengan:
1 - r0 r0 S
Z 3 = Cv + 0.52 (2.11)
3 d0 N
dengan:
Z3 = kesalahan interpolasi (%),
S = standar deviasi.
0.5
n 2
(xi - X )
Standar deviasi, S = i =1 (2.12)
(n - 1)
(x - X)
n
n
Koefisien skewness, Cs = (2.13)
(n - 1)(n - 2 )s 3 i =1
i
S
Koefisien variasi, Cv = (2.14)
X
(x - X)
n2 n
4
Koefisien kurtosis, Ck = (2.15)
(n - 1)(n - 2)(n - 3)S 4 i =1
i
dengan:
n = panjang data,
X = tinggi hujan rerata,
S = standar deviasi.
Beberapa bentuk jenis distribusi yang dipakai dalam analisis frekuensi untuk
hidrologi diantaranya:
a. Distribusi Normal
dengan:
T = kala ulang,
p = probabilitas,
KT = faktor frekuensi.
P( x - s ) = 15,87% (2.19)
P ( x ) = 50% (2.20)
P ( x + s ) = 84,14% (2.21)
b. Distribusi Lognormal
c. Distribusi Gumbel
KT = -
6
{0.5772 +ln ln T (2.24)
p T - 1
dengan:
KT = faktor frekuensi,
T = kala ulang.
Distribusi log pearson III digunakan apabila parameter statistik tidak sesuai
dengan model distribusi yang lain. Persamaan yang dipakai adalah:
KT = z + z2 -1 k + ( ) (
1 3
3
) ( ) 1
z - 6 z k 2 - z 2 - 1 k 3 + zk 4 + k 5
3
(2.25)
dengan:
KT = faktor frekuensi,
C
k = s
6
Untuk memilih distribusi yang sesuai dengan data yang ada, perlu dilakukan uji
statistik. Pengujian biasanya dilakukan dengan uji Chi-kuadrat dan uji Smirnov-
Kolmogorof.
x =2
K
(Ef - Of )
2
(2.26)
i =1 Ef
dengan:
c2 : harga Chi-kuadrat terhitung,
K : banyaknya kelas,
Of : frekuensi terbaca pada setiap kelas,
Ef : frekuensi yang diharapkan untuk setiap.
Nilai c2 hasil perhitungan dibandingkan dengan nilai c2 kritis. Nilai c2 kritis telah
tersedia dalam bentuk tabel yaitu merupakan fungsi dari jumlah kelas, jumlah
parmeter, dan derajat kegagalan.
b. Uji SmirnovKolmogorov
Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai maksimum, yaitu selisih
maksimum antara plot data dengan garis teoritis pada kertas probabilitas. Nilai
kritis (cr, Smirnov Kolmogorov Test) tergantung dari jumlah data (n) dan derajat
kegagalan ().
Setelah ditentukan pola distribusi yang sesuai dengan data, maka hujan rencana
dapat dihitung menggunakan persamaan:
XT=+KT. (2.27)
dengan:
XT = hujan rencana
= rerata
= standar deviasi
Hujan (I) merupakan laju hujan rerata dalam mm/jam untuk suatu wilayah/luasan
tertentu. Intensitas hujan tersebut dipilih berdasarkan lama hujan dan kala ulang
(T) yang telah ditentukan. Lama hujan biasanya dihampiri dengan waktu
konsentrasi (Tc) untuk wilayah tersebut, sedang kala ulang didasarkan pada
standar yang ada. Besarnya intensitas hujan dapat diperoleh dari lengkung
hubungan antara tinggi hujan, lama hujan dan frekuensi atau sering disebut
sebagai lengkung hujan.
dengan:
Tc = waktu konsentrasi (jam),
A = luas DAS (km2),
L = panjang sungai utama (km),
S = kemiringan sungai (m/m).
