PERADABAN DUNIA
EDITOR
Cetakan ke- 5 4 3 2 1
Tahun 15 14 13 12 11
ISBN 978-979-21-3094-2
Pendahuluan
Hampir tiga dekade Prof. K. Bertens, membaktikan hidup dan pe
mikirannya mengembangkan etika di Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya (Jakarta). Selama itu pula seluruh penelitian dan refleksinya
di bidang filsafat difokuskan pada masalah-masalah etika, teoretis
maupun praktis. Tiga karya utama Prof. Bertens di bidang etika, yakni
Etika (Penerbit Gramedia, Jakarta: 1993), Pengantar Etika Bisnis (Penerbit
Kanisius, Yogyakarta: 2000), dan Etika Biomedis (Penerbit Kanisius,
Yogyakarta: 2011) dapat menjadi patokan afirmatif sementara, di sam
ping puluhan buku lain, ratusan makalah yang terbit di jurnal-jurnal
filsafat dan etika, serta berbagai ceramah yang menghadirkan sang
profesor sebagai pembicara. Buku pertama yang disebutkan di sini lebih
merupakan kajian reflektif dan deskriptif etika teoretis (etika umum),
sementara buku kedua dan terakhir membicarakan tema-tema etika
praktis (practical ethics).
Tahun ini, tepatnya tanggal 28 Juni 2011, Prof. Kees Bertens, MSC
merayakan hari ulang tahun yang ke-75. Saya teringat ucapan William
Wordsworth (1770-1850), seorang pujangga kenamaan Inggris yang
mengatakan, The thought of our past years in me doth breed perpetual
benedictions. Bagi saya, perjalanan panjang 75 tahun akan menjadi
sebuah berkat abadi jika itu diperingati sebagai sebuah momen reflek
tif, katakan saja memikirkan secara kritis pemikiran-pemikiran Prof.
Bertens yang telah disumbangkan bagi pengembangan filsafat, etika, dan
bioetika.
315
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
316
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
Paul G. Waugaman, The Case for a National Commission on Health Science and
1
Society, Public Administration Review, Vol. 29, No. 3 (May-Jun., 1969), hlm.
291-292.
317
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
2
David E. Guinn, (Ed.), Handbook of Bioethics and Religion, Oxford University
Press Inc., NY, 2006, hlm. 24.
3
Ibid, hlm. 23-36.
4
Albert R. Jonsen bersaksi, katany, I had crossed a frontier into a strange
land. I had to learn a new language, filled with the words of anatomy, physiology,
318
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
319
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
320
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
321
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
322
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
323
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
10
The practice of medicine confronts, again and again, the finite nature of human
existence in suffering, sickness, death, and the limits of resources. The confrontation
with finitude is also an impetus for the religious experience which seeks to understand
the meaning of human life in the face of suffering and death. The dilemmas of medical
ethics present a unique meeting place for religion and medicine. Kevin Wm. Wildes,
dkk. (Eds), Birth, Death, and Suffering. Catholic Perspectives at the Edge of Life,
Kluwer Academy Publishers, Netherlands, 1992, hlm. 1.
11
Dalam David E. Guinn, 2006, hlm 23.
324
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
12
The church now speaks and acts in a secular, morally pluralistic culture which
has many moral voices. In the face of such cultural changes it becomes crucial for
traditions, such as catholicism, to reinterpret and rearticulate themselves so that
they can understand themselves and speak to others. Ini sekaligus menjawab
pertanyaan fenomenal yang diajukan Alasdair MacIntyre, whose rationality,
which justice? persis ketika kita sekarang menghadapi fragmentasi nilai-nilai
dan prinsip-prinsip moral. Dan bagi MacIntyre sendiri, Gereja Katolik yang
memiliki tradisi yang amat kaya ini harus mereinterpretasi dan merumuskan
ulang ajaran-ajaran moralnya, karena the ability of a tradition to respond to new
problems indicates the vitality of the tradition itu sendiri. Kevin Wm. Wildes,
dkk (Eds), 1992, hlm. 3-5.
