Anda di halaman 1dari 10

KETERLIBATAN FISIOLOGI DAN MANAJEMEN DARI OBESITAS PADA

PENYAKIT KRITIS
Abstrak
Prevalensi obesitas di Amerika serikat sangat tinggi dan umumnya pun meningkat di
seluruh dunia. Pada obesitas terdapat perubahan anatomi dan fisiologi yang berdampak dari
persilangan spektrum dan penyakit kritis. Penderita yang obesitas mungkin menjadi lebih
rentan untuk hipksemia dan hipercapnia. Selama mekanisme ventilasi, penurunan tekanan
ekspiratori mungkin dibutuhkan untuk menyeimbangkan paru-paru dan mencegah perfusi
ventilasi. Penelitian telah menujukkan peningkatan resiko dari disfungsi organ seperti akut
respiratori sindrom dan gagal ginjal akut pada penderita obesitas. Predisposisi pada hipertropi
ventrikular dan peningkatan volume darah dapat di pertimbangkan dalam menentukan
majemen cairan. Penderita obesitas memiliki percepatan hilangnya otot pada penyakit kritis,
membuat essensial nutrisi, walaupun persamaan prediktif optimal untuk memperkirakan
kebutuhan nutrisi atau formula untuk penderita obesitas belum dibentuk. Umumnya banyak
prngobatan ICU tidak diteliti dengan baik pada penderita obesitas, perlunya pengertian dari
farmakokinetik dan konsultasi dengan farmasis. Obesitas berhubungan dengan resiko tinggi
dari trombosis vena dan infeksi pembuluh darah akibat kateter. Meskipun perubahan fisiologi
dan keterlibatan tantangan logistik, belum jelas apakah obesitas memiliki dampak pada
mortalitas atau pengeluaran jangka panjang dari penyakit kritis. Dampak yang muncul bisa
bervariasi dari tipe penyakit kritis, tingkat obesitas, dan hubungan obesitas dengan
komorbiditas.

Kata kunci: Obesitas, fisiologi, respirasi buatan, penyakit kritis, hasil kebutuhan pasien.

Kasus
Laki-laki 55 tahun dengan indeks masa tubuh (BMI) 38kg/m2 datang ke ICU dengan
pneumonia dan syok septik dan kemudian diintubasi karena kegagalan pernafasan
hipoksemik. Diperburuk hipoksemia dan statik pemenuhan segera rendah setelah intubasi
seimbang oleh aplikasi dari positive en-expiratory pressure (PEEP) yakni 12 cm H2O. Bolus
opiod dan benzodiazepin dibutuhkan untuk pencapain sedasi. Pengobatan ICU dipersulit oleh
central venous catheter (CVC) berhubungan dengan infeksi pembuluh darah. Setelah 10 hari
pasien diekstubasi, pada hari ke 20, dia dialihkan ke rehabilitasi. Bagaimana obesitas
berdampak pada patofisiologi, manajemen, dan mengakibatkan penyakit kritis?

Pendahuluan
Obesitas adalah kondisi lazim di Amerika Serikat dan seluruh dunia. Meskipun prevalensi di
amerika sedikit pada 10 tahun yang lalu, orang dewasa yang diperkirakan memiliki BMI di
atas standar WHO adalah 2/3. Ditetapkan rata-rata normal (18,5-25kg/m2) dan 1/3 adalah
obesitas (BMI 30kg/m2). Obesitas morbid (BMI 40 kg/m2) memiliki prevalensi sebanyak
6,3%. Prevalensi obesitas di ICU diperkirakan pada 25%, telah berlipat ganda 10-15 tahun
ditujukan memeriksa jumlah gros dan patofisiologi molekular, manajemen, dan hasil

1
partikular untuk pasien penyakit kritis dengan obesitas. Pada ulasan singkat ini, difokuskan
dalam perubahan fisiologi pada obesitas dan investigasi dampak dari perubahan pada
penyakit kritis. Antisipasi, manajemen optimal, dan pengertian dari bagaimana obesitas
memiliki dampak klinis
Apakah Yang Dimkaksud dengan Obesitas?
Menentukan obesitas adalah penting karena secara klinis obesitas memiliki berbagai
karakteristik. Klasifikasi WHO mengenai obesitas yaitu BMI lebih dari 30 kg/m2. Validitas
BMI sebagai metrik ideal dari obesitas dipertanyakan, karena tidak terhitung dengan baik
dalam perbedaan komposisi tubuh. Rasio pinggang-pinggul, diameter perut sagital, dan
pencitraan seperti computed tomography (CT) dan dual energy X-ray absorptiometry lebih
mencerminkan komposisi tubuh. Tindakan ini telah semakin digunakan dalam rawat jalan
kohort dan dalam beberapa kasus ditemukan memiliki hubungan kuat dari BMI dengan hasil
klinis. Mengingat terbatasnya jumlah penelitian perawatan kritis yang memiliki langkah-
langkah non-BMI digunakan, sebagian besar data terakhir di sini menggunakan BMI untuk
mendefinisikan kegemukan. Sejumlah penelitian ini difokuskan secara khusus pada populasi
yang sangat gemuk, perbedaan dicatat bila memungkinkan.

