Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Sebagai Suku bangsa, Muna memiliki sejarah yang cukup panjang. Dari situs sejarah yang ada
di dinding Gua Liangkobori dan Metanduno menanndakan bahwa peradaban suku bangsa muna
dimulai sejak jaman purba mesolitikum. Relief yang ada didinding kedua Gua tersebut
menggambarkan kehidupan masyarakat saat itu yang masih nomade dan menggantungkan
hidupnya dari berburu dan meramu.
Menelusuri sejarah perdaban masyarakat dan sejarah kerajaan Muna memang agak sulit. Hal ini
disebabkan kurangnya literatur baik berupa manuskrip yang ditulis oleh sejarawan Muna masa
lalu naupun hasil penelitian ilmiah yang dilakukan saat ini.
Sudah menjadi hal yang lumrah bila menulis Sejarah Muna para penulis menggunakan referensi
sejarah buton. Penggunanaan referensi tersebut karena sejarah buton tidak terlepas dengan
sejarah Muna seperti suku muna yang telah mendiami daratan pulau buton sebelum armada mia
pata miana mendarat di pulau buton dan la kilaponto Raja Muna VII yang kemudian dinobatkan
menjadi Raja Buton VI yang berhasil menjadikan Buton sebagai Kesultanan dan Sultan I.
Dari berbagai literatur yang mengutip tradisi lisan masyarakat muna dan hikayat yang ditulis
oleh penyair-penyair buton, dikatakan bahwa sejarah peradaban manusia di muna dimulai ketika
Sawerigading dan pengikutnya yang berjumlah 40 orang terdampar di suatu daratan di Pulau
Muna yang saaat ini di kenal dengan nama Bahutara.
Sejarah kerajaan Muna dimulai setelah dilantiknya La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno
ne Tombula sebagai Raja Muna I. Namun sebelum itu telah ada komunitas masyarakat yang
diyakini merupakan perpaduan antara pengikut Swaerigading yang berjumlah empat puluh
orang dengan masyarakat lokal yang telah mendiami pulau muna sejak ribuan tahun yang lalu.
Sebagaimana yang dijelaskan pada bab-bab terdahulu bahwa Sawerigading bersama pengikutnya
empat puluh orang yang menumpang sebuah kapal terdampar di sebuah wilayah yang diberi
nama Bhahutarapada saat sebuah pulau mucul dipermukan yang saat ini dikenal sebagai
Pulau Muna.Setelah terdampar, empat puluh orang pengukut Sawerigading tersebut kemudian
menyebar dan membentuk koloni-koloni bersama dengan penduduk asli yang telah terlebih
dahulu menghuni Pulau Muna, sedangkan Sawerigading sendiri diceritakan terus melanjutkan
petualangannya.
Tidak ada yang menjelaskan apakah Sawerigading melanjutkan petualangannya dengan
kapalnya yang terdampar tersebut atau membuat kapal baru.Tapi yang jelas kehadiran
Sawerigading dan emat puluh pengkutnya di Daratan Muna telah membawa nuansa baru dalam
pembangunan peradaban dalam kehidupan Orang Muna.

1
BAB II
PEMBAHASAN

Sejarah Kerajaan Muna


Seiring berkembangnya zaman di negara ini, maka semakin canggih pula
perkembangan teknologi yang di ciptakan, sehingga kita lupa dengan
peninggalan sejarah yang terjadi berribu-ribu tahun yang lalu. Hal ini di
sebabkan oleh kurang perhatianya kita terhadap sepenggalan masa lalu
yang hampir terlupakan, sehingga menyebabkan kontrofersi atau perbedaan
pendapat antar ubu yang saling mempertahankan pendapat. inilah sepenggal
cerita tentang kerajaan yang ada di Muna :
1. La Eli (BAIDUL ZAMANI)
2. La AKA (Koghua Bangkano Fotu
3. Sugi Ambano
4. Sugi Patani
5. Sugi la Ede
6. Sugi Manuru
7. Lakilaponto
8. La Posasu
9. Rampaisomba
10. Titakono
1. Raja Muna I La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne
Tombula, (1417 1467).
