Anda di halaman 1dari 30

MORALITAS LENTERA

PERADABAN DUNIA

EDITOR

Andre Ata Ujan


Febiana R. Kainama
T. Sintak Gunawan
MORALITAS LENTERA PERADABAN DUNIA
028729
2011 Kanisius

Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI)


Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349
Website : www.kanisiusmedia.com
E-mail : office@kanisiusmedia.com

Cetakan ke- 5 4 3 2 1
Tahun 15 14 13 12 11

Desain cover oleh Sungging

ISBN 978-979-21-3094-2

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta


13
q
Bioetika dalam Bingkai Sejarah
dan Metodologi
Yeremias Jena

Pendahuluan
Hampir tiga dekade Prof. K. Bertens, membaktikan hidup dan pe
mikirannya mengembangkan etika di Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya (Jakarta). Selama itu pula seluruh penelitian dan refleksinya
di bidang filsafat difokuskan pada masalah-masalah etika, teoretis
maupun praktis. Tiga karya utama Prof. Bertens di bidang etika, yakni
Etika (Penerbit Gramedia, Jakarta: 1993), Pengantar Etika Bisnis (Penerbit
Kanisius, Yogyakarta: 2000), dan Etika Biomedis (Penerbit Kanisius,
Yogyakarta: 2011) dapat menjadi patokan afirmatif sementara, di sam
ping puluhan buku lain, ratusan makalah yang terbit di jurnal-jurnal
filsafat dan etika, serta berbagai ceramah yang menghadirkan sang
profesor sebagai pembicara. Buku pertama yang disebutkan di sini lebih
merupakan kajian reflektif dan deskriptif etika teoretis (etika umum),
sementara buku kedua dan terakhir membicarakan tema-tema etika
praktis (practical ethics).
Tahun ini, tepatnya tanggal 28 Juni 2011, Prof. Kees Bertens, MSC
merayakan hari ulang tahun yang ke-75. Saya teringat ucapan William
Wordsworth (1770-1850), seorang pujangga kenamaan Inggris yang
mengatakan, The thought of our past years in me doth breed perpetual
benedictions. Bagi saya, perjalanan panjang 75 tahun akan menjadi
sebuah berkat abadi jika itu diperingati sebagai sebuah momen reflek
tif, katakan saja memikirkan secara kritis pemikiran-pemikiran Prof.
Bertens yang telah disumbangkan bagi pengembangan filsafat, etika, dan
bioetika.

315
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

Tulisan ini merupakan usaha awal menempatkan minat dan per


hatian Prof. Bertens di bidang bioetika dalam konteks perkembangan
bioetika secara mundial. Bagian pertama tulisan ini akan mendeskripsikan
konteks kelahiran bioetika sebagai salah satu disiplin ilmu etika terapan
dalam konteks pendidikan para calon dokter. Sumbangan gereja Katolik
bagi kelahiran bioetika dibahas secara khusus persis ketika penghor
matan kepada manusia sebagai pribadi sebagai salah satu fundamen
pengembangan bioetika yang telah lama menjadi perhatian Gereja
Katolik. Saya melihat bahwa dalam tradisi yang telah berumur ribuan
tahun inilah bioetika menemukan semacam tanah yang subur bagi
perkembangannya.
Bagian kedua tulisan ini menunjukkan kecenderungan pengem
bangan bioetika modern yang ingin melepaskan diri dari berbagai
tradisi dan moralitas agama. Apakah bioetika mencapai kemandiriannya
dengan membebaskan diri dari nilai dan prinsip moral keagamaan,
atau justru karena kemampuannya menyesuaikan diri dengan berbagai
tuntutan prinsip moral yang lebih universal dan imparsial, prinsip moral
keagamaan semakin menunjukkan eksistensinya? Saya akan menunjukkan
bahwa usaha para bioetikawan sekuler yang mendekonstruksi tradisi
keagamaan gagal melihat tantangan lebih serius yang datang dari
kaum positivis, yang justru karena menguasai proses pendidikan dan
pengajaran di kampus, sering menyulitkan pengembangan bioetika itu
sendiri.
Bagian ketiga tulisan ini akan mendiskusikan masalah metodologi.
Sebagai semacam usaha mengkontekskan pemikiran Prof. Bertens dalam
pengembangan bioetika, saya mengajukan sebuah pertanyaan kritis,
Metodologi apakah yang digunakan dalam mengembangkan bioetika di
Indonesia? Melalui penelusuran saya atas beberapa karya Prof. Bertens
di bidang bioetika, saya menyimpulkan bahwa etikawan asal Belanda
ini tidak mengembangkan satu metode khusus di bidang bioetika. Prof.
Bertens adalah seorang guru bioetika, yang dalam pengajaran maupun
tulisan-tulisannya, biasanya mendeskripsikan berbagai metodologi yang
sedang digunakan, apa kelebihan dan kekurangannya, dan dengan itu
sebetulnya juga menunjukkan keberpihakannya pada metodologi ter
tentu.
Sekali lagi seluruh karya Prof. Bertens tidak bisa didalami dan
dipahami hanya semalam. Dengan perjalanan waktu saya berharap

316
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

bisa semakin mengenal lebih dekat pemikiran-pemikiran sang profesor


di bidang etika, bioetika, maupun filsafat pada umumnya. Sadar sepe
nuhnya akan kata-kata Mark Twain, If you have nothing to say, say
nothing, izinkan tulisan ini menjadi semacam usaha permulaan untuk
semakin menggali, baik pemikiran Prof. Bertens sendiri di bidang etika
dan bioetika maupun pertumbuhan dan pengembangan bioetika sebagai
disiplin ilmu dalam berbagai fakultas kedokteran di Indonesia.

1. Tanah Subur Agama Melahirkan Bioetika


Sebagai salah satu disiplin ilmu, bioetika belum genap berusia se
tengah abad. Kurang lebih satu dekade sebelum kelahiran bioetika di
Amerika Serikat, dunia pelayanan kesehatan mengalami kemajuan pesat.
Berbagai teknologi kesehatan mulai diperkenalkan, sementara praktik
transplantasi organ, terutama transplantasi hati mulai dipraktikkan di
rumah sakit-rumah sakit. Pertambahan jumlah penduduk yang pesat ikut
menuntut perubahan pola pelayanan kesehatan, sementara penelitian
dan pengembangan teknologi kesehatan dengan melibatkan manusia
sebagai subjek penelitian tidak jarang menimbulkan masalah sosial dan
etis yang harus dipecahkan.
Inilah latar belakang sosial yang mendorong Senator Walter F.
Mondale dari Minnesota mengumumkan rencana pembentukan apa yang
kemudian disebut sebagai A Commission on Ethical and Social Implications
of Health Science and Development. Melalui sebuah survei singkat diperoleh
data bahwa masyarakat memang menginginkan terbentuknya komisi ini,
dan dengan dukungan 16 senator lainnya akhirnya Senat mengeluarkan
Joint Resolution 145 yang merekomendasikan terbentuknya komisi
dimaksud. Komisi ini diberi mandat untuk bekerja selama setahun
dengan melakukan studi komprehensif untuk meneliti apa dampak legal,
sosial, dan etis dari penelitian medis.1
Perkembangan ini segera memicu gairah luar biasa di bidang
etika terapan, terutama kajian masalah-masalah etis dalam pelayanan
kesehatan. Setahun setelah komisi etik kepresidenan itu terbentuk, berdi
rilah sebuah pusat kajian nirlaba dan nonpartisan bernama The Hasting

Paul G. Waugaman, The Case for a National Commission on Health Science and
1

Society, Public Administration Review, Vol. 29, No. 3 (May-Jun., 1969), hlm.
291-292.

317
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

Center di Washington DC, yang mengkhususkan diri dalam penelitian


dan pengembangan bioetika. Sementara itu, lembaga dengan misi dan
tujuan yang kurang lebih sama bernama The Kennedy Institute of Bioethics
pun didirikan tahun 1971 di Georgetown University, Washington DC.
Setahun sebelumnya, Van Rensselaer menerbitkan sebuah artikel ber
judul Bioethics, the Science of Survival, dan diikuti oleh penerbitan
bukunya berjudul Bioethics: Bridge to the Future (1971). Buku lain yang
juga menandai kelahiran bioetika adalah karangan Paul Ramsey
berjudul Patient as Person, sebuah materi kuliah tahun 1969 yang terbit
sebagai buku setahun kemudian. Tentu saja karya Dan Callahan berjudul
Bioethics as a Discipline yang terbit tahun 1973 tidak boleh lupa disebut,
karena dari judul buku inilah untuk pertama kalinya kata bioetika
masuk sebagai entry dalam katalog Perpusatakaan Nasional Kongres.2
Itulah perkembangan dan gairah yang menandai kelahiran bioetika,
terutama di Amerika Serikat. Di mana peran agama (Katolik) bagi
kelahiran bioetika? Apakah betul bioetika dilahirkan dari rahim agama
Katolik yang di kemudian hari coba disangkalnya? Catatan Albert R.
Jonsen3 sangat membantu penelusuran kita menemukan jawaban atas
pertanyaan ini.
Di sekitar tahun 1970-an yang menjadi tahun kelahiran bioetika
tersebut, sebenarnya keterlibatan dua imam Jesuit (salah satunya ke
mudian meninggalkan imamat) dalam membidani kelahiran bioetika
di Amerika Serikat dari tradisi religius pantas disebut. Tepatnya
tahun 1973 Albert R. Jonsen, waktu itu masih sebagai imam Jesuit dengan
tradisi teologi moral Katolik yang sangat kuat diangkat sebagai Associate
Professor Bioetika di School of Medicine, University of California, San
Francisco (UCSF). Jonsen memaknakan kiprahnya dalam pengajaran
etika praktis di dunia kedokteran sebagai memasuki wilayah yang baru
sama sekali, yang menuntut dia menanggalkan segala pemahaman dan
cara pandangnya sendiri supaya bisa memahami dunia baru tersebut
dari dalam, sebelum mengembangkan pemikiran-pemikiran etisnya
sendiri.4