Penentuan agihan hujan dapat dilakukan dengan berbagai cara pola agihan
diantaranya: Tadashi Tanimoto, Alternating Block Method (ABM), Triangular
Hyetograph Methode (THM), Instantaneous Intensity Methode (IIM), atau
seragam. Untuk penentuan agihan hujan diperlukan data lama hujan yang didekati
dengan menghitung waktu konsentrasinya.
dengan:
dengan:
Ip =
dengan:
Ip = intensitas hujan puncak untuk durasi t (mm/jam),
p = intensitas hujan harian untuk kala ulang T (mm/hari),
Td = durasi hujan (jam).
Tp = r. Td
dengan:
Lokasi penelitian adalah di Sub DAS Alang terletak di kabupaten Wonogiri, dan
mempunyai 3 stasiun hujan yaitu: 1) Eromoko, 2) Pracimantoro dan 3) Sambiroto
seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1
3. Data hujan dari setiap stasiun hujan yang ada di sub DAS Alang 20 tahun
terakhir, terdiri dari tiga stasiun hujan 1) Eromoko, 2) Pracimantoro, dan 3)
Sambiroto.
4. Data hujan otomatis dari stasiun hujan otomatis di sub DAS Alang selama 2
tahun terakhir 2007-2008.
1. Melakukan uji jaringan pada peta DAS dan uji kepanggahan data pada
stasiun hujan di dalam peta DAS.
Mulai
Hujan rencana
Data hujan dari
Sta otomatis
Durasi hujan dan waktu konsentrasi
Pengelompokan hujan
Intensitas hujan berdasarkan durasi
Selesai
Gambar 3.2. Bagan Alir Tahapan Penelitian
BAB 4
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Jumlah stasiun hujan di Sub DAS Alang adalah tiga stasiun, maka jenis uji
kepanggahan data hujan dari ketiga stasiun tersebut dilakukan dengan
menggunakan metode Rescaled Adjusted Partial Sums (RAPS). Data hujan
tahunan dari tiga stasiun hujan ditampilkan dalam Tabel 4.1
Tabel 4.1 Data Hujan Stasiun Hujan Manual Sub DAS Alang
Keterangan:
= nilai absolut
i = hujan tahunan
Sk* = kumulatif i-Rerata
Sk** = jumlah data
Dari contoh perhitungan di Tabel 4.2 nilai QRAPS hit (maks) terdapat pada tahun 1992,
sesuai dengan Persamaan 2.6 dan Persamaan 2.7 maka diperoleh besaran
QRAPShit / n = 1.0. Nilai ini dibandingkan dengan nilai kritik yang terdapat pada
Tabel 2.2 dengan n=13 dan Confidence Interval 90% dengan hasil nilai
QRAPShit / n < nilai QRAPSkritik. Hasil ini menunjukkan bahwa data hujan pada
stasiun hujan Eromoko adalah panggah. Resume hasil perhitungan dengan metode
RAPS ditunjukkan dalam Tabel 4.3
Dari nilai parameter statistik dicari koefisien korelasi antara dua stasiun. Koefisien
korelasi antar stasiun hujan dan perhitungan kesalahan interpolasi (Z1 dan Z2) dan
panjang sisi segitiga Kagan dapat dilihat pada Lampiran B.
1. Kesalahan perataan (%)
Z1 = 0.63
2. Kesalahan interpolasi (%)
Z2 = 0.43
3. Panjang sisi segitiga (km)
L = 8.04
Gambar 4.1 Peta Superposisi Jaringan Stasiun Pencatat Hujan pada Jejaring
Kagan
Sesuai dengan hasil superposisi pada Gambar 4.1, jumlah stasiun hujan yang
diperlukan di Sub DAS Alang minimal sama dengan jumlah simpul segitiga
samasisi. Dari hasil analisis ternyata diperoleh jumlah stasiun hujan untuk Sub
DAS Alang adalah 4 stasiun hujan. Sedangkan jumlah stasiun hujan yang ada di
sub DAS Alang saat ini hanya ada 3 stasiun hujan.