La Eli alis Baidhudhamani gelar Bheteno Ne Tombula adalah Raja Muna
Pertama. Dalam tradisi lisan masyarakat Muna diceritakan bahwa La Eli alias
Baidhuldhamani adalah manusia yang telah ditemukan di dalam rumpun
bambu oleh sekelompok orang yang sedang mencari bambu untuk keperluan
pembuatan bangsal pada pesta yang akan digelar oleh Mieno Wamelai salah
seorang pemimpin kampung di Muna. Karena penemuannya di dalam
rumpun bambu tersebut, setelah dinobatkan menjadi Raja Muna I diberi
gelar Omputo Bheteno Ne Tombula ( Yang Dipertuan Yang Muncul Dari
Bambu ). Bheteno Ne Tombula memilikki dua orang Putra yakni La Aka Alias
Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola dan Runtu Wulae dan satu orang
putri yaitu Wa Ode Pogo. Kaghua Bangkano Fotu/ La Aka kemudian menjadi
raja Muna II sedangkan Runtu Wulae kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di
Negeri leluhurnya tersebut. Wa Ode Pogo menurunkan golongan kaomu yang
berfungsi sebagai Legislasi dan Yudikatif di kerajaan Muna. La Marati Bonto

2
Balano I ( Sejenis MPR ) yang berfungsi sebagai lembaga yang memilih dan
melantik Raja Muna pertma adalah keturunan Wa Ode Pogo.
2. Raja Muna II La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar
Sugi Patola ( 1467 1477 ).
Kaghua Bangkano Fotu adalah salah seorang dari dua orang putra Bheteno
Ne Tombula dengan Permaisurinya Wa Tandi Abe. Saudara Kaghua Bangkano
Fotu yang bernama Runtu Wulae kembali ke Kerajaan Luwu negeri leluhurnya
untuk menjadi raja dinegeri tersebut.
3. Raja Muna III La Mbona Gelar Sugi Ambona ( 1477 1497 )
4. Raja Muna IV La Patani gelar Sugi Patani ( 1497 1512 )
5. Raja Muna V Sugi La Ende (1512-1527 )6. Raja Muna VI Sugi
Manuru ( 1527-1538 ).
Pada masa pemerintahan Sugi manuru, penyebaran agama Islam gelombang
pertama mulai masuk di Muna dibawah oleh Syekh Abdul Wahid ).
Penyebaran islam saat itu masih sangat lambat karena pengaruh
kepercayaan animisme yang dianut sebelumnya oleh masyarakat Muna
masih melekat dengan sangat kuatnya. Pada gelombang pertama
penyebaran agama islam di Muna hanya ada beberapa orang kerabat
kerajaan yang tertarik untuk mempelajari ajaran Islam yang diajarkan oleh
Syekh Abd. Wahid tersebut. Salah satu diantaranya adalah La Kilaponto Putra
Raja Muna VI Sugi Manuru, yang kemudian menjadi Raja Muna VII
menggantikan ayahandanya. Hal lain yang menghambat meluasnya
penyebaran agama islam di Muna adalah karena belum cukup satu tahun
menjadi Raja Muna, La Kilaponto telah dilantik menjadi Raja Buton VI
menggantikan mertuanya yang telah meninggal dunia. Setelah menjadi raja
buton, La Kilaponto kemudian pindah ke Baubau pusat kerajaan Buton.
Bersamaan dengan itu Syekh Abd. Wahid guru agama beliau juga turut
dibawah ke Buton sehingga penyebaran agama islam di muna terhenti,
sedangkan di Buton berjalan begitu pesat. Bahkan agama islam begitu
mempengaruhi istnah sehingga Buton berubah menjadi kesultanan dan
hukum islam menjadi hukum negara dengan syultan pertamanya adalah La
Kilaponto dengan Gelar Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis.
7. Raja Muna VII La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera
( 1538-1541).