2
David E. Guinn, (Ed.), Handbook of Bioethics and Religion, Oxford University
Press Inc., NY, 2006, hlm. 24.
3
Ibid, hlm. 23-36.
4
Albert R. Jonsen bersaksi, katany, I had crossed a frontier into a strange
land. I had to learn a new language, filled with the words of anatomy, physiology,

318
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

Imam Jesuit lainnya yang juga berjasa bagi kelahiran bioetika


di Amerika Serikat adalah Richard McCormick (1923-2000), seorang
profesor teologi moral di Seminari Jesuit dan editor jurnal Theological
Studies. Ketika di tahun 1970-an masalah percobaan dalam penelitian
menggunakan manusia sebagai objek dan perawatan pasien terminal
menjadi perdebatan publik, McCormick sering dimintai pendapatnya,
tidak hanya mewakili suara dan pandangan moral Gereja Katolik, tetapi
juga pemikir dari tradisi keagamaan yang ada di AS. Tahun 1974 Dr.
Andre Hellegers, seorang alumni sekolah Jesuit dan pendiri the Kennedy
Institute for Bioethics membawa McCormick ke Georgetown University,
dan di kampus inilah pemikir yang bertahan sebagai imam Jesuit sampai
akhir hayatnya ini menjadi seorang bioetikawan profesional.
Mengapa dua imam Jesuit ini disitir sebagai contoh peran Gereja
Katolik membidani kelahiran bioetika? Kedua imam ini dan ribuan
imam Katolik lainnya sebenarnya mewariskan tradisi Gereja Katolik
yang menaruh perhatian penuh pada masalah-masalah bioetika, jauh
sebelum disiplin etika terapan ini lahir ke dunia. Di zaman kejayaan
para Bapa Gereja (patristic age), misalnya, para teolog yang umumnya
menaruh perhatian pada masalah pastoral praktis sebenarnya telah
menaruh minat pada masalah etika medis. Sebutlah Klemens dari
Alexandria (150-210), pendiri pertama sekolah teologi Kristiani, yang
dengan tegas mengecam praktik kontrasepsi. Bagi dia, kontrasepsi harus
dilarang, karena hubungan perkawinan hanya dibenarkan demi tujuan
melahirkan dan membesarkan keturunan.5
Perkembangan yang sangat kreatif dari ajaran Gereja Katolik
mengenai etika medis muncul selama abad ke-7 sampai dengan ke-12.
Dalam Gereja Katolik sendiri, periode ini ditandai oleh terbitnya Libri

pathophysiology, and pharmacologi. I had to learn the culture of medicine and


hospitals. I had to converse with men and women who did not share my faith or even
my interests. Above all, I have to learn the values that prevail in the world of
medicine so that I could even ask ethical questions or dare to teach ethics. Dalam
David E. Guinn, 2006, hlm. 24.
5
Sebenarnya sejak awal para pemikir dan teolog Gereja Katolik sudah menolak
aborsi, meskipun orang seperti Hironimus dan Agustinus menerima teori
penundaan jiwa masuk ke dalam tubuh (delayed ensoulmen). Menurut
mereka, jiwa baru masuk ke dalam tubuh beberapa saat setelah pembuahan,
dan bukan bersamaan dengan pembuahan. Lihat Charles R. Curan, Roman
Catholicism, dalam: Encyclopedia of Bioethics, vol. 4 (Revised Edition), Simon
& Schuster Macmillan, NY, 1985. Hlm. 2323.

319
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

Poenitentiales alias buku-buku yang berisi ketentuan-ketentuan silih dosa.


Setiap imam diwajibkan membaca dan menguasai buku-buku ini supaya
bisa menentukan jenis dosa apa yang dilanggar si pengaku dosa dan
memberikan hukuman yang sesuai dosa tersebut. Di antara banyaknya
daftar dosa dan jenis hukuman yang ada dalam buku-buku tersebut
mencuri, menipu, berbohong, berbuat cabul, dan sebagainya dapat
ditemukan pula dosa lain seperti aborsi, kontrasepsi, dan masalah-
masalah lainnya yang berhubungan dengan kehidupan perkawinan
Katolik.6
Abad ke-12 ditandai dengan terbitnya hukum kanonik modern.
Adalah Grasianus yang sekitar tahun 1140 mengumpulkan dan me
nyusun berbagai macam hukum dan norma yang telah berkembang
selama berabad-abad sebelumnya. Karyanya yang berjudul Dekrit
Grasianus (The Decree of Gratian) di kemudian hari diterima sebagai
dasar bagi penyusunan hukum kanonik Gereja Katolik. Pada tahun
1234 Paus Gregorius IX menerbitkan kumpulan resmi hukum yang
dikenal dengan nama Decretals, yang di dalamnya mengatur antara
lain pemeriksaan medis untuk menentukan impotensi seksual sebagai
syarat untuk membatalkan perkawinan (medical examinations to determine
sexual impotence as a condition to nullify marriage). Sementara itu, pada
tahun 1331 Paus Yohanes XXII membentuk Roman Rota, yakni korps
para hakim gereja (ecclesiastical judges) yang bertugas menyelidiki
prosedur legal pembatalan sebuah perkawinan Gereja serta menangani
kasus-kasus hukum dan masalah-masalah non-administratif lainnya
sebagaimana diamanatkan Hukum Gereja. Dalam dekrit berjudul Ratio
Iuris Exigit disebutkan bahwa para anggota Roman Rota harus memiliki
keterampilan medis dan pengetahuan memadai yang dapat membantu
para hakim gereja melakukan pekerjaan tribunal.
Abad ke-13 adalah masa kelahiran teologi skolastik yang mencapai
puncaknya pada pemikiran Thomas Aquinas. Karya besar Summa
Theologie menjadi karya sistematik teologi sang pemikir. Di bagian
kedua dari karyanya ini Thomas membahas pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan kehidupan moral Kristiani dalam konteks: (1) relasi
manusia dengan Allah sebagai tujuan terakhir, (2) umat manusia sebagai
citra Allah yang memiliki kemampuan melakukan penentuan-diri dan

Ibid, hlm. 2323.


6

320
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

tindakan-tindakan moralnya, serta (3) kemanusiaan Kristus sebagai


jalan manusia kepada Allah. Melalui Thomas Aquinas dan pemikiran-
pemikirannya, Gereja Katolik menyumbang gagasan mengenai hukum
kodrat yang sangat berpengaruh dalam pengembangan etika dan
bioetika, bahkan sampai zaman kita. Dalam pemahaman Gereja Katolik,
manusia tidak hanya mampu membedakan yang baik dan buruk, tetapi
juga sanggup menjauhkan dirinya dari tindakan atau perilaku buruk
ketika rasionya (reason) yang memampukan dia melakukan pembedaan
itu berpartisipasi atau mengambil bagian dalam rasio mutlak Allah.
Di abad ke-14 dan ke-15 lahir banyak karya yang sebetulnya adalah
pengembangan lebih lanjut dari libri penitentiales. Karya-karya tersebut
berfungsi sebagai semacam buku petunjuk bagi para imam dan pendengar
pengakuan dosa (confessor) dalam mendengar dan menentukan jenis
dosa serta penitensi anggota jemaat. Antonius, uskup agung Florence
dalam karya ketiga dari empat jilid karyanya berjudul Chronicon partibus
tribus distincta ab initio mundi ad MCCCLX (1542) membahas fungsi dan
kewajiban yang berbeda-beda dari berbagai profesi di dunia. Menurut
dia, di dunia ini ada orang yang berkeluarga, orang yang belum menikah
dan janda, para penguasa, tentara, penegak hukum, dokter, pedagang,
hakim, pekerja seni, dan sebagainya. Antonius membahas cukup
mendetail tugas dan tanggung jawab para dokter. Menurut dia, dokter
harus memiliki kompetensi medis dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Selain harus telaten menangani pasien-pasiennya, seorang dokter juga
wajib memberitahu pasien yang akan meninggal mengenai situasi yang
akan dihadapinya. Antonius juga menulis mengenai honor atau gaji yang
pantas bagi seorang dokter serta kewajiban untuk tidak menganjurkan
tindakan-tindakan medis tertentu seperti hubungan seksual antara laki-
laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan sakramental ataupun
masturbasi karena melawan hukum moral. Karya ini juga berisi berbagai
pertanyaan dan pembahasan mengenai aborsi.7
Awal tahun 1621, Paolo Zacchia, seorang dokter Roma, menerbitkan
beberapa jilid karyanya berjudul Questiones Medico-legales. Karena karya
inilah dia dikenal sebagai Bapa Spiritual etika medis. Dia membahas
banyak tema yang berbeda, antara lain masalah usia, kelahiran,
kehamilan, kematian, penyakit mental, keracunan, impotensi, sterilitas,

Ibid, hlm. 2323.


