Anda di halaman 1dari 6

Bu Isti yakin mau mengundurkan diri?

tanya Pak Ihsan, kepala sekolah tempatku


mengajar selama 10 tahun ini.
Aku hanya mengangguk. Kupikir tidak perlu kujawab dengan kata-kata.
Apakah ini berkaitan dengan gaji?
Aku menggeleng.
Ada masalah dengan anak-anak? tanya Pak Ihsan lagi. Lagi-lagi aku harus
menggeleng. Atau Ibu bermasalah dengan Bapak dan Ibu guru lain?
Tidak, Pak. Bukan semua itu alasannya. Saya telah memikirkan dengan sebaik-
baiknya. Saya harus meninggalkan sekolah ini.
Atau ..., Pak Ihsan seperti sengaja menggantung kalimatnya. Laki-laki seusia
bapakku itu menatapku seolah-olah hendak membaca hati dan pikiranku. Atau ... maaf, ini
ada huhungannya dengan surat Ayah Amel? lagi-lagi Pak Ihsan menatapku tajam.
Kali ini aku benar-benar harus mengakui bahwa kepala sekolahku ini orang yang sangat
waskita.
Aku hanya terdiam. Kali ini tak ada kekuatanku untuk mengangkat muka.
Jadi benar soal itu alasannya?
Iya Pak. Saya sudah tidak sanggup lagi menghadapi gosip miring tentang semua ini.
Saya malu, Pak, jawabku dengan suara parau.
Jangan terlalu ditanggapi serius, Bu. Lagipula, sebagai kepala sekolah, bukankah saya
juga sudah menghimbau pada Ayah dan Ibunya Amel untuk menghentikan surat-suratan ini.
Bapak tidak mengerti ..., kataku sambil mengeluarkan setumpuk surat dalam
bermacam-macam bentuk dan warna amplop. Bapak lihat ini, ada belasan surat ditulis untuk
saya gara-gara surat Ayah Amel.
Kali ini ganti Pak Ihsan yang terperangah menatap tumpukan surat-surat itu.
Tiba-tiba pintu ruangan kepala sekolah diketuk. Mbak Icha, karyawan bagian
resepsionis, minta izin masuk.
Mohon izin, Pak. Di luar ada beberapa orang wartawan koran, televisi, dan media
online. Katanya hendak mewawancarai Bu Isti terkait surat Ayah Amel.
What?????? Aku nyaris pingsan. Ini makin tidak benar. Bagaimana akan
kusembunyikan wajahku pada dunia. Ini semua gara-gara Eko, ayah Amel, yang kemampuan
menulis suratnya sangat payah itu. Ingin sekali aku melabraknya ke kampung tempat ia
tinggal. Bila perlu, aku akan memaksa Ketua RW-nya untuk memecat Eko dari jabatannya
sebagai ketua RT. Bayangkan, gara-gara mendapat kedudukan sebagai ketua RT, ia berani
mengganggu ketentraman hidupku. Ya ... barangkali ini satu caranya menunjukkan padaku
bahwa ia kini telah dipandang orang lain.
Bu ... Bu Isti, Pak Ihsan menyadarkanku dari lamunan. Mari kita temui mereka.
Maksud Bapak?
Ya Bu. Ibu harus menemui mereka. Itu lebih baik daripada mereka mendapatkan
jawaban yang tidak benar dari pihak lain.
Tidak Pak. Saya tidak sanggup, suaraku lirih. Aku benar-benar kehilangan daya.
Bu ... Ibu tenang ya. Saya akan terus mendampingi Ibu. Lagipula ... Ini kesempatan
langka buat promosi sekolah kita.
Entah mengapa akhirnya aku memilih menganggukkan kepala. Pak Ihsan benar.
Wawancara dan publikasi hasil wawancara itu di koran, televisi, dan media online itu akan
jadi promosi gratis bagi sekolah kami yang baru berkembang. Tentu saja bila aku menjawab
pertanyaan mereka dengan cerdas. Ya, cerdas. Bukan jujur.