La Kilaponto adalah penganut Islam yang taat. La Kilaponto memeluk islam
sebelum menjadi raja Raja Muna. Dia mengenal islam dari penyebar agama
islam pertama di kerjaan muna Syekh Abdul Wahid ( 1527). Nila-nilai islam
begitu tertancap dalam hatinya sebab beliau mempelajari islam dari usia
3
yang sangat mudah. Karena ketaatannya terhadap islam, sehingga ketika
menjadi Raja buton beliau menjadikan hukum islam sebagai hukum negara
dan bentuk negara di rubah menjadi Kesultanan. La Kilaponto juga di kenal
sebagai manusia yang fenomenal karena beliau perna menjadi raja di lima
kerajaan besar yang ada di Sulawesi tenggara dalam Waktu yang
bersamaan. La Kilaponto juga merupakan pemimpin yang kharismatik dan
berwibawa sehingga disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga termasuk juga
pemerintah kolonial belanda. La Kilaponto yang dikenal sangat sakti dan
piawai dalam strategi perang, membuat Belanda tidak mampu
mengintervensi Kesultanan Buton juga Kerajaan-kerajaan yang pernah
dipimpin oleh La Kilaponto. La Kilaponto sebenarnya telah membaca gelagat
tidak baik yang ditunjukan oleh Belanda. Olehnya itu selama berkuasa La
Kilaponto menjalankan politik Kesetaraan dengan pemerintah Kolonial
Belanda. La Kilaponto tidak berupaya untuk melakukan konfrontasi dengan
Belanda. Hubungan pemerintahan kolonial belanda sebatas hubungan
dagang dan diplomatis. Hal ini berkaitan dengan falsafa hidup yang dianut
Oleh Lakilaponto yang pernah diajarkan oleh Ayahandanya Sugi Manuru
yaitu Pobini-biniti Kuli. Arti harafia dari ajaran tersebut adalah saling
tenggang rasa dan saling menghargai. Jadi menurut La Kilaponto selama
Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengganggu kehormatan dan kedaulatan
Negeri Buton dan negeri tetangganya khususnya Kerajaan Muna yang
merupakan negeri leluhurnya dan beliau pernah menjadi Raja di Negeri
tersebut, maka La ilaponto tidak akan menyerang Belanda. Disaat La
Kolaponto masih hidup belanda sudah mecah belah miliki keinginan untuk
menguasai kesultanan Buton untuk dikuasai, namun karena segan dengan La
Kilaponto keinginan itu di urungkan. Hal ini berkaitan dengan letak strategis
Kesultanan Buton sebagai pintu gerbang Kerajaan-Kerajaan di Tumur dan
barat Nusantara. Untuk mewujudkan keinginannya itu Belanda melakukan
politik ocupasi dan pecah belah. Olehnya itu mereka melakukan strategi
kerja sama perdagangan. Selama itu mereka terus melakukan pendekatan
dengan aparat Kesultanan Buton. Politik pecah bela Belanda mendapatkan
hasil setelah La Kilaponto Mangkat dan di gantikan oleh Putranya dengan
Putri Raja Jampea yang bernama La Tumparasi. Keberhasilan Politik adu
domba belanda itu di tandai dengan di gulingkannya Sultan Kaimuddin II dari
tahtanya karena bersikap tegas perlawanan dengan kolonial belanda oleh
sarana Wolio.
8. Raja Muna VIII -La Posasu gelar Kobangkuduno ( 1541-1551).
9. Raja Muna IX Rampeisomba ( 1551-1600).
4
10. Raja Muna X Titakono ( 1600- 1625 )
Pada masa pemerintahan La Titakono, penyebar Islam gelombang kedua
yakni Firus Muammad masuk di Muna. Pada gelombang kedua penyebaran
isalam ini belum mampu mengislamkan Raja Muna, sehingga pengaruh islam
belum masuk ke istana. Walaupun La Totakono BELUM memeluk Islam
namun beliau sangaat menghargai nilai-nilai islam. Sebagai bukti
penghormatan beliau pada islams, pada masa pemerintahannya masjid
pertama dibangun di Muna ( 1614 ). Pembangunan masjid itu diikuti oleh
pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan itu ajaran islam sedikit
demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Salah satu murid dari Firus
Muamad adalah La Ode Saaduddin putra dari Raja Muna X Titakono. Setelah
Titakono mangkat, La Ode Saaduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI.