13
Martabat manusia dalam artinya yang klasik dipahami dari asal katanya
Bahasa Latin dignus dan dignitas, yang artinya worthiness for honor and self
esteem. Lihat The President Council on Bioethics, Washington D.C., March 2008,
hlm. 6.
325
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
14
Ibid, hlm. 7-10.
15
Ibid, hlm. 10.
16
H. Tristram Engelhard Jr., The Foundation of Christian Bioethics, Swets and
Zeitlinger Publisher, Netherlands, 2000, hlm. 127.
17
Ibid, hlm. 128.
326
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
Buku ini diedit oleh H. Tristram Engelhard Jr., semula seorang bioetikawan
18
Katolik yang dua puluh tahun belakangan menjadi pengikut Gereja Ortodox,
adalah pemegang gelar dua doktor dalam bidang yang berbeda, yakni filsafat
dan kesehatan. Buku ini diterbitkan oleh Swets and Zeitlinger Publisher,
Netherlands, 2000. Khusus karangan Eilidh Campbell St. John dan Stuart
Blacker, lihat hlm. 127-134.
327
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
19
Kutipan: In many ways it [the word] would be satisfying to be able to dismiss ideas
we find inconvenient or misleading as nomina tantum only words but once
uttered, and especially once repeated and applied, words take on a powerful dynamism
of their own which drags us along path ways we might, upon sober reflection, choose
not to tread. Man acts as if he were sharper and master of language, while it is
language which remains the mistress of man. Ibid, hlm. 129.
20
Buku ini disebut berwibawa karena berisi tulisan, perdebatan dan diskusi
seputar martabat manusia dan bioetika yang sebetulnya adalah kumpulan
tulisan (essay) yang diminta oleh Penasihat Presiden untuk Masalah Bioetika
(Presidents Council on Bioethics) Amerika Serikat dengan Edmund D. Pellegrino
sebagai Ketua Dewan Penasihatnya. Bagian Pengantar menampilkan dua
artikel yang sebenarnya langsung menukik ke perdebatan seputar martabat
manusia dalam ranah publik. Diterbitkan oleh The President Council on
Bioethics, Washington D.C., March 2008.
21
Ibid, hlm. 3
328
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
329
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
330
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
331
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
3. Mendiskusikan Metode
Sebagai seorang etikawan, Prof. Bertens terlibat aktif dalam pene
litian, pengembangan, dan pengajaran etika di perguruan tinggi pada
masa ketika bioetika termasuk juga etika terapan lainnya seperti etika
bisnis mengalami perkembangan pesat, pertama-tama di Amerika
Serikat, lalu menyebar ke seantero dunia. Mencermati kiprah Prof.
Bertens dalam pengembangan etika di perguruan tingi dalam kerangka
tren universal pengembangan etika terapan, dapat dipastikan bahwa
mustahil mempertahankan etika selaku filsafat moral di sebuah menara
gading selaku ilmu yang menguji secara kritis dan komprehensif prinsip-
prinsip penjustifikasi tindakan moral tanpa implikasi praktis sama sekali.
Mencermati rancangan buku Etika (1993) lalu Pengantar Etika Bisnis
(2000), dan Etika Biomedis (2011), jelas terlihat usaha mengembangkan
sebuah etika terapan.29
27
Robert S. Morison, 1981, hlm. 8.
28
Dikutip dari Kevin Wm. Wildes , 1992, hlm. 5.
29
Bdk. Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta, 2000, hlm. 7. Sementara
itu dalam materi kuliah Etika Kedokteran, ketika membahas pertanyaan
bagaimana menjadi dokter yang baik?, Prof. Bertens secara eksplisit
merujuk ke bab 6 buku Etika, yakni materi bagaimana menjadi manusia yang
332
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
baik? Lih. K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001 (cet. ke-
6), hlm. 211-231; Lihat juga K. Bertens dan T. Sintak Gunawan (Diktat), Etika
dan Hukum Kedokteran, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta, 2004,
hlm. 86-94.
