Anda di halaman 1dari 100

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terbentuknya Pakta Pertahanan Atlantik Utara, 4 April 1949 telah membawa

paradigma baru bagi dunia internasional dalam memahami postur, dinamika, dan

ancaman baru terhadap keamanan internasional. Sejak terjadinya Perang Dunia I

(1914-1918), menyusul Perang Dunia II (1939-1945), hingga Perang Dingin yang

berakhir pada runtuhnya Tembok Berlin dan penyatuan kembali (reunifikasi) Jerman

Barat-Timur (1990)1, serta beberapa konflik dan perang yang terjadi setelahnya,

kondisi keamanan internasional telah banyak mengalami bentuk polarisasi kekuatan.

Pada ketiga perang yang disebutkan di atas, Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik

Utara baru terlibat dalam Perang Dingin sebab organisasi ini baru dibentuk pada

pasca Perang Dunia II.

Pada awal pembentukannya, Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara

beranggotakan dua belas negara penandatangan, yaitu Perancis, Amerika Serikat,

Belanda, Inggris, Belgia, Denmark, Italia, Kanada, Luxemburg, Norwegia, Portugal,

dan Islandia. Dua negara yang disebut paling awal Perancis dan Amerika Serikat,

merupakan dua negara yang paling memegang peranan penting dalam memobilisasi

1 Pasca Perang Dingin isu-isu tentang ancaman keamanan internasional telah mengalami pergeseran
dari keamanan tradisional yang bersifat state-centered menuju ke keamanan non-tradisional yang lebih
bervariasi hingga people-centered. Dalam situasi seperti ini, NATO dituntut untuk mengadakan
penyesuaian. Adapun langkah yang paling efektif dilakukan adalah dengan melakukan redefenisi untuk
mengetahui relevansi NATO dalam melihat bentuk-bentuk ancaman baru terhadap keamanan
internasional.

1
keamanan internasional baik melalui NATO dan PBB, dan merupakan dua di antara

lima negara (Amerika Serikat, Perancis, Rusia, Cina, dan Inggris) pemegang Hak

Veto di PBB.

Dalam konsep perjanjian ini, North Atlantic Treaty juga disebut dengan nama

Washington Treaty. Perancis menyebut pakta pertahanan ini dengan nama

Lorganisation du Traite de Latlantique Nord, disingkat OTAN sekaligus mewakili

dominasi Perancis bersama Eropa di pakta pertahanan ini. Sedangkan, Amerika

Serikat menyebutnya dengan nama North Atlantic Treaty Organization, disingkat

NATO sekaligus secara tersirat mewakili dominasi Amerika Serikat. Namun, untuk

lebih mempermudah dalam penguasaan literatur, penulis mencoba menggunakan

istilah NATO dalam pembahasan sesuai dengan judul skripsi ini.

Pada tahun-tahun berikutnya, keanggotaan NATO semakin bertambah yang

semuanya berasal dari Eropa. Yunani dan Turki masuk menjadi anggota pada tahun

1952. Kemudian Republik Federasi Jerman atau Jerman Barat ikut masuk dalam

keanggotaan pada tahun 1955. Spanyol bergabung pada tahun 1982, tetapi berada di

luar struktur integrasi militer NATO hingga 1996. Cekoslovakia, Polandia, dan

Hungaria menjadi anggota tahun 1999. Bulgaria, Estonia, Latvia, Lithuania,

Romania, Slovakia, dan Slovenia bergabung pada tahun 2004. Terakhir, Albania dan

Kroasia resmi bergabung pada tanggal 1 April 2009 sesuai KTT Bucharest.

Melihat secara stuktural keanggotaan NATO di atas, Perancis merupakan salah

satu dari duabelas negara pemrakarsa berdirinya NATO. Namun, pada tahun 1966

Perancis menyatakan diri keluar dari struktur integrasi militer NATO walaupun masih

memiliki wakil dalam pakta pertahanan ini, dan baru kembali aktif di NATO pada

2
tahun 2009.2 Selain itu, pada tahun 1966 Perancis dan Jerman membentuk pertahanan

bersama di luar NATO sebagai tindak lanjut dari Elysee Treaty 1963 yang selanjutnya

menjadi konsep dasar bagi pembentukan Pertahanan dan Kemanan Eropa tahun

1996.3 Kolaborasi pakta pertahanan ini menunjukkan adanya pengaruh dari dua

kekuatan Eropa yang baru Perancis dan Jerman, sekaligus membentuk kemandirian

(self-determination) Eropa dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Sehubungan dengan hal di atas, secara tajam menunjukkan adanya dominasi

yang ketat antara Perancis dan Amerika Serikat di tubuh NATO. Situasi ini oleh
4
Eropa merupakan sebuah strategi untuk menghindari psychology of dependent

Perancis terhadap Amerika Serikat di NATO. Perancis mencoba mengungguli

Amerika Serikat atas NATO dengan cara membentuk pakta pertahanan bersama

dengan Jerman di luar NATO. Sebaliknya, Amerika Serikat mencoba mengungguli

Perancis atas NATO melalui peningkatan postur kekuatan militernya.

2 Tahun 2009 Perancis masuk kembali ke Struktur Komando Militer NATO atas usul Presiden Nicolas
Sarkozy melalui persetujuan pihak Parlemen Perancis. Ia mengajukan permohonan resmi bagi Perancis
untuk kembali memasuki struktur komando NATO, setelah absen selama 43 tahun. Surat Sarkozy itu
diserahkan kepada Sekjen NATO Jenderal Jaap de-Hoop Scheffer dalam KTT Uni Eropa di Brussels.
Parlemen Perancis menyetujui rancangan undang-undang yang mendukung Perancis kembali menjadi
anggota NATO. Perdana Menteri Perancis, Francois Fillon mengatakan kepada para legislator,
kembalinya Perancis ke komando militer NATO merupakan penyesuaian yang akan memberikan
pengaruh lebih besar bagi Perancis dalam NATO. Selain itu, NATO tahun 2009 berbeda dengan
NATO tahun 1966. Dikutip dari Pidato Perdana Menteri Francois Fillon on France Parlemen, 2009.
http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2009-03-21-voa8-85126987.html, diakses tanggal 8
November 2011 pukul 22.35 WITA.

3 Sankt Augustin, 2007, Konrad Adenauer and the European Integration, Berlin: Konrad Adenauer
Fundation, Archive for Christian Democratic Policy (ACDP), hal. 19.

4 A. Agus Sriyono, dkk, 2004, Hubungan Internasional, Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hal. 176.

3
Pada persoalan kepentingan nasional negara masing-masing, maka kita akan

melihat sebuah perseteruan yang tajam antara Perancis dan Amerika Serikat di

NATO. Keduanya tentu saja memiliki peluang dan kemampuan untuk saling

mendominasi. Di satu sisi, Perancis memulainya dengan menyuarakan kembali

semboyan leluhurnya di atas prinsip Liberty, Egality, and Fraternity5 dalam

menjaga kedaulatan negara sebagai bentuk independensi dari kekuatan hegemoni

Amerika Serikat. Prinsip tersebut sesungguhnya untuk menegaskan kembali suatu

politik luar negeri Perancis yang independen yang secara turun-temurun diakui

sebagai tradisi khas Perancis dalam mencapai kepentingan nasionalnya.

Kepentingan nasional Perancis ialah mengimbangi hegemoni Amerika Serikat

di Eropa melalui NATO. sehingga, Perancis harus bersikap independen terhadap

Amerika Serikat. Langkah ini telah dijalankan sebaik mungkin, dan oleh Presiden

Perancis Franois Mitterrand (1999) mengilustrasikan bahwa Amerika Serikat tidak

dapat lagi dipandang sebagai partner yang dapat dipercaya, sedangkan Rusia (Uni

Soviet) sedang berada dalam ketidakpastian, maka suatu kekuatan baru harus

muncul ke permukaan.6 Kemudian, oleh Perdana Menteri Perancis, Pierre Mauroy

yang pernah menjabat pada masa pemerintahan Mitterrand, bahwa kepentingan

nasional Perancis tidak akan menyimpang dari warisan kebesaran raja-raja silam,

khususnya dalam urusan keamanan. Selanjutnya, Presiden Nicholas Zarkozhy (2009)

mengilustrasikan kepentingan Perancis dalam politik luar negerinya di bidang

5 Semboyan Perancis pada masa Pemerintahan Napoleon yang dijadikan politik luar negeri tak
terbatas, prinsip Liberty, Egality, and Fraternity

6 Sriyono, Op. cit., hal. 156.

4
pertahanan, bahwa masuknya Perancis kembali di NATO merupakan sebuah langkah

penyesuaian yang akan memberikan pengaruh lebih besar bagi Perancis di NATO. 7

Sedangkan, Amerika Serikat dalam memperkuat posisinya, mencoba mendorong

demokrasi standar ganda sebagai politik luar negeri dan pada masanya

menyuarakan diri sebagai polisi dunia atas Global War againt Terrorism melalui

diplomasi preventive war di bawah pemerintahan George W. Bush.

Sehubungan dengan hal di atas, maka persepsi kesamaan/kesetaraan (equality)

dalam menjaga kedaulatan negara adalah sesuatu yang dianggap vital antara Perancis

dan Amerika Serikat. Dalam kasus ini, Morgenthau mendefinisikan persepsi equality

dalam menjaga kedaulatan negara, bahwa:

Equality atau Persamaan tidak lain ialah suatu sinonim bagi kedaulatan yang
menunjukkan suatu segi khusus kedaulatan. Jikalau semua negara mempunya
kekuasaan tertinggi dalam wilayahnya, maka tidak ada negara yang dibawahi
oleh negara lain dalam melaksanakan kekuasaan itu. Tidak ada negara, yang
mempunyai hak kalau tidak ada kewajiban perjanjian yang bertentangan dengan
itu, untuk mengatakan kepada suatu negara lain, apa saja undang-undang yang
akan dibuat dan yang harus ditegakkan, apalagi untuk membuat undang-undang
dan menegakkannya dalam wilayah negara... Karena negara-negara itu
berdaulat, mereka tidak dapat membiarkan suatu kekuasaan yang membuat
undang-undang dan menegakkannya, berada di atasnya dan beroperasi langsung
dalam wilayahya.8

Dalam konteks ini, setiap negara memiliki hak yang sama dalam mejalankan

pemerintahannya, membuat aturan, untuk kemudian menjaga kedaulatan negaranya 9

7 Pidato Perdana Menteri Francois Fillon on France Parlemen, 2009, Op. cit. pukul 22.35 WITA.

8 Hans J. Morgentahau, 1990, Politik Antarbangsa: Perjuangan Untuk Kekuasaan dan Perdamaian,
Bandung: MANNA, Lembaga Penterjemahan dan Penyaduran, hal. 367.

9 Dalam menjaga kedaulatan negara, setiap negara berhak mendapatkan penghormatan sebagai bentuk
independensi dari negara lainnya. Adapun, equality kaitannya dengan kekuatan (power) suatu negara
selalu mengalami pasang surut.

5
sebagai bagian vital kepentingan nasionalnya. Demikian juga Perancis dan Amerika

Serikat, sama-sama memiliki kepentingan di NATO.

Dalam posisi yang sama sebagai anggota NATO, Perancis dan Amerika Serikat

memiliki kepentingan yang pada dasarnya terimplementasikan dalam peran dan

tujuan NATO. Adapun NATO, secara tradisional memiliki peran dan tujuan sebagai

penjaga keamanan dan kemerdekaan terhadap negara-negara anggotanya seperti yang

tertera dalam mukaddimah Perjanjian Atlantik Utara, yaitu:

The parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of
the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all
peoples and all government. They are determined to safeguard the freedom,
common heritage and civilisation of their peoples, founded on the principles of
democracy, individual liberty and the rule of law. They seek to promote stability
and well-being in the North Atlantic area. They are resolved to unite their
efforts for collective defence and for the preservation of peace and security.
They therefore agree to this North Atlantic Treaty...10

Dari peran dan tujuan di atas, NATO pada perkembangannya telah banyak

melakukan reformasi dan transformasi kelembagaan NATO khususnya dalam melihat

keamanan internasional. Di sisi lain, NATO juga telah melewati dan ikut terlibat pada

beberapa peristiwa besar baik perang maupun konflik yang di dalamnya melibatkan

kepetingan Perancis dan Amerika Serikat. Dengan demikian, dominasi dan perebutan

peran antara Perancis dan Amerika Serikat menjadi tak terelakkan dalam tubuh

NATO. Dalam kacamata kepentingan nasional Amerika Serikat, Perancis merupakan

kunci utama bagi Amerika Serikat untuk mengendalikan kekuatan Eropa di NATO.

Sebaliknya, dalam kacamata kepentingan nasional Perancis, Amerika Serikat

10 Text of the North Atlantic Treaty, 4 April 1949


http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_ext_17120.htm, diakses pada tanggal 7 Oktober 2011
pukul 23.30 WITA.

6
dianggap sebagai penghambat dalam menentukan masa depan dan kemandirian Eropa

di NATO, khususnya dalam menentukan sistem pertahanan Eropa. Oleh karena itu,

Perancis perlu mengadakan perimbangan kekuasaan baru di NATO. Kondisi ini tentu

saja akan memberi efek pada NATO dalam merespon dan menyelesaikan isu-isu

keamanan, baik di tingkatan regional maupun internasional.

Sebagai contoh kasus, Krisis Libya pada awal tahun 2011 merupakan isu utama

bagi NATO dalam merespon kondisi dan postur keamanan internasional. Keluarnya

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1973 tanggal 17 Maret 2011 memberi

leluasa kepada NATO untuk masuk ke Krisis Libya. Resolusi tersebut bertujuan

untuk: melindungi warga sipil, penetapan no fly zone, embargo senjata, pelarangan

penerbangan Libya ke luar negeri, pembekuan dan pelarangan aset Qhadafi dan

koleganya, dan pembentukan panel ahli untuk menindaklanjuti resolusi.

