Ini Semua Salahnya
Ini Semua Salahnya
Pukul 20.15 HP-ku berdering. Segera kuangkat. Ternyata telepon dari seseorang yang
mengaku produser acara bincang-bincang. Sebuah acara reality show yang mendapat rating
tinggi dan ditayangkan saat prime time.
Kami berencana untuk membuat tayangan reality show tentang surat ayah Amel.
Untuk itu kami berharap Ibu berkenan untuk membacakan surat-surat yang Ibu terima
sekaligus menjawabnya secara live.
Begitulah pernyataan singkat Mas Syam, sang wartawan sekaligus calon creative
manajer acara tersebut. Aku tidak sanggup menjawab saat ini juga. Kurasa aku perlu waktu
untuk berpikir.
Ehm . . Tapi jangan salah. Aku tidak butuh waktu untuk menerima atau menolak
tawaran itu. Aku pasti menerima. Aku butuh waktu untuk menentukan skenario cantik agar
kepopuleranku makin bersinar. Aku harus mampu menyetir media untuk membuatku berhasil
meraih cita-citaku. Ya ... aku juga perlu menyiapkan skenario yang matang tentang citra diri
yang akan kutunjukkan pada dunia. Citra diri yang akan mengantarku menjadi orang nomor
satu di negeri ini. Bila aku tak bisa, setidaknya aku harus berhasil menjadi pendampingnya.
Aku tersenyum mengagumi kehebatanku. Aku telah membuktikan bahwa dengan
selembar surat yang sengaja kuupload di media sosial, aku dapat menggegerkan dunia. Tak
ada yang tahu bahwa aku sendiri yang menguploadnya di twitter lalu membaginya dengan
puluhan akun palsuku ke media sosial lainnya.
Apakah aku salah? Tidak. Ayah Amel-lah yang bersalah. Ia membuat surat izin dengan
ragam bahasa nonformal, puitis lagi. Kesalahan fatal dalam berkomunikasi. Lagi-lagi aku
mendapat bukti bahwa keputusanku menolak pinangannya dulu yaitu karena ia tidak lulus
mata kuliah Bahasa Indonesia Profesi adalah keputusan yang benar. Sangat tepat.
(Dipublikasikan di sini nih: http://www.gurusiana.id/istiqomah/article/ini-semua-salahnya-
3657690)