Sistem Pulmonari
Fisiologi Pulmonari
Obesitas menyebabkan perubahan anatomi dan fisiologi mulai dari wajah, leher,
faring, paru-paru, dan dinding dada yang berakibat pada fungsi sistem pulmonari dalam
pasien penyakit kritis. Kelebihan lemak di wajah mengakibatkan ke tidak cocokan dari
masker ventilasi, sementara lemak parafaringeal dan akibat gagalnya jalan nafas
meningkatkan resistensi jalan nafas atas. Penelitian mengenai intubasi pasien obesitas
menunjukkan peningkatan total paru-paru resisten dibandingkan dengan pasien normal,
meskipun peningkatan resistensi jalan nafas mungkin disebabkan oleh rendahnya volume
paru-paru dibanding obstruksi jalan nafas.
Kelebihan lemak abdomen meningkatkan tekanan abdomen dan perubahan diafragma,
dikombinasikan dengan perubahan dinding dada untuk mencapai batas dasar tekanan pleura.
Hasil yang paling signifikan dan konsisten dari perubahan fungsi pulmonari adalah
penurunan volume cadangan respiratori dan fungsi kapasitas residual (FRC), sementara
kapasitas total paru-paru dan nilai spirometri biasanya tetap dalam batas normal. Penurunan
fungsi kapasitas residual dapat menghasilkan penutupan ketergantungan periperal jalan nafas
selama ventilasi tidal, terutama rata-rata respiratori tinggi, dan mengurangi penyesuaian paru-
paru oleh karena volume tidal di bawah batas normal. Kombinasi dari kurangnya ventilasi
dengan perfusi pada beberapa penderita obesitas di batas dasar perfusi-ventilasi (V/Q) tidak
cocok dan kerentanan untuk hipoksemia. Efek tersebut bertambah saat posisi supinasi.
Obesitas juga berhubungan dalam kerja pernafasan. Kress dkk mendemonstrasikan
bahwa angka morbiditas penderita obesitas(BMI, 53kg/m2) 60% mengkonsumsi oksigen
lebih tinggi daripada orang dengan berat normal. Sedangkan oksigen dibutuhkan untuk
melakukan respirasi yang normal pada orang biasa, hampir setengah dari volume oksigen
pada pasien obesitas disebabkan oleh jumlah oksigen saat bernafas. Saraf respiratori

2
menghantarkan peningkatan pada pasien obesitas untuk mengkompenasi beban peningkatan
ventilasi dan ketidak sanggupan otot respiratori. Pada obesitas sindrom hipoventilasi (OHS)
sebagai mekanisme pengganti gagal dan hantaran saraf berkurang dengan hasil hipercapnia
dan hipoksemia.
Tingkatan pada setiap penderita obesitas bermanifestasi pada perubahan sistem
respiratori dan tidak seluruhnya bergantung pada keparahan obesitas. Tetapi, tidak sulit untuk
melihat berbagai macam dari perubahan fisiologi sistem pulmonari mungkin membatasi
cadangan pulmonari dan berpotensi menempatkan penyakit kritis penderita obesitas dengan
resiko kesulitan mengatur jalan nafas, kegagalan respiratori dan tantangan dengan mengatur
ventilator.