Selanjutnya, pada tanggal 19 Maret 2011, pasukan koalisi yang terdiri dari lima

negara, yaitu Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Italia dan Kanada dibawa kendali

NATO meluncurkan Operasi Fajar Odyssey terhadap Libya. Operasi ini bertujuan

untuk melindungi penduduk sipil dari serangan yang dilakukan oleh kekuatan pro-

Muammar Al-Qadhafi. Serangan militer bertindak di bawah Bab VII Piagam PBB,

yang mengatur penggunaan kekuatan jika diperlukan, serta Resolusi DK PBB 1973

khususnya pada poin (4) Protection of Civilians:

Authorizes Member States that have notified the Secretary-General, acting


nationally or through regional organizations or arrangements, and acting in
cooperation with the Secretary-General, to take all necessary measures, , to

7
protect civilians and civilian populated areas under threat of attack in the
Libyan Arab Jamahiriya...11
Berdasarkan piagam PBB Bab VII, Dewan Keamanan PBB memiliki hak untuk

mengambil tindakan dalam suatu kasus internal suatu negara apabila terdapat

ancaman dan pelanggaran terhadap perdamaian atau tindakan agresi terhadap negara

lain yang dilakukan oleh suatu negara. Oleh PBB dan NATO, langkah ini merupakan

sebagai bentuk misi khusus untuk menjamin keamanan internasional. Namun, jika

kita melihat sikap Uni Eropa terhadap penyerangan militer ke Libya, negara anggota

Uni Eropa memiliki sikap berbeda-beda. Jerman ialah salah satunya. Sebagai salah

satu dari anggota Dewan Keamanan tidak tetap PBB, Jerman berpendapat lebih

memilih untuk tidak menggunakan kekerasan. Namun, semua anggota NATO sepakat

untuk memberlakukan sanksi kepada Libya seperti yang tertuang dalam keputusan

No. 201/2011 dan 137/2011/CFSP. Keputusan ini merupakan bentuk langkah nyata

NATO dalam menjamin stabilitas dan keamanan internasional yang telah disesuaikan

dengan PBB.

Melihat fenomena ini, peneliti sangat tertarik untuk mengkajinya lebih dalam

dengan mengangkat sebuah judul Rivalitas Perancis-Amerika Serikat di North

Atlantic Treaty Organization Pasca Perang Dingin, difokuskan pada Rivalitas antara

Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Penelitian ini mencoba memahami perilaku

kedua negara Perancis dan Amerika Serikat, kemudian menelaah pengaruhnya

terhadap NATO dalam melihat postur keamanan internasional di masa kekinian.

11 United Nations Resolutin 1973, 17 Maret 2011


http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10200.doc.htm, diakses pada tanggal 8 November 2011
pukul 22.30 WITA.

8
Alasan utama memilih tema ini karena Kajian Eropa sangat menarik dan menantang

untuk dikaji lebih dalam. Peneliti melihat betapa pentingnya pengkajian Kawasan

Eropa dalam Disiplin Ilmu Hubungan Internasional di masa mendatang, mengingat

masih kurangnya ahli dan pengkajian khusus Kawasan Eropa. Sejauh ini, peneliti

telah banyak mendalami objek ini secara berkelanjutan, khususnya Kawasan Eropa

kaitannya dengan salah satu organisasi internasional dalam hal ini NATO di Bidang

Pertahanan dan Keamanan.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Ketegangan struktural yang terjadi antara Perancis dan Amerika Serikat di

NATO membawa pengaruh signifikan bagi NATO dalam menjaga keamanan kawasan

Atlantik Utara dan kerangka kerja keamanan internasional. Pada masa Perang Dingin,

ketegangan ini tidak terlalu nampak karena proyeksi NATO melalui negara

anggotanya masih satu, membendung arus komunisme Uni Soviet. Hal ini mampu

membuat negara anggota NATO solid dalam posisisnya.

Pada Pasca Perang Dingin kondisi ini tentu terlihat berbeda bagi Perancis dan

Amerika Serikat, dimana musuh bersama sudah lenyap. Dengan demikian, memberi

ruang bagi Perancis dan Amerika Serikat untuk kembali fokus pada kepentingan

nasional masing-masing. Kepentingan Perancis tidak hanya fokus pada NATO, tetapi

ikut terlibat dalam memperkuat kemandirian Eropa dalam merespon isu keamanan

internasional. Sebaliknya, kepentingan Amerika Serikat di luar NATO, adalah

mempertahankan dominasinya di Eropa dengan jalan merespon isu-isu kemanan baik

regional maupun internasional. Dengan demikian, timbul dua pemikiran yang

9
bertolak belakang, yaitu pertama me-NATO-kan Amerika Serikat, sedangkan yang

kedua adalah meng-Amerikaserikat-kan NATO. Berangkat dari dua pemikiran ini,

penulis mencoba memformulasikan pertanyaan sebagai batasan dalam penulisan

skripsi ini, dengan tujuan untuk menghindari kesalahan dalam menganalisis

permasalahan di atas, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana kepentingan Perancis dan Amerika Serikat di NATO?

2. Bagaimana bentuk rivalitas Perancis-Amerika Serikat dalam mencapai

kepentingan di NATO?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan batasan pada perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui dan menjelaskan kepentingan nasional Perancis dan Amerika

Serikat di NATO pasca Perang Dingin.

2. Mengetahui dan menjelaskan bentuk-bentuk rivalitas antara Perancis dan

Amerika Serikat dalam mencapai kepentingan nasional di NATO.

b. Kegunaan Penelitian

Dengan adanya hasil penelitian di lapangan, maka penelitian ini diharapkan:

1. Memberi sumbangan pemikiran dan informasi bagi Akademisi Ilmu

Hubungan Internasional, yaitu Dosen dan Mahasiswa dalam mengkaji dan

memahami masalah hubungan kekuasaan dan keamanan internasional terkait

kepentingan nasional suatu negara, dalam hal ini pembahasan rivalitas dua

negara, terkhusus antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO terutama

10
dalam merespon keamanan internasional. Tulisan ini juga menjadi bahan

pengembangan keilmuan bagi penulis dalam Bidang Pertahanan.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi setiap aktor Hubungan Internasional, baik

individu, organisasi, pemerintah, maupun organisasi non-pemerintah baik

dalam level nasional, regional, maupun internasional tentang bagaimana

menformulasikan kekuatan nasional untuk menjamin pertahanan dan

keamanan negara dalam mencapai kepentingan nasional.

D. Kerangka Konseptual

Makna kekuasaan (power) harus mampu bekerja pada kondisi perang dan

damai. Morgenthau mendefenisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor

politik, dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengendalikan segala pikiran

dan tindakan aktor B. Selanjutnya, ia menjelaskan:

Power ialah hubungan psikologis antara mereka yang menjalankannya dengan


mereka atas siapa ia dijalankan. Ia memberikan kepada yang disebut pertama
penguasaan atas tindakan tertentu dari yang disebut belakangan melalui
pengaruh yang digunakan oleh yang disebut pertama kepada pikiran dari yang
disebut belakangan. Pengaruh itu mungkin digunakan melalui perintah,
ancaman, bujukan, atau kombinasi dari ketiganya.12
Penerapan power sebuah negara dengan segala atribut kekuatan nasional yang

dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi, bahkan mengendalikan kebijakan secara

global, maka ia dikatakan negara superpower. Mengejar kekuasaan merupakan

kepentingan nasional setiap negara. Kekuasaan yang dimaksud adalah apa saja yang

12 Morgenthau, Op. cit., hal. 16.

11
dapat membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain.

Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat diciptakan melalui teknik-teknik

paksaan maupun kerjasama. Kekuasaan dan kepentingan dipandang sebagai sarana

sekaligus tujuan dari tindakan politik internasional.

Adapun, defenisi power lebih luas dikemukakan oleh Jr. Chas W. Freeman:

The power of states is measured by their ability to alter and chanel the
behaviour of other states. It rest on their will to apply their national strength
and potential in contest with other. A states estimate of its own power helps
decide the degree to which it will insist on its views and take risks to see them
prevail. 13
Sedangkan, menurut Deutsch makna power dapat dibagi ke dalam tiga dimensi

atau variabel, yaitu wilayah, intensitas, dan ruang lingkup kekuasaan. 14 Dengan

melihat tiga variabel tersebut, maka kekuatan nasional dari setiap negara dapat

dikuantifikasi dan disusun berdasarkan peringkatnya, baik itu kekuasaan aktual

ataupun yang potensial. Untuk itu, power dibedakan atas, superpower, great power,

middle power, dan small power.

Adapun, konsep kepentingan nasional, Yusuf menjelaskannya sebagai berikut:

Kepentingan nasional termasuk dalam visium yang diperjuangkan oleh suatu


bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka ketertiban internasional.
Konsep ini adalah buatan manusia yang dirumuskan oleh para ahli teori politik
dan dipatuhi oleh setiap kepentingan golongan dan juga kepentingan para
perumusnya.15

13 Jr. Chas W. Freeman, dalam Sriyono, Op. cit., hal. 163.

14 Karl Deutsch, dalam Masoed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,
Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, hal. 121.

15Sufri Yusuf, 1989, Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
hal. 10.

12
Untuk mencapai kepentingan nasional, suatu negara harus melakukan interaksi

dengan negara lain. Oleh karena itu, setiap negara membutuhkan serangkaian

kebijakan politik luar negeri. Setiap negara dalam interaksinya dengan negara lain

ialah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional menjadi

alasan utama bagi tindakan yang dilakukan oleh setiap negara. Usaha-usaha interaksi

yang dilakukan dapat melalui kerjasama, persaingan, ataupun konflik.

Menurut Morgenthau, kepentingan nasional dari setiap negara adalah mengejar

kekuasaan.16 Kekuasaan yang dimaksud adalah apa saja yang dapat membentuk dan

mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan

atau pengendalian ini dapat diciptakan melalui teknik-teknik paksaan ataupun

kerjasama. Morgenthau menekankan konsep kepentingan nasional pada kelangsungan

hidup (survival) dari suatu negara. Setiap negara harus mampu mempertahankan

integritas teritorialnya (identitas fisik), rezim ekonomi-politiknya (identitas politik)

yang bisa saja demokratis, otoriter, sosialis, atau komunis, dan memelihara norma-

norma etnis, religius, linguistik, dan sejarahnya (identitas kultural). Berdasarkan

tujuan-tujuan umum ini, para pemimpin negara dapat menurunkan kebijaksanaan-

kebijaksanaan yang sifatnya spesifik terhadap negara lain, baik dalam bentuk

kerjasama maupun konflik. Misalnya, perimbangan kekuatan, perlombaan senjata,

pemberian bantuan asing, pembentukan aliansi kekuatan, dan atau perang ekonomi

dan propaganda. Sedangkan, menurut Wolfers, kepentingan nasional dijelaskan

sebagai berikut:

16 Morgenthau, dalam Masoed, Op. cit., hal. 140.

13
Secara minimum, kepentingan nasional mencakup keutuhan wilayah suatu
bangsa, kemerdekaan, dan kelangsungan hidup nasional. Namun, kelangsungan
hidup nasional itu sendiri diberi bermacam-macam interpretasi oleh bermacam-
macam negara yang menghadapi kondisi yang berlain-lainan.17
Menurut Holsti, kepentingan nasional dapat diklasifikasi ke dalam tiga hal.

Pertama, core values, sesuatu yang dianggap paling vital bagi negara menyangkut

eksistensi suatu negara. Kedua, middle range objectives, tentang peningkatan derajat

perekonomian suatu negara. Dan ketiga, long range goals yaitu sesuatu yang bersifat

ideal misalnya, keinginan untuk mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.18

Berbagai ahli memberikan beragam identifikasi terkait jenis-jenis kepentingan

nasional. Neuchterin, membagi jenis kepentingan nasional menjadi kepentingan

pertahanan, ekonomi, tata internasional dan kepentingan ideologi. 19 Padelfort dan

Lincoln membaginya menjadi kepentingan kemanan nasional, peningkatan ekonomi,

peningkatan kekuatan nasional, dan prestise nasional.20

Selanjutnya, dalam analisis, penulis juga menggunakan konsep Eropa I dan II, 21

dimana Diez T. dan Wiener A. menyatakan, bahwa babak baru NATO ialah

bagaimana melihat peran Amerika Serikat untuk selalu menjadi yang dominan di

NATO. Sehingga, muncul sebuah paradigma meng-Amerikaserikat-kan NATO,

17 Arnold Wolfers, dalam James E. Dougherty dan Robert L. Pfatzgraff, Jr, 1971, Contending
Theories in International Relations, New York: JB.Lippncot Co, hal. 62.

18 KJ. Holsti, dalam Umar Suryadi Bakry, 1999, Pengantar Hubungan Internasional, Jakarta:
Jayabaya University Press, hal. 63.

19 Donald E. Neuchterin, dalam Bakrie, Op. cit., hal. 62.

20 Padelfort dan Lincoln, dalam Bakrie, Loc. cit.

21 Diez T., dan Wiener A., 2009, Introducing the Mosaic of Integration Theory in Wiener A., Diez T.,
European Integration Theory (2nd edition), London: Oxford University Press, hal. 22.

14
yang menitikberatkan pada usaha Amerika Serikat untuk selalu menjadi dominan di

tubuh NATO. Amerika Serikat ingin memposisikan NATO dibawah pengaruh dan

kendalinya to make NATO under US. Di sisi lain negara-negara Eropa melihat

dominasi Amerika Serikat di NATO sebagai sebuah ancaman bagi kedaulatan Eropa.