7

321
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

penyakit menular, keperawanan, pemerkosaan, puasa, mutilasi bagian


tubuh, dan persenggamaan. Karya ini sebetulnya merupakan usaha
menjembatani jurang antara teologi, pengobatan, dan hukum, serta
menyertakan pengetahuan medis sebagai hal penting bagi para pastor,
sama seperti isu moral dan hukum yang juga harus diketahui oleh para
dokter. Sementara itu, Michiel Boudewyns menerbitkan sebuah karyanya
berjudul Ventilabrum Medico-theologicum (1666). Doktor bidang filsafat dan
kedokteran ini mendiskusikan masalah-masalah moral yang biasanya
dihadapi para dokter. Etika medis Katolik di abad ke-20 mengadopsikan
beberapa lingkup dan pendekatan pemikir yang satu ini.8
Perkembangan menarik lainnya tampak dalam karya seorang Jesuit
Prancis bernama Thophile Raynaud (1583-1163). Dalam karyanya
berjudul De Ortu Infantium sang penulis menegaskan bahwa dalam
menolong seorang ibu melahirkan dokter bisa saja memutuskan apakah
melakukan operasi sesar atau tidak, dan keputusan itu menimbulkan
masalah moral tertentu yang harus dipecahkan. Sementara itu, pada
tahun 1658 Girolamo Fiorentini dalam karyanya berjudul Disputatio de
Ministrando Baptismo, membahas masalah pembaptisan terhadap fetus
yang digugurkan (humanis foetibus abortivorum) yang sebenarnya adalah
seorang manusia. Sementara itu, Francesco Cangiamila dalam karyanya
Sacra embryologia, mendiskusikan pertanyaan yang berhubungan dengan
embriologi, seperti pembaptisan janin yang mati dalam rahim.9
Tinjauan historis singkat ini belum menunjukkan secara eksplisit
peran Gereja Katolik bagi kelahiran bioetika. Hal ini dapat dimengerti
karena sekali lagi pada abad ke-17 dan ke-18 ditandai oleh perkembangan
lain yang lebih berhubungan dengan kepentingan gereja mempersiapkan
para imamnya sebagai pendengar pengakuan dosa (confessor) di mana
refleksi moral lebih dititikberatkan pada teologi moral, khususnya
membuat buku-buku petunjuk yang dapat dirujuk oleh para confessor
dalam praktik pengakuan dosa. Dengan demikian, dari akhir abad
ke-17 hingga Konsili Vatican II, upaya pelembagaan teologi moral
mendominasi refleksi teologi moral Katolik dengan ciri utama menyajikan
sedikit landasan teoretis dilanjutkan dengan mengaplikasikannya da
lam sakramen pengakuan dosa. Ini disusun dalam skema sepuluh
perintah Allah atau sakramen-sakramen, di mana masalah-masalah

Ibid, hlm. 2323.


8

Ibid, hlm. 2323-2324.


9

322
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

etika medis umumnya direduksikan kepada topik Perintah Allah kelima,


yakni jangan membunuh yang secara implisit juga melarang praktik
mutilasi. Selain itu, masalah etika medis juga sering diletakkan dalam
tema perkawinan. Menarik dicatat, pada periode ini muncul buku-buku
berisi kasus-kasus praktis (casus conscientiae) sebagai pelengkap bagi
pelembagaan teologi moral serta dikembangkannya metode kasuistri
(casuistry method) yang di kemudian hari menjadi salah satu sumbangan
utama teologi moral Gereja Katolik bagi pengembangan bioetika.
Bagaimana dengan abad-abad selanjutnya? Ilmu-ilmu berkembang
pesat di abad ke-19, termasuk ilmu kedokteran. Pada waktu itu dirasakan
ada semacam jurang antara teologi moral dengan ilmu kedokteran dalam
arti teologi moral sudah tidak sanggup lagi memecahkan masalah-
masalah etis yang muncul dari dunia kedokteran, misalnya hanya
dengan mereduksikannya di bawah perintah Allah kelima. Menyadari
hal ini, Gereja Katolik menciptakan apa yang disebut sebagai pastoral
medicine. Ini tampak misalnya dalam karya Carl Capellmann, seorang
dokter Jerman yang melihat pentingnya mempersiapkan para imam
dengan pengetahuan yang cukup memadai di bidang medis yang akan
sangat berguna dalam menjalankan pelayanannya dan memampukan
para imam mengkomunikasi prinsip-prinsip moral Katolik kepada para
dokter. Pemikiran yang dikembangkan Capellmann lalu tidak hanya
difokuskan pada perintah Allah kelima (meliputi juga masalah aborsi,
pembedahan medis, dan penggunaan obat-obatan), tetapi juga mencakup
perintah Allah keenam (meliputi pula masalah masturbasi, perzinahan,
dan perkawinan). Topik-topik lain yang berhubungan dengan perintah-
perintah Gereja seperti masalah puasa dan pantang, sakramen-sakramen
(terutama pembaptisan), komuni, dan perminyakan orang sakit juga ikut
dibahas.
Di abad ke-20 masalah-masalah etis, termasuk yang dihadapi para
dokter dan perawat tetap dibahas dalam traktat-traktat teologi moral.
Meskipun demikian, buku-buku lain mengenai pastoral medicine atau
etika medis mulai muncul dan mengurangi dominasi traktat teologi
moral. Ini merupakan perkembangan yang sangat positif, terutama kalau
dikontekskan dalam pentingnya mengembangkan metodologi sendiri
yang khas etika biomedis dalam memecahkan persoalan-persoalan etika
biomedis. Demikianlah, karya Albert Niedermeyer, seorang pemikir
Jerman di bidang pastoral medicine, misalnya, meliputi topik-topik yang

323
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

cukup lengkap di bidang etika medis dewasa ini, termasuk di dalamnya


adalah masalah psikiatri dan psikoterapi. Sementara itu, etika medis
mulai muncul di Amerika Serikat di abad ke-20, dengan fokus pada
masalah-masalah etis yang dihadapi para dokter, perawat, dan rumah
sakit-rumah sakit Katolik. Salah satu karya yang layak disebut adalah
Moral Principles and Medical Practice (1897) yang ditulis oleh pastor Charles
Coppens, teks yang digunakan secara luas sebagai materi pengajaran di
fakultas-fakultas kedokteran dan sekolah-sekolah perawat Katolik. Tahun
1949 dan kemudian direvisi tahun 1955, Asosiasi Rumah Sakit Katolik
Amerika Serikat memformulasikan Ethical and Religious Dirrectives for
Catholic Hospitals yang menjadi acuan memecahkan masalah-masalah
etis yang dihadapi para dokter dan perawat.

2. Bioetika Mencari Kemandirian?


Itulah perkembangan historis di bidang etika medis menjelang
periode kelahiran bioetika. Sebagaimana dikatakan di atas, bioetika
terutama dalam konteks Amerika Serikat persis lahir dan dibesarkan
selama abad akhir abad ke-20 dalam rahim Gereja Katolik di mana
keterlibatan etikawan dan teolog Katolik tidak bisa dianggap remeh.
Di sinilah menurut saya deskripsi Kevin Wm. Wildes S.J. tepat adanya,
bahwa para ahli etika atau teologi moral Katolik dan dunia kedokteran
dengan sejuta masalah yang ditimbulkannya bertemu dalam sebuah titik
peleburan yang sama, yakni the experience of finitude.10
Meskipun demikian, titik pertemuan yang khas itu ternyata ti
dak menjanjikan sebuah romansa kekal. Betul kata Albert R. Jonsen,
Bioethics began in religion, but religion has faded from bioethics,11 dan
persis di sinilah hubungan antara bioetika dan agama terutama
agama dan ajaran moral Gereja Katolik memasuki masa suka dan
dukanya. Gereja Katolik menghadapi kenyataan bahwa dia tidak lagi

10
The practice of medicine confronts, again and again, the finite nature of human
existence in suffering, sickness, death, and the limits of resources. The confrontation
with finitude is also an impetus for the religious experience which seeks to understand
the meaning of human life in the face of suffering and death. The dilemmas of medical
ethics present a unique meeting place for religion and medicine. Kevin Wm. Wildes,
dkk. (Eds), Birth, Death, and Suffering. Catholic Perspectives at the Edge of Life,
Kluwer Academy Publishers, Netherlands, 1992, hlm. 1.
11
Dalam David E. Guinn, 2006, hlm 23.