Di halaman sekolah, tampak belasan orang berkumpul. Hampir semua membawa


kamera. Yang paling mencolok tentu saja mereka yang membawa kamera yang biasa dipakai
untuk shooting video. Barangkali mereka wartawan dan kru Televisi Viral.
Tiba-tiba salah seorang perempuan di antara mereka berlari ke arahku dan langsung
menyodorkan HP-nya sambil mengajukan kalimat pertanyaan yang panjang.
Bu Isti, benarkah setelah menerima surat dari Ayah Amel, Ibu masih mendapat surat
dari mam, kakek, dan nenek Amel?
Kutarik nafas panjang hendak menjawab pertanyaan tersebut. Keringat dingin mengalir
deras dari pori-poriku. Bukan karena aku grogi. Namun, belasan orang, mungkin semuanya
wartawan itu, tiba-tiba sudah mengerubutiku. Entah kapan mereka menyerbu dan
mengurungku, lalu tanpa ampun memborbardirku dengan pertanyaan yang tak dapat
kujawab.
Aku mengangguk. Kupikir ini saat yang tepat untuk mengungkapkan pada dunia
tentang kebenaran peristiwa ini. Aku lelah jadi bahan gunjingan di media sosial seperti WA,
twitter, dan FB.
Baiklah. Saya akan memberikan penjelasan kepada Mas-Mas dan Mbak-mbak semua.
Mohon tenang.
Kuputuskan untuk menjelaskan semuanya.
Ada beberapa hal yang hendak saya sampaikan. Pertama, Benar bahwa saya telah
menerima surat dari Ibunya Amel, kakek dan nenek Amel, dari calon suami serta calon
mertua saya. Juga puluhan surat dari mantan-mantan ayah Amel atau Pak Eko, dan dari
mantan-mantan pacar saya.
Kukeluarkan setumpuk surat yang tadi kutunjukkan pada Pak Ihsan. Tak hanya itu,
kubuka juga ransel hitam yang sejak tadi kupanggul di punggungku dan isinya tidak
kukeluarkan. Ada lebih dari 300 pucuk surat yang rata-rata beramplop pink kukeluarkan dari
ransel itu..
Woow.
Teriakan-teriakan kaget dan terperanjat dengan berbagai intonasi dan ekspresi tak dapat
kudeskripsikan satu persatu. Kilatan lampu kamera nyaris tak berjeda mengambil gambarku
dan tumpukan surat-surat itu.
Surat-surat beramplop pink itu darimana saja?
Apa Bu Isti mengenal semua pengirim surat itu?
Kuambil selembar tisu kemudian kuhapus keringat yang membasahi wajahku.
Tidak. Hanya 6 orang yang saya kenal. Lainnya saya tidak kenal.
Apakah isinya ancaman? celetuk salah seorang di antara mereka.
Aku menggeleng bimbang. Haruskah kujelaskan isinya. Aku tidak mau netizen makin
memojokkanku.
Bisakah diceritakan garis besar isinya?
Baiklah, kutarik nafas panjang sambil mencuri pandang ke arah Pak Ihsan. Ternyata
beliau mengacungiku jempol dan tersenyum. Artinya, beliau setuju dengan keputusanku.
Hampir semua pengirim surat itu menyatakan . . , sengaja kugantung kalimatku.
Kupejamkan mata dan sejenak aku berdoa. Berharap agar apa yang kusampaikan ini tidak
meruntuhkan dunia. Mereka ... mereka melamarku untuk jadi istrinya, bahkan ada yang
terang-terangan memintaku jadi istri simpanan karena takut pada istrinya.
Wooow.
Suit-suit.
Beragam komentar kagum, melecehkan, dan menggoda memenuhi halaman sekolah
seketika. Biarlah mereka tahu kebenaran ini.
Lalu apa tanggapan Ibu terhadap semua surat itu?
Saya takan mencoba menjawab pertanyaan Mas.
Kukeluarkan kopian surat pernyataan diri yang aslinya kuserahkan pada kepala sekolah
tadi.
Untuk menghentikan hiruk pikuk terkait soal ayah Amel, saya memutuskan untuk
mengundurkan diri dari sekolah ini.
Apa tidak sayang Bu Isti? Masak hanya karena masalah ini Ibu tega memutuskan
untuk berhenti jadi guru? tanya wartawan televisi.
Bukan begitu. Saya memutuskan untuk mundur karena dua alasan. Pertama, calon
suami saya yang seorang intel, marah besar dan cemburu pada ayah Amel serta lelaki-lelaki
yang mengirim surat beramplop pink itu. Karena itu, ia meminta saya mundur dari mengajar
agar dapat membantunya menyelidiki satu per satu siapa pengirim surat itu. Ia juga akan
membutuhkan banyak masukan untuk menentukan hukuman yang tepat bagi mereka,
terutama laki-laki yang terang-terangan hendak menjadikan saya simpanan atau istri sirrinya.
Atau, bisa jadi karena alasan kedua. Bila calon suami saya masih tetap marah dan
menyalahkan saya karena menuduh saya bahagia menerima ratusan lamaran itu, saya akan
ladeni tantangannya. Putus. Memutuskan hubungan pertunangan itu cukup sampai awal
bulan.Mengapa awal bulan? Karena saat awal bulan saya baru terima gaji jadi tidak sedang
butuh support dana asmara darinya untuk membeli pulsa.
Kuudengar suara-suara sumir. Tapi apa peduliku. Kurasa di grup-grup media sosial
mereka telah banyak menggunjingku dengan gunjingan panjang. Tak perlulah aku
mendengarkannya. Lagipula gunjingan itu ditulis, bukan diucapkan, bukan?
Bu Isti, bisa dijelaskan alasan kedua tadi?salah seorang wartawan mengingatkanku
untuk melanjutkan penjelasanku.
Ya. Bila tunangan saya tidak memaafkan saya kemudian kami putus, ya bagi saya
biasa saja. Saya masih punya stok 300 lelaki yang dapat saya pilih yang mana yang sesuai
denganselera saya. Kalau perlu, saya akan memilih 7 orang di antaranya supaya tiap hari saya
bias berpacaran dengan pria yang berbeda. Nah, untuk menentukan pilihan tersebut, saya
membutuhkan waktu yang panjang. Saya perlu membaca dengan teknik membaca intensif
agar dapat membuat resume dan akhirnya membuat simpulan. Simpulan tersebut saya
gunakan untuk melakukan wawancara mndalam dengan calon terpilih. Bisa kan dibayangkan
betapa ribetnya hal yang akan saya kerjakan?
Mendengar aku berhenti bicara, mereka bertepuk tangan. Ya benar-benar bertepuk
tangan. Aku tak mengerti. Tepuk tangan untuk siapa dan untuk apa.
Hebat, Mbak. Kami mendukung Mbak, teriak beberapa orang
HP-ku berdering. Mas Yassin, calon suamiku mengirim pesan via WA. Katanya ia telah
menungguku di pintu masuk gapura sekolah.
Saya kira cukup itu yang bias saya jelaskan,ujarku pada para wartawan untuk
mengakhiri wawancara melelahkan sore itu.
Tak kupedulikan lagi pertanyaan-pertanyaan yang terus diteriakkan para wartawan
hingga aku sampai ke tempat Mas Yassin menungguku.