Negara-negara Eropa melihat bahwa, jika dominasi Amerika Serikat dibiarkan terus-

menerus, maka dominasi tersebut akan menjadi wujud kekuatan baru Amerika Serikat

untuk menguasi Eropa. Sebagai akibatnya, memberi ruang untuk saling mendominasi

dan celah rivalitas antara Eropa dan Amerika Serikat di NATO. Negara-negara Eropa

berupaya untuk memposisikan Amerika Serikat dibawah kendali NATO. Dengan kata

lain, Eropa ingin me-NATO-kan Amerika Serikat agar berada di bawah kendali

negara-negara Eropa to make US under NATO.

Selanjutnya, untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan, dalam hal ini

Robert Cox dan Harold Jacobson menjelaskan bahwa, proses pengambilan keputusan

dalam suatu organisasi internasional dapat dibedakan menurut klasifikasi yaitu

representational decisions, programmatic decisions, rule-creating decisions,

operating decision, rule-supervisory decisions, boundry decision, dan terakhir,

symbolic decision.22 Robert Cox dan Harold Jacobson melihat bahwa, dalam setiap

proses pengambilan keputusan terdapat banyak alternatif yang dapat mempengaruhi

pihak pengambil keputusan. Para aktor dituntut lebih jeli dalam memilih alternatif

yang ada untuk membuat, memutuskan dan mempengaruhi kebijakan.

22 T May Rudy, 2002, Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang
Dingin, Bandung: PT. Refika Aditama, hal. 79-80.

15
Representational decisions, merupakan keputusan yang akan mempengaruhi

keanggotaan dalam suatu organisasi internasional serta merupakan perwakilan dalam

badan-badan internal dalam organisasi tersebut. Keputusan ini meliputi keputusan

mengenai pengakuan dan atau pengeluaran anggota dalam organisasi, pengesahan

suatu mandat, penentuan wakil-wakil yang duduk dalam badan-badan eksekutif serta

komite. Programatic decisions, merupakan keputusan dari suatu alokasi strategis dari

sumber-sumber organisasi yaitu hasil negosiasi antaraktor menyangkut tujuan serta

penekanan terhadap program-program organisasi. Rule-creating decision, keputusan

ini berkenaan dengan pembentukan norma-norma atau aturan-aturan dalam ruang

lingkup organisasi. Hasil dari keputusan ini biasanya bersifat formal seperti konvensi,

persetujuan ataupun resolusi. Symbolic decision, merupakan suatu keputusan yang

penekanannya pada isu-isu simbolik terhadap penerimaan suatu tujuan ataupun

ideologi yang didukung oleh suatu kelompok aktor ataupun legitimasi yang telah

diterima oleh elit-elit yang dominan.

Adapun, kerangka berpikir pembahasan ini digambarkan dalam bagan berikut:

Bagan 1. Kerangka Pikir

North Atlantic Treaty Organization dalam


perspektif making
decission Perancis dan Amerika
model Serikat
and procedural
Perancis vs Amerika Serikat
(veto right (veto right
country) country)

NATO

Faktor Internal
-Kepentingan Nasional Negara anggota 16
-Kebijakan bidang Pertahanan dan
Keamanan
-Bentuk/model Pengambilan Keputusan
Faktor Eksternal
Perubahan Dimensi Keamanan di NATO:
-Dimensi Tradisional (Periode Perang
Dingin)
-Non-Tradisional (Pasca Perang Dingin)

contoh kasus
Penyelesaian Krisis Libya

Lingkungan Masyarakat Internasional

Sumber: diolah sendiri berdasarkan kerangka konseptual dan batasan masalah.

Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwa posisi Perancis dan Amerika Serikat

memiliki peran untuk menjaga keseimbangan kekuasaan di NATO. Keseimbangan ini

sesuai dengan kepentingan nasional negara masing-masing. Dengan demikian,

memberi ruang rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO.

E. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tipe deskriptif, yaitu

penelitian yang menggunakan pola penggambaran keadaan fakta empiris disertai

argumen yang relevan. Kemudian, hasil uraian tersebut dilanjutkan dengan analisis

untuk menarik kesimpulan yang bersifat analitik. Tipe penelitin deskriptif

dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai fenomena yang terjadi yang

relevan dengan masalah yang diteliti. Metode deskriptif digunakan untuk

17
menggambarkan fakta-fakta kepentingan Perancis dan Amerika Serikat di NATO dan

bentuk rivalitasnya, kemudian menganalisis pengaruhnya terhadap NATO.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data, penulis menelaah sejumlah literatur yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti berupa buku, jurnal, dokumen, artikel dalam

berbagai media, baik internet maupun surat kabar harian. Adapun bahan-bahan

tersebut diperoleh dari beberapa tempat yang telah penulis kunjungi, yaitu:

a. Kedutaan Besar Perancis untuk Indonesia di Jakarta.

b. Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di Jakarta.

c. Kedutaan Besar Republik Federal Jerman di Jakarta.

d. Kementerian Pertahanan Republik Indonesia di Jakarta.

e. Perpustakaan Nasional Indonesia di Jakarta.

f. Perpustakaan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik LIPI di Jakarta.

g. Perpustakaan Freedom Institute di Jakarta.

h. Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia di Depok Jakarta Selatan.

3. Jenis Data

Jenis data yang penulis gunakan adalah data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh melalui studi literatur. Seperti buku, jurnal, artikel,

majalah, handbook, situs internet, institut dan lembaga terkait. Adapun, data yang

dibutuhkan adalah data yang berkaitan langsung dengan penelitian penulis tentang

kepentingan Perancis dan Amerika Serikat serta data tentang NATO.

4. Teknik Analisis Data

18
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam menganalisis data hasil

penelitian adalah teknik analisis kualitatif. Adapun dalam menganalisis permasalahan

digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada, kemudian menghubungkan fakta

tersebut dengan fakta lainnya sehingga menghasilkan sebuah argumen yang tepat.

Sedangkan, data kuantitatif memperkuat analisis kualitatif.

5. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan oleh penulis ialah metode deduktif, yaitu

penulis mencoba menggambarkan secara umum masalah yang diteliti, kemudian

menarik kesimpulan secara khusus.

BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Konsep Power

Konsep power telah menjadi sebuah konsep yang begitu kompleks digunakan

dalam ranah politik internasional, terutama bagi penstudi hubungan internasional

dewasa kini. Sejak terjadinya Perang Dunia I, menyusul Perang Dunia II, hingga pada

19
periode Perang Dingin dan setelahnya, konsep power merupakan salah satu konsep

yang paling utama digunakan untuk menjelaskan beberapa fenomena di atas.

Perubahan fenomena di atas tentu saja diikuti dengan perubahan ruang lingkup

hubungan internasional, dimana konsep-konsep dalam studi hubungan internasional

turut mengalami perubahan dan pergeseran. Seiring dengan perkembangan tersebut,

konsep tentang power turut mengalami perkembangan, dalam hal ini dari dimensi

tradisional menuju dimensi non-tradisional yang semakin kompleks.

Power secara harfiah berarti kekuatan atau kekuasaan. Kekuasaan yang

dimaksud ialah kekuasaan atas diri sendiri dan di luarnya. Konsep power telah

banyak diperdebatkan oleh para ahli dan penstudi hubungan internasional. Kaum

realis menganggap bahwa power didasarkan pada kekuatan militer, sementara kaum

idealis menganggap power merupakan akumulasi seluruh komponen negara untuk

mencapai kesejahteraan. Menurut kaum liberal, power ditentukan oleh kekuatan

ekonomi. Sedangkan, menurut Marxisme, power ditentukan oleh kepemilikan faktor

produksi. Dari berbagai pandangan ini, ada baiknya peneliti menjelaskan dimensi

power agar lebih memudahkan dalam menganalisis masalah.

1. Traditional Power

Power secara tradisional mengacu pada pemahaman realisme yang menyatakan

bahwa negara adalah aktor tunggal yang memiliki kekuatan untuk menjalankan

politik internasional dalam usaha mencapai kepentingan nasional negara. Untuk

mendukung hal tersebut, maka ia harus ditopang oleh kekuatan maksimum negara.

Adapun, yang paling mendasar adalah kekuatan militer. Hal ini tentu saja sesuai

dengan kondisi lingkungan internasional pada era tersebut.

20
Pada periode Perang Dingin, power dipandang hanya melekat pada atribut

negara sebagai aktor tunggal. Negaralah yang berhak mengendalikan kekuatan militer

untuk kemudian menjadi tolak ukur dalam menjalankan politik luar negerinya.

Kekuatan suatu negara sangat ditentukan oleh kapabilitas militer. Negara yang paling

baik sistem militernya akan dengan segera menjadi aktor unggul dalam lingkungan

politik internasional. Sejalan dengan pemahaman ini, K. J. Holsti, menyatakan bahwa

power merupakan kemampuan maksimum suatu negara untuk menguasai perilaku

negara lain. Untuk itu, power setidaknya terdiri dari dua unsur pokok, yaitu pengaruh

(influence) dan kapabilitas (capability).23 Adapun, defenisi power lebih spesifik

dikemukakan oleh Jr. Chas W. Freeman:

The power of states is measured by their ability to alter and to chanel the
behaviour of other states. It rest on their will to apply their national strength
and potential in contest with other. A states estimate of its own power helps
decide the degree to which it will insist on its views and take risks to see them
prevail. 24
Sementara, Morgenthau, seorang tokoh realisme tradisional mendefenisikan

power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik di mana aktor A memiliki

kemampuan untuk mengendalikan pikiran dan tindakan aktor B. Adapun subyek yang

dimaksud di sini adalah negara sebagai aktor tunggal yang memiliki kepentingan

nasional (national interrests). Selanjutnya, ia jelaskan bahwa:

Power bisa terdiri dari apa saja yang menciptakan dan mempertahankan
pengendalian seseorang atas orang lain (dan itu) meliputi semua hubungan
sosial yang mendukung tujuan (pengendalian) itu, mulai dari kekerasan fisik

23 Anak Agung Banyu Prawita dan Y. M. Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 64.

24 Jr. Chas W. Freeman, dalam Sriyono, Loc. cit.

21
sampai ke hubungan psikologis yang halus yang dipakai oleh pikiran seseorang
untuk mengendalikan pikiran orang lain.25

Power terdiri dari segala sesuatu yang dimiliki manusia untuk menentukan dan

memelihara kontrol atau kekuasaan atas orang lain dan power meliputi seluruh

hubungan sosial, mulai dari kekerasan psikologis yang tidak kentara melalui mana

seseorang bisa mengontrol orang lain.26

2. Non-Traditional Power

Setelah berakhirnya Perang Dingin, konsep tentang power dipandang tidak

hanya melekat pada sebuah negara (state-focused), melainkan telah masuk pada ranah

atribut perseorangan/individu, kelompok, dan juga organisasi internasional yang lebih

bersifat flekibel (non-state-focused). Menurut Martin Griffiths dan Terry OCallaghan

dalam kamus International Relations: The Key Concepts, menyatakan bahwa:

National power is contextual in that it can be evaluated only in terms of all the
power elements (such as military capability, economic resources, and
population size), and only in relation to another player or players and the
situation in which power is being exercised... Closely allied to all this is the
fact that national power is dynamic, not static.27

Adapun, defenisi power yang lebih modern diungkapkan oleh Menteri Luar

Negeri Amerika Serikat, Hillary Rodham Clinton dalam Pidatonya:

We must use what has been called smart power, the full range of tools at our
disposal diplomatic, economic, military, political, legal and cultural, picking
the right tool or combination of tools for each situation. With smart power,
dilomacy will be the vanguard of our foreign policy.28

25 Hans J. Morgenthau, dalam Masoed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, hal. 117.

26 Morgenthau, Op. cit., hal. 9.

27 Martin Griffiths dan Terry OCallaghan, 2002, International Relations: The Key Concepts,
London: Routledge, hal. 253.

22
Defenisi di atas memiliki ruang lingkup yang sangat kompleks, dimana elemen-

elemen power tidak hanya terletak pada kekuatan militer, namun juga dalam hal

diplomasi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Adapun dalam implementasinya,

setiap negara bebas memilih di antara beberapa elemen di atas atau dengan

melakukan kombinasi untuk menjalankan politik luar negeri. Sedangkan, makna

power menurut Director of the Governance Program of the International Diplomatic

Academy Paris, Bertrand De La Chapelle, menyatakan bahwa:

La puissance est la capacite a produire des effets deires. Traditionnallelement


Lodre international est decrit par des expressions telles que lequilibre des
puissances entre diverses nations reparties selon un ordre hierarchique
dinfluence resultant generalement des conflits passes ou, plus recemment, de
la domination economique. (Power is the capacity to produce desired effects.
Traditional ways of describing the international order have used expression
such as Balance of power, with various nations sorted in a pecking order of
influence, usually resulting from past military conflicts or more recently,
economic dominance.)29

Defenisi di atas menjelaskan, bahwa elemen baru power tidak hanya bersumber

dari kekuatan militer secara tradisional, tetapi lebih dari itu, kekuatan ekonomi telah

menjadi sumber kekutan baru yang perlu dipertimbangkan oleh suatu negara. Dimana

perkembangan makna power dapat dilihat dari kekuatan militer secara tradisional dan

kekuatan ekonomi secara non-tradisional dewasa kini. Selanjutnya, memahami power

dalam hubungan antaraktor, harus dapat dibedakan antara kekuasaan relatif

(relative power) dan struktur kekuakasaan (structural power), dalam hal ini dapat

dijelaskan sebagai berikut:

28 Olivier Poivre DArvor, Winter, 2010, The Smart Use of Soft Power, dalam MONDES; Les
Cahiers du Quai DOrsay, No. 2, hal. 214.

29 Bertrand De La Chapelle, Automne, 2010, Territoire, Puissance et Gouvernance a lere


Numerique, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai DOrsay, No. 5, hal. 36.