4.3 Hujan Wilayah
Dalam analisis frekuensi diperlukan data hujan harian maksimum tiap tahun dari
tiap stasiun yang berada di Sub DAS Alang. Data hujan maksimum tahunan Sub
DAS Alang dapat dilihat pada Tabel 4.5
Tabel 4.5 Data Hujan Harian Maksimum Masing-Masing Stasiun Hujan
Sambiroto Eromoko Pracimantoro
Tahun (mm) (mm) (mm)
1989 0 84 85
1990 0 65 105
1991 0 84 77
1992 0 95 91
1993 0 98 102
1994 0 81 61
1995 91 85 70
1996 76 67 81
1997 73 0 59
1998 63 0 74
1999 70 0 78
2000 63 0 85
2001 73 55 85
2002 110 67 65
2003 120 125 75
2004 87 89 77
2005 60 55 119
2006 67 87 70
2007 97 95 145
2008 50 127 49
Sumber: Dinas Pengairan Kabupaten Wonogiri
Keterangan:
: Data hujan rusak
Untuk menentukan hujan wilayah Sub DAS Alang digunakan metode Poligon
Thiessen narasi gambar poligon dapat dilihat pada Gambar 4.2 dengan luas
masing-masing 3 wilayah Poligon Thiessen:
1. Sambiroto : 79.9 km2
2. Eromoko : 42.1 km2
P=
=
= 84 mm
Gambar 4.2 Poligon Thiessen Sub DAS Alang
Tabel 4.6 Data Hujan Wilayah Harian Maksimum Sub DAS Alang
Hujan Wilayah
No. Tahun Harian
Maksimum
(mm)
1 1989 85
2 1990 91
3 1991 79
4 1992 92
5 1993 101
6 1994 68
7 1995 84
8 1996 75
9 1997 68
10 1998 50
11 1999 55
12 2000 53
13 2001 72
14 2002 87
15 2003 109
16 2004 85
17 2005 75
18 2006 73
19 2007 110
20 2008 69
Poligon Thiessen akan berbeda jika jumlah stasiun hujan berbeda. Poligon
Thiessen dengan jumlah stasiun yang berbeda dapat dilihat pada Lampiran B.
Dalam uji kecocokan jenis agihan digunakan tiga cara penyajian data, yaitu cara I,
cara II, dan cara III.
Untuk memilih kesesuaian jenis agihan untuk data hujan harian maksimum
tahunan pada Tabel 4.6 digunakan uji Chi Kuadrat dan Smirnov Kolmogrov.
Hasil uji kesesuaian selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran B. Resume hasil
kedua uji tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan Tabel 4.8
Dari Tabel 4.7 dan 4.8 dapat diperiksa bahwa nilai penyimpangan hasil uji
Chi Kuadrat dan uji Smirnov Kolmogrov pada agihan Normal memiliki nilai
penyimpangan terkecil dibandingkan dengan agihan yang lainnya. Dengan
demikian maka pemilihan agihan Normal dengan maks 0.075 adalah benar.
Hujan harian maksimum tiap stasiun diperoleh dengan mencari dalam satu tahun
tertentu untuk stasiun I hujan maksimum tahunannya, selanjutnya dicari hujan
harian pada stasiun-stasiun lain pada hari kejadian yang sama dalam tahun yang
sama dan kemudian dihitung hujan wilayah DAS. Masih dalam tahun yang sama,
dicari hujan maksimum tahunan untuk stasiun II. Untuk hari kejadian yang sama,
hujan harian untuk stasiun-stasiun lain dicari dan dicari hujan wilayahnya.
Demikian selanjutnya sehingga dalam tahun itu akan terdapat N buah data hujan
wilayah DAS. Untuk tahun selanjutnya cara yang sama dilakukan sampai seluruh
data yang tersedia. Hasil perhitungan hujan wilayah selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran B. Hasil perhitungan hujan wilayah dapat dilihat pada Gambar 4.3
Untuk mengetahui jenis agihan yang sesuai digunakan uji agihan frekuensi.
Analisis ini digunakan untuk dasar perhitungan hujan rencana dengan berbagai
kala ulang. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui
kesesuaian data. Adapun jenis agihan antara lain: agihan Normal, Log Normal,
Gumbel, dan Log Pearson III.