Selain membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam
sturktur pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano. Bonto Bhalano
adalah sebuah lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
bertugas memilih dan mengangkat Raja Muna.
RAJA RAJA MUNA PASCA AGAMA ISLAM
1. Raja Muna XI La Ode Saadudin ( 1625-1626 )
La Ode Saaduddin adalah Raja Muna pertama yang memeluk islam. Pada
masa pemerintahan beliau agama islam mulai mengalami perkembangan.
Agama islam bukan saja di pelajari dikalangan istana tetapi mulai diajarkan
pada massyarakat luas. Pusat pendidikan agama islam yag didirikan oleh
ayahandanya Raja Muna X Titakono mulai kedtangan banyak murid untuk
belajar.

2. Raja Muna XII -La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-
1667)-
Periode pertama. Pada tahun 1643, gelombang ke tiga penyebaran agama
islam masuk di Muna di bawah oleh Syarif Muhammad.
3. Raja Muna XIII Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja La Ode Ngkadiri
)- ( 1667-1668).
Wa Ode Wakelu menjadi raja menggantikan suaminya La Ode Ngakadiri
karena di jatuhkan oleh oleh Belanda.
4. Raja Muna XIV La Ode Muh. Idris. (1668-1671).
La Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan
Buton setelah berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna XII.
5. La Ode Ngkadiri ( Periode Kedua) ( 1671 )
Pemerintahan La Ode Ngkadiri di periode Kedua ini di bawah pengaruh
5
kekuasaan kolonial belanda.
6. Raja Muna XV La Ode Abd. Rahman gelar Sangia Latugho ( 1671-
1716 )
7. Raja Muna XVI La Ode Husaini gelar Omputo Sangia ( 1716-1767
)
8. Raja Muna XVII La Ode Muh. Ali ( 1767)
9. Raja Muna XVIII L a Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo
(1758-1764 )10. Raja Muna XIX La Ode Harisi (1767 ? )
La Ode Harisi memperkenalkan prutra mahkota dalam suksesi raja di
kerajaan Muna.
11. Raja Muna XX La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege,
La Ode Umara I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh
sarano Wuna karena telah melakukan sebuah kesalahan yang besar.
Keputusan untuk menjatuhkan hukuman gantung tersebut merupakan vonis
peradilan yang dinamakan mintarano bhitara ( yang memangku kekuasaan
peradilan- MA? ). Tidak diceritakan apa yang menjadi kesalahan Raja
sehingga mendapatkan vonis tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab
masyarakat Muna yang tabuh untuk menceritakan aib saudaranya apa lagi
itu seorang raja. Sidang majelis yang menyidangkan Raja La Ode Umara
berlangsung tertutup dan semua orang yang terlibat dalam persidangan
tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang dilihat dan didengar
dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan raja La Ode
Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah
menyangkut kesusilaan.
12. Raja Muna XXI La Ode Murusali gelar sangia gola
13. Raja Muna XXII La Ode Ngkumabusi
14. Raja Muna XXIII La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo.
Pada masa pemerintahan La Ode Sulaili terjadi pemberotakan yang
dilakukan oleh Wa Ode Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan
itu dipicu oleh perlawanan terhadap sistem adat dalam hal kawin-mawin. Wa
Ode Kadingke menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada
suaminya Daeng Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada
perempuan keturunan yang berdara Kaomu ( Keturunan Raja ) akan menikah
dengan orang yang bukan suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan
denda adat berupa membayar mahar sebesar 400 Boka. Menurut pandangan
Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda
tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab menurut hukum islam
mengenai besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan menikah dan
6
tidak membebani pihak laki-laki. Pemberontakan itu semakin meluas, karena
Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi perang. La Ode Sumaili tidak
mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan akibat pemberontakan
itu Wa Ode Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa mendirikan
Kesultanan Tiworo di bagian barat Pulau Muna. Ketidak mapuan La Ode
Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna dianggap
sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili,
olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam
sebuah Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum
gantung. Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar Omputo Negege artinya
Raja yang dihukum gantung.