30
James Rachels menyebut hal ini sebagai model aplikasi langsung (the straigh
forward-application model), dalam arti the ethical theory is the starting-point, and
we apply theory to the case at hand in order to reach a conclusion about what should
be done. Dalam: Helga Kuhse dan Peter Singer (Eds.), A Companion to Bioethics,
Blackwell Publishers Ltd., NJ, 2001, hlm. 15.
31
Ibid.
32
Lih. Ana Smith Iltis and Mark J.Cherry (Eds.), At the Roots of Christian Bioethics
Critical Essays on the Thought of H.Tristram Engelhardt,Jr., Published by M &M
Scrivener Press, MA, 2010, hlm. viii-ix.
33
K. Bertens, Etika, 2001, hlm. 273.
333
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
34
Menarik bahwa Prof. Bertens membedakan pendekatan multidisipliner
dan pendekatan interdisiplinier. Pendekatan multidisipliner lebih fisibel
dipraktikkan di mana setiap ahli terkait menyumbang pemecahan masalah
etis konkret berdasarkan sudut pandang keilmuannya tanpa meleburkan
pemahaman keilmuannya dalam pemahaman keilmuan lain. Sementara pen
dekatan interdisipliner menekankan pemecahan masalah etis konkret dari
berbagai sudut keilmuwan yang menghasilkan satu pemecahan di mana
berbagai disiplin keilmuan telah meleburkan pemikirannya dalam hasil akhir
tunggal. K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 272-
274.
35
Tulis Prof. Bertens, Supaya peranannya berguna dalam kerja sama multi
disipliner, memang perlu para filsuf moral keluar dari isolemen dan menjadi
akrab dengan bidang ilmiah lainnya. Ibid, hlm. 275.
36
Meskipun tampaknya tidak dibedakan antara pendekatan (approach) dan
metode (methods), kedua terminology ini memiliki perbedaan mendasar.
Pendekatan (approach) lebih mengacu kepada langkah-langkah yang diambil
dalam menetapkan prosedur pemecahan masalah. Menurut saya, penetapan
langkah-langkah ini mendahului pengoperasian sebuah metode.
334
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
37
Dalam Helga Kuhse dan Peter Singer, 2001, hlm. 16.
38
K. Bertens dan T. Sintak Gunawan, 2004, hlm. 17.
39
Ibid, hlm. 17-30; Bdk, K. Bertens, Diskusi tentang Prinsipalisme dalam Etika
Biomedis, Makalah dibawakan dalam Seminar & Konferensi Hidesi di Wisma
Makara Universitas Indonesia, Depok, 18-19 Januari 2005, hlm. 7-10.
40
K. Bertens, Etika, 2001, hlm. 275-279.
335
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
41
Ibid, hlm. 275. Bdk. Albert R. Jonsen, dalam David E. Guinn, 2006, hlm.
25. Kutipan: It insisted that moral issues had to be embedded in real cases; the
circumstances of specific cases would be affect the justification and judgement to be
made about the case. Casuistry allows the ethicist to work with ethical problems in
relative isolation from foundations ot ethical theory and in doctrine.
42
K. Bertens, Etika, 2001, hlm. 277.
43
John D. Arras, A Cases Approach, dalam: Helga Kuhse and Peter Singer
(Eds.), A Companion to Bioethics, Blackwell Publishers Ltd, NJ, 2001, hlm. 113.
336
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
44
Helga Kushe dan Peter Singer, 2001, hlm. 78.
45
James F. Childress, dalam Helga Kuhse dan Peter Singer, 2001, hlm. 61.
46
Ibid, hlm. 62.