23
Analytically, one can distinguish between four separate but related structures of
power in international relations: 1.the knowledge structure refers to the power
to influence the ideas of others; 2.the financial structure refers to the power
to restrict or facilitate their access to credit; 3.the security structure shapes
their prospects for security; 4.the production structure affects their
chances of a better life as producers and as consumers.30

Dalam interaksi hubungan internasional, kekuasaan relatif suatu negara dapat

diketahui melalui perbandingan kekuatan antar satu negara dengan negara lainnya

dengan cara membandingkan elemen atau indikator sebuah kekuasaan. Penafsiran

kekuasaan relatif bersifat dinamis dan tidak statis, dimana bobot atau level

kekuasaan suatu negara dapat berubah-ubah pada setiap waktu. Dalam hal ini

bergantung pada negara pembandingnya. Sedangkan, struktur kekuasaan

merupakan elemen-elemen utama (structure shapes) yang membangun dasar

kekuasaan (production structure) tersebut. Semakin baik struktur sebuah kekuasaan,

maka akan semakin kuat sumber dan perolehan kekuasaannya. Selanjutnya, dalam

praktiknya, siklus kekuasaan suatu negara lebih sederhana terdiri dari penghasil

kekuasaan (producers) dan pengguna atau pemakai kekuasaan (consumers).

Dalam hal ini, negara dapat sekaligus sebagai penghasil dan pemakai kekuasaan.

3. Dimensi Power: dari konsep Tradisional menuju Non-Tradisional

Pandangan tentang power memiliki dimensi yang berbeda sebelum dan setelah

periode Perang Dingin terjadi. Pada era Perang Dingin, power dipandang melalui

kepemilikan dan postur militer negara. Sedangkan, pasca Perang Dingin, power tidak

hanya mengandung arti kekuatan militer, tetapi juga berkaitan dengan kekuatan

politik-ekonomi suatu negara. Sejalan dengan pemikiran ini, Michael Sheehan,

30 Griffiths dan OCallaghan, Op. cit., hal. 256.

24
power tidak hanya menyangkut aktivitas spesifik seperti yang tersebut di atas, tetapi

juga menyangkut kemampuan suatu negara dalam mempengaruhi perilaku negara

lain.31 Adapun, Perilaku yang dimaksud ialah segala tindakan yang bersumber dari

aktivitas suatu negara terhadap negara lain dalam segala jenis interaksi.

Power secara tradisional dan non-tradisional memberikan makna yang sama

dalam hal fungsi dan tujuan power tersebut dilaksanakan. Namun, konsepsi di atas

juga secara jelas menunjukkan perbedaan dalam hal sumber (resource), jenis (type),

dan kepemilikan (subject) kekuasaan. Bila pada masa Perang Dingin, power

bersumber dari struktur dan kepemilikan militer yang canggih, dengan tipe power

adalah hard power, maka pada dewasa kini power tidak hanya bersumber pada

militer semata, tetapi juga berasal dari sumber daya alam dan manusia yang dimiliki

oleh negara, baik itu yang nampak atau tidak. Selain itu, konsentrasi power pada

dewasa ini cenderung lebih halus dan bersifat kooperatif.

Adapun, power sebagai unit multidimensional, memiliki beberapa dimensi

utama. Deutsch mengemukakan tiga dimensi power, yaitu scope (ruang lingkup

kekuasaan), domain (arah dan tujuan kekuasaan), dan range (intensitas kekuasaan).

Dimensi power ini termasuk dalam golongan yang spesifik dan dapat diukur oleh

setiap yang menjalankan kekuasaan tersebut. 32

Dimensi scope merupakan penunjukkan power atas suatu kumpulan atau

koleksi semua perilaku kelas-kelas tertentu. Adapun, hubungan dan urusan ini secara

31 Michael Sheehan, 1996, The Balance of Power: History and Theory, New York: Routledge
Publishing, hal. 7.

32 Masoed, Op. cit., hal. 121.

25
efektif tunduk pada kekuasaan pemerintah, meliputi semua tipe kegiatan yang coba

diatur oleh pemerintah, baik internal maupun eksternal. Ruang lingkup kekuasaan

internal dapat diukur dengan seberapa banyak kegiatan yang dipengaruhi oleh

pemerintah. Dalam komponen eksternal, scope ini dapat diukur dengan seberapa

banyak bidang kegiatan internasional yang dipengaruhi negara tersebut.

Dimensi domain terkait arah power tersebut ditujukan. Meliputi kepada apa

(to what) dan siapa (to whom) power tersebut dilaksanakan. Lazimnya, power

dilaksanakan terhadap rakyat, teritorial, dan kekayaan. Domain kekuasaan dimaknai

sebagai sekumpulan orang yang perilakunya benar-benar berubah akibat penerapan

kekuasaan. Domain kekuasaan terdiri atas: internal domain meliputi wilayah dan

populasi dalam batas-batas geografis suatu negara, dan eksternal domain meliputi

wilayah dan populasi di luar batas geografis negara, tetapi masih dalam wilayah

pengaruh. Adapun, range didefinisikan sebagai sebuah perbedaan antara imbalan

yang tertinggi (keikutsertaan) dengan hukuman terburuk (pencabutan hak) yang bisa

dilimpahkan atau dibebankan oleh si pemegang power kepada beberapa orang di

dalam domainnya. Range power juga dibagi menjadi dua komponen yaitu: komponen

internal (dalam negeri) dan eksternal (luar negeri). 33 Range kekuasaan biasanya

dipengaruhi oleh intensitas suatu negara dalam berinteraksi dengan negara lain, dalam

hal ini juga termasuk kualitas hubungan interkasi sesuai dengan kemampuan negara

tersebut dalam membangun suatu kekuasaan.

33 Theodore A. Columbis dan James H. Wolfe, 1990, Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan
dan Power, Bandung: Abardin, hal. 94.

26
Selanjutnya, dimensi power yang lainnya menurut Baldwin yaitu costs dan

means. Adapun, costs merupakan biaya yang dikeluarkan A dan B sama-sama relevan

terhadap penilaian pengaruh.34 Artinya, besar kecilnya biaya yang dianjurkan oleh

salah satu pihak berbanding lurus dengan penentuan pengaruh yang dijalankan.

Sedangkan, means merupakan alat bagi terlaksananya suatu kekuasaan yang dapat

dilihat melalui klasifikasi jalur pengaruh dalam hubungan internasional, yakni jalur

simbolik, jalur ekonomis, jalur militer, dan jalur diplomatis. Adapun, menurut

Anonim, Power meliputi tangible dan intangible power. Intangible power meliputi

kepimimpinan dan kepribadian, efisiensi organisasi birokrasi, tipe pemerintahan,

persatuan masyarakat, reputasi, dukungan luar negeri dan ketergantungan atas negara

lain. Sedangkan, tangible power meliputi wilayah, populasi, sumber daya alam,

kapasitas industri, kapasitas pertanian, kekuatan militer, kekuatan ekonomi, dan

mobilitas domestik.35

Dari beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa power

menyangkut adanya hubungan antara dua negara atau lebih, dimana suatu negara

memiliki dan menggunakan kemampuan yang mereka miliki untuk diproyekskan ke

negara lain, dengan tujuan untuk dapat mengendalikan perilaku negara lain. Dan,

dapat dikatakan pula jika suatu negara memiliki power, namun tidak

menggunakannya dalam kerangka interaksi dengan negara lain, maka negara tersebut

dianggap tidak memiliki power. Dengan demikian, sebuah negara agar bisa dikatakan

34 Masoed, Op. cit., hal. 124.

35 Anonim, 2008, Power dan Kapabilitas Negara-Bangsa dalam Pengantar Hubungan


Internasional, Surabaya: Universitas Airlangga.

27
memiliki power, maka ia harus menjalakan power tersebut menurut kebutuhan

negaranya. Adapun, implementasinya akan menjadi hasil sekaligus alat penentu level

kekuasaan yang dimiliki oleh negara tersebut.

Dalam hubungan internasional power sangat erat kaitannya dengan kepentingan

nasional dan tindakan politik suatu negara. Secara spesifik sebuah negara tentu saja

memiliki kepentingan nasional. Dan, untuk mencapai kepentingan nasionalnya, maka

negara tersebut harus memiliki power. Pada akhirnya power-lah yang menentukan

tindakan politik suatu negara. Oleh karena itu, power sangatlah penting untuk

mendukung penyelenggaraan politik luar negeri, terutama untuk mencapai

kepentingan nasional dan mempertahankan eksistensi negara tersebut. Semakin besar

power yang dimiliki suatu negara, maka kemampuan negara tersebut untuk

mempengaruhi negara lain semakin besar pula. Power dapat dilakukan melalui jalan

kekerasan seperti paksaan, atau dengan jalan melakukan kerjasama seperti kooperasi

dan persuasi. Selanjutnya, dalam perkembangan hubungan internasional dan semakin

kompleksnya interaksi antarnegara, power yang dimiliki oleh setiap negara memiliki

postur, bobot dan tingkatan yang berbeda-beda, sehingga suatu keseimbangan

kekuasaan balance of power muncul sebagai konsekuensi dari perbedaan tingkatan

kekuasaan dari setiap negara.

B. Konsep Kepentingan Nasional

Morgenthau menegaskan bahwa mengejar kekuasaan merupakan kepentingan

nasional dari setiap negara.36 Kekuasaan yang dimaksud adalah apa saja yang dapat

36 Masoed, Op. cit., hal. 140-141.

28
membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain.

Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini dapat diciptakan melalui teknik-teknik

paksaan maupun kerjasama. Kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) dipandang

sebagai sarana sekaligus sebagai tujuan dari tindakan politik internasional. Dengan

demikian, kepentingan nasional seyogyanya harus diperjuangkan.

Dalam pandangan Morgenthau, konsep kepentingan nasional memuat arti

minimum yang inheren di dalamnya. Adapun, arti minimum yang inheren di dalam

konsep kepentingan nasional ialah kelangsungan hidup (survival). Kemampuan

minimum negara ialah melindungi identitas fisik, politik, dan kulturalnya dari

gangguan negara-bangsa lain. Setiap negara-bangsa harus mampu mempertahankan

integritas teritorialnya (identitas fisik), mempertahankan rezim ekonomi-politiknya

(identitas politik) yang bisa saja demokratis, otoriter, sosialis, atau komunis, dan

memelihara norma etnis, religius, linguistik, dan sejarahnya (identitas kultural).

Berdasarkan tujuan ini, para pemimpin negara memiliki kemampuan untuk

menurunkan kebijaksanaan yang sifatnya spesifik terhadap negara lain, baik dalam

bentuk kerjasama maupun konflik. Misalnya, perimbangan kekuatan, perlombaan

senjata, pemberian bantuan asing, pembentukan aliansi, persaingan dalam bidang

ekonomi industri dan propaganda.

Adapun, menurut Holsti, kepentingan nasional dapat diklasifikasi ke dalam tiga

klasifikasi. Pertama, core values, sesuatu yang dianggap paling vital bagi negara dan

menyangkut eksistensi suatu negara. Kedua, middle range objectives, biasanya

menyangkut tentang peningkatan derajat perekonomian suatu negara. Dan yang

29
ketiga long range goals yaitu sesuatu yang bersifat ideal misalnya, keinginan untuk

mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia.37

Menurut Wolfers, konsep kepentingan nasional dijelaskan bahwa:

Secara minimum, kepentingan nasional mencakup keutuhan wilayah suatu


bangsa, kemerdekaan dan kelangsungan hidup nasional. Namun kelangsungan
hidup nasional diberi bermacam-macam interpretasi oleh bermacam-macam
negara yang menghadapi kondisi yang berlainan.38

Interaksi antarnegara bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional. Hal

tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai persoalan yang dihadapi oleh suatu negara,

termasuk faktor internal maupun eksternal.

Yusuf menjelaskan mengenai kepentingan nasional sebagai berikut:

Kepentingan nasional termasuk dalam visium yang diperjuangkan oleh suatu


bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka ketertiban internasional.
Konsep ini adalah buatan manusia yang dirumuskan oleh para ahli teori politik
dan dipatuhi oleh kepentingan golongan dan kepentingan para perumusnya.39

Untuk mencapai kepentingan nasional, suatu negara dituntut untuk melakukan

interaksi dengan negara lain. Berpijak pada berbagai jenis interaksi tersebut, maka

setiap negara membutuhkan serangkaian kebijakan politik luar negeri. Sebagaimana

yang dijelaskan oleh Coulumbis dan Wolfe, bahwa politik luar negeri merupakan

sintesis dari tujuan atau kepentingan nasional dengan power dan kapabilitas.40

Sedangkan, Frankel, menyatakan bahwa politik luar negeri merupakan pencerminan

37 K. J. Holsti dalam Bakry, Loc. cit.

38 Arnold Wolfers, dalam Robert L. Pfatzgraff, Jr dan James E. Dougherty, 1971, Contending
Theories in International Relations, New York: JB. Lippncot CO, hal. 55.

39 Yusuf, Loc. cit.

40 R. Soeprapto, 1997, Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, hal. 187.

30
dari kepentingan nasional yang ditujukan ke luar negeri dan tidak terpisah dari tujuan

nasional dan tetap merupakan komponen atau unsur dari dalam negeri. 41 Adapun,

tujuan setiap negara dalam interaksinya dengan negara lain ialah untuk memenuhi

kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional menjadi alasan utama bagi tindakan

setiap negara. Tindakan tersebut dilakukan dalam rangka pencapaian kepentingan

nasional yang dapat dilakukan melaui kerjasama, persaingan, ataupun konflik.