15. Raja Muna XIV LA Ode Saete gelar Sorano Masigi ( 1816-1830 ).
La Ode Saete merupakan Raja Muna yang dipilih oleh sarano (dewan adat )
Wuna. Pada waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita
dari Kesultanan Buton Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi
dualisme kekuasaan di Muna. Untuk mengurangi intervensi Kolonial Belanda
Raja La Ode Saete kembali meindahkan pusat pemerintahan dekat dengan
masjid Muna di Kota Lama Muna sekaligus melakukan konfrontasi dengan
Belanda yang berkoalisi dengan Kesultanan Buton. Semasa kepemimpinan
La Ode Sumaili sebagai raja Muna, terjadi beberapa kali perang terbuka
antara Kerajaan Muna dan Kolonial Belanda yang dibantu dengan Kesultanan
buton. Dalam perang tersebut Pasukan Belanda dan dan Buton terus
mengalami kekalahan. Belanda dan sekutunya Buton kewalahan menghadapi
Pasukan Kerajaan Muna. Konfrontasi antara Belanda dengan sekutunya
Buton melawan Kerajaan Muna terus berlanjut sampai La Ode Saetei
Mangkat pada tahun 1830.
16. Raja Muna XXV La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1861
)
Setelah La Ode Suaete Mangkat, Dewan adat Sarano Wuna mengadakan
rapat untuk melakukan pemilihan Raja penggantinya. Dalam rapat tersebut
disepakati untuk mengangkat La Ode Bulae sebagai Raja Muna. La Ode
Bulae dalam mejalankan pemerintahan melajutkan kebijakan pendahulunya
La Ode Saete untuk konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya
Buton. Dalam sebuah perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil
menangkap La ode Bulae dan membawahnya kepersidangan pengadilan di
Makassar. Dalam persudangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan
bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan, kemudian diasingkan ke
Bengkulu.
7
17. Raja Muna XXVI La Aka (1861-1864)
La Aka adalah Bonto Balano pada masa pemerintahan La Ode Bulae. Beliau
sebenarnya tidak berhak menjadi raja karena berasal dari keturunan Walaka,
namun karena terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna akibat di
asingkannya Raja la Ode Bulae oleh Kolonial belanda dan sekutunya Buton di
Pulau Nusa Kambangan dan Bengkulu, maka kekuasaan diambil alih oleh
Bonto Balano sambil menunggu pemilihan yang dilakukan oleh sarano Wuna.
Karena itulah La Aka dikenal sebagai bukanlah Raja yang aktual / difinitif.
18. Raja Muna XXVII La Ode Ali gelar sangia Rahia (1864-1870)
19. Raja Muna XXVII LA Ode Huse
20. Raja Muna XXIX La Ode Tao
21. Raja Muna XXX La Ode Ngkaili ( 1903-1906)
Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat pemerintahan Kerajaan Muna
di pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial Belanda.
Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dibawah tekanan militer Kolonial
Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna mengalami kekalahan dalam
sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda- Buton. Bersamaan
dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda
mengutus seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk
menggulingkan Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh
Sarano Wuna.
22. Raja Muna XXXI La Ode Maktubu (1906 - 1914)
Setelah pasukan koalisi Belanda Buton memenangkan pertempuran pada
tahun 1906 dan berhasil menggulingkan Raja Muna XXX La Ode Ngkaili,
penguasa VOC Belanda di Makassar mengutus seorang dari Kesultanan
Buton yakni La Ode Maktubu untuk menjadi Raja di Kerajaan Wuna. La Ode
Maktubu adalah Putara Sultan Buton La Ode Salihi. Intervensi Pemerintahan
Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna
mendapat perlawanan dari seluruh rakyat Muna. Sebagai wujud dari
perlawanan itu adalah pada waktu yang bersamaan Sarano Wuna
mengadakan rapat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja Muna
menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi
Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja.