Untuk memilih kesesuaian jenis agihan digunakan uji Chi Kuadrat dan Smirnov
Kolmogrov. Hasil uji kesesuaian selengkapnya dapat dilihat dalam Lampiran B.
Resume hasil kedua uji tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.9 dan Tabel 4.10
Dalam analisis statistik terhadap deret data hujan harian dari tiap stasiun yang
tersedia selama 20 tahun di Sub DAS Alang. Penentuan hujan wilayah sesuai
Persamaan 2.1 hasil perhitungan hujan wilayah selengkapnya dapat dilihat pada
Lampiran B. Hasil hujan wilayah harian rata-rata dapat dilihat pada Gambar 4.4
maka didapat besaran nilai parameter sebagai berikut:
Gambar 4.4 Hujan Wilayah Harian Rata-rata Tahun 1989-2008
Dari Gambar 4.4 diambil asumsi bila ketebalan hujan dibawah 5 mm dianggap
tidak terjadi hujan maka musim kemarau mulai terjadi pada kejadian ke- 176
(pada tanggal 28 Juni), sedangkan musim hujan mulai terjadi kembali pada
kejadian ke-323 (tepatnya tanggal 29 November)
Berdasarkan analisis statistik terhadap deret data hujan wilayah harian diperoleh
nilai parameter statistik sebagai berikut:
Untuk menentukan jenis agihan yang akan dipakai maka dilakukan pengujian
untuk menghasilkan parameter statistik yang dapat dilihat dalam Tabel 4.11
Dari tabel 4,11 diketahui bahwa jenis agihan yang sesuai adalah Log Pearson III.
Dengan demikian untuk analisis selanjutnya digunakan jenis agihan Log Pearson
III.
Berdasarkan hasil uji sebaran data, sebaran yang sesuai untuk masing-masing
cara dapat dilihat pada tabel 4.12
Sesuai dengan jenis agihan Normal maka hujan rencana dapat dihitung. Contoh
perhitungan hujan untuk kala ulang 1.1 tahun sesuai (Persamaan 2.16, 2.16, 2.17,
dan 2.27) adalah:
P = 1/T = 1/1.1 = 0.909
1
1 2
w = ln 2
p
= 0.437
2.515517 + 0.802853 w + 0.010328 w 2
KT = z = w -
1 + 1.432788 w + 0.189269 w 2 + 0.001308 w 3
= -1.298
X1.1= + KT.
= 79.02 + (-1.289 . 16.68 )
= 58.355 mm
Tabel 4.13 Curah Hujan dengan Berbagai Kala Ulang Cara 1 (Agihan Normal)
Tabel 4.14 Curah Hujan dengan Berbagai Kala Ulang Cara 2 (Agihan Log
Pearson III)
Dalam analisis selanjutnya dipakai hujan rencana harian maksimum cara I untuk
kala ulang 1.1 karena memiliki ketebalan hujan rencana yang lebih besar.
Data hujan otomatis dari hasil observasi dapat digunakan secara langsung untuk
mengetahui pola agihan hujan jam-jaman. Durasi hujan dan banyaknya kejadian
hujan dari data otomatis dapat dilihat di Tabel 4.16
Durasi =
Durasihujanxkejadian
kejadian
(2 x73 + 3 x 47 + 4 x 24 + 5 x18 + 6 x1)
Durasi =
163
Durasi = 2.94 jam = 3 jam
Diketahui:
Luas Sub DAS Alang (A) = 169.38 km2
Panjang Sungai Utama (L) = 19.01 km
Slope (S) = 0.03
Tc = 0.06628 L0, 77 S -0,385
Tc = 2.5 Jam
Dari data hujan otomatis hasil observasi dapat ditentukan secara langsung pola
agihan hujan jam-jaman di Sub DAS Alang.