324
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

berbicara kepada masyarakat yang homogen dengan keyakinan dan


ajaran moral yang beragam. Karena itu, terminologi seperti martabat
manusia, manusia sebagai citra Allah, awal mula kehidupan, teologi
kepamongan (theology of stewardship) bahwa sebagai mitra Allah manusia
dipanggil untuk menjaga dan merawat keberlangsungan alam semesta,
pandangan mengenai manusia sebagai pribadi, dan seterusnya yang
sebelumnya diterima begitu saja sebagai universal values dan rationalitas
penjelas dalam pengembangan bioetika, kini justru dipersoalkan, bahkan
didekonstruksi.12
Masalahnya tidaklah mudah merefleksikan dan mengartikulasikan
ulang ajaran-ajaran moral dewasa ini, dan inilah situasi nyata yang
dihadapi Gereja Katolik dan hampir semua agama lainnya. Sekurang-
kurangnya dua contoh bisa dikemukakan di sini untuk menunjukkan
kesulitan yang dihadapi. Pertama, konsep martabat manusia dalam
artinya yang klasik13 yang oleh tradisi Yudeo-Kristiani dipahami sebagai
yang bersumber pada Kitab Kejadian 1:26, bahwa manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah sendiri, justru sekarang dipersoalkan,
atau tepatnya didekonstruksi. Sejak bioetika mulai dikembangkan,
konsep biblis mengenai martabat manusia ini memiliki implikasi etis
bagi dunia kedokteran. Paham mengenai manusia sebagai citra Allah
mengandung implikasi bahwa manusia adalah mitra Allah, yang
karena keserupaannya diangkat dan diserahi tanggung jawab khusus
menyempurnakan dan menjaga keberlangsungan hidup ciptaan ini.
Bahwa status keserupaan dengan Allah ini bersifat imparsial dalam

12
The church now speaks and acts in a secular, morally pluralistic culture which
has many moral voices. In the face of such cultural changes it becomes crucial for
traditions, such as catholicism, to reinterpret and rearticulate themselves so that
they can understand themselves and speak to others. Ini sekaligus menjawab
pertanyaan fenomenal yang diajukan Alasdair MacIntyre, whose rationality,
which justice? persis ketika kita sekarang menghadapi fragmentasi nilai-nilai
dan prinsip-prinsip moral. Dan bagi MacIntyre sendiri, Gereja Katolik yang
memiliki tradisi yang amat kaya ini harus mereinterpretasi dan merumuskan
ulang ajaran-ajaran moralnya, karena the ability of a tradition to respond to new
problems indicates the vitality of the tradition itu sendiri. Kevin Wm. Wildes,
dkk (Eds), 1992, hlm. 3-5.
13
Martabat manusia dalam artinya yang klasik dipahami dari asal katanya
Bahasa Latin dignus dan dignitas, yang artinya worthiness for honor and self
esteem. Lihat The President Council on Bioethics, Washington D.C., March 2008,
hlm. 6.

325
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

pengertian tidak membeda-bedakan apakah seseorang itu sehat atau


sakit, cacat atau normal, apalagi distingsi-distingsi lainnya yang bersifat
sosiologis.14
Ketika tradisi dan pandangan moral Gereja Katolik memengaruhi
pengembangan bioetika, konsep biblis mengenai martabat manusia
ini diposisikan sebagai semacam authoritative guidance atau prinsip
penjustifikasi dalam memecahkan berbagai persoalan etis dalam dunia
kedokteran, misalnya prinsip etis bahwa manusia adalah pribadi
yang kudus dan bermartabat dalam setiap fase kehidupannya, sejak
pembuahan hingga kematian. Bahwa menjadikan manusia semata-mata
sebagai alat atau menghancurkannya demi kepentingan suatu penelitian
dan pengembangan teknologi, atau dengan sengaja membiarkannya mati
tidak bisa dibenarkan sama sekali. Bahkan implikasi lain dari konsep
biblis martabat manusia seperti kewajiban berbuat baik, menghormati
manusia sebagai pribadi, menerima dan menghormati otonomi manusia
yang menurunkan prinsip-prinsip etika kedokteran dewasa ini seperti
prinsip otonomi, prinsip melakukan kebaikan, dan prinsip tidak mela
kukan keburukan pada pasien dianggap bersumber pada konsep biblis
mengenai martabat manusia tersebut.15
Bioetika yang bersumber pada tradisi moral Gereja Katolik tentu
tetap mempertahankan pandangan semacam itu. Ketika menyampaikan
pesan perdamaian dunia pada tanggal 1 Januari 2007, Paus Benediktus
XVI menegaskan sekali lagi ajaran Gereja Katolik mengenai martabat
manusia sebagai authoritative guidance. Bagi Benediktus XVI, manusia
memiliki martabat yang mulia sebagai pribadi (person). Manusia adalah
pribadi (person), bukan sesuatu (something), atau sekadar seseorang
(someone). Sebagai ciptaan Allah, manusia adalah pribadi yang memiliki
kemampuan mengenal diri sendiri, self-possession, memberikan diri
secara bebas, dan merelakan diri masuk dalam persekutuan dengan
orang lain.16 Manusia adalah pribadi karena dia merupakan satu-satunya
makhluk yang diciptakan seturut gambar dan rupa Allah.17 Implikasinya
di bidang bioetika bisa ditarik jauh sampai ke prinsip otonomi pasien,

14
Ibid, hlm. 7-10.
15
Ibid, hlm. 10.
16
H. Tristram Engelhard Jr., The Foundation of Christian Bioethics, Swets and
Zeitlinger Publisher, Netherlands, 2000, hlm. 127.
17
Ibid, hlm. 128.

326
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

informed consent, tanggung jawab dokter menyembuhkan pasien (prinsip


melakukan kebaikan) dan menghindari keburukan (prinsip non-male
ficence), dan sebagainya.
Mengembangkan bioetika dengan mengacu pada paham martabat
manusia semacam ini justru banyak dikritik bioetikawan dewasa ini.
Salah satu kritik pedas dan sarkastis dapat dibaca dalam sebuah karangan
singkat berjudul Religion and Dignity: Assent and Dissent dan dimuat
dalam buku The Foundation of Christian Bioethics18 yang ditulis oleh Eilidh
Campbell St. John dan Stuart Blacker. Bagi Eilidh Campbell St. John dan
Stuart Blacker, siapa pun yang menerima pandangan mengenai martabat
manusia sebagaimana dikemukakan Benediktus XVI akan mengikatkan
diri pada implikasi, bahwa apa pun perilaku yang menyangkal manusia
sebagai pribadi yang bermartabat adalah penghinaan (blasphemy) kepada
Allah sendiri. Implikasi lain, Allah adalah sumber segala kehidupan,
pribadi yang kudus dan suci, dan sang pencipta. Dengan menciptakan
manusia seturut gambar dan rupa-Nya, Allah mengizinkan manusia
berpartisipasi dalam keilahian-Nya. Pertanyaan yang diajukan kedua
pemikir ini, Apakah di luar paham teologis dan biblis ini kita tidak
bisa berbicara mengenai manusia yang memiliki martabat? Apakah
martabat manusia tidak bisa didiskusikan dalam konteks lain, misalnya
ateisme atau psikologi? Gugatan lebih keras lagi, Apakah kata-kata
yang dikemukakan Benediktus XVI sungguh menggambarkan realitas
yang sesungguhnya mengenai martabat manusia? Menurut mereka,
apa yang dikatakan Benediktus XVI serta para filsuf dan teolog Kristiani
yang menghubungkan martabat manusia dengan rahasia penciptaan
Allah sebenarnya tidak lebih dari orang yang mengumbar kata tanpa
makna. Mengutip Francis Bacon, Eilidh Campbell St. John dan Stuart
Blacker berpendapat bahwa kata-kata itu hanya akan mengaburkan
pemahaman kita mengenai siapa manusia. Atau, merujuk ke pendapat
Herbert Spencer yang mengatakan bahwa pilihan kata-kata yang tidak
tepat hanya akan menghasilkan pemikiran yang menyesatkan, kedua

Buku ini diedit oleh H. Tristram Engelhard Jr., semula seorang bioetikawan
18

Katolik yang dua puluh tahun belakangan menjadi pengikut Gereja Ortodox,
adalah pemegang gelar dua doktor dalam bidang yang berbeda, yakni filsafat
dan kesehatan. Buku ini diterbitkan oleh Swets and Zeitlinger Publisher,
Netherlands, 2000. Khusus karangan Eilidh Campbell St. John dan Stuart
Blacker, lihat hlm. 127-134.