Pengaturan Jalan Nafas


Meskipun dideskripsikan perubahan fisiologi penderita obesitas, kegunaan klinis dari
BMI untuk memprediksi kesulitan intubasi menjadi pertanyaan. Penelitian
mendemonstrasikan hubungan BMI dengan masker ventilasi dengan intubasi pada saat
operasi. Besarnya resiko peningkatan, meskipun kecil kemungkinan. Sebagai contoh sebuah
studi lebih dari 90.000 pasien menjalani intubasi untuk pembedahan menunjukkan frekuensi
kesulitan intubasi 5,2% pada seluruh populasi dan 6,4% dengan BMI sama dengan atau lebih
dari 35 kg/m2. Modifikasi malampati tingkat III atau IV dan sebelumnya setiap kesulitan
intubasi memiliki hubungan yang lebih kuat dengan intubasi yang sulit. Penelitian melalui
populasi di ICU, rata-rata kesulitan intubasi 6,6 sampai 15%. Berdasarkan bukti
menunjukkan obesitas dengan BMI 35 kg/m2 memiliki resiko kesulitan lebih tinggi untuk
dilakukan intubasi trakeal daripada pasien tanpa obesitas. Kelemahan dari penderita obesitas
merupakan perhatian yang penting dalam terjadinya hipoksemia selama intubasi. Peningkatan
tekanan pleura berhubungan dengan perubahan yang terjadi pada obesitas seperti atelektasis
dan V/Q yang tidak cocok ketika supinasi, sedasi, dan kelumpuhan. Juvin dkk menemukan
obesitas dengan BMI 35 kg/m2 yang menjalani pembedahan memiliki nilai Spo2 yang lebih
rendah selama intubasi dibandingkan dengan normal dan pasien dengan kelebihan berat
badan, meskipun durasi preoksigenasi dan nilai Spo2 sama. Hal inilah yang menyebabkan
hipoksemia memiliki jumlah yang signifikan dalam populasi perawatan penyakit kritis,
dimana seluruh insiden dari hipoksemia selama intubasi adalah 20-25%. Peneliti tidak
memiliki kejelasan dalam melakukan hipoksemia preintubasi pada pasien obesitas karena
berpotensial faktor-faktor lain yang berkontribusi. Faktor-faktor tersebut tetap berguna dalam
preintubasi tetapi, untuk klinis perawatan kritis mengerti strategi manajemen untuk mencegah
hipoksemia. Posisi tredelenberg dengan membalikkan 30 0 atau 250 head-up. Setiap posisi
menunjukkan keseimbangan preoksigenisasi Pao2 dan waktu apnea yang aman pada
morbiditas pasien obesitas. Futier dkk melakukan percobaan pengaturan acak menunjukkan
bahwa kegunaan ventilasi noninvasive selama preoksigenisasi pada pasien obesitas
disesuaikan obesitas sebelumnya, pada waktu yang sama, dan setelah intubasi, dan tambahan
manuver tersebut menghasilkan PaO2 lebih tinggi.
Penelitian telah mendemonstrasikan bahwa obesitas berhubungan dengan komplikasi
trakeostomi. Satu dari 427 pasien penyakit kritis menjalani pembedahan trakeostomi tercatat
sebanyak 25% ditemukan komplikasi seperti obstruksi atau kesalahan masuk dari endotrakeal
tube hal ini terjadi pada pasien obesitas yang meninggal dibandingkan dengan 14% pasien

3
yang memiliki BMI 40 kg/m2. Berdasarkan postulat yang ditulis standar dari penggunaan
jangka panjang pipa trakeostomi pada pasien obesitas berkontribusi dalam rendahnya
komplikasi. Meskipun populasi pasien yang menjalani trakeostomi sepertinya mempengaruhi
dengan seleksi prosedur, resiko rendah dibanding prosedur operasi yang dijalani, penelitian
ini mendemonstrasikan bahwa pasien obesitas dengan ciri khas anatomi dapat menjadi alasan
untuk pendekatan perkutan.