Pukul 20.15 HP-ku berdering. Segera kuangkat. Ternyata telepon dari seseorang yang
mengaku produser acara bincang-bincang. Sebuah acara reality show yang mendapat rating
tinggi dan ditayangkan saat prime time.
Kami berencana untuk membuat tayangan reality show tentang surat ayah Amel.
Untuk itu kami berharap Ibu berkenan untuk membacakan surat-surat yang Ibu terima
sekaligus menjawabnya secara live.
Begitulah pernyataan singkat Mas Syam, sang wartawan sekaligus calon creative
manajer acara tersebut. Aku tidak sanggup menjawab saat ini juga. Kurasa aku perlu waktu
untuk berpikir.
Ehm . . Tapi jangan salah. Aku tidak butuh waktu untuk menerima atau menolak
tawaran itu. Aku pasti menerima. Aku butuh waktu untuk menentukan skenario cantik agar
kepopuleranku makin bersinar. Aku harus mampu menyetir media untuk membuatku berhasil
meraih cita-citaku. Ya ... aku juga perlu menyiapkan skenario yang matang tentang citra diri
yang akan kutunjukkan pada dunia. Citra diri yang akan mengantarku menjadi orang nomor
satu di negeri ini. Bila aku tak bisa, setidaknya aku harus berhasil menjadi pendampingnya.
Aku tersenyum mengagumi kehebatanku. Aku telah membuktikan bahwa dengan
selembar surat yang sengaja kuupload di media sosial, aku dapat menggegerkan dunia. Tak
ada yang tahu bahwa aku sendiri yang menguploadnya di twitter lalu membaginya dengan
puluhan akun palsuku ke media sosial lainnya.
Apakah aku salah? Tidak. Ayah Amel-lah yang bersalah. Ia membuat surat izin dengan
ragam bahasa nonformal, puitis lagi. Kesalahan fatal dalam berkomunikasi. Lagi-lagi aku
mendapat bukti bahwa keputusanku menolak pinangannya dulu yaitu karena ia tidak lulus
mata kuliah Bahasa Indonesia Profesi adalah keputusan yang benar. Sangat tepat.
(Dipublikasikan di sini nih: http://www.gurusiana.id/istiqomah/article/ini-semua-salahnya-
3657690)

Batu, 6 Februari 2016


Ditulis oleh mantan gurunya Amel (Sebab seingatku dulu ada siswiku yang bernama Amel,
tapi sudah lulus).
Mau tulisantulisan saya lainnya, silakan berkunjung ke gurusiana.

Anda mungkin juga menyukai