Anda di halaman 1dari 18

DETEKSI DINI DAN INTERVENSI PADA ANAK DI POSYANDU

SEBAGAI PROGRAM PENANGGULANGAN GIZI BURUK DI DESA


GIRIKLOPOMULYO KECAMATAN SEKAMPUNG KABUPATEN
LAMPUNG TIMUR

Mini Project Disusun Sebagai Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun oleh :

dr. Asty Amelia

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


UPTD PUSKESMAS SEKAMPUNG
LAMPUNG TIMUR
2016-2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya
dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah
dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Menurut Departemen Kesehatan (2004),
pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%)
dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999)
mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok
yaitu: rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%).
Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum menggembirakan.
Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk, kurang vitamin A, anemia
defisiensi besi, gangguan akibat kurang Yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak
tersebar di kota dan desa di seluruh tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan
tersebut antara lain adalah tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan pangan
sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan perilaku keluarga dalam
memilih, mengolah, dan membagi makanan di tingkat rumah tangga, ketersediaan air
bersih dan fasilitas sanitasi dasar serta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pelayanan
kesehatan dan gizi masyarakat yang berkualitas.
Keberadaan Posyandu sangatlah penting ditengah-tengah masyarakat sebagai
pusat kegiatan masyarakat, dimana masyarakat sebagai pelaksana sekaligus memperoleh
pelayanan kesehatan serta Keluarga Berencana. Disamping itu wahana ini juga dapat
dimanfaatkan sebagai sarana untuk tukar menukar informasi, pendapat dan pengalaman
serta bermusyawarah untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi baik masalah
keluarga ataupun masyarakat itu sendiri.
Penimbangan secara rutin dan teratur setiap bulan di Posyandu dapat mendeteksi
lebih awal memburuknya keadaan gizi anak balita tersebut. Anak dengan gangguan gizi
seminggu/sebulan sebelum menjadi malnutrisi maka pertumbuhannya akan terhenti,
sehingga dengan menimbang berat badan anak secara teratur setiap bulan dan
menuliskannya di dalam KMS merupakan langkah penting untuk deteksi dini gangguan
gizi anak.
B. PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan adalah


kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya status gizi anak demi kepentingan
pertumbuhan dan perkembangan anak
Tujuan
a. Tujuan Umum
Meningkatkan kesadaran masyarakan akan pentingnya gizi anak
b. Tujuan Khusus
Untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat desa Giriklopomulyo
mengenai gangguan tumbuh kembang yang dapat terjadi pada anak yang
kurang gizi.
Meningkatkan kewaspadaan pada masyarakat mengenai kemungkinan
kurang gizi pada anak-anak mereka.

C. MANFAAT

a. Bagi Puskesmas
Dengan adanya penyuluhan mengenai bahaya gizi buruk dan pengenalan gejala
gizi buruk pada masyarakat diharapkan terjadi peningkatan kesadaran akan
pentingnya gizi dan membantu untuk mencegah berulangnya kejadian bayi gizi
buruk di masa mendatang.
b. Bagi Dokter Internsip
Memberikan pengalaman untuk terjun langsung di lapangan dan
berkoordinasi dengan masyarakat di desa.
Sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kemampuan untuk
memahami permasalahan yang terjadi dalam masyarakat.
c. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat mengetahui mengenai pentingnya memperhatikan
gizi anak-anak terutama saat usia balita karena pada tahap tersebut merupakan
tahap penting dalam perkembangan dan pertumbuhan. Yang akan
mempengaruhi tidak hanya kondisi fisik, tetapi juga psiki dan intelegensi
seorang anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut
umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight (Kemenkes RI,
2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau
ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4

2. Epidemiologi
Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan bahwa
jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari
6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Upaya
pemerintahan tara lain melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam Jaring Pengaman
Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi
Buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 %
pada tahun 1998; 8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002
terjadi peningkatan kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis
(marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit
infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tuberkulosis (TB) serta
penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan
pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7%
campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.5

Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal ini
dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita dari 5,4%
pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi
jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.