Kegagalan Pernafasan dan Mekanisme Ventilasi


Epidemiologi obesitas bergantung pada faktor resiko pada kegagalan pernafasan akut.
Penelitian pada populasi pembedahan memiliki peningkatan kegagalan dari identifikasi
setelah operasi komplikasi paru-paru pada pasien obesitas. Meskipun, BMI yang lebih tinggi
menunjukkan hubungan meningkatnya resiko dari moderate ke severe acute respiratory
distress syndrome (ARDS) pada pasien obesitas di ICU dengan disfungsi primer setelah
transplantasi paru-paru. Ada banyak potensi penyebaran pada temuan ini, meskipun tidak ada
data lengkap. Pasien dengan obesitas mungkin berisiko tidak terdeteksi ARDS disebabkan
oleh interpretasi jaringan lunak dan atelektasis basilar sebagai infiltrasi basilar. Gong dkk
melaporkan bahwa peningkatan frekuensi PaO2 kurang dari 200, dibandingkan hasil
radiografi, merupakan tanda ARDS. Predisposisi pasien obesitas ke hipoksemia
menghasilkan PaO2/FIO2 rendah dibandingkan dengan berat passien normal dalam
pengaturan yang sama menuju paru-paru. Lagipula penurunan FRC dengan ventilasi tidal
dekat dengan titik inflection dari kurva volume tekanan dapat terjadi predisposisi ke
atelektrauma yang ditunjukkan melalui model ventilasi hewan. Sebagai tambahan pada cedea
paru-paru, kegagalan respiratori hiperkapnik akut pada passeien dengan OHS digambarkan
dengan baik bahkan jika rata-rata insiden dan faktor-faktor risiko tidak ada. Penelitian secara
kohort menunjukkan pasien OHS dengan kegagalan ventilasi akut dapat dicoba pada NIV
yang memiliki rata-rata kesamaan intubasi dan menyesuaikan rata-rata mortalitas
dibandingkan dengan kegagalan ventilasi psien COPD. Data populasi NIV penting untuk
membedakan kegagalan ventilasi akut dari kronik, dikompensasi asidosis respiratori pada
pasien OHS. Garis dasar PaCO2 bisa jadi cukup tinggi, maka penurunan PaCO2 tidak dapat
menutup dasar unntuk NIV akut atau intubasi. Pasien dengan OHS mungkin beradaptasi pada
ventilasi oleh tidur normal saat duduk atau setengah berbaring. Maka dari itu, pemisahan
harus hati-hati dari dekompensasi respiratori potensial atau kegagalan untuk menghentikan
mekanisme ventilasi misal saat pasien sedang posisi supinasi.
Intubasi pasien obesitas memerlukan pertimbangan dalam menseleksi parameter
mekanisme ventilasi, terutama mengenai volume tidal dan PEEP. Berat badan diprediksikan
dapat digunakan untuk menormalkan VT ketika terindikasi rendah. Karena pasien obesitas
memiliki tekanan plura yang rendah maka mungkin ada tekanan transpulmonary, pembesaran
alveolar, dan penurunan volutrauma pada saat elevasi tekanan. Tidak ada data hasil,
bagaimanapun, memvalidasi liberalisasi dataran tinggi tujuan tekanan pada pasien obesitas
dengan ARDS. Tertunda studi tambahan, pasien tersebut harus terus dikelola sesuai untuk
protokol ARDSNet standar. Pemilihan PEEP yang tepat mungkin memiliki efek
menguntungkan pada dua fenomena perhatian di berventilasi subyek obesitas: derecruitment
alveolar, dan pembatasan aliran ekspirasi dengan konsekuen PEEP intrinsik (PEEPi). Pelosi
dan koleganya menunjukkan bahwa di tdk obesitas (berarti BMI, 51 kg / m2) bedah pasien,

4
PEEP dari 10 cm H2O dibandingkan dengan nol PEEP meningkat secara signifikan paru-paru
dan dinding dada kepatuhan dan endexpiratory volume paru-paru, sementara sederhana
meningkatkan rata-rata PaO2 (dari 110 ke 130 mm Hg), sedangkan efek dari meningkat
PEEP pada pasien obes yang relatif terbatas. Koutsoukou dan rekan menemukan bahwa 10
dari 15 obesitas (berarti BMI, 56 kg / m2) pasien pascaoperasi dipamerkan Keterbatasan
aliran ekspirasi dan meningkat PEEPi nol PEEP. Ekstrinsik PEEP dititrasi untuk berbagai 4-
16 cm H2O dihapuskan keterbatasan aliran ekspirasi dan diminimalkan PEEPi, tapi tidak
berpengaruh pada oksigenasi. Studi ini tidak dirancang untuk menguji hasil, dan PEEP nol
Strategi jarang digunakan dalam penyakit kritis, terutama mereka dengan ARDS. Namun,
pengamatan masih dilkaukan untuk melihat faktor fisiologis di ventilasi pasien obesitas yang
dapat membuat mereka responsif terhadap PEEP. Studi non randomize membandingkan hasil
pada obesitas dibandingkan pasien obes dengan ARDS diperlakukan dengan posisi rentan,
dengan hasil yang bertentangan. Namun, studi acak mata pelajaran di PROSEVA,
menunjukkan manfaat kematian posisi rawan di ARDS, memiliki rata-rata BMI 28-29 kg /
m2, dengan kisaran jumlah yang banyak pada mata pelajaran di obesitas. Mengingat data
tertentu terbatas untuk posisi rawan obesitas pasien, penilaian klinis harus memandu apakah
tantangan logistik dan kekhawatiran seperti hipertensi intraabdominal dari kompresi perut
ekstrinsik lebih besar daripada manfaat potensial. Apakah obesitas memperpanjang mekanik
ventilasi atau meningkatkan risiko kegagalan ekstubasi? Meta-analisis yang bertentangan,
dengan adanya penyesuaian risiko dan penelitian heterogenitas membuat definitif kesimpulan
sulit. Dalam sebuah penelitian diterbitkan setelah meta-analisis ini, O'Brien dan rekan
melakukan riskadjusted Analisis yang juga menyumbang risiko bersaingnya kematian dan
menemukan bukti bahwa obesitas pasien ICU memiliki waktu yang lebih singkat untuk
keberhasilan ekstubasi dibandingkan mereka dengan BMI kurang dari 25 kg / m 2. Tidak ada
perbedaan dalam tingkat reintubation, hal ini sesuai temuan Frat dkk. Walaupun Penelitian
O'Brien (n = 508) adalah lebih kecil dari kebanyakan mereka yang termasuk dalam
metaanalisis, kekakuan metodologis gabungan dengan hasil yang bertentangan dari
sebelumnya studi meragukan gagasan bahwa obesitas merupakan faktor risiko independen
untuk ventilasi mekanis berkepanjangan atau kegagalan ekstubasi. bukti bahwa profilaksis
postekstubasi NIV mungkin bermanfaat bagi pasien ICU obesitas, meskipun strategi ini
mungkin efektif untuk pasien dengan hiperkapnia dan gangguan pernapasan kronis.