Besarnya dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang tidak
mengakui La Ode Maktubu sebagai raja Muna, memaksa La Ode Maktubu
meninggalkan Muna dan kembali ke Buton. Karena tidak kuasa melawan
sendiri keperkasaan prajurit Kerajaan Muna, akhirnya La Ode Maktubu
Kembali Ke Buton dan pengadukan perinstiwa tersebut pada sekutunya
8
Belanda. Pengaduan Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan
Muna mengusir utusan Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah
kolonial belanda sehingga dikirim pasukan militer untuk memerangi kerajaan
Muna.
Raja Muna XXXII La Ode Umara II (1906)
Setelah la ode maktubu tidak mendapat pengakuan dari sarano Wuna serta
diusir dari kerajaan Muna, pemerintah Kolonial Belanda Mengutus La Ode
umara gelar Sangia Bariyah. Strategi yang dilakukan pemerintah Kolonial ini
cukup berhasil sebab selain La Ode Umara yang memiliki garis keturunann
dari Muna yaitu putra dari Kenepulu Bula , La Ode Umara juga masih
menjabat sebagai Sultan Buton. Setelah situasi kembali kondusif dan
pemerintah belanda semakin dalam kukunya tertancap di kerajaan Muna, La
Ode Maktubu Kembali di lantik menjadi Raja Muna sampai tahun 1914

23. Raja Muna XXXIV La Ode Pulu (1914-1918)


Pada masa pemerintahan la Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di
Kerajaan Muna semakin kuat. Pada akhir masa pemerintahan La Ode Pulu
( 1918 ) Pemerintah Kolonial belanda dan Kesultanan Buton ( Sultan Buton
Saat itu La Ode Muh. Asikin ) secara sepihak melakukan perjanjian yang
dikenal dengan Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Isi perjanjian tersebut
adalah Belanda hanya mengakui ada dua pemerintahan setingkat swapraja
di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja Laiwoi dan Swapraja Buton. Dengan
demikian menurut perjanjian tersebut secara otomatis muna menjadi bagian
dari Kesultanan Buton/ Underafdeling. Sebagai Raja yang berdaulat dan
diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu melakukan perlawanan dan tidak
mengakui perjanjian tersebut. Akibatnya la Ode Pulu di asingkan Nusa
Kambangan. Selama dua Tahun pasca pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan
Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda sampai dewan Adat
( Sarano Wuna mengadakan rapat dan mengangkat La Ode Afiuddin sebagai
Raja.
24. Raja Muna XXXIV La Ode Afiuddin ( 1920-1824)
La Ode Afiuddin yang diharapkan Belanda akan bekerja sama ternyata
bersikap sama dengan Raja sebelumnya La Ode Pulu. Korte Verklaring pada
2 Agustus 1918 juga tidak diakui dan terus melakukan perlawanan.
Akibatnya belanda kembali mengambil alih pemerintahan di kerajaan muna.
25. 1924-1926.
pada tahun ini oleh pemerintah Kolonial belanda dianyatakan bahwa
Kerajaan Muna berada dibawah pemerintahan darurat militer Belanda.
9
Semua urusan administrasi diambil alih oleh Belanda.
26. Raja Muna XXXV La Ode Rere (1926-1928 )
Setelah dua tahun pemerintahan darurat militer belanda di berlakukan di
kerajaan Muna, Sarano Wuna melakukan sidang untuk kembali mengangkat
Raja Muna. Pada saat itu oleh sarano wuna disepakati La Ode Rere Sebagai
Raja Muna. Sama halnya dengan Raja La Ode Pulu dan La Ode Afifuddin, Lam
Ode Rere juga tidak mengakui perjanjian Korte Verklering akibatnya Belanda
kembali menjatuhkan La Ode rere dari keududkannya sebagai Raja Muna.
27. 1928-1938,
terjadi kevakuman pemerintahan di Kerajaan Muna. Belanda sebagai
penguasa Kolonial mengabil alih untuk mengendalikan pemerintahan sambil
menunggu sidang dewan Sara untuk menjjuk Raja baru.
28. Raja Muna XXXVI La Ode Dika gelar Omputo Komasigino
( 1930- 1938 ).