327
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

pemikir ini pun beranggapan bahwa apa yang dikemukakan Benediktus


XVI dapat menyesatkan kita. Karena itu mereka menghimbau masyarakat
untuk tidak menganggap serius apa yang dikatakan pemimpin agama
yang menghubungkan martabat manusia dengan rahasia penciptaan
Ilahi.19
Kedua, pemikiran para filsuf yang justru mempertanyakan apakah
martabat manusia termasuk sebuah konsep yang bermanfaat bagi
bioetika itu sendiri. Dr. Adam Schulman, misalnya, dalam karangannya
berjudul Bioethics and the Question of Human Dignity yang diterbitkan
dalam buku Human Dignity and Bioethics,20 mempertanyakan masalah
ini. Dengan nada cukup pedas dan kontroversial, Schulman memulai
tulisannya seraya bertanya, Apakah martabat manusia adalah sebuah
konsep yang bermanfaat dalam bioetika? Di sini kata manfaat sengaja
digunakan Schulman untuk mengingatkan kita bahwa penerapan
konsep apapun dalam bioetika harus bisa menjadi terang atau penjelas
yang penting terhadap keseluruhan isu bioetika, mulai dari penelitian
embrio dan reproduksi berbantuan (assisted reproduction), pengembangan
biomedis, sampai merawat orang-orang yang tidak mampu (secara
medis) dan pasien terminal. Jika tidak, konsep martabat manusia tidak
punya manfaat apa-apa bagi bioetika dan menjadi slogan kosong tanpa
dukungan argumen-argumen meyakinkan, sekaligus menyembunyikan
bias-bias yang tak-terartikulasikan.21
Menurut Schulman, martabat manusia dalam tradisi Yudeo-Kristiani
adalah konsep yang tidak memadai jika diterapkan dalam bioetika. Tafsir

19
Kutipan: In many ways it [the word] would be satisfying to be able to dismiss ideas
we find inconvenient or misleading as nomina tantum only words but once
uttered, and especially once repeated and applied, words take on a powerful dynamism
of their own which drags us along path ways we might, upon sober reflection, choose
not to tread. Man acts as if he were sharper and master of language, while it is
language which remains the mistress of man. Ibid, hlm. 129.
20
Buku ini disebut berwibawa karena berisi tulisan, perdebatan dan diskusi
seputar martabat manusia dan bioetika yang sebetulnya adalah kumpulan
tulisan (essay) yang diminta oleh Penasihat Presiden untuk Masalah Bioetika
(Presidents Council on Bioethics) Amerika Serikat dengan Edmund D. Pellegrino
sebagai Ketua Dewan Penasihatnya. Bagian Pengantar menampilkan dua
artikel yang sebenarnya langsung menukik ke perdebatan seputar martabat
manusia dalam ranah publik. Diterbitkan oleh The President Council on
Bioethics, Washington D.C., March 2008.
21
Ibid, hlm. 3

328
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

teologis bahwa manusia diangkat pada tingkat menyerupai Allah karena


diciptakan seturut citranya dan diposisikan dengan tugas khusus di
dunia untuk menyempurnakan dunia justru menimbulkan kontroversi
tersendiri dalam memecahkan masalah moral bioetika. Mengapa misal
nya pandangan moral Kristiani melarang pembuahan in vitro atau cloning,
padahal tindakan medis ini sendiri dapat diinterpretasikan sebagai
bagian dari partisipasi manusia dalam tindakan penciptaan Allah, yakni
sebagai mitra Allah ikut menyempurnakan dunia dan seluruh ciptaan-
Nya.22
Menurut Schulman, mempertahankan konsep Yudeo-Kristiani me
ngenai martabat manusia akan menimbulkan masalah moral lainnya
yang lebih rumit dalam bioetika yang sulit dipecahkan. Dalam hal
penelitian dan pengembangan stem cell, misalnya, apakah setiap tahap
dari perkembangan kehidupan manusia itu sendiri harus dipandang
sebagai suci (sacred), atau pada level tertentu belum bisa dikategorikan
sebagai suci sehingga bisa memberi ruang kepada ahli biologi untuk
mengembangkan penelitiannya dengan menjadikan manusia yang
belum mencapai level kemanusiaannya itu sebagai objek penelitian?
Bagi Schulman, jika seluruh tahap perkembangan manusia adalah suci,
bukankah sudah menjadi bagian dari tanggung jawab moral manusia
untuk menyembuhkan, mempertahankan, atau memperbaiki hidup
manusia itu sendiri melalui tindakan-tindakan medis semacam stem cell?
Apa yang bisa disimpulkan dari sikap kritis para pemikir terhadap
pengembangan bioetika berbasiskan tradisi Yudeo-Kristiani ini? Kita bisa
menjawab pertanyaan ini dari dua sudut pandang, yakni secara spesifik
(mengacu kepada pandangan para pengkritik sendiri) dan secara umum
(melihat optimisme dan tren pengembangan bioetika dewasa ini).
Secara khusus harus diakui, tinjauan historis yang dilakukan Schulman
atas perkembangan konsep martabat manusia mulai dari tradisi Yunani
dan Romawi, kritik terhadap pandangan Yudeo Kristiani, tradisi pemi
kiran Kantian, dan pandangan modern mengenai martabat manusia
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menegaskan satu hal yang
tampaknya lolos dari perhatian. Dr. Schulman seharusnya sadar bahwa
konsep martabat manusia lahir dalam ruang dan waktu historis tertentu,
dipahami dan ditafsir oleh tradisi tertentu dengan seluruh kekayaan

Ibid, hlm. 8-9.


22

329
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

nilai-nilainya, karena itu kelemahan dan keterbatasannya merupakan


sesuatu yang wajar. Schulman justru melupakan aspek fundamental
perkembangan seluruh sejarah pemikiran, yakni sifat saling memperkaya
dan mengisi dan bukan saling meniadakan. Apa yang ingin dibuktikan
Schulman sebenarnya menunjukkan ketidakmampuannya memahami
konsep martabat manusia dari berbagai perspektif. Lagi pula, bioetika
merupakan cabang etika terapan yang harus didekati secara lintas
ilmu, dan bukan dengan membayangkan kehadiran semacam organ
eksternal penyelesai berbagai persoalan etis yang ditimbulkan ilmu ini.
Saya melihat bahwa kritik serta upaya mendekonstruksi konsep
Yudeo-Kristiani mengenai martabat manusia dari dunia bioetika seperti
yang gencar dilakukan Eilidh Campbell St. John, Stuart Blacker, dan Dr.
Adam Schulman sebenarnya adalah bagian dari proyek besar mereka
memperjuangkan sebuah bioetika sekuler yang menurut mereka sanggup
memecahkan seluruh dilema moral yang ditimbulkan dunia kedokteran
maupun pengembangan teknologi biologi. Dan itu mereka lakukan
dengan mengembangkan sebuah bioetika yang membangun prinsip-
prinsip moralnya semata-mata berdasarkan pertimbangan kemanusiaan
(humanity). Artinya, justifikasi etis atas tindakan medis atau penelitian
yang menjadikan manusia sebagai objek penelitian tidak lagi berdasarkan
konsep martabat manusia dari tradisi pemikiran dan budaya terten
tu, katakan Yudeo-Kristiani, tetapi semata-mata berdasarkan pertim
bangan yang sangat kasuistik mengenai kemanusiaan. Bahayanya,
alasan kemanusiaan semacam ini lebih sering jatuh ke pertimbangan-
pertimbangan utilitaristik yang semata-mata mementingkan akumulasi
manfaat sebesar-besarnya yang bisa dicapai dalam sebuah tindakan
medis. Padahal berbagai pendekatan utilitaristik dalam memecahkan
masalah moral sering untuk tidak mengatakan selalu menciderai
rasa keadilan, termasuk keadilan manusia yang kita kategorikan sebagai
belum memiliki dimensi persona, belum mampu berpikir rasional, atau
belum otonom seperti embrio.23

Pandangan dan pendekatan utilitaristik ini sangat kentara pada pemahaman


23

Peter Singer yang membedakan manusia berdasarkan kategori anggota


sebuah spesies tertentu (homo sapiens) dan yang memiliki atau belum
memiliki persona. Semua manusia adalah anggota spesies homo sapiens, tetapi
tidak semuanya adalah persona sehingga tidak semua homo sapiens dapat
disebut sebagai person. Manusia hanya bisa disebut persona atau human
person jika dia memiliki kesadaran-diri, kontrol-diri, kepekaan akan masa

330
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

Secara umum kita merujuk kepada tren dan perkembangan bioetika


sekarang dan ke depan. Bagi Robert S. Morison24, bioetika ke depan
akan tetap relevan, terutama karena masalah-masalah etis yang timbul
baik dalam dunia kedokteran maupun pengembangan teknologi biologi.
Robert S. Morison melihat bahwa di bidang pengembangan teknologi
biologi, bahaya menjadikan manusia sebagai objek penelitian dan
eksperimen sangatlah kentara. Sementara bioetika di dunia kedokteran
sendiri telah beralih dari sekadar masalah probable damage of the
unidentifiable persons kepada hal-hal yang lebih subtle dan rumit. Masalah
euthanasia, misalnya, tidak sekadar apakah seorang dokter dibenarkan
menghentikan pengobatan dan asupan makanan kepada pasien terminal
(tidak tertolong lagi, tetapi apakah dibenarkan menghentikan peralatan
medis penunjang kehidupan, atau peralatan medis lainnya pada pasien
tertentu (belum terminal); di mana prinsip-prinsip bioetika yang
mendasarkan diri pada tradisi pemikiran Yudeo-Kristiani sudah tidak
memadai lagi.25
Robert S. Morison justru memotret masalah bioetika yang menurut
saya jauh lebih tepat dibandingkan dengan perdebatan apakah bioetika
perlu dibersihkan dari tradisi Yudeo-Kristiani atau tidak.26 Menurut dia,
sekularisasi universitas justru menjadi musuh yang tampaknya sulit
ditaklukkan dalam upaya pengembangan bioetika dewasa ini. Ketika
para bioetikawan, filsuf moral (etikawan), atau teolog moral berpartisipasi
dalam dunia pendidikan dengan mengajar dan mendampingi para calon
dokter atau calon ilmuwan biologi, mereka justru berhadapan dengan
kerasnya hati kaum positivis yang mengkategorikan pertanyaan-per

depan, kesadaran reflektif akan masa lampau, kemampuan berelasi dengan


orang lain, kemampuan membangun relasi dengan orang lain, kemampuan
komunikasi, dan rasa ingin tahu. Sebagai konsekuensi, homo sapiens seperti
fetus, manusia dalam keadaan vegetatif, atau bayi yang baru lahir, tidak
mungkin dikategorikan sebagai human person (persona). Mengambil kehidupan
manusia jenis terakhir ini tidak akan merugikan kepentingan atau kebaikan
yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok human person(persona). Lih.
Peter Singer, Practical Ethics, Cambridge Univ. Press, NY, 1979. Hlm. 75.
24
Robert S. Morison, Bioethics After Two Decades, The Hasting Center Report, Vol.
11, No. 2 (Apr., 1981), hlm. 8-12.
25
Ibid, hlm. 8.
26
Pandangan terakhir ini justru mendorong tradisi-tradisi agama mem
formulasikan dan menafsir ulang ajaran-ajaran moralnya, sehingga mereka
akan tetap berkembang dan hidup.