Sistem Kardiovaskuler
volume darah dan cardiac output meningkat pada pasien obesitas baik ke kebutuhan
untuk perfusi tambahan masa dan untuk peningkatan konsumsi oksigen dasar. Peningkatan
hasil preload di eksentrik ventrikel kiri (LV) hipertrofi, dan hipertensi mungkin berkontribusi
hipertrofi konsentris. LV sistolik dan disfungsi diastolik, pembesaran atrium kiri, dan onset
atrial fibrilasi lebih sering terjadi pada penderita obesitas bahkan setelah mencatat hubungan
obesitas dengan komorbiditas seperti hipertensi dan diabetes. Kelebihan berat badan dan
obesitas pada individu memiliki masa ventrikel kanan lebih besar (RV) dan secara sederhana
fraksi ejeksi RV rendah bergantung dari faktor risiko kardiovaskular dan fungsi LV.
perubahan ke RV tersebut sebaik elevasi resistensi pembuluh pulmonari mungkin lebih umum
pada mereka dengan obstruktif apnea dan dijelaskan dengan baik di OHS. Beberapa studi
telah meneliti risiko obesitas menimbulkan disfungsi kardiovaskular selama sakit kritis. bukti
menunjukkan obesitas yang tidak terkait dengan risiko dari Sequential Organ Failure

5
penilaian didefinisikan gagal jantung (SOFA skor. 2), meskipun studi ini melakukan dengan
tidak menyesuaikan pembauran. Hal ini mungkin, tidak baik dipelajari, bahwa perubahan
dasar dalam anatomi jantung dan fungsi yang dijelaskan sebelumnya mungkin membuat
pasien obesitas di ICU lebih rentan komplikasi seperti atrial fibrilasi, edema paru, dan RV
disfungsi. Dua penelitian menunjukkan volume resusitasi cairan yang lebih rendah, ketika
diindeks untuk BMI, pada sepsis obesitas dan pasien trauma. Cairan yang diindeks untuk
ulasan BMI karena penggunaan unindeks tidak diberikan volume cairan tidak menghitung
peningkatan untuk sirkulasi volume darah dan karena itu mungkin melebih-lebihkan
kecukupan resusitasi Cairan pada pasien obesitas. Namun, volume darah meningkatkan kerja
jantung hearts, sehingga BMI meningkat. Pada pasien obesitas, Oleh karena itu, volume
diberikan cairan diindeks BMI secara linear yang meremehkan kecukupan resusitasi cairan
terhadap volume darah. Meskipun Winfield dkk tidak menunjukkan bukti resolusi lebih
lambat untuk asidosis metabolik pada obesitas pasien trauma, masih belum jelas apakah ada
under resuscitation sistematis pasien obesitas dan yang paling penting, jika resusitasi
protocolized dihitung untuk perubahan BMI terkait volume darah akan membuat dampak
pada hasil.