Pada masa pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di
Kota Muna menjadi semi permanen. Sebagian dari bahan pembuatan masjid
tersebut dibantu oleh Jules Couvreur seorang kontrolir Belanda yang
bertugas di Muna saat itu . Sebagai mana raja muna yang lain, La Ode Dika
tidak mau tunduk dengan belanda dan koloninya Buton. La Ode Dika juga
tidak mengakui isi perjanjian Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap
ilegal. Sikap pperlawanan La Ode Dika tersebut diperlihatkan saat
berkunjung di istana kesultanan Buton. Di hadapan Sultan Buton Muhammad
Hamidi, la Ode Dika tidak mau memberi hormat, tapi justeru
mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman pada Sultan Buton. Apa
yang yang dilakukan La De Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada
Penguasa Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika di panggil
menghadap Perwakilan pemerintah kolonial Belanda di makassar untuk
mendengar langsung keputusan Pemerintah Kolonial yang memecat dirinya
dari jabatan Raja Muna. Sepulangnya dari makassar, La ode Dika langsung
meninggalkan kamali/Istana kerajaan Muna. Seluruh urusan administrasi
kenegaraan diserahkan pada sekretaris kerajaan yakni La ode Sabora .
Sayangngnya kamali/ istanaa tersebut pada masa pemerintrahan Drs. La
Ode kaimuddin sebagai Bupati Muna yang juga merupakan putra dari La ode
Dika di Rubah menjadi gedung Pertemuan ( Gedung wamelai).
29. 1938-1941
Pemerintahan Kerajaan Muna sepenuhnnya di kendalikan oleh Kolonial
belanda.
30. !941 1946
10
Pemerintahan Kerjaan Muna benar-benar lumpuh sebab Belanda telah keluar
dari kerajaan muna karena takluk dengan pemerintahan militer Jepang. Pada
masa itu pemerintahan dijalankan oleh pemerintahan Militer Jepang dari
Batalion Laut yang bermarkas di Manado.
31. 1946-1947.Setelah Jepang menyerah dari Pasukan Kualisi, seluruh
personil Jepang meninggalkan Muna dan digantikan dengan pasukan Nica.
32. Raja Muna XXXVII La Ode Pandu ( 1947-1956).
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna, pemerintah
Belanda di Makassar mengangkat La Ode Pandu sebagai pejabat Raja Muna
pada tahun 1947 dan dilantik pada tahun itu juga di depan Masjid Muna di
Kota lama Muna. Pelantikan La Ode Pandu dihadiri oleh utusan pemerintah
belanda. La Ode Pandu meninggal akibat ditembak gerombolan Di/II di
Posunsuno saat melakukan kunjungan di Wasolangka.
33. 12 Desember 1956Muna menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi
Tenggara sebagai Kabupaten bersama 3 Kabupaten lainya yaitu, Kendari
Kolaka dan Buton.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Seiring dengan perkembangan zaman, koloni-koloni yang dibangun oleh pengikut Sawerigading
tersebut bersama masyarakat lokal semakin besar hingga terbentuklah kampong-kampong.
Setelah penduduk semakin banyak dan kampong yang terbentuk semakin luas serta
permasalahannya juga yang semakin kompleks maka mereka mengangkat seorang pemimpin
diantara mereka untuk mengatur seluruh kehidupan social mereka.

11
Menurut beberapa catatan sejarah mengungkapkan, sebelum terbentuknya kerajaan Muna,
dimuna telah terbentuk delapan kampong dengan pembagian 4 kampong dipimpin oleh
kamokula yaitu ;
1. Tongkuno,pemimpinya bergelar Kamokulano Tongkuno
2. Barangka,pemimpinnya bergelar Kamokulano Barangka
3. Lindo, pemimpinnya bergelar Kamokulano Lindo
4. Wapepi, pemimpinnya bergelar Kamokulano Wapepi

Sedangkan empat kampung lainnya di pimpin oleh mieno yakni:


1. Kuara, pemimpinnya bergelar Mieno Kaura
2. Kansitala,pemimpinnya Mieno Kasintala
3. Lembo,pemimpinnya bergelar Mieno Lembo
4. Ndoke. Pemimpinnya bergelar Mieno Ndoke

12

Anda mungkin juga menyukai