331
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

tanyaan mengenai nilai (values questions) sebagai sesuatu yang tidak


bermakna. Lebih berbahaya lagi ketika kaum positivis menguasai sebagian
besar pengambilan keputusan strategis dalam dunia akademis.27
Sekali lagi setelah hampir empat dekade bioetika berkembang dan
dikembangkan, kita boleh mengatakan bahwa cabang filsafat terapan
yang satu ini memiliki masa depan sangat cerah. Gereja Katolik sendiri
tidak berpretensi mengembalikan kemesraan hubungan antara bioetika
dan ajaran moral dasar mengenai martabat manusia sebagai citra Allah.
Meminjam tilikan Alasdair MacIntyre, Gereja Katolik sangat sadar,
bahwa dia sedang berhadapan dengan sebuah kultur yang pluralistik
dengan sejuta pandangan moralnya, di mana ketidakkekalan menjadi
karakteristik utama setiap pandangan moral. Dalam kesadaran semacam
inilah Gereja Katolik memandang penting untuk selalu menginterpretasi
ulang dan merumuskan ulang dirinya dan ajaran-ajarannya supaya bisa
memiliki pemahaman yang akurat mengenai siapa dirinya sehingga bisa
menyapa dan menyampaikan ajaran-ajarannya kepada dunia.28

3. Mendiskusikan Metode
Sebagai seorang etikawan, Prof. Bertens terlibat aktif dalam pene
litian, pengembangan, dan pengajaran etika di perguruan tinggi pada
masa ketika bioetika termasuk juga etika terapan lainnya seperti etika
bisnis mengalami perkembangan pesat, pertama-tama di Amerika
Serikat, lalu menyebar ke seantero dunia. Mencermati kiprah Prof.
Bertens dalam pengembangan etika di perguruan tingi dalam kerangka
tren universal pengembangan etika terapan, dapat dipastikan bahwa
mustahil mempertahankan etika selaku filsafat moral di sebuah menara
gading selaku ilmu yang menguji secara kritis dan komprehensif prinsip-
prinsip penjustifikasi tindakan moral tanpa implikasi praktis sama sekali.
Mencermati rancangan buku Etika (1993) lalu Pengantar Etika Bisnis
(2000), dan Etika Biomedis (2011), jelas terlihat usaha mengembangkan
sebuah etika terapan.29

27
Robert S. Morison, 1981, hlm. 8.
28
Dikutip dari Kevin Wm. Wildes , 1992, hlm. 5.
29
Bdk. Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm. 7. Sementara
itu dalam materi kuliah Etika Kedokteran, ketika membahas pertanyaan
bagaimana menjadi dokter yang baik?, Prof. Bertens secara eksplisit
merujuk ke bab 6 buku Etika, yakni materi bagaimana menjadi manusia yang

332
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

Masalahnya, apakah prinsip-prinsip etika umum tersebut diterapkan


begitu saja dalam pengembangan bioetika? Karena pertanyaan ini
menggugat masalah metodologi, maka pertanyaan selanjutnya adalah
metodologi apakah yang digunakan Prof. Bertens dalam mengembangkan
bioetika? Apakah Prof. Bertens bersikukuh mempertahankan grand
theory tertentu dari etika umum dan menerapkannya begitu saja dalam
bioetika? Apakah Prof. Bertens mengembangkan metodologi tertentu
yang khas sebagai sumbangan pemikirannya?
Mengatakan bahwa bioetika merupakan sebuah etika terapan
(applied ethics), orang bisa saja menyimpulkan bahwa cabang etika yang
satu ini menerapkan secara langsung prinsip-prinsip dasar teori etika
semisal utilitarisme.30 Kesimpulan seperti ini tentu beralasan, terutama
dalam kerangka teori utilitarisme yang sejak bioetika berkembang di
anggap sebagai pendekatan yang mumpuni dalam memecahkan masa
lah-masalah yang ditimbulkan dunia kedokteran.31 Orang sekaliber
Engelhardt saja pernah melakukan kekeliruan yang sama persis ketika
di awal keterlibatannya dalam pengembangan bioetika dia menerapkan
begitu saja teori-teori etika umum yang dikuasainya dalam memecahkan
masalah-masalah etis kedokteran.32
Sejak awal Prof. Bertens menyadari bahwa tidaklah mungkin
mengembangkan bioetika sebagai etika terapan dengan mengandalkan
hanya teori-teori etika yang diketahuinya. Bagaimanapun, seorang
etikawan tidak sanggup memecahkan sendiri, berdasarkan keahliannya,
seluruh masalah etis yang ditimbulkan dunia kedokteran.33 Seorang
etikawan harus sanggup bekerja bersama para ahli dari bidang lain

baik? Lih. K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001 (cet. ke-
6), hlm. 211-231; Lihat juga K. Bertens dan T. Sintak Gunawan (Diktat), Etika
dan Hukum Kedokteran, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta, 2004,
hlm. 86-94.

30
James Rachels menyebut hal ini sebagai model aplikasi langsung (the straigh
forward-application model), dalam arti the ethical theory is the starting-point, and
we apply theory to the case at hand in order to reach a conclusion about what should
be done. Dalam: Helga Kuhse dan Peter Singer (Eds.), A Companion to Bioethics,
Blackwell Publishers Ltd., NJ, 2001, hlm. 15.

31
Ibid.

32
Lih. Ana Smith Iltis and Mark J.Cherry (Eds.), At the Roots of Christian Bioethics
Critical Essays on the Thought of H.Tristram Engelhardt,Jr., Published by M &M
Scrivener Press, MA, 2010, hlm. viii-ix.

33
K. Bertens, Etika, 2001, hlm. 273.

333
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

dalam sebuah pendekatan multidisipliner.34 Inilah kesadaran nyata yang


mengingatkan Prof. Bertens, bahwa pengembangan etika kedokteran
tidak akan menempatkan seorang etikawan sebagai satu-satunya pemecah
masalah (problem solver), dan bahwa hanya dalam kerja sama dengan
para ahli lainlah masalah-masalah etis kedokteran bisa diselesaikan. Bagi
Prof. Bertens, hal terakhir ini menuntut seorang etikawan meninggalkan
menara gading kenikmatan refleksi filosofis murni akademis kepada
keterbukaan dan keakraban kerja sama dengan ilmu-ilmu lain.35
Jika pendekatannya adalah multidisipliner, metodologi apa yang
digunakan dalam memecahkan masalah etis di bidang kedokteran?36
Bioetikawan dewasa ini umumnya menolak model pendekatan langsung
sebagaimana dikemukakan James Rachels di atas. Menurut Rachels,
noma-norma umum selaku prinsip penjustifikasi dalam memecahkan
masalah-masalah kedokteran adalah prinsip-prinsip level tengah (mid-
level theory). Teori level tengah ini diumpamakan Rachel seperti mekanik
mobil yang sedang menghadapi kerusakan mobil tetapi dia sendiri belum
bisa mendeteksi apa penyebab kerusakan. Dalam keadaan demikian,
seorang mekanik berusaha memaksimalkan seluruh gagasan analitis dan
prinsip-prinsip kemekanikan yang diketahuinya sebagai yang paling
menjanjikan dalam memecahkan masalah. Tulis James Rachels:
The relation between ethical theory and bioethics is like the relation
between physics and automobile repair. Cars operate according to the

34
Menarik bahwa Prof. Bertens membedakan pendekatan multidisipliner
dan pendekatan interdisiplinier. Pendekatan multidisipliner lebih fisibel
dipraktikkan di mana setiap ahli terkait menyumbang pemecahan masalah
etis konkret berdasarkan sudut pandang keilmuannya tanpa meleburkan
pemahaman keilmuannya dalam pemahaman keilmuan lain. Sementara pen
dekatan interdisipliner menekankan pemecahan masalah etis konkret dari
berbagai sudut keilmuwan yang menghasilkan satu pemecahan di mana
berbagai disiplin keilmuan telah meleburkan pemikirannya dalam hasil akhir
tunggal. K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 272-
274.
35
Tulis Prof. Bertens, Supaya peranannya berguna dalam kerja sama multi
disipliner, memang perlu para filsuf moral keluar dari isolemen dan menjadi
akrab dengan bidang ilmiah lainnya. Ibid, hlm. 275.
36
Meskipun tampaknya tidak dibedakan antara pendekatan (approach) dan
metode (methods), kedua terminology ini memiliki perbedaan mendasar.
Pendekatan (approach) lebih mengacu kepada langkah-langkah yang diambil
dalam menetapkan prosedur pemecahan masalah. Menurut saya, penetapan
langkah-langkah ini mendahului pengoperasian sebuah metode.