Gambar 4.5 Pola Agihan Hujan 2 Jaman (Observasi)
Contoh perhitungan intensitas hujan dengan kala ulang T 1.1 , durasi 3 jam pada I
jam pertama sesuai dengan Persamaan 2.30, untuk perhitungan selengkapnya
dapat dilihat pada Lampiran B.
R24 = 58.355 mm
tc = 2.5 jam
2
R t 3
I1t = T , 24 c
tc t
2
58.355 2.5 3
=
2.5 1
= 43.24 mm
P = It . t
= 43.24 . 1 = 43.24 mm
Delta
Cara t It (mm/jam) P (mm) (mm) %
Cara 1 1 43.24 43.24 43.24 58.48
2 27.24 54.48 11.24 15.20
3 20.79 62.37 7.88 10.66
4 17.16 68.64 6.28 8.49
5 14.79 73.94 5.30 7.17
Cara 2 1 13.36 13.36 13.36 58.48
2 8.42 16.84 3.47 15.20
3 6.42 19.27 2.44 10.66
4 5.30 21.21 1.94 8.49
5 4.57 22.85 1.64 7.17
Cara 3 1 5.65 5.65 5.65 58.48
2 3.56 7.12 1.47 15.20
3 2.72 8.15 1.03 10.66
4 2.24 8.97 0.82 8.49
5 1.93 9.66 0.69 7.17
It Delta
Cara t (mm/jam) P (mm) (mm) %
Cara 1 1 43.24 43.24 43.24 55.03
2 27.24 54.48 11.24 14.30
3 20.79 62.37 7.88 10.03
4 17.16 68.64 6.28 7.99
5 14.79 73.94 5.30 6.75
6 13.10 78.58 4.63 5.90
Cara 2 1 13.36 13.36 13.36 55.03
2 8.42 16.84 3.47 14.30
3 6.42 19.27 2.44 10.03
4 5.30 21.21 1.94 7.99
5 4.57 22.85 1.64 6.75
6 4.05 24.28 1.43 5.90
Cara 3 1 5.65 5.65 5.65 55.03
2 3.56 7.12 1.47 14.30
3 2.72 8.15 1.03 10.03
4 2.24 8.97 0.82 7.99
5 1.93 9.66 0.69 6.75
6 1.71 10.26 0.61 5.90
penyajian data didapat prosentase hujan tiap jam adalah sama. Pola agihan hujan
Dari pola agihan hujan observasi hujan durasi 3, 4, dan 5 jam hasil dari
perhitungan empiris tidak sesuai jika memakai metode (Medified-Mononobe),
maka digunakan metode ABM untuk mendapatkan kesesuaian yang paling dekat.
Hasil perhitungan metode ABM dengan 3 cara penyajian data selengkapnya dapat
dilihat dalam Lampiran B. Resume hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.22
4.24
Contoh perhitungan metode ABM adalah sebagai berikut:
2
RT , 24 tc 3
Rt =
tc t
2
58.355 2.5 3
=
2.5 1
= 43 mm
Rdepht = It . t
= 43 . 1 = 43 mm
Dari hasil perhitungan metode ABM nampak bahwa dengan 3 cara penyajian data
didapat prosentase hujan adalah sama. Pola agihan hujan durasi 3, 4, dan 5 jam
Ip =
= = 38.9 mm
Tp = r. Td
= 0.4 . 3 = 1.2 jam
Pola agihan hujan sesuai metode segitiga untuk hujan durasi 3, 4, dan 5 jam dapat
dilihat pada Gambar 4.18 4.20
I
Ip
30
20
10
Tp Td
1 2 3
Ip
30
20
10
Tp
1 2 3 4
30
Ip
20
10
Tp Td
1 2 3 4 5
Dari hasil perhitungan didapat bahwa pola agihan hujan 3, 4, dan 5 jam dari cara
I, II, dan III adalah sama. Persentase tiap jam dapat dilihat pada Tabel 4.28. Pola
agihan hujan 3, 4, dan 5 jam dapat dilihat pada Gambar 4.21-4.23
t %
1 36.65
1.2 47.44
3 15.91
1 19.35
1.2 45.38
3 26.37
4 8.90
1 10.62
1.5 39.90
3 26.71
4 17.12
5 5.65
Gambar 4.21 Pola Agihan Hujan 3 Jam (Segitiga dalam diagram batang)
Gambar 4.22 Pola Agihan Hujan 4 Jam (Segitiga dalam diagram batang)
Gambar 4.23 Pola Agihan Hujan 5 Jam (Segitiga dalam diagram batang)
Dari hasil observasi dan empiris (Modified-Mononobe, ABM, dan Segitiga) dapat
diambil kesimpulan dengan mencari nilai kesesuaian masing-masing hasil dari
metode empiris dan hasil observasi. Untuk mencari kesesuaian yaitu dengan dicari
nilai kesesuaian terkecil yaitu hasil empiris yang paling mendekati hasil observasi.