Sistem Ginjal
Obesitas merupakan faktor resiko dari penyakit ginjal kronik, karena keduanya
berhubungan dengan komorbiditas dan berpotensial menimbulkan lesi glomerulus sehingga
terjadi filtrasi yang abnormal. Obesitas juga telah diidentifikasi sebagai faktor risiko untuk
cedera ginjal akut, ARDS, dan yang umum di ICU. Beberapa studi untuk CKD, hipertensi,
dan diabetes, mengarah ke hipotesis bahwa tambahan faktor obesitas mungkin meningkatkan
risiko. Sebagai mediator sirkulasi inflamasi telah dikaitkan dengan risiko AKI, produksi
adiposa pada mediator ini, serta adipokines seperti leptin, dalam respon penyakit akut bisa
berkontribusi untuk obesitas-AKI.
Selain itu, intraabdominal hipertensi dapat menyebabkan disfungsi ginjal dari
kongesti vena dan kurangnya perfusi arteri. Semua pasien ICU obesitas mengalami
peningkatan risiko tekanan intraabdominal yang tinggi(IAP). IAP meningkat di garis dasar,
namun, berbalik pada kesehtan pasien obesitas. Karena itu, tidak jelas bahwa elevasi IAP
dalam pengaturan penyakit kritis akan merusak efek fisiologis dalam obesitas. Sesuai
pedoman untuk semua pasien, kompartemen sindrom pada pasien obesitas tergantung pada
kombinasi elevasi IAP dan konsisten temuan klinis.
Keterbatasan konsensus kriteria untuk AKI saat ini harus diingat ketika
menginterpretasi studi pasien obesitas. Pengindeksan dari kriteria urin output untuk berat
badan bisa salah mengklasifikasi pasien obesitas dengan AKI. Sebagai contoh pasien dengan
berat 120 kg memenuhi AKI kriteria jika urin output kurang dari 60 ml / jam selama minimal
6 jam. Kreatinin didefinisikan AKI mungkin lebih valid pada populasi ini, telah ditunjukkan
hubungan peningkatan mortalitas di antara pasien obesitas dengan ARDS. Selain itu, GFR
memperkirakan persamaan tidak akurat pada pasien obesitas bahkan ketika benar diterapkan
untuk orang-orang dengan ginjal yang stabil. Epidemiologi penyakit ginjal kronis
pencampuran (CKD-EPI) persamaan dapat menghasilkan yang terbaik pada pasien obesitas.

6
Nutrisi
terapi nutrisi yang optimal pada pasien kritis yang obesitas masih kontroversial.
Dibandingkan dengan pasien tanpa lemak, protein kerugian negara katabolik kritis penyakit
dapat dipercepat pada pasien obesitas karena mereka lebih mungkin untuk menggunakan otot
sebagai bahan bakar. terapi nutrisi dapat mengurangi katabolisme ini, meskipun tidak
sepenuhnya. Seperti pada semua pasien sakit kritis, nutrisi enteral harus dimulai dalam 24-48
jam masuk ICU kecuali kontraindikasi ada, dan enteral lebih disukai daripada makan
parenteral. resep kalori yang optimal di gemuk pasien tidak jelas. persamaan prediksi untuk
pengeluaran energi terutama tepat di obesitas pasien sakit kritis, meskipun tidak ada data
menunjukkan bahwa menggunakan langsung kalorimetri meningkatkan hasil. Kalori dengan
asupan protein tinggi telah diusulkan sebagai strategi gizi pasien kritis yang gemuk untuk
secara bersamaan mengurangi katabolisme protein dan hiperglikemia sambil penurunan berat
badan, walaupun data uji klinis kurang. The ARDS skala besar Jaringan uji coba awal
(pertama 6 d) trofik dibandingkan pemberian makan enteral penuh tidak menemukan
perbedaan dalam mortalitas, ventilator bebas hari, komplikasi infeksi, atau jangka panjang
outcome, dengan temuan yang sama ketika dikelompokkan berdasarkan kategori BMI.
Namun, bukti yang bertentangan dari sebuah studi observasional multicenter menunjukkan
bahwa obesitas pasien sakit kritis mungkinmanfaat dari kalori, dan uji coba klinis secara acak
tentang topik ini sedang berlangsung