334
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

laws of physics, to be sure: but one doesnt have to know physics to


be a good mechanic, and one certainly does not apply the laws of
physics to fix cars. The mechanics reasoning does not begin with For
every action, there is an equal and opposite reaction. Instead, it begins
with something like: The problem is either electrical or fuel-related. If
it is electrical .37

Apa yang dikembangkan bioetikawan semisal James F. Childress,


T.L. Beauchamp, atau H.T. Engelhardt, B. Gert, K.D. Clouser untuk
menyebut beberapa yang memang leading dan para pengkritik me
reka sebetulnya dapat direduksikan ke metode level-tengah ini.
Meskipun dirasakan belum memadai,38 prinsip-prinsip level tengah
yang dikembangkan ini umumnya diacu sebagai prinsip penjustifikasi
pemecahan masalah kedokteran. Prinsip level tengah ini sebenarnya
juga mendeskripsikan apa yang disebut Beauchamp dan Childress seba
gai moralitas bersama (common morality). Demikianlah, prinsip tidak
merugikan, prinsip berbuat baik, prinsip menghormati otonomi, dan
prinsip keadilan sebagaimana ditawarkan Beuchamp dan Childress,
misalnya, diacu sebagai rasionalitas umum atau moralitas bersama yang
kemudian dioperasikan sebagai prinsip-prinsip penjustifikasi tindakan-
tindakan etis di bidang kedokteran.39
Mengenai metodologi yang digunakan sebagaimana ditanyakan di
atas, harus dikatakan bahwa Prof. Bertens membaca secara saksama dan
kritis berbagai metode yang digunakan dalam pengembangan bioetika
sejak tahun 1960-an dan 1970-an, mendeskripsikan secara tepat berbagai
perdebatan di seputar metodologi, dan kemudian memberikan catatan
kritis dan penegasan yang menunjukkan sekaligus keberpihakannya.
Pendekatan atau metode kasuistik dan pendekatan berbasis-prinsip (a
principle-based approach) bisa dianggap sebagai dua metode pengembangan
bioetika yang secara khusus menarik minat Prof. Bertens.40
Dengan kasuistik dimaksud sebagai usaha memecahkan kasus-
kasus konkret di bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip

37
Dalam Helga Kuhse dan Peter Singer, 2001, hlm. 16.
38
K. Bertens dan T. Sintak Gunawan, 2004, hlm. 17.
39
Ibid, hlm. 17-30; Bdk, K. Bertens, Diskusi tentang Prinsipalisme dalam Etika
Biomedis, Makalah dibawakan dalam Seminar & Konferensi Hidesi di Wisma
Makara Universitas Indonesia, Depok, 18-19 Januari 2005, hlm. 7-10.
40
K. Bertens, Etika, 2001, hlm. 275-279.

335
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

etis umum.41 Pendekatan kasuistik yang memiliki tradisi panjang sejak


Aristoteles dan mendapatkan lahan subur untuk berkembang dalam
tradisi teologi moral Gereja Katolik (abad 1617) dirasa cocok digunakan
untuk memecahkan masalah-masalah moral kedokteran, persis ketika
prinsip-prinsip abstrak harus dikontekskan dalam lingkungan atau
ruang dan waktu tertentu (circumstances) agar dapat menjelaskan kasus-
kasus khusus tersebut. Bahkan dalam menjalankan profesinya, seorang
dokter mendiagnosis sebuah penyakit dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan konkret yang menyingkapkan gejala-gejala khusus penyakit
sebelum menyimpulkan suatu penyakit tertentu.42
Sebagaimana dikritik juga oleh Prof. Bertens, pendekatan kasuistik
tergolong pendekatan induktif (berangkat dari kasus untuk mencapai
sebuah kesimpulan umum). Sifatnya yang menekankan kasus dan
tinjauan ke belakang (backward-looking) dianggap kurang peka pada
penilaian terhadap akibat-akibat tindakan yang lebih sistematis dan
ilmiah. Pendekatan semacam ini juga bisa gagal menaruh perhatian
pada permasalahan-permasalahan sosial yang lebih besar, misalnya
masyarakat macam apa yang ingin kita wujudkan sebagai tempat hidup
yang layak, dan sebagainya. Dalam mengoperasikan pendekatan ini,
seorang etikawan atau bioetikawan harus memiliki keyakinan-keyakinan
yang sudah mantap, dan justru di sinilah terletak persoalannya. Etikawan
atau bioetikawan harus sanggup mengakomodasi dan memecahkan
berbagai prasangka atau berbagai pemahaman lain berdasarkan teori-
teori etika tertentu. Jika tetap digunakan, pendekatan kasuistri harus
dilengkapi dengan action-guiding principles and theories, with a concern
for larger questions of the good of life within a community, and with critical eye
for deep-seated and pervasive social injustices that distort our interpretation of
cases.43
Tampaknya kebutuhan akan prinsip-prinsip pembimbing
tindakan (action guide principles) dan teori-teori yang sanggup menjawab

41
Ibid, hlm. 275. Bdk. Albert R. Jonsen, dalam David E. Guinn, 2006, hlm.
25. Kutipan: It insisted that moral issues had to be embedded in real cases; the
circumstances of specific cases would be affect the justification and judgement to be
made about the case. Casuistry allows the ethicist to work with ethical problems in
relative isolation from foundations ot ethical theory and in doctrine.
42
K. Bertens, Etika, 2001, hlm. 277.
43
John D. Arras, A Cases Approach, dalam: Helga Kuhse and Peter Singer
(Eds.), A Companion to Bioethics, Blackwell Publishers Ltd, NJ, 2001, hlm. 113.

336
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

pertanyaan-pertanyaan yang lebih umum tidak bisa dikembalikan kepada


sebuah pendekatan absolut yang mendasarkan prinsip penjustifikasi
tindakan moral pada sebuah pendekatan absolut yang mendewakan
hanya satu teori moral saja.44 Dalam arti itu, dua ekstrem dalam
pendekatan bioetika pendekatan absolut yang mewakili pendekatan
deduktif dan pendekatan kasuistri yang mewakili pendekatan induktif
harus diganti dengan pendekatan dan metode yang mensintesakan
kedua pendekatan tersebut, dan itu adalah pendekatan berbasis-prinsip
(a principle-based approach). Apakah pendekatan terakhir ini cukup meya
kinkan bagi pengembangan bioetika ke depan?
Sebagai pensintesa dua pendekatan ekstrem, pendekatan berbasis-
prinsip umumnya diterima sebagai pendekatan yang paling berpengaruh
dewasa ini, meskipun kemudian selalu ditegaskan bahwa tidak ada
pendewaan satu metode atau pendekatan pun dalam pengembangan
bioetika.45 Demikianlah, Tom Beauchamp dan James F. Childress
menawarkan empat prinsip utama dalam bioetika, yakni prinsip
menghormati otonomi (respect for autonomy), prinsip tidak melakukan
keburukan (non-maleficence), prinsip melakukan kebaikan (beneficence),
dan prinsip keadilan (justice). Bagi mereka, meskipun merupakan per
timbangan-pertimbangan umum, keempat prinsip ini sebetulnya sudah
mengandung kewajiban, antara lain kewajiban menghormati pilihan-
pilihan dari orang-orang yang berkompeten (menghormati manusia
sebagai pribadi atau menghormati otonomi pribadi), kewajiban tidak
membahayakan orang lain (beneficence), kewajiban menghasilkan keun
tungan-keuntungan yang seimbang yang melampaui atau melebihi
akibat-akibat buruk (utility), kewajiban mendistribusikan keuntungan
dan kerugian secara adil (justice), kewajiban menepati janji dan perjanjian-
perjanjian (fidelity), kewajiban mengatakan yang benar, kewajiban me
nyampaikan informasi yang benar, serta kewajiban menghormati pri
vasi dan melindungi informasi-informasi yang sifatnya konfidensial
(confidentiality).46
Bagaimana prinsip-prinsip ini dioperasikan? Berhadapan dengan
sebuah kasus atau masalah moral, seorang bioetikawan segera mene
rapkan prinsip-prinsip pada kasus yang dihadapi (aplikasi). Tentu pene

44
Helga Kushe dan Peter Singer, 2001, hlm. 78.
45
James F. Childress, dalam Helga Kuhse dan Peter Singer, 2001, hlm. 61.
46
Ibid, hlm. 62.