3. Klasifikasi Gizi Buruk


Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor.
Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis dari masing-masing tipe
yang berbeda-beda.
3.1. Marasmus
Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup karena
diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti mereka yang
hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolic atau malformasi
congenital. Gangguan berat setiap system tubuh dapat mengakibatkan malnutrisi.6

Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang


timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot di
bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,
gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.
Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masih
merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus adalah : Anak tampak sangat kurus
karena hilangnya sebagian besar lemak serta otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit,
wajah seperti orang tua, Iga gambangm perut cekung, otot paha mengendor (baggy pant),
cengeng, rewel dan setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

3.2 Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby), bilamana
dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein, walaupun dibagian
tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau
edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.

Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik dan
kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup
bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada
keadaan diare kronik, kehilangan protein abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi,
perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada penyakit hati
kronik .

Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat dan
masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan yang
berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat
defisiensi vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala
tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini
terutama berada di daerah industri belum bekembang.

Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis atau
iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang
stamuna, kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dan
udem. Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang paling serius
dan konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan dan
kehilangan tonus otot. Hati membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat
infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi
oleh udem, yang sering ada dalam organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan
tungkai. Aliran plasma ginjal, laju filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun.
Jantung mungkin kecil pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar.
Pada kasus ini sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang
teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat
terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering jarang
dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam, dispigmentasi
menghasilkan corak merah atau abu-abu pada warna rambut (hipokromotrichia) .

Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia, mual,
muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois, dan atrofi, tetapi kadang-
kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas
dan apati sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai.

Ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah perubahan status mental :
cengeng, rewel, kadang apatis, rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan
mudah dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala
kusam, wajah membulat dan sembab, pandangan mata anak sayu, pembesaran hati, hati
yang membesar dengan mudah dapat diraba dan terasa kenyal pada rabaan permukaan
yang licin dan pinggir yang tajam serta kelainan kulit berupa bercak merah muda yang
meluas dan berubah menjadi coklat kehitaman dan terkelupas

3.3 Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor
dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi
untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat
badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema,
kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.

4. Etiologi
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh berbagai
faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak langsung. Menurut
Depkes RI (1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah
gizi pada balita adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan
kebutuhan anak, sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan faktor
sepertitingkat sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan
ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain
itu,pemeliharaan kesehatan juga memegang peranan penting. Di bawah ini dijelaskan
beberapa faktor penyebab tidak langsung masalah gizibalita.

4.1. Tingkat Pendapatan Keluarga.


Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan untuk
konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh peningkatan penghasilan
terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi
dengan status gizi yang berlawanan hampir universal.
Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua dalam hal
memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.
4.2 Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.
Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan
pada tiga kenyataan yaitu:status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan serta
kesejahteraan, setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya
mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal
danilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar
menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.

Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun


menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang,maka ia
akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk
dikonsumsi.

Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang penilaian


status gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih bijak menanggapi tentang masalah yang
berkaitan dengan gangguan status gizi balita.

4.3 Tingkatan Pendidikan Ibu.


Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya tingkat
pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap perawatan kesehatan,
kebersihan pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap
kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan berpengaruh
pula pada factor social ekonomi lainnya seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup,
makanan, perumahan dan tempat tinggal.

Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap


dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bias dijadikan landasan
untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga,
pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi di
dalam keluarga dan bias mengambil tindakan secepatnya.

Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-tanduk menghadapi


berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi untuk anaknya, memberikan oralit waktu
diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar
pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik.
Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna pemeliharaan
kesehatan anak maupun salah satu penjelasannya.

4.4. Akses Pelayanan Kesehatan.


Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical service)dan
pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses kesehatan
masyarakat adalah merupakan subsistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya adalah
pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran
masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses kesehatan masyarakat tidak
melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan).

Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan danstatus


gizi pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-
anak kecil, sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat kesehatan yang paling
sering melayani masyarakat, membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang melalui
program-program pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap
dan dekat dengan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan derajat kesehatan.
Dengan akses kesehatan masyarakat yang optimal kebutuhan kesehatan dan pengetahuan
gizi masyarakat akan terpenuhi.

5. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat
dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh
karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi
buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang
kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang sehat.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran


antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila:BB/TB kurang dari -3SD (marasmus).
edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh(kwashiorkor : BB/TB > -3SD
atau marasmik-kwashiorkor : BB/TB < -3SD.

Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda klinis berupa
anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak
bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas
dengan atau tanpa adanya edema.

Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk

Deteksi Dini
Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan dapat dilakukan pada semua tingkat
pelayanan. Deteksi dini ini dilakukan dengan mengukur tinggi badan, berat badan, dan
lingkar kepala. Adapun pelaksana dan alat yang digunakan adalah sebagai berikut :

Tingkat Pelayanan Pelaksana Alat yang Digunakan

Keluarga Orang tua KMS


Masyarakat Kader kesehatan Timbangan dacin
Petugas PADU, BKB, TPA,
dan guru TK
Puskesmas Dokter Tabel BB/TB
Bidan Grafik LK
Perawat Timbangan
Ahli Gizi Alat ukur tinggi badan
Petugas Lainnya Pita pengukur lingkar kepala
Keterangan:

PADU : Pendidikan Anak Usia Dini

BKB : Bina Keluarga Balita

TPA : Tempat Penitipan Anak

TK : Taman Kanak-Kanak

LK : Lingkar Kepala

Tabel. Pelaksana dan Alat yang Digunakan pada Deteksi Dini Pertumbuhan

A. Pengukuran Berat Badan Terhadap Tinggi Badan ( BB/TB )


Tujuan pengukuran BB/TB adalah untuk menentukan status gizi anak, normal,
kurus, kurus sekali atau gemuk.Jadwal pengukuran BB/TB disesuaikan dengan jadwal
deteksi dini tumbuh kembang anak ( DDTK ). Pengukuran dan penilaian BB/TB
dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih. 3,7
- Pengukuran Berat Badan/BB :
o Menggunakan timbangan bayi
Timbangan bayi digunakan untuk menimbang anak sampai umur 2 tahun atau
selama anak masih bisa berbaring/duduk tenang.
Letakan timbangan pada meja yang datar dan tidak mudah bergoyang
Lihat posisi jarum atau angka harus merujuk ke angka 0
Bayi sebaiknya telanjang, tanpa topi, kaus kaki, sarung tangan
Baringkan bayi dengan hati-hati diatas timbangan
Lihat jarum timbangan sampai berhenti
Baca angka yang ditunjukan oleh jarum timbanngan atau angka timbangan
Jika bayi terus menerus bergerak, perhatikan gerakan jarum, baca angka di
tengah-tengah antara gerakan jarum ke kanan dan kekiri
o Menggunakan timbangan injak
Letakan timbangan di lantai yang datar sehingga tidak mudah bergerak
Lihat posisi jarum atau angka harus merujuk ke angka 0
Anak sebaiknya memakai baju sehari-hari yang tipis, tidak memakai alas
kaki, jaket, topi, jam tangan, kalung, dan tidak memegang sesuatu
Anak berdiri di atas timbangan tanpa dipegangi
Lihat jarum timbangan sampai berhenti
Baca angka yang ditunjukan oleh jarum timbangan atau angka timbangan
Jika anak terus menerus bergerak, perhatikan gerakan jarum, baca angka di
tengah-tengah antara gerakan jarum ke kanan dan ke kiri.

- Pengukuran panjang badan (PB) atau Tinggi Badan (TB)


o Cara mengukur dengan posisi berbaring
Sebaiknya dilakukan oleh 2 orang
Bayi dibaringkan terlentang pada alas yang datar
Kepala bayi menempel pada angka 0
Petugas 1 : kedua tangan memegang kepala bayi agar tetap menempel pada
pembatas angka 0 ( pembatas kepala )
Petugas 2 : tangan kiri menekan lutut bayi agar lurus, tangan kanan
meluruskan batas kaki ke telapak kaki
Petugas 2 membaca angka di tepi luar pengukur

Gambar 1. Posisi anak dan petugas ketika


dilakukan pengukuran panjang badan

o Cara mengukur dengan posisi berdiri


Anak tidak memakai sandal atau sepatu
Berdiri tegak menghadap kedepan
Punggung, pantat dan tumit menempel pada tiang pengukur
Turunkan batas atas pengukur sampai menempel di ubun-ubun
Baca angka pada batas tersebut