337
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
rapan prinsip pada kasus khusus yang dihadapi semacam ini termasuk
pendekatan deduktif. Seorang bioetikawan tidak akan puas dengan
aplikasi prinsip tersebut, tetapi akan terus mencari keseimbangan antara
prinsip-prisip dalam hubungan dengan sebuah kasus (keseimbangan atau
balancing). Langkah selanjutnya adalah spesifikasi, yakni qualitatively
tailoring our norms to cases through specifying such circumstances as who,
what, and when.47
Demikianlah, pendekatan berbasis-prinsip ini dipraktikkan dan terus
dikembangkan oleh para bioetikawan dengan kesadaran penuh bahwa
mereka akan selalu terbuka pada setiap perubahan, mengingat tidak satu
pun pendekatan dalam bioetika bersifat ultima. Justru ketika pendekatan
berbasis-prinsip menyintesakan pendekatan absolut (berbasis prinsip
moral level pertama) dan pendekatan kasuistik (berbasis kasus), model
pendekatan ini menunjukkan sifat prima facie-nya serta kesanggupannya
mengakomodasi berbagai prinsip rasional dan universal yang sanggup
memecahkan masalah-masalah etika dalam dunia kedokteran. Di sinilah
kita mengerti dengan baik mengapa aspek ruang dan waktu atau
keadaan konkret hidup manusia (circumstances) begitu diberi tempat
dalam pendekatan ini.
Penutup
Dalam keheningan, Prof. Bertens telah membuktikan bahwa bakti
pada ilmu pengetahuan bernilai amat mulia persis ketika sumbangan
pemikirannya diarahkan kepada upaya mempersiapkan calon-calon
dokter yang menjunjung tinggi profesinya sekaligus menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia. Sebagai seorang imam (ordained priest),
saya yakin Prof. Bertens memahami betul perutusannya, bukan untuk
membaptis segala bangsa seperti diamanatkan Sang Guru junjungannya,
tetapi panggilan untuk mewartakan kabar gembira (evangelion) kepada
para calon dokter, bahwa menjadi dokter itu profesi yang mulia. Sama
seperti Tuhan mempercayakan keberlangsungan ciptaan kepada manusia
yang adalah mitra-Nya, Prof. Bertens seakan mengatakan kepada mereka,
bahwa menghormati kehidupan dan kemanusiaan dalam menjalankan
Ibid, hlm. 63. Bdk. K. Bertens, Diskusi tentang Prinsipalisme dalam Etika Biomedis,
47
338
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
339
Moralitas Lentera Peradaban Dunia
Daftar Pustaka
Ashcroft, Richard E., et.al. (Eds.), Principles of Health Care Ethics (Second
Edition), John Wiley & Sons, Ltd., England, 2007.
Barnard, David, The Physisian as Priest, dalam Journal of Religion and
Health, Vol. 24, No. 4 (Winter, 1985), oo. 272-286.
Bertens, K., Etika, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
_________, Sumpah Hippokrates: Perspektif Sejarah dan Etika, dalam:
Pawai Kehidupan. 70 Tahun Toeti Heraty, Penerbit Yayasan Mitra
Budaya Indonesia, Jakarta, 2003.
_________, Diskusi Tentang Principalism Dalam Etika Biomedis, Makalah
dibawakan dalam Seminar & Konferensi Hidesi di Wisma Makara
Universitas Indonesia, Depok, 18-29 Januari 2005.
_________, Pengantar Etika Bisnis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Bertens, K. dan T. Sintak Gunawan, Diktat Etika dan Hukum Kedokteran,
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta, 2004.
Becker C., Lawrence (Ed.), Encyclopedia of Ethics, Garland Publishing,
Inc., NY, 1992.
Cagan, Richard, Advice to Young Physicians on the Art of Medicine, Springer,
NY, 2009
Cassel, Eric J., Person, dalam: Encyclopedia of Bioethics, vol. 4 (Revised
Edition), Simon & Schuster Macmillan, NY, 1985.
Richard Cagan, Advice to Young Physicians on the Art of Medicine, Springer, NY,
48
340
Bioetika dalam Bingkai Sejarah dan Metodologi
341
Thank you for evaluating Wondershare PDF Splitter.
http://store.wondershare.com/shop/buy/buy-pdf-splitter.html