337
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

rapan prinsip pada kasus khusus yang dihadapi semacam ini termasuk
pendekatan deduktif. Seorang bioetikawan tidak akan puas dengan
aplikasi prinsip tersebut, tetapi akan terus mencari keseimbangan antara
prinsip-prisip dalam hubungan dengan sebuah kasus (keseimbangan atau
balancing). Langkah selanjutnya adalah spesifikasi, yakni qualitatively
tailoring our norms to cases through specifying such circumstances as who,
what, and when.47
Demikianlah, pendekatan berbasis-prinsip ini dipraktikkan dan terus
dikembangkan oleh para bioetikawan dengan kesadaran penuh bahwa
mereka akan selalu terbuka pada setiap perubahan, mengingat tidak satu
pun pendekatan dalam bioetika bersifat ultima. Justru ketika pendekatan
berbasis-prinsip menyintesakan pendekatan absolut (berbasis prinsip
moral level pertama) dan pendekatan kasuistik (berbasis kasus), model
pendekatan ini menunjukkan sifat prima facie-nya serta kesanggupannya
mengakomodasi berbagai prinsip rasional dan universal yang sanggup
memecahkan masalah-masalah etika dalam dunia kedokteran. Di sinilah
kita mengerti dengan baik mengapa aspek ruang dan waktu atau
keadaan konkret hidup manusia (circumstances) begitu diberi tempat
dalam pendekatan ini.

Penutup
Dalam keheningan, Prof. Bertens telah membuktikan bahwa bakti
pada ilmu pengetahuan bernilai amat mulia persis ketika sumbangan
pemikirannya diarahkan kepada upaya mempersiapkan calon-calon
dokter yang menjunjung tinggi profesinya sekaligus menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia. Sebagai seorang imam (ordained priest),
saya yakin Prof. Bertens memahami betul perutusannya, bukan untuk
membaptis segala bangsa seperti diamanatkan Sang Guru junjungannya,
tetapi panggilan untuk mewartakan kabar gembira (evangelion) kepada
para calon dokter, bahwa menjadi dokter itu profesi yang mulia. Sama
seperti Tuhan mempercayakan keberlangsungan ciptaan kepada manusia
yang adalah mitra-Nya, Prof. Bertens seakan mengatakan kepada mereka,
bahwa menghormati kehidupan dan kemanusiaan dalam menjalankan

Ibid, hlm. 63. Bdk. K. Bertens, Diskusi tentang Prinsipalisme dalam Etika Biomedis,
47

Makalah dibawakan dalam Seminar & Konferensi Hidesi di Wisma Makara


Universitas Indonesia, Depok, 18-19 Januari 2005, hlm. 7-8.

338
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

profesi kedokteran sama artinya dengan mengejawantahkan status


kemitraan sebagaimana dikehendaki Sang Guru Agung.
Bioetika hanyalah sarana mewartakan pentingnya menghormati
kemanusiaan dan kehidupan itu. Bahwa cara mengoperasikan sarana itu
senantiasa diperdebatkan di kalangan bioetikawan, itu sudah menjadi
bagian dari perdebatan metodologis sebuah ilmu. Di sinilah Prof.
Bertens menunjukkan sebuah sikap ilmuwan yang senantiasa terbuka
kepada setiap perdebatan dan isu-isu mutakhir seputar pengembangan
bioetika. Keterbukaan semacam inilah yang seakan-akan menjadi pele
cut dan penyemangat untuk terus berkarya dan meneliti. Di tengah
perjalanan seorang ilmuwan mengarungi dunia yang hening nan sepi,
saya yakin Prof. Bertens mengajak para calon dokter dan para dokter
untuk senantiasa mengalunkan puisi-doa ini:

God, let me begin each clinical encounter by always putting my


patients needs first. Grant me the strength to not be seduced by the
allure of worldly pleasures, so as to be the best healer I can be, as I look
to be thorough and careful in practicing my art.
Guide me as I practice this sacred vocation. May I have the wisdom
to learn from the lessons of my teachers, as I contemplate how to
best serve each person who seeks my counsel. Help me touse all of
my senses as I strive for excellence in caring for my patients, and to
understand that if I cannot help someone, then at a minimum I will
do no harm. Strengthen me to have an inner and outer calmness when
faced with the inevitable difficulties that lie before me.
Show me how to best educate my patients on how to live longer and
healthier lives, while being open to learning from those whom I serve.
Show me how to be temperate and modest as I look to assist nature
by incorporating proper diet, exercise and my patients own resources
in their overall care. Never let me forget that I am caring for someone
who is suffering from a disease, and not taking care of a disease. May
I never forget my duty to practice medicine based upon a conviction
of pursuing altruistic beneficence, marked by showing compassion for
others as I commit myself to a life of service.
May I not abandon, but look to serve the poor and advocate for those
who suffer because of disparities in our health care system. Remind
me to keep matters between physician and patient confidential and
that I am accountable for my actions. May I always show respect
and care for myself and my family, while being kind in my everyday
interactions with others.

339
Moralitas Lentera Peradaban Dunia

I ask you for humility in knowing the limitations of my art. May I


always end each encounter with my patient knowing that I have
done my best in assisting you by applying the bandages, while taking
comfort in the fact that only power greater than I heals. AMIN.48

Akhirnya, melepas 75 tahun usianya, Prof. Bertens seakan menan


tang siapa saja yang mau mengikuti jalan pengembangan bioetika
untuk tidak pernah memadamkan api semangat meneliti meskipun
itu berarti kesediaan melewati malam sunyi-senyap, lorong kegelapan
yang tidak menjanjikan tawa dan puja-puji. Tetapi justru di penghujung
lorong itulah seseorang akan berjumpa dengan para dokter yang pernah
dididik, yang siap mengatakan, Terima kasih, Profesor! Karena engkau,
kami semakin memahami apa artinya kehidupan.

Daftar Pustaka
Ashcroft, Richard E., et.al. (Eds.), Principles of Health Care Ethics (Second
Edition), John Wiley & Sons, Ltd., England, 2007.
Barnard, David, The Physisian as Priest, dalam Journal of Religion and
Health, Vol. 24, No. 4 (Winter, 1985), oo. 272-286.
Bertens, K., Etika, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
_________, Sumpah Hippokrates: Perspektif Sejarah dan Etika, dalam:
Pawai Kehidupan. 70 Tahun Toeti Heraty, Penerbit Yayasan Mitra
Budaya Indonesia, Jakarta, 2003.
_________, Diskusi Tentang Principalism Dalam Etika Biomedis, Makalah
dibawakan dalam Seminar & Konferensi Hidesi di Wisma Makara
Universitas Indonesia, Depok, 18-29 Januari 2005.
_________, Pengantar Etika Bisnis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Bertens, K. dan T. Sintak Gunawan, Diktat Etika dan Hukum Kedokteran,
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta, 2004.
Becker C., Lawrence (Ed.), Encyclopedia of Ethics, Garland Publishing,
Inc., NY, 1992.
Cagan, Richard, Advice to Young Physicians on the Art of Medicine, Springer,
NY, 2009
Cassel, Eric J., Person, dalam: Encyclopedia of Bioethics, vol. 4 (Revised
Edition), Simon & Schuster Macmillan, NY, 1985.

Richard Cagan, Advice to Young Physicians on the Art of Medicine, Springer, NY,
48

2009. Hlm. 136.

340
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi

Curran, Charles R., Roman Catholicism, dalam Encyclopedia of Bioethics,


vol. 4 (Revised Edition), Simon & Schuster Macmillan, NY, 1985.
Engelhard Jr., H. Tristram, The Foundation of Christian Bioethics, Swets
and Zeitlinger Publisher, Netherlands, 2000.
Guinn, David E. (Ed.), Handbook of Bioethics and Religion, Oxford
University Press Inc., NY, 2006.
Guralnik, David B. (Ed.), New World Dictionary of The American Language,
William Collins Publisher, Inc., Ohio, 1980.
Iltis, Ana Smith dan Mark J.Cherry (Eds.), At the Roots of Christian Bioethics
Critical Essays on the Thought of H.Tristram Engelhardt,Jr., Published
by M &M Scrivener Press, MA, 2010.
Jecker, Nancy Ann Silbergeld, Bioethics: An Introduction to the History,
Methods, and Practice, Jones & Bartlett Publishers, Inc., Boston,
1997.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988.
Kuhse, Helga dan Peter Singer (Eds.), A Companion to Bioethics, Blackwell
Publishers Ltd, 2001.
Morison, Robert S., Bioethics After Two Decades, The Hasting Center
Report, Vol. 11, No. 2 (Apr., 1981).
Singer, Peter, Practical Ethics, Cambridge Univ. Press, NY, 1979.
The President Council on Bioethics, Human Dignity and Bioethics. Essay
Commissioned by the Presidents Council on Bioethics, Washington
D.C., March 2008.
Warner, Richard, Morality in Medicine. An Introduction to Medical Ethics,
Alfred Publishing Co., Inc., CA, 1980.
Wm. Wildes, Kevin, dkk. (Eds.), Birth, Death, and Suffering. Catholic
Perspectives at the Edges of Life, Kluwer Academic Publishers,
Netherlands, 1992.

341
Thank you for evaluating Wondershare PDF Splitter.

A watermark is added at the end of each output PDF file.

To remove the watermark, you need to purchase the software from

http://store.wondershare.com/shop/buy/buy-pdf-splitter.html

Anda mungkin juga menyukai