Jam Kesesuaian
ke- (%)
1 32.70
2 -49.57
Jam Kesesuaian
ke- (%)
1 73.49
2 -28.43
3 -16.78
4 -36
5 -0.38
6 -38.61
Nilai kesesuaian hasil observasi dan empiris (ABM dan Segitiga) ditunjukkan
pada Tabel 4.31, 4.32 dan 4.33
Tabel 4.31 Kesesuaian Hasil Observasi dan Empiris (ABM dan Segitiga) hujan
durasi 3 jam
Tabel 4.32 Kesesuaian Hasil Observasi dan Empiris (ABM dan Segitiga) hujan
durasi 4 jam
Tabel 4.33 Kesesuaian Hasil Observasi dan Empiris (ABM dan Segitiga) hujan
durasi 5 jam
Hasil kesesuaian hasil observasi dan empiris (ABM dan Segitiga) hujan durasi3,
4, dan 5 jam dapat dilihat pada Gambar 4.26 - 4.28
Gambar 4.26 Kesesuaian Observasi, ABM dan Segitiga Hujan 3 Jam
Dari tabel dan grafik kesesuaian dapat diamati bahwa pola agihan hujan observasi
untuk durasi 3, 4 dan 5 jam lebih sesuai dengan pola agihan Segitiga jika
dibandingkan dengan pola agihan ABM. Karena memiliki nilai penyimpangan
yang lebih kecil daripada dengan pola agihan hujan ABM.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan pada penelitian
ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil analisis uji kepanggahan data hujan tahunan pada 3 stasiun hujan di
Sub DAS Alang menunjukkan bahwa data dari ketiga stasiun hujan adalah
panggah.
2. Dari hasil analisis uji jaringan menunjukkan bahwa jumlah dan letak stasiun
hujan tidak sesuai dengan ketentuan.
3. Dari hasil pengelompokan data hujan di Sub DAS Alang didapat kejadian
hujan 2,3,4,5 dan 6 jam, dengan kesimpulan bahwa karakteristik kejadian
hujan adalah hujan durasi 3 jam.
5. Dari hasil analisis kesesuaian didapat pola agihan hujan durasi 3, 4, dan 5 jam
mengikuti pola agihan hujan Segitiga.
1. Studi selanjutnya perlu menggunakan data-data hujan terbaru dan data dari
stasiun otomatis dalam pengolahan data hidrologi.
2. Untuk letak stasiun pencatat hujan yang tidak sesuai sebaiknya letaknya
dipindah sesuai dengan letak stasiun pada jejaring Kagan.
3. Studi selanjutnya perlu menganalisis lanjut tentang aliran dan masukan air
dari masing-masing Sub DAS ke Waduk Gajah Mungkur.
DAFTAR PUSTAKA
Chow, Ven Te, dkk, 1998. Applied Hydrology. McGraw-Hill Book C0.,
Singapore.
Sri Harto Br., (1993), Analisis Hidrologi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sri Harto Br., (2000), Hidrologi Teori Masalah Penyelesaian. Nafiri, Jakarta.
Thodsen, Hans. 2007. The influence of climate change on stream flow in Danish
rivers. University of Compenhagen,Denmark.