Jenis kepentingan nasional menurut Donald E. Neuchterin, yaitu kepentingan

pertahanan, kepentingan ekonomi, kepentingan tata internasional dan kepentingan

ideologi.42 Sedangkan, Padelfort dan Lincoln, membagi jenis kepentingan nasional

menjadi kepentingan kemanan nasional, kepentingan pengembangan sektor ekonomi,

kepentingan peningkatan kekuatan nasional dan kepentingan prestise nasional.43

Selanjutnya, kepentingan nasional dalam perspektif Amerika Serikat menurut

U.S. National Security terbagi dalam tiga kategori, sebagai berikut:

First order: vital interests. This requirest protection of the homeland and areas
and issues directly affecting this interest. This may reuire total military
mobilization and resource commitment. Second order: critical interests. These
are areas and issues that do not directly affect the survival of the United States
or pose athreat to the homeland but in the long run have a high propensity for
becoming first order priorities. Third order: serious interests. These are issues
that do not critically affect First and Second order interests yet cast some
shadow over such interest.44

41 J. Frankel, 1990, Hubungan Internasional, Jakarta: terjemahan ANS Bersaudara, hal. 55.

42 Padelfort dan Lincoln, dalam Bakrie, Loc. cit.

43 Donald E. Neuchterin, dalam Bakrie, Op. cit., hal. 56.

44 Sam C. Sarkesian, John A. Williams, dan Stephen J. Cimbala, 2008, US National Security:
Policymakers, Processes, and Politics, Unites States of America: Lynne Riener Publishers, Inc., hal. 9.

31
Dalam pertahanan domestik, kepentingan vital vital interests memerlukan

upaya yang terkoordinasi dari semua instansi pemerintahan, terutama pertahanan

terhadap terorisme dan perang informasi. Fokus pertahanan ini dapat dilakukan

melalui penciptaan departemen tingkat kabinet keamanan dalam negeri seperti

proposal Presiden George W. Bush setelah serangan 11 September 2001. Tujuannya

adalah untuk mengkoordinasikan upaya sejumlah lembaga dalam melawan terorisme

di Amerika Serikat. Kepentingan Kritis Critical interests diukur melalui sejauh

mana negara menjaga, memelihara, dan memperluas sistem yang terbuka. Banyak

juga yang berpendapat bahwa kekuatan moral negara sangat penting dalam

membentuk kepentingan nasional. Kepentingan serius serious interests ialah upaya

negara yang difokuskan pada penciptaan kondisi yang menguntungkan untuk

mencegah agar kepentingan ketiga tetap berjalan. Semua jenis kepentingan di atas

tidak memiliki dampak langsung pada urutan kepentingan, tetapi harus dilihat dalam

setiap kasus atau peristiwa yang selanjutnya mendapat penyesuaian dengan jenis-

jenis kepentingan ini.

C. Konsep Eropa I dan II

Konsep Eropa I dan II merupakan konsep baru dalam memahami konstalasi

politik di Eropa. Konsep ini masih tergolong muda sebab keberadannya baru

dipahami sebagai sebuah teori. Namun, dalam kasus tertentu dapat dijadikan sebagai

kerangka pikir dalam memahami proses integrasi Eropa, baik dalam bidang

Pertahanan, maupun Ekonomi politik internasional kontemporer Eropa. Konsep ini

juga tidak terlepas dari kerangka kerja integrasi Uni Eropa yang memiliki keterkaitan

dengan landasan pertahanan keamanan Eropa. Dimana, isu-isu perluasan anggota Uni

32
Eropa memiliki hubungan dekat dengan perluasan keanggotaaan aliansi di Eropa,

dalam hal ini NATO. Oleh karena itu, untuk bisa memahami kedua-duanya, maka

pemahaman tentang dinamika antaranggota NATO harus dapat diketahui dalam

rangka memahami konsep ini.

Konsep Eropa I dan II yang dikemukakan oleh Diez T. dan Wiener A. 45 adalah

terkait organisasi pertahanan Eropa, dalam hal ini NATO. Babak baru NATO ialah

bagaimana melihat peran Amerika Serikat untuk selalu menjadi yang dominan di

NATO. Sehingga, muncul sebuah paradigma meng-Amerikaserikat-kan NATO

yang menitikberatkan pada usaha Amerika Serikat untuk selalu mendominasi NATO

to make NATO under US. Amerika Serikat ingin memposisikan NATO dibawah

pengaruh dan kendalinya. Di sisi lain negara-negara Eropa melihat dominasi Amerika

Serikat di NATO sebagai sebuah ancaman bagi kedaulatan Eropa. Negara-negara

Eropa melihat, jika dominasi Amerika Serikat dibiarkan terus-menerus, maka

dominasi tersebut akan menjadi wujud kekuatan baru Amerika Serikat untuk

menguasi Eropa. Sebagai akibatnya, memberi ruang untuk saling mendominasi dan

rivalitas antara Eropa dan Amerika Serikat di NATO. Negara-negara Eropa berupaya

untuk memposisikan Amerika Serikat dibawah kendali NATO. Dengan kata lain,

bahwa negara-negara integrasi Eropa di Eropa ingin me-NATO-kan Amerika

Serikat agar berada di bawah kendali negara-negara Eropa to make US under

NATO.

D. Decission Making Theory

45 Diez T., dan Wiener A., Loc. cit.

33
Setiap aktor hubungan internasional, baik sebagai pembuat ataupun hanya

sebagai pelaksana suatu kebijakan dari kelembagaan internasional, maka proses

pengambilan keputusan bagi masing-masing aktor memiliki model dan tujuan yang

berbeda-beda. Adapun, menurut Robert Cox dan Harold Jacobson menjelaskan

bahwa, proses pengambilan keputusan dapat dibedakan menurut tujuh klasifikasi,

yaitu representational decisions, programmatic decisions, rule-creating decisions,

operating decision, rule-supervisory decisions, boundry decision, dan symbolic

decision.46 Hal ini menujukkan bahwa dalam setiap proses pengambilan keputusan

terdapat banyak pilihan bagi pihak pengambil keputusan.

Berikut penjelasan lebih rinci dari masing-masing jenis pengambilan keputusan

yang disebutkan oleh Robert Cox dan Harold Jacobson:

1. Representational decisions, merupakan keputusan yang akan mempengaruhi

keanggotaan dalam suatu organisasi internasional serta merupakan perwakilan

dalam badan-badan internal dalam organisasi tersebut. Keputusan ini meliputi

keputusan mengenai pengakuan dan atau pengeluaran anggota dalam

organisasi, pengesahan suatu mandat, penentuan wakil-wakil yang duduk dalam

badan-badan eksekutif serta komite.


2. Programatic decisions, merupakan keputusan dari suatu alokasi strategis dari

sumber-sumber organisasi, yaitu hasil negosiasi antar aktor menyangkut tujuan

serta penekanan terhadap program-program organisasi.


3. Rule-creating decision, yaitu keputusan yang berkenaan dengan pembentukan

norma-norma atau aturan di lingkup organisasi internasional. Hasil keputusan

ini biasanya bersifat formal seperti konvensi, persetujuan ataupun resolusi.

46 Rudy, Loc. cit.

34
4. Operational decision, yaitu berhubungan dengan pemberian suatu pelayanan

terhadap pengunaan sumber-sumber organisasi berdasarkan aturan yang

disetujui serta kebijakan organisasi yang telah disetujui pula.


5. Rule-supervisory decision, yakni keputusan yang meliputi procedural baik

procedural yang paling tinggi sampai paling rendah. Prosesnya melalui

pengumpulan informasi, pembuktian terhadap pelaksanaan ataupun pelanggran

terhadap aturan dalam organisasi serta pemberian sangsi atau hukuman

terhadap pelanggran tersebut.


6. Bourdary decision, yaitu keputusan yang menekankan pada hubungan eksternal

organisasi dengan struktur organisasi serta struktur regional.


7. Symbolic decision, merupakan suatu keputusan yang menekankan pada isu-isu

simbolik terhadap penerimaan suatu tujuan ataupun ideologi yang didukung

oleh suatu kelompok aktor ataupun legitimasi yang telah diterima oleh elit-elit

yang dominan.

Adapun, menurut William D. Coplin, bahwa untuk menganalisa kebijakan luar

negeri suatu negara, maka fokus utamanya ialah melihat peran pemimpin negara

untuk suatu kebijakan luar negeri.47 Adapun, suatu tindakan politik luar negeri negara

tersebut dianggap sebagai akibat dari tiga pertimbangan yang mempengaruhi para

pembuat keputusan. Pertama, kondisi politik domestik negara termasuk faktor budaya

yang mendasari tingkah laku manusianya. Kedua, situasi ekonomi dan militer di

negara tersebut termasuk faktor geografis yang menjadi pertimbangan untuk

pertahanan dan keamanan. Ketiga, konteks internasional sebagai proyeksi dan

manifestasi dari politik domestik terhadap negara yang menjadi tujuan politik luar
47 William D. Coplin, 1992, Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis, Bandung: CV
Sinar Baru, hal. 29-30.

35
negerinya. Kebijakan luar negeri dalam konteks ini merupakan keputusan sebagai

bentuk dari akumulasi perilaku yang diambil oleh negara-negara dalam interaksinya

dengan negara lain. Selain itu, kebijakan luar negeri merupakan suatu bentuk

perumusan kebijakan di dalam negeri yang kemudian diimplementasikan keluar

negeri sebagai sebuah upaya dalam mencapai kepentingan nasional.

BAB III

NATO DALAM PERSPEKTIF PERANCIS DAN


AMERIKA SERIKAT

A. NATO dalam dimensi Tradisional dan Non-Tradisional

36
1. NATO dalam Dimensi Tradisional

North Atlantic Treaty Organization (NATO) secara tradisional dipahami dalam

bentuk kerangka kerja Perang Dingin. NATO pada periode Perang Dingin ialah

pengimbang terhadap kekuatan blok Timur pimpinan Uni Soviet yang teraliansi

dalam Pakta Warsawa. Adapun, NATO merupakan aliansi negara-negara blok Barat

sekutu Amerika Serikat. Perkembangan hubungan internasional pada kurun waktu

sejak berakhirnya Perang Dunia II tak lepas dari kerangka kerja Perang Dingin.

NATO terbentuk pada pasca Perang Dunia II tahun 1949. Pada dasarnya, NATO

merupakan suatu aliansi militer antarpemerintah yang menerapkan sistem collective

defense dimana negara anggotanya setuju untuk melakukan pertahanan bersama

sebagai respon terhadap ancaman eksternal. Secara tradisional, ancaman eksternal

NATO ialah agresi Uni Soviet dan Pakta Warsawa. Adapun, tujuan dasar NATO

secara formal terdapat dalam mukaddimah North Atlantic Treaty, yaitu:

The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of
the Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all
peoples and all governments... They seek to promote stability and well-being in
the North Atlantic area. They are resolved to unite their efforts for collective
defence and for the preservation of peace and security.48

Adapun, misi NATO selama Perang Dingin menurut Marco Rimanelli, ialah:

NATOs slow response to outside threats reflected its consesnus-based on three


missions during the Cold War period: conventional and nuclear self-defense
against the Soviet-Warsaw Pact threat; regional alliance-building and forces
standardisation; and integration of new members.49

48 Text of The North Atlantic Treaty, 4 April 1949, Op. cit., pada 5 Januari 2012 pukul 07.00
WITA.

49 Marco Rimanelli, 2009, Historical Dictionary of NATO and other International Security
Organizations, United Stated of America: Scarecrow Press, Inc, hal. 21.

37
Lebih spesifik lagi, Sekretaris Jenderal NATO yang pertama, Lord Ismay,

menyatakan bahwa tujuan utama NATO ialah to keep the Russians out, the

Americans in, and the Germans down.50 Bagi perspektif Eropa, tujuan original

NATO ialah untuk memulihkan kepercayaan Eropa kepada Amerika Pasca-Perang

Dunia II (to keep the Americans in). Bagi Amerika, fokusnya untuk menghalangi

agresi Soviet, atau menjaga Rusia tetap di luar (to keep the Russians out).

Selanjutnya, untuk menjaga Jerman tidak bangkit kembali secara militer (to keep the

Germans down) yang diinterpretasikan secara bertahap dengan menghubungkan

Jerman dalam suatu institusi multilateral Eropa dan membantu pemulihannya.

Adapun, struktur NATO sebagai Major NATO organs terdiri atas:

a. North Atlantic Council, terdiri dari Foreign, Economic, dan Defense Minister,

yang memutuskan masalah-masalah terkait kebijakan politik militer;

b. Military Committe, terdiri dari chief staff of member countries, yang

menformulasikan kebijakan startegi militer atas pertimbangan dari Dewan;

c. Staff Secretariat dikepalai oleh seorang Secretary General.51

NATO dibentuk di Washington D.C, Amerika Serikat pada tanggal 4 April 1949

dengan pasal utama persetujuan tersebut ialah Pasal 5, yang berisi:

The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe
or North America shal.l be considered an attack against them all and
consequently they agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in
exercise of the right of individual or collective self-defence recognised by
Article 51 of the Charter of the United Nations, will assist the Party or Parties
50 Arsi Dwinugra Firdausy, 1998, Motivasi Hongaria Masa Pemerintahan Koalisi Konservatif Untuk
Bergabung Dengan NATO, Skripsi S-1, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol, Yogyakarta:
UGM, hal. 72.

51 Laurence Ziring, Jack C. Plano, Roy Olton, 1995, International Relation: A Political Dictionary,
California: ABC-CLIO, Inc., hal. 179.

38
so attacked by taking forthwith, individually and in concert with the other
Parties, such action as it deems necessary, including the use of armed force, to
restore and maintain the security of the North Atlantic area.
Any such armed attack and all measures taken as a result thereof shal.l
immediately be reported to the Security Council. Such measures shal.l be
terminated when the Security Council has taken the measures necessary to
restore and maintain international peace and security.52

Hingga saat ini NATO memiliki 28 anggota: 1949Norwegia, Belgia, Kanada,

Denmark, Islandia, Luxembourg, Portugal Italia, Belanda, Iggris, Perancis dan

Amerika Serikat; 1952Yunani dan Turki; 1955Jerman Barat; 1982Sapnyol;

1999Republik Ceko, Polandia, Hongaria; 2002-2004Estonia, Bulgaria, Latvia,

Lithuania, Rumania, Slowakia, Slovenia; 2008Albania dan Kroasia adalah negara-

negara yang tergabung dalam Aliansi terakhir pada bulan April 2008.