Farmakologi
Data pemberian obat pada obesitas di ICU sering terbatas, seorang klinis harus
mengetahui bahaya dari obat yang dipakai mulai dari mempertimbangkan obat yang dipakai,
dosis pada obesitas, lipofilik, dapat dititrasi dengan cepat atau ada konsentrasi serum, atau
memiliki manfaat terapuetik yang sedikit. Dosis berdasarkan berat badan biassanya sesuai
dengan studi namun tidak termasuk berat badan ekstrim, dan pada banyak kasus tidak ada
spesifikasi mengenai obat. Pertimbangan yang berbeda menerapkan bolus/beban versus
pemeliharaan dosis. Obat lipofilik meningkatkan volume pada distribusi dengan lebihnya
jaringan adiposa, maka dari itu dibutuhkan bolus yang lebih agar mencapai konsentrasi
plasma secara cepat. Penggunaan hidrofilik seperti nondepolarisasi neuromuskular bloker
tidak mendistribusi jaringan adiposa secara signifikan, jadi dosis oleh berat badan ideal dapat
lebih cocok. Lipopiliciti jangkauan luas, tetapi banyak sekali faktor lain mempengaruhi dosis.
Pada obesitas dibutuhkan bolus lebih jika volume darah tinggi bahkan hal itu juga sama pada
obat hidrofilik ketika menjaga dosis lipofilik. Dalam waktu jangka panjang obat tersebut
memberikan efek pada penyimpanan adiposa. Pengobatan jelas dengan penentuan dosis bisa
meningkatkan GFR atau penurunan jika berhubungan pada penyakit ginjal.
Vasopresor dan sedatif secara cepat dititrasi ke efek maka dari itu dibutuhkan sedikit
pertimabangan spesifik pada dosis awal. Jika sedatif diperpanjang untuk mengikuti dosis
titrasi atau interupsi protokol untuk mnecegah sedasi panjang yang tidak diperlukan.
Antikoagulan merupakan obat terapuetik yang relatif sedikit. Intavena di heparin tidak
didistribusi dengan baik di jaringan adiposa, dan dosis yang diperhitungkan untuk

7
meningkatkan volume darah telah disarankan. Salah satu ulasan mengatakan berat badan
aktual dapat dipakai dosis terapuetik dengan memonitoring aktivitas anti-Xa pada berat badan
yang lebih dari 190 kg. Akhirnya penambahan dosis pada obesitas menyoroti kebutuhan dan
pengertian mengenai konsep farmakokinetik dan melibtkan farmasis jika memungkinkan.

Komplikasi dan Logistik


Tromboemboli Vena
Obesitas merupakan faktor resiko dari tromboemboli vena. Penurunan morbilitas dan
trombofilia dari perubahan faktor koagulasi sirkulasi pada obesitas bertanggung jawab pada
penemuan ini. Sebagai dengan semua pasien ICU, tinggi klinis dicurigai tromboemboli vena
adalah diperlukan mengingat kesulitan dalam mendeteksi tanda-tanda klasik dari kaki
bengkak dan eritema. Selain itu, USG evaluasi kompresibilitas deep vein mungkin lebih
teknis menantang di pasien obesitas karena kelebihan jaringan lunak, dan CT dapat dibatasi
baik dalam kualitas gambar dan kapasitas scanner untuk mengakomodasi berat dan ukuran

Tekanan Ulkus
Laporan tentang risiko tekanan ulkus terkait dengan obesitas bertentangan.
Peningkatan risiko telah dicatat dalam keperawatan obesitas rumahan dan pasien rawat inap.
Sebaliknya, peningkatan BMI dikaitkan berdasarkan dosis tergantung dengan rendahnya
tekanan risiko ulkus dalam studi dirawat di rumah sakit pasien usia lanjut. Frat dkk
melaporkan ulkus tekanan dalam 15% dari obesitas dibandingkan 16% dari berat badan
normal mekanis ventilasi pasien, meskipun penelitian berada di bawah bertenaga. Mungkin
dalam lingkungan yang kaya sumber daya seperti sebagai ICU, tantangan teratur
memobilisasi pasien obesitas bisa diatasi lebih mudah daripada di pengaturan lainnya, bahwa
efek bantalan kelebihan jaringan lunak dapat menangkal efek negatif kelebihan berat badan.
Mengingat data yang bertentangan, pasien obesitas pasti meningktkan risiko dengan cara
yang sama untuk pasien obes, menggunakan alat validasi seperti skala braden.

Infeksi Nosokomial
Ada banyak alasan mengapa obesitas memiliki resiko lebih tinggi terjadi infeksi
nosokomial kesulitan dalam mencapai saraf periperal dengan peningkatan penggunaan CVC,
kerukan kulit dan infeksi jaringan lunak, serta perubahan fungsi imun. Sedikit penelitian yang
menunjukkan resiko infeksi bertentangan hasil mengenai apakah obesitas meningkatkan
resiko infeksi pembuluh darah atau pneumonia. Bochiccio dkk menunjukkan BMI lebih dari
30 kg/m2 memilik resiko ganda melalui kateter dan pneumonia nosokomial.

Logistik
Pengukuran tekanan darah menunjukkan ketidak akuratan pada obesitas, meskipun
ditemukan tidak begitu jelas perbedaan pada non oebisitas. Untuk mencegah kesalahan
karena ukuran cuff, maka panjang lingkar cuff diberikan 80%, lebar 50% dari panjang atas.
8
Penempatan CVC dapat terganggu karena panus abdomen sehingga diperlupakan pengarahan
oleh ultrasound.
Interpretasi dari x-ray mungkin terbatas karena jaringan lunak serta paru-paru terlihat
berkabut walupun tidak ada proses parenkimal. Prevalensi atelektasis dan edem pulomonari
memberikan tambahan pemeriksaan radiografi seperti CT-scan meskipun kualitas kurang baik
karena CT-scan terbatas pada obesitas.
Tempat tidur bariatric dapat membantu dalam perawatan obesitas. Peralatan khusus
membantu dalam transportasi dan transfer ke meja pemeriksaan fisik. Beberapa tempat tidur
memiliki kemampuan untuk dirubah dengan posisi duduk sebagai usaha merekondisi setelah
pembedahan. Melatih secara khusus juga sangat membantu dalam penyembuhan salah satu
penelitian menunjukkan adanya penurunan ulcer dan cedera.

Hasil
Banyak penelitian menginvestigasi apakah peningkatan mortalitas berhubungan
dengan obesitas dalam populasi umum menerjemahkan kedalam hasil buruk dari penyakit
kritis. Tiga ulasan sistematik disimpulkan bahwa obesitas berhubungan dengan sama atau
rendahnya risiko kematian dibandingkan dengan berat normal. Secara heterogenitas
ditemukan alasan kewaspadaan hasil interpretasi, dan itu mengedukasi dampak obesitas pada
hasil yang bergantung dari populasi. Sebagai contoh, Pada populasi ICU malignancy dan
obstriktif pulmonary merupakan hal umum, hilangnya berat badan menjadi tanda ada
penyakit yang lebih berbahaya. Tanpa data riwayat penyakit sangat sulit mengontrol hal
tersebut. Trauma, berdampak pada sedikitnya komorbiditas, seperti perubahan fisiologi
mental dan logistik pada obesitas.
Penjelasan lain yaitu obesitas paradox merupakan deskripsi yang mirip atau
disesuaikan pada obesitas di ICU meskipun dihubungkan pada komorbiditas. Adiposa
mungkin menjadi bermanfaat sebagai nutrisi pada penyakit kritis, sebuah tempat
penyimpanan untuk gangguan metabolisme sirkulasi atau mengimbangi kelebihan inflamasi
dibuktikan oleh perubahan fenotip dari makrofag adipoosa ke antiinflamatori pada penyakit
kritis kronik. Berdasarkan mekanisme tersebut Prescott dkk menyatakan obesitas
mempengaruhi penurunan 1 tahun mortalitas. Diketahui bahwa tekanan pleura dapat
melindungi obesitas dari cedera paru-paru oleh induksi ventilator ketika diatur masa stabil
tekanan yang sama seperti pasien normal.
Meskipun berlawanan data, praktisi boleh berasumsi hubungan antara obesitas dan
mortalitas. Dalam sebuah survei prediksi mengenai hasil pada sepsis, rata-rata 4,3% pada
pasien obesitas kemungkinan lebih tinggi kematian daripada pasien dengan berat normal.
Survei responden juga diprediksi kemungkinan lebih tinggi bahwa pasien obesitas memiliki
masalah self-care selama 6 bulan. Meskipun kehilangan masa otot dan pengkondisisian
menyebabkan diakibatkan oleh pasien kritis, pasien obesitas dapat bertambah beban untuk
mengembalikan kekukatan otot pada kelebihan berat badan untuk melakukan aktivitas sehari-
hari.

9
Kesimpulan
Pasien dalam kondisi kritis dengan obesitas menunjukkan tantangan unik. Perubahan fisiologi
membedakan resiko dan komplikasi organ, dosis obat, dan harus dipahami secara logika
untuk memberi perawatan yang memungkinkan. Tidak ada standar pada pasien obesitas,
walaupun itu merupakan faktor yang menjad pertimbangan, dan banyak pelatihan standar
tidak perlu modifiakasi pada pasien obesitas. Bagaimana pengaruh obesitas dalam penyakit
kritis masih belum jelas, meskipun berdasarkan bukti tidak menunjukkan peningkatan
mortatlitas. Penelitian lebih lanjut mengenai bahaya dan manfaatnya memiliki potensi untuk
menyeimbangkan perawatan dan akhirnya mempromosikan patofisiology ICU secara global.

10

Anda mungkin juga menyukai