Gambar 2. Posisi berdiri anak saat diukur tinggi badan


o Penggunaan Tabel BB/TB ( Direktorat Gizi Masyarakat )
Ukur tinggi/panjang dan timbang berat badan anak, sesuai cara di atas
Lihat kolom tinggi/panjang badan anak yang sesuai dengan hasil pengukuran
Pilih kolom berat badan untuk laki-laki ( kiri ) atau perempuan ( kanan ) sesuai jenis
kelamin anak, cari angka berat badan yang terdekat dengan berat badan anak
Dari angka berat bdan tersebut, lihat bagian atas kolom untuk mengetahui angka
standar deviasi ( SD )
Interpretasi :
Normal : -2 SD s/d 2 SD atau Gizi baik
Kurus : < -2 SD s/d -3 SD atau Gizi kurang
Kurus sekali : < -3 SD atau Gizi buruk
Gemuk : > 2 SD atau Gizi lebih

B. Pengukuran Lingkaran Kepala Anak ( LKA )


Pengukuran lingkar kepala anak dalah cara yang biasa dipakai untuk
mengetahui perkembangan otak anak. Biasanya besar tengkorak mengikuti
perkembangan otak, sehingga jika ada hambatan pada perkembangan tengkorak maka
perkembangan otak anak juga terhambat. LKA dapat dipakai sebagai salah satu alat
pemantau perkembangan kecerdasan anak.
Tujuan pengukuran LKA adalah untuk mengetahui lingkaran kepala anak
dalam batas normal atau diluar batas normal. Jadwal disesuaikan dengan umur anak.
Umur 0-11 bulan, pengukuran dilakukan setiap tiga bulan. Pada anak yang lebih besar
umur 12-27 bulan, pengukuran dilakukan setiap enam bulan. Pengukuran dan
penilaian lingkaran kepala anak dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih.
o Cara mengukur lingkar kepala anak
Alat pengukur dilingkarkan pada kepala anak melewati dahi, menutupi alis
mata, diatas kedua telinga, dan bagian belakang kepala yang menonjol, tarik
agak kencang.
Baca angka pada pertemuan dengan angka 0
Tanyakan tanggal lahir bayi / anak, hitung umur bayi / anak
Hasil pengukuran dicatat pada grafik lingkaran kepala menurut umur dan
jenis kelamin anak
Buat garis yang menghubungkan antara ukuran yang lalu dengan ukuran
sekarang
Gambar 3. Cara Pengukuran Lingkar
Kepala Anak
Interpretasi :
Jika ukuran lingkaran kepala anak berada di dalam jalur hijau maka lingkaran
kepala anak normal
Jika ukuran lingkaran kepala anak berada diluar jalur hijau maka lingkaran kepala
anak tidak normal
Lingkaran kepala anak tidak normal ada 2, yaitu makrosefal jika berada diatas jalur
hijau dan mikrosefal jika berada dibawah jalur hijau.

Intervensi :
Jika ditemukan makrosefal maupun mikrosefal segera dirujuk ke rumah sakit

Deteksi Dini Penyimpangan Perkembangan Anak


Deteksi ini dilakukan di semua tingkat pelayanan. Adapun pelaksana dan alat yang
digunakan adalah sebagai berikut :

Tingkat Pelayanan Pelaksana Alat yang Digunakan

Keluarga Orang tua Buku KIA


Masyarakat Kader kesehatan, BKB,
TPA
Petugas Pusat PADU KPSP
terlatih TDL
Guru TK terlatih TDD
Puskesmas Dokter KPSP
Bidan TDL
Perawat TDD
Keterangan:
PADU : Pendidikan Anak Usia Dini
BKB : Bina Keluarga Balita
TPA : Tempat Penitipan Anak
TK : Taman Kanak-Kanak
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
KPSP : Kuesioner Pra Skrining Perkembangan
TDL : Tes Daya Lihat
TDD : Tes Daya Dengar
Tabel. Pelaksana dan Alat yang Digunakan pada Deteksi Dini Pertumbuhan

Pengobatan
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana
yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita kwashiorkor,
marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.

1. Tahap Penyesuaian

Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga


ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini
dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada
kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien
kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama adalah
formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung.
Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada, berikan
ASI.

Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan untuk
anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair, kemudian
makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.

c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk meningkatkan
energi ditambahkan 5% glukosa, dan

d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-
3 jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat
pipa (per-sonde)

2. Tahap Penyembuhan

Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai
150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.

3. Tahap Lanjutan

Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh


makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya diberikan
penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan, memilih bahan
makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.

Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :

a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoglikemia.

b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikansecara intra muskulerbilaterdapathipomagnesimia.

d. Vitamin A diberikansebagaipencegahansebanyak 200.000 SI peroralatau 100.000 SI


secara intra muskuler. Bilaterdapatxeroftalmia, vitamin A diberikandengandosis total
50.000 SI/kg beratbadandandosismaksimal 400.000 SI.

e. Vitamin B dan vitamin C dapatdiberikansecarasuntikan per-oral. Zatbesi (Fe)


danasamfolatdiberikanbilaterdapat anemia yang biasanyamenyertai KKP berat.

6. Dampak Gizi Buruk

Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja terkait
dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di samping berbagai
konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi
banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan
defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi
tubuh. Gizi buruk akan memporak porandakan sistem pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa karena
berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain hipotermi (mudah
kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia (kadar gula dalam darah yang
dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit dan cairan tubuh. Jika fase akut
tertangani dan namun tidak di follow up dengan baik akibatnya anak tidak dapat catch
up dan mengejar ketinggalannya maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak
buruk terhadap pertumbuhan maupun perkembangannya.

Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance anak,


akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya dan
perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan mental dan
otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu pertumbuhan otak itu
sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi patal karena otak adalah salah
satu aset yang vital bagi anak.

Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap


perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan
gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan
skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan
pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya
prestasi anak.
BAB III
METODE MINI PROJECT

Metode Pengumpulan Data


A. Rancangan Pengumpulan Data
Pengumpulan data digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan mengenai gizi
buruk bagi para ibu di Posyandu desa Giriklopomulyo. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan kuesioner.

B. Populasi
Populasi mini proyek adalah ibu dengan balita yang berkunjung ke posyandu desa

Giriklopomulyo.

C. Waktu dan Tempat Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari 2017 di posyandu desa
Giriklopomulyo kec Sekampung Kab Lampung timur

D. Cara Pengumpulan Data


Semua jenis data yang dikumpulkan pada mini project ini adalah data berupa hasil
intervensi.Pengumpulan data yang dilakukan dengan pengisian kuesioner dengan langkah-
langkah sebagai berikut:

a. Pelaksana dalam hal ini dokter internship Puskesmas Sekampung meminta persetujuan
responden untuk melakukan pengisian kuesioner.
b. Memberikan penjelasan tentang tujuan pengumpulan data dan sifat keikutsertaan
responden dalam hal ini.
c. Membagikan kuesioner kepada responden yaitu ibu yang mempunyai balita di posyandu
d. Memberikan penjelasan kepada responden pada masing-masing pertanyaan yang belum
jelas dan mendampingi selama pengisian kuesioner.
e. Kuesioner yang telah diisi, dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya.

Perencanaan dan Pemilihan Intervensi


A. Metode Intervensi
Metode intervensi yang digunakan dalam mini project ini adalah penyuluhan group
discussion dengan alat bantu slide dengan kuesioner yang dibagikan sebelumnya. Kuesioner
akan diberikan dalam bentuk soal pilihan ganda

B. Petugas Penyuluhan
Petugas penyuluhan dari kegiatan mini project ini adalah :
1. Dokter Internship Puskesmas Sekampung periode November-Maret 2017 dalam hal ini
dr.Asty Amelia sebagai narasumber
2. Petugas kesehatan lain dari Puskesmas Sekampung

C. Sasaran Penyuluhan
Sasaran kegiatan mini project ini adalah ibu yang mempunyai balita di Posyandu desa
Giriklopomulyo

Anda mungkin juga menyukai