Awal pendiriannya tahun 1949, NATO beranggotakan 12 negara pendiri.

Namun, dalam perkembangannya, membuka ruang bagi pembesaran dan perluasan

anggota NATO. Penyisihan untuk pembesaran didasarkan pada Pasal 10 dari Pakta

Pertahanan Atlantik Utara, yang menyatakan keanggotaan yang terbuka untuk setiap

negara Eropa dalam posisi untuk memajukan prinsip-prinsip perjanjian ini. Selain

itu, perluasan anggota juga bertujuan untuk memberikan kontribusi pada keamanan

wilayah Atlantik Utara.

Pada tanggal 4 April 1949, seluruh menteri luar negeri dari 12 negara anggota

menandatangani Perjanjian Atlantik Utara di Auditorium Departemen di Washington

DC. Lima bulan setelah upacara penandatanganan, perjanjian disahkan oleh parlemen

negara terkait, kemudian penyegelan keanggotaannya. Berikut para perwakilannya:

1. Belgia: M. Paul-Henri Spaak (Sekretaris Jenderal NATO, tahun 1957-1961);

52 Text of The North Atlantic Treaty, 4 April 1949, Loc. cit.

39
2. Perancis: M. Robert Schuman (tokoh arsitek lembaga Eropa, memprakarsai

gagasan dasar-dasar pembentukan Masyarakat Pertahanan Eropa);

3. Kanada: Mr Lester B. Pearson (menegosiasikan Perjanjian dan merupakan

satu dari Tiga Pria Bijaksana yang menyusun laporan kerjasama non-

militer NATO, yang kemudian diterbitkan tahun 1956 di tengah krisis Suez);

4. Norwegia: Mr Hal.vard M. Lange (salah satu dari Tiga Pria Bijaksana

yang menyusun laporan kerja sama non-militer dalam NATO);

5. Britania Raya: Mr Ernest Bevin (drive utama di balik penciptaan NATO dan

sebagai Menteri Luar Negeri 1945-1951, ia menghadiri pertemuan formatif

pertama dari Dewan Atlantik Utara);

6. Amerika Serikat: Mr Dean Acheson (Menteri Luar Negeri AS 1949-1953, ia

menghadiri dan memimpin rapat Dewan Atlantik Utara);

7. Belanda: Dr D.U. Stikker (Sekretaris Jenderal NATO, 1961-1964);

8. Denmark: Mr Gustav Rasmussen;

9. Portugal: Dr Jose Caerio da Matta;

10. Iceland: Mr Bjarni Benediktsson;

11. Italia: Carlo Sforza Count;

12. Luxembourg: Bech Joseph M.

Secara tradisional, keberadaan NATO tidak dapat dilepaskan dari penyelesaian

peperangan tahun 1945. Penyelesaian tahun 1945 yang mengakhiri kekerasan Perang

Dunia II dalam waktu yang sama menciptakan awal dari periode Perang Dingin.

Adapun, secara garis besar, paradigma Perang Dingin 1949-1989 dijelaskan oleh

Juwono terbagi dalam beberapa tahap perkembangan. Juwono menilai secara politis

40
Perang Dingin terbagi atas tahap 1947-1963 dengan beberapa puncak persitiwa

seperti Blokade Berlin 1949, Perang Korea 1950-1953, Krisis Kuba 1962 dan

Perjanjian Proliferasi Nuklir 1963.53 Selanjutnya selama Perang Vietnam 1965-1975,

paradigma Perang Dingin terbatas pada persaingan berkelanjutan antara AS dan Uni

Soviet di beberapa kawasan strategis dunia.

Salah satu hal terpenting dalam periode Perang Dingin menurut Juwono ialah

peristiwa Perang Arab-Israel 1967-1973. Perundingan senjata strategis yang mulai

dirintis dan dikukuhkan melalui Perjanjian SALT I juga menjadi salah satu ciri

periode ini. Selama kurun waktu tersebut, isu-isu seperti pertentangan ideologis,

perebutan wilayah pengaruh, pembentukan blok-blok militer, politik, bantuan

ekonomi yang dilatarbelakangi kepentingan ideologis, spionasi militer dan

pembangunan kekuatan nuklir menjadi tema penting. Namun, setelah berakhirnya

Perang Dingin dengan jatuhnya Uni Soviet, maka konsep hubungan internasional

berubah arah dengan tidak menitikberatkan lagi pada militer. Pada periode Perang

Dingin, sistem internasional bersifat bipolar. Akan tetapi, dengan kemenangan blok

barat, maka sistem internasional berubah menjadi uni polar ketika Perang Dingin

berakhir. Dalam kondisi ini, isu-isu tentang hubungan internasional mengalami

pergeseran di berbagai bidang.

Pada periode Perang Dingin, dunia dibentuk dalam bipolarisasi kekuatan antara

Pakta Pertahanan Atlantik Utara dan Pakta Warsawa. Dalam masa ini, Amerika

Serikat dan Sekutu yang berjuang bersama melawan fasisme terlibat dalam pertikaian

53 Renato Mariani, 2004, Book Review: Frank Schimmelfennig, The EU, NATO and the Integration
of Europe: Rules and Rhetoric., dalam Journal of International Studies Vol. 33, hal. 56.

41
politik yang saling bersaing memperebutkan hegemoni dan pengaruh politik di Eropa,

Asia, dan dunia. Baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet sangat gencar dalam usaha

memperjuangkan hegemoni dalam tatanan politik global awal tahun 1950-an sampai

runtuhnya komunisme Uni Soviet tahun 1990-an. Dapat dipastikan, bahwa jika terjadi

sengketa internal suatu negara atau di luarnya dikawasan manapun, maka masalah

tersebut tak lepas dari campur tangan Amerika Serikat atau Uni Soviet sebagai

pendukung utama. Sehingga dapat dipahami, bahwa konflik dingin dibentuk untuk

memperebutkan sistem keamanan yang didasarkan pada keseimbangan simetris

antara kekuasaan dan pencegahan. Aliansi Barat berpendapat bahwa nilai-nilai seperti

demokrasi, hak asasi manusia dan aturan hukum serta sistem ekonomi didasarkan

pada usaha bebas, sedangkan negara-negara Pakta Warsawa membela kolektivisme

dan ideologi komunis.

Pada Era Perang Dingin, dominasi Uni Soviet dan Amerika Serikat terhadap

negara sekutunya menyebabkan konstalasi hubungan internasional diwarnai oleh

kepentingan kedua negara. Persaingan antara keduanya mempertajam balance of

power secara global pada pasca Perang Dunia II. Kepemilikan senjata nuklir oleh

Amerika Serikat dan Uni Soviet memastikan bahwa perang berpotensi membawa

malapetaka bagi kedua blok. Sebab, mengancam kelangsungan hidup manusia dengan

menggunakan senjata nuklir, strategi milter sering merujuk balance of power

sebagai balance of terror.54 Akibat dari kesimbangan ini, banyak bermunculan blok

aliansi yang didasarkan pada persamaan ideologis. Hampir semua langkah diplomatik

54 Ainius Lasas, 2008, Restituting Victims: EU and NATO Enlargements through the Lenses of
Collective Guilt., dalam Journal of European Public Policy , hal. 98-116.

42
dipengaruhi oleh tema-tema ideologis yang kemudian dilengkapi dengan perangkat

militer. Adapun, NATO sebagai sebuah aliansi pertahahnan militer ketika Perang

Dingin harus bersaing dengan penyeimbangnya, Pakta Warsawa. Setelah berakhirnya

Perang Dingin, NATO seolah kehilangan relevansi sebagai pakta pertahanan militer.

NATO yang awalnya merupakan aliansi militer kini bertransformasi menjadi sebuah

aliansi yang multi sektor. NATO tidak hanya fokus pada kekuatan militer, akan tetapi

sudah multi fungsi. Bahkan, NATO telah menjadi pusat aliansi kerjasama ekonomi-

politik pasca jatuhnya Uni Soviet.

Perang Dingin berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa.

Negara anggota Pakta Warsawa sudah menyakini bahwa dengan bubarnya Uni

Soviet, maka keberadaan Pakta Warsawa tidak dapat dipertahankan lagi. Untuk itu,

dengan dibubarkannya Pakta Warsawa sebagai pesaing NATO di wilayah Eropa,

maka NATO harus mengkaji kembali relevansi keberadaannya dan mencari peran-

peran baru agar para anggotanya tetap merasakan manfaat dari keanggotaan dalam

aliansi ini. Oleh karena itu, beberapa perubahan secara struktur dalam kelembagaan

NATO menjadi sebuah agenda baru bagi NATO dalam melihat konstalasi sistem

internasional, baik yang bersifat militer maupun non-militer. Negara-negara anggota

juga harus siap dalam menghadapi berbagai ancaman baru setelah periode Perang

Dingin berakhir, memasuki abad 21 yang lebih kompleks.

2. NATO dalam dimensi Non-Tradisional

Keberadaan NATO pada pasca Perang Dingin sangat kompleks untuk dipahami.

NATO yang pada awalnya merupakan sebuah aliansi militer (traditional pupose)

berubah menjadi sebuah aliansi yang memiliki multi tujuan (non-traditional

43
purpose). Setelah jatuhnya Uni Soviet dan Pakta Warsawa, maka tidak terdapat lagi

ancaman terhadap negara-negara anggota, sehingga NATO dianggap kehilangan

relevansi. Namun, pada perkembangannya, NATO justru mengadopsi suatu agenda

global dan memperluas keanggotaannya hingga memasukkan negara-negara bekas

Uni Soviet lainnya melalui pertemuan KTT NATO.

Perang Dingin, menurut Juwono Sudarsono (1996) 55, secara resmi berakhir

pada kurun waktu 1989-1990 dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November

1989 serta menyatunya Jerman Barat dan Timur pada 3 Oktober 1990. Perkembangan

itu disusul dengan bubarnya Uni Soviet pada 25 Desember 1991 bersamaan dengan

mundurnya Mikhail Gorbachev sebagai kepala negara. Setelah berakhirnya Perang

Dingin yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet,

Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adidaya. Dalam masa ini, sektor

keamanan adalah salah satu bidang yang paling terkena dampak perubahan. Pakta

Warsawa runtuh, dan NATO berdiri sendiri tanpa perimbangan. Melihat ini, negara-

negara anggota tidak tinggal diam. Oleh karenanya, berbagai reformasi struktur

kelembagaan NATO mulai dilakukan. Perancis misalnya, di bawah pemerintahan

Nicolas Sarkozi melakukan upaya modernisasi NATO. Melalui bentuk redefinisi dan

pemeriksaan diri, maka dibuatlah sebuah postur NATO yang lebih baru. NATO

diubah menjadi sebuah organisasi politik-militer dengan menambahkan dimensi

politik. Adapun, struktur militer dan komando akan bertransformasi dalam usaha

merespon ancaman kemanan abad ke-21. Arah NATO menjadi lebih global dengan

55 Mariani, Loc. cit.

44
menambah anggota baru dan menjalin kemitraan baru. Michael Ruhle, 56 Senior

Planning Officer dalam bidang Kebijakan Perencanaan dan Bagian Speechwriting

Politik Divisi NATO, menjelaskan:

NATO telah berubah dari sebuah organisasi tunggal-tujuan untuk sebuah


lembaga multi-tujuan, bekerja sama untuk menciptakan lingkungan strategis
yang lebih ramah. NATO memberikan kontribusi pada kemunculan arsitektur
keamanan Euro-Atlantik. Hal. ini tidak benar-benar sebuah lembaga tapi
arsitek. Arsitektur sebagai serangkaian proses politik penting yang membentuk
lingkungan strategis, proses integrasi Eropa, evolusi dari Rusia, pengembangan
hubungan transatlantik, dan evolusi manajemen krisis di wilayah Eropa-
Atlantik.
Dalam menciptakan lingkungan strategis yang lebih ramah, NATO sebagai

organisasi internasional turut mengalami perkembangan. Perkembangan NATO

terkait tujuan dan agenda globalnya sesuai dengan New Strategy Concept dapat

dikelompokkan dalam dua hal, yaitu tujuan politik dan militer. Tujuan politik, NATO

mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan mendorong usaha-usaha konsultasi dan

kerja sama dalam bidang militer dan pertahanan keamanan untuk membangun

kepercayaan dalam waktu yang berkepanjangan. Tujuan Militer: NATO berkomitmen

menjaga perdamainan dan meresolusi konflik. Hal. ini telah dijelaskan dalam artikel 5

dari Perjanjian Atlantik Utara dan dibawah mandat PBB. Dalam operasi militer,

NATO bisa saja sendiri atau bekerjasama dengan negara atau organisasi internasional

dalam usaha menciptakan stabilitas kawasan.57 Tujuan ini sesuai dengan hasil dari

pertemuan tingkat tinggi di Roma pada tahun 199158, yaitu:

56 Joshua B. Spero, 2005, Resensi Buku: Schimmelfennig Frank, Uni Eropa, NATO dan Integrasi
Eropa dan Retorika Aturan, dalam Review Slavia, hal. 64.

57 NATO Programs, http://www.nato.int/cps/en/natolive/nato_programs.htm, diakses pada tanggal


4 Februari 2012 pukul 07.00 WITA

45
1. Menetapkan suatu dasar yang diperlukan bagi suatu lingkungan kemanan

yang stabil di Eropa, yang merupakan dasar dari pertumbuhan institusi

demokrasi dan merupakan tanggung jawab terhadap resolusi perdamaian

untuk mencegah atau mengatasi perselisihan-perselisihan.

2. Aliansi mencoba untuk menciptakan suatu lingkungan yang mana tidak ada

wilayah atau negara yang sanggup mengintimidasi atau memaksa negara-

negara Eropa atau untuk menjatuhkan hegemoni terebut melalui suatu

ancaman atau penggunaan kekuatan.

3. Sesuai dengan Artikel 4 dari North Atlantic Treaty, tugas aliansi sebagai

suatu forum konsultasi atau dialog trans-atlantik bagi aliansi dalam

berbagai pokok permasalahan yang mempengaruhi kepentingan vital dari

para anggotanya, termasuk perkembangan yang mungkin memperlihatkan

adanya bahaya terhadap keamanan mereka.

4. Aliansi menyelengarakan penangkalan (deterrence) dan pertahanan

(defense) melawan setiap tindakan agresi yang mengancam wilayah setiap

negara anggota NATO.

5. Aliansi mempertahankan suatu strategi yang seimbang dalam Eropa.

Selanjutnya pada tahun 1999, konsep strategi NATO mengalami revisi untuk

yang kedua kalinya. Konsep baru ini bertujuan untuk membangun komitmen aliansi

tidak hanya pada pertahanan bersama tetapi juga pada perdamaian dan stabilitas

58 Declaration on Peace and Cooperation, 08 November


1991http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_texts_23846.htm, diakses pada tanggal 6 Februari
2012 pukul 23.07 WIB.

46
wilayah Euro-Atlantic yang lebih luas. Termasuk di dalamnya adalah menyangkut

perluasan tujuan NATO dalam bidang politik59, yaitu:

1. Pendekatan yang lebih luas terhadap keamanan termasuk di dalamnya

faktor politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan, juga dalam bidang

pertahanan.

2. Komitmen yang kuat kepada hubungan Trans-Atlantic.

3. Memperbaiki dan memelihara kapabilitas militer aliansi untuk memastikan

efektifitas operasi militer.

4. Pengembangan kapabilitas negara-negara Eropa di dalam aliansi.

5. Terjaganya tindakan pencegahan konflik yang memadai dan prosedur serta

srtuktur manajemen krisis yang baik.

6. Kemitraaan yang efektif dengan negara-negara Non-NATO berdasarkan

kerjasam dan dialog.

7. Perluasan aliansi dan pelaksanaan kebijakan pintu terbuka pada negara yang

berpotensi menjadi anggota baru.

8. Melanjutkan usaha-usaha terhadap kesepakatan yang menyangkut

pengawasan, kesepakatan perlucutan senjata, dan nonpoliferasi.

Revisis tujuan NATO untuk yang ketiga kalinya terjadi pada KTT Lisabon

201060, yang di dalamnya terdiri atas 38 point. Inti poinnya, yaitu:

59 NATO Handbook 2006, NATOs Public Diplomacy Division, Brussel, hal. 19.

60 NATO New Strategic Concept, 2010, hal. 1.

47
1. Menegaskan ikatan antara negara anggota untuk membela satu sama lain

terhadap setiap serangan, termasuk terhadap ancaman baru dengan

keselamatan warga negara.

2. Berkomitmen untuk mencegah krisis, mengelola konflik dan menstabilkan

situasi pasca konflik, termasuk bekerja lebih erat dengan mitra internasional,

yang paling penting PBB dan Uni Eropa.

3. Menawarkan mitra di seluruh dunia melalui keterlibatan politik aliansi, dan

berperan penting dalam membentuk pimpinan operasi NATO sesuai dengan

berkontribusi anggota.

4. NATO berkomitmen untuk tujuan menciptakan kondisi sebuah dunia tanpa

senjata nuklir, tetapi menegaskan bahwa, selama ada senjata nuklir di dunia,

NATO akan tetap menjadi aliansi nuklir.

5. Menyatakan kembali komitmen perluasan keanggotan NATO terbuka bagi

semua negara demokrasi Eropa yang memenuhi standar keanggotaan, karena

pembesaran memberikan kontribusi untuk tujuan NATO dan keseluruhan

kepentingan Eropa yang bebas dan damai.

6. NATO melakukan reformasi terus menerus menuju aliansi lebih efektif,

efisien dan fleksibel, sehingga mampu menangkal ancaman untuk mencapai

tingkat keamanan maksimum, untuk itu alokasi dana pertahanan perlu

ditingkakan.

Perjanjian di atas, menegaskan bahwa warga negara-negara anggota NATO

bergantung pada NATO untuk membela negara sekutu, mengerahkan pasukan militer

yang kuat di mana dan kapan diperlukan demi keamanan aliansi, dan membantu

48
mempromosikan keamanan bersama mitra NATO di seluruh dunia. Dalam

perkembangan, misi NATO akan tetap sama, yaitu memastikan aliansi tetap menjadi

organisasi yang tak tertandingi dalam mempromosikan nilai-nilai kebebasan,

perdamaian, keamanan dan bersama.

Menurut Rimanelli, perubahan paling mendasar yang terjadi dalam struktur

kelembagaan NATO pasca Perang Dingin dilihat dalam tiga hal. Pertama, integrasi

regional dan perluasan keanggotaan NATO. Kedua, struktur kelembagaan keamanan

yang baru, seperti North Atlantic Cooperation Council (NAC-C), Partnership for

Peace (PFP), Euro Atlantic Partnership Council (EAPC), dan NATO-Russia dan

NATO-Ukraina Charter. Ketiga, area misi keamanan NATO. Termasuk, keberhasilan

NATO dalam menata ulang sistem pertahanan regional dan reduksi kontrol senjata

NATO (arms control rduction). Lebih lanjut Marco Rimanelli menjelaskan:

In the post-Cold War world, NATOs success in regional self-defense and arms
control reduction has led the alliance to a triple emphasis. Firts is regional
integration and NATO enlargements. Second is new security structures,
such as North Atlantic Cooperation Council (NAC-C), Partnership for Peace
(PfP), Euro Atlantic Partnership Council (EAPC), dan NATO-Russia dan
NATO-Ukraina Charter. Third is out of area peacekeeping missionss in
adjoining theaters, like NATOs Air-Naval Force of UN peacekeeping in
Yugoslavia; both The International Force and Stabilisation Force in Bosnia
(IFOR, SFOR); the Kosovo Implementation Force (KFOR); Albania; and
briefly Makedonia; and the International Security of Afganistan Force (ISAF).
Change was necessary to avoid stagnation and death, as NATO soon found
out.61
NATO dalam hal reduksi kontrol senjata merupakan sebuah perubahan doktrin

dan strategi militer NATO yang paling signifikan, di mana doktrin yang sebelumnya

terletak pada dua pilar forward defense dan flexible response. Kemudian, dalam

61 Rimanelli, Op. cit. hal. 22.

49
konferensi NATO pada Juli 1990 dan November 1991, doktrin-doktrin tersebut

diubah secara radikal dari konsep forward defense menjadi reduced forward

presence dan flexible response menjadi reduced reliance on nuclear weapons, dan

akhirnya kemudian menjadi truly weapons of last resort.62

Pasca Perang Dingin, kebijakan pembesaran NATO didasarkan pada tujuan

mengintegrasikan kembali Eropa yang terpecah-pecah dan strategi mendirikan basis

pendukung yang luas untuk melawan ancaman yang baru terbentuk dan berkembang.

Pada pertemuan puncak NATO di awal 1990-an di London dan Roma, negara-negara

Eropa Tengah dan Timur yang telah memenangkan kemerdekaan menjadi bagian

pelengkap bagi strategi aliansi. Pertemuan London sekaligus secara resmi mengakhiri

Perang Dingin antarblok dan membangun kembali hubungan bilateral antara Amerika

Serikat dengan negara bekas Uni Soviet.63 Keputusan penting yang keluar dari puncak

ini adalah pembentukan Dewan Kerjasama Atlantik Utara. Pada tahun 1992, 11

negara Eropa sebagai mantan anggota Uni Soviet, termasuk Georgia dan Albania

masuk dalam keanggotaan NATO. Pada KTT Brussel 1994, kebijakan kemitraan

untuk Perdamaian (PFP) diperkenalkan. Di Paris tanggal 27 Mei 1997, pembuatan

undang-undang hubungan kerjasama keamanan NATO dan Federasi Rusia

ditandatangani, dan hasilnya pada tahun 2002 Dewan NATO-Rusia didirikan.

Ekspansi keanggotaan NATO dan kebijakan kerjasama global setelah Perang

Dingin dapat dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama, meliputi negara-negara

yang telah memulai proses aksesi untuk keanggotaan penuh di NATO. Negara-negara

62 Firdausy, Op. cit., hal. 74.

63 Rimanelli, Op. cit., hal. 19.

50
yang memulai hubungan ini dengan menunjukkan kemauan politik mereka untuk

masuk dalam keanggotaan dan memenuhi kriteria yang diperlukan dalam Rencana

Aksi Keanggotaan, yaitu sebuah proses yang mengarah pada pembentukkan

keanggotaan penuh yang selanjutnya memiliki hak untuk keanggotaan penuh NATO.

Dalam masa ini, NATO telah diperluas sebanyak tiga kali terkait keanggotaan penuh

setelah Perang Dingin. Gelombang pasca Perang Dingin pertama terjadi ketika

pembesaran NATO pada KTT Madrid pada tanggal 8 Juli 1997 ketika Republik Ceko,

Polandia, dan Hungaria diundang dalam negosiasi untuk aksesi ke Aliansi. Dan

akhirnya, negara-negara ini bergabung dengan aliansi pada tanggal 12 Maret 1999.

Keputusan Pembesaran NATO yang kedua dilakukan pada KTT Praha pada 21-

22 November 2002. Pada pertemuan ini, diputuskan bahwa Bulgaria, Estonia,

Lithuania, Latvia, Rumania, Slovakia, dan Slovenia akan bergabung dengan NATO

sebagai anggota penuh, dan proses aksesi mereka dimulai pada awal tahun 2005.

Tahap ketiga dari pembesaran termasuk Albania, Kroasia dan Macedonia yang

diputuskan pada KTT Bucharest pada bulan April 2008 untuk memberikan

keanggotaan penuh bagi negara-negara yang memenuhi kriteria. Albania dan

Makedonia memperoleh hak untuk keanggotaan penuh di puncak ini, tapi Yunani

keberatan terhadap Makedonia dan keanggotaan Macedonia dihentikan. Pada KTT

Bucharest, prinsip pemberian status Georgia dan Ukraina dalam Rencana Aksi

Keanggotaan (MAP) diadopsi, tapi keputusan ditunda sampai pertemuan Menteri

Luar Negeri NATO pada bulan Desember 2008. Perang Rusia-Georgia pada Agustus

2008 menyebabkan penundaan keputusan. Akibatnya, hubungan NATO-Rusia

kembali memburuk dan tumbuh ketegangan.

51
Kategori kedua, dalam pembesaran NATO mengikuti kebijakan globalisasi

meliputi negara-negara Partnership for Peace (PFP). Tidak ada batas geografis untuk

negara-negara dalam kategori ini. Dengan status ini, negara-negara anggota

Organisasi Kerjasama Keamanan Eropa (OSCE) dapat bekerja sama dengan NATO.

Status ini mencakup Federasi Rusia, negara-negara di Kaukasus Selatan dan negara-

negara Eropa lainnya yang belum mencapai keanggotaan penuh serta beberapa negara

lainnya. Kategori ketiga ialah negara-negara yang termasuk dalam kelompok

pemeliharaan dialog dan kontak. Pada tahun 1994, NATO meluncurkan Dialog

Mediterania. Tujuannya adalah mendorong dialog dengan negara-negara di lembah

Mediterania, yaitu Mauritania, Maroko, Aljazair, Tunisia, Mesir, Israel dan Yordania,

mengisolasi permusuhan dan kesalahpahaman, mengembangkan pemahaman umum

dan memberikan kontribusi bagi reformasi di bidang tata pemerintahan yang baik.

Pada KTT NATO yang diadakan di Istanbul Juni 2004, keputusan dibuat untuk fokus

lebih mendalam terhadap Dialog Mediterania dan menciptakan mekanisme kerjasama

antarnegara Timur Tengah melalui Istanbul Initiative Cooperation. Akibatnya,

negara-negara Arab Teluk termasuk dalam kerjasama ini, sekaligus mendai kerjasama

baru NATO di luar Eropa dalam hal ini dengan negara-negara Mediterania sebagai

bentuk kerjasama dalam menjaga keamanan internaional.

Dalam tatanan dunia baru yang muncul setelah runtuhnya Uni Soviet,

keamanan Eropa-Atlantik menjadi lebih sulit dan kompleks. Serangan teroris

terhadap Amerika Serikat pada 11 September 2001 menyebabkan pengaruh besar bagi

negara-negara anggota NATO, khususnya Amerika Serikat. Ancaman baru ini telah

memberikan kepercayaan kepada Amerika Serikat sebuah gagasan bahwa tidak ada

52
satu negara, termasuk Amerika Serikat, atau aliansi, bisa menangani semua masalah

dan bahwa kerjasama komprehensif dengan negara-negara di luar aliansi menjadi

sangat penting.

Kebijakan pembesaran NATO tidak hanya fokus pada pembenahan negara-

negara Eropa yang terpecah-pecah yang memenangkan kemerdekaan setelah

runtuhnya Uni Soviet dan memperkuat keamanan Eropa, tetapi juga menciptakan

lingkungan yang lebih aman melalui penciptaan tindakan bersama terhadap setiap

ancaman sesuai dengan yang tercantum di atas. Hal ini dapat dilakukan dengan cara

mendorong kemitraan, kerjasama dan dialog di bidang komprehensif perdamaian dan

keamanan dengan negara-negara di luar Eropa. Peritiwa ini menjadi awal tantangan

keamanan global di abad 21. Dimana, a A ncaman baru tidak lagi memiliki dasar

ideologis yang menantang seperti pada masa Perang Dingin.64

Pada Perang Dingin, NATO telah menerapkan kebijakan pembesaran dan

negara-negara Eropa Timur telah menjadi anggota aliansi. Motivasi utamanya adalah

untuk menjadi bagian dari blok barat dan menyeimbangkan kemungkinan bangkitnya

ancaman Rusia di masa mendatang. IThis is one of the main cracks in terms of

unity among the alliance members.Ini merupakan salah satu celah utama dalam hal

persatuan di antara anggota aliansi. N NNevertheless, countries which have become

members of the Euro-Atlantic alliance in the last two decade are comparatively

smaller in terms of economic and military power.NNamun demikian, negara-negara

yang telah menjadi anggota aliansi Euro-Atlantik dalam dua dekade terakhir relatif

64 Walter S. Jones, 1992, Logika Hubungan Internasional: Persepsi Nasional, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, hal. 62.

53
lebih kecil dari segi kekuatan ekonomi dan militer. Tanggung jawab NATO telah

meningkat, tetapi tidak secara seimbang. . Para anggota NATO yang lebih tua masih

membawa sebagian besar beban utama. H al ini menyebabkan inefisiensi dalam

pembuatan kebijakan dan akan mengurangi sikap bersatu anggota NATO, seperti

pada perang Georgia di tahun 2008.65 Tidak meratanya distribusi kekuasaan anggota

NATO, menjadi salah satu celah bagi anggota NATO. Sehingga, tidak menutup

kemungkinan muncul persaingan baru dalam perebutan pengaruh di antara negara

anggota NATO.

Realitas ini disesuaikan dengan ruang lingkup kerja NATO yang semakin luas,

tidak hanya dalam tataran regional tetapi juga secara global. Peran negara-negara

anggota NATO lebih detil kembali diperhitungkan dan menjadi tolak ukur

keberhasilan NATO. Di satu sisi, kepentingan negara anggota mulai berkembang dan

bahkan bergeser, di sisi lain keberadaan NATO sebagai wadah bagi negara aliansi

turut mengalami perkembangan secara signifikan. Perubahan-perubahan secara

langsung akan berpengaruh pada kinerja NATO dalam menjalankan misinya sebagai

penjaga kemanan bagi wilayah Atlantik Utara dan di luarnya.

Sehubungan dengan hal di atas, Perancis dan Amerika Serikat adalah dua

negara anggota NATO yang memiliki pengaruh besar dalam setiap operasi NATO.

Posisi Perancis dan Amerika Serikat merupakan dua kekuatan baru di NATO pada

pasca Perang Dingin. Dalam hal kepemimpinan NATO, sebenarnya secara struktural

telah ada ketegangan di antara Perancis dan Amerika Serikat. Terbukti sejak NATO

65 Walter S. Jones, 1993, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi-Politik


Internasional, dan Tatanan Dunia 2, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 47.

54
dibentuk pada tahun 1949, Perancis mengusulkan sebuah proposal penentangannya

terhadap Amerika Serikat. Penentangan ini adalah dalam hal kepemimpinan NATO

dan usaha Amerika Serikat untuk memindahkan Markas Besar NATO dari Paris ke

Brussel. Sesuai dengan ulasan Jack C. Plano:

The main challenges to the concpet of North Atlantic embodies in the treaty,
however, came from within, and they involved a struggle for leadership betwen
France and the United States. France force the departure of NATO
headquarters from Paris and its relocation in Brussel. France also refused to
partisipate in NATO exercises or share in its reposibilities, but it nevertheless
reiterated its continuing commitment to the principles of the alliance.66

Pada perkembangan selanjutnya, Perancis dan Amerika Serikat telah kembali

fokus pada kepentingan nasional negara masing-masing. Sehingga, hal ini tentu saja

akan mampu mempertajam ketegangan struktural antara kedua negara di NATO.

Adapaun, pertentangan yang paling tajam ialah pada masa-masa eksekusi Jerman

masuk menjadi anggota NATO tahun 1955, dimana Perancis mengusulkan proposal

tentang perlunya pembentukan sistem pertahanan dan keamanan Eropa yang lebih

independen, mandiri dan fleksibel. Untuk mewujudkan hal ini, maka Perancis

mendorong Jerman untuk bisa bersama-sama di struktur integrasi militer NATO dan

di pusat pertahanan Eropa. Ketegangan struktural antara Perancis dan Amerika

Serikat terus berlanjut hingga kembalinya Perancis ke dalam struktur integrasi militer

NATO pada tahun 2009 di bawah masa Pemerintahan Nicholas Sarkozy. Pada

perkembangannya, realisasi kepentingan Perancis di NATO telah mengalami

dinamisasi terutama dalam hal pertahanan dan militeristik, sehingga reformasi militer

menjadi agenda penting bagi politik luar negeri Perancis.

66 Ziring, Plano, dan Olton, Op. cit., hal. 180.

55
B. NATO dalam Perspektif Perancis

Sebagai salah satu dari dua belas negara penandatangan berdirinya Pakta

Pertahanan Atlantik Utara tahun 1949, keberadaan Perancis di NATO dengan baik

dapat dijelaskan dalam 4 (empat) posisi. Pertama, pada periode Perang Dingin,

dimana Perancis berada di dalam struktur integrasi militer NATO sejak berdirinya

hingga pada periode Perang Dingin (1949-1966). Dan, berada di luar struktur

integrasi militer NATO hingga periode akhir Perang Dingin (1966-1990). Kedua,

pada periode pasca Perang Dingin, dimana Perancis berada di luar struktur integrasi

militer NATO (1990-2009). Dan, kembali berada di dalam struktur integrasi militer

NATO pada tahun 2009 hingga sekarang.

Pada empat posisi di atas, tentu saja Perancis memiliki pandangan yang

berbeda-beda dalam melihat NATO, terutama pada periode akhir Perang Dingin

hingga sekarang. Perbedaan mendasar sebagai tolak ukur hubungan Perancis dan

Amerika Serikat pada periode Perang Dingin adalah tentang proyeksi NATO dalam

menangkal ancaman yang sama bagi negara anggota NATO. Ancaman yang sama

menjadi tolak ukur hubungan Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Selanjutnya,

ketika Perang Dingin usai, maka ancaman bersama sudah tidak ada. Dengan demikian

peran Perancis bersama anggota NATO lainnya juga mengalami perubahan.

Perubahan dua kondisi di atas turut mempengaruhi perkembangan hubungan

kedua negara. Pada pada periode Perang Dingin tahun 1963 Perancis dan Jerman

menandatangani perjanjian Elysse di Paris dalam bentuk Franco-German. Adapun,

pengaruh implementasi perjanjian ini terhadap postur pertahanan keamanan Perancis

56
di masa tersebut adalah Perancis lebih leluasa membangun kemandirian Pertahanan

Eropa bersama dengan Jerman. Efek hubungan kerjasama ini bagi Perancis hingga

sekarang yaitu sama-sama menjadi representasi terkuat negara-negara Eropa di

NATO. Terlebih lagi setelah Perancis masuk kembali dalam struktur integrasi militer

NATO di tahun 2009 di bawah Presiden Nicholas Sarkozy menjadikan Perancis

semakin lebih kuat di NATO dan Eropa. Walaupun, dapat dipahami bahwa di tahun

1966 Perancis keluar dari struktur militer NATO atas keputusan Presiden Perancis,

Charles De Gaulle. Dan, membentuk pertahanan bersama Jerman di luar NATO. Pada

masa-masa diluar struktur keanggotaan NATO, kurang lebih 43 tahun, Perancis

melihat NATO sebagai wadah untuk memperkuat kepentingan Perancis dalam

struktur politik NATO. Hal ini sesuai dengan tradisi khas Perancis dalam politik

luar negeri yang merupakan kepentingan vital bagi Perancis.

Selanjutnya, jika kita hubungkan dengan perkembangan kepentingan Perancis

di NATO. Maka, kepentingan mendasar Perancis di NATO pada perode Perang

Dingin adalah menjadi motor utama sebagai penggerak bersama dengan sekutu

melawan ancaman ekternal. Selanjutnya, perkembangan kepentingan Prancis di

NATO setelah pasca Perang Dingin, khususnya sekarang yaitu sesuai dengan mandat

yang tercantum dalam Buku Putih Perancis pada Juni 2008 yang menitikberatkan

pada masalah pertahanan luar negeri, domestik, dan masalah keamanan. 67 Buku Putih

Perancis dimaksudkan untuk memberikan strategi keamanan Perancis yang lebih

komprehensif untuk jangka waktu 25 tahun ke depan, mencerminkan lingkungan

67 Hugues Portelli, dkk, 2005, France, Paris: La Documentation Francaise; Ministere des
Affaires etrangeres, hal. 210.

57
keamanan yang baru pada abad ke-21, dan untuk menguraikan proposal

restrukturisasi untuk membuat militer Perancis lebih fleksibel, berteknologi maju, dan

lebih mampu berkoordinasi dengan sekutu seperti Amerika Serikat dan organisasi-

organisasi multilateral seperti Uni Eropa, NATO, dan PBB.

Konsisten dengan Buku Putih, Perancis telah melakukan restrukturisasi besar

untuk mengembangkan profesionalisme militer yang lebih ramping, lebih cepat,

tangguh, dan lebih berbobot yang telah disesuaikan untuk operasi di luar daratan

Perancis. Adapun, elemen kunci dari restrukturisasi termasuk mengurangi personel,

pangkalan, markas dan peralatan rasionalisasi dan industri persenjataan. Jumlah

militer Perancis yang masih aktif dalam tugas sekitar 350.000 (termasuk gendarm).

Perancis telah berhasil menyelesaikan perpindahan semua angkatan bersenjata

profesional saat wajib militer berakhir pada tanggal 31 Desember 2002 lalu.68

Kepentingan Perancis di NATO telah lama dipersiapkan oleh pendahulunya.

Rencana Perancis membangun pertahanan Eropa telah dirancang sejak 1966 ketika

Presiden Charles De Gaulle secara tegas menarik keluar Perancis dari srtuktur

integrasi militer NATO. Sejak itu, Perancis mulai fokus membangun dasar bagi

pertahanan Eropa di luar NATO bersama Jerman. Keluarnya Perancis dari Struktur

militer NATO, tidak berarti Perancis meningalkan kepentingannya di NATO,

melainkan untuk bisa lebih leluasa dalam mencapai tujuan di atas. Pada masa yang

sama, Perancis memulai berpartisipasi penuh dalam struktur politik NATO hingga

akhirnya tergabung kembali dalam struktur integrasi militer NATO tahun 2009.69

68 Ibid, hal. 199.

69 Portelli, Op. cit., hal. 198.

58
C. NATO dalam Perspektif Amerika Serikat

Keberadaan Amerika Serikat di NATO berlangsung sejak NATO didirikan

hingga hari ini. Amerika Serikat pada masa Perang Dingin memimpin NATO bersama

sekutu dalam menangkal ancaman Uni Soviet dan Pakta Warsawa di Eropa. Dalam

masa-masa ini, Amerika Serikat dan sekutu yang yang teraliansi dalam NATO

berjuang bersama melawan fasisme yang terlibat dalam pertikaian politik untuk

saling bersaing memperebutkan hegemoni dan pengaruh politik di Eropa, Asia, dan

dunia. Amerika Serikat di bawah NATO gencar dalam usaha memperjuangkan

hegemoni dalam tatanan politik global awal tahun 1950-an sampai runtuhnya

komunisme Soviet tahun 1990-an.

Runtuhnya Uni Soviet (USSR) dan dominasi Pakta Warsawa atas Eropa Timur,

diikuti oleh disintegrasi Uni Soviet pada bulan Desember 1992, mengakhiri Perang

Dingin (1946-1990) dan keamanan global berubah secara radikal di bidang-bidang

tertentu. Dengan dinyatakannya Amerika Serikat sebagai negara adidaya tunggal

sejak tahun 1992, dua fase paralel dari akhir sejarah dan globalisasi, dilihat

sebagai akhir dari Perang Dingin atas kemenangan divisi militer politik Eropa dan

kemenangan militer-ekonomi Barat melalui globalisasi perdagangan dan transformasi

pasar bebas.70 Pada periode yang sama, di bawah kepemimpinan Amerika Serikat,

NATO berusaha mempertahankan perjanjian pengawasan senjata Timur-Barat dan

memperbaharui sistem pembagian kekuasaan di Eropa antara negara adidaya dengan

menyatakan bahwa Uni Soviet dan Pakta Warsawa tidak lagi menjadi musuh Amerika

70 Rimanelli, Op. cit. hal. 486.

59
Serikat, sekaligus menciptakan kerjasama keamanan Timur-Barat melalui kerjasama

North Atalntic cooperation-Council (NAC-C) dan Organisasi untuk keamanan dan

Kerjasama di Eropa (OSCE) untuk mengikat NATO bersama dengan semua negara

Eropa Timur.

Adapun, pada pasca Perang Dingin, babak baru NATO ialah bagaimana melihat

peran Amerika Serikat untuk selalu menjadi yang dominan di NATO. Amerika

Serikat ingin memposisikan NATO dibawah pengaruh dan kendalinya. Di sisi lain,

negara-negara Eropa melihat dominasi Amerika Serikat di NATO sebagai sebuah

ancaman bagi kedaulatan Eropa. Negara-negara Eropa melihat bahwa, jika dominasi

Amerika Serikat dibiarkan terus-menerus, maka dominasi tersebut akan menjadi

wujud kekuatan baru Amerika Serikat untuk menguasi Eropa. Sebagai akibatnya,

memberi ruang untuk saling mendominasi. Akhirmya, muncul sebuah rivalitas antara

Eropa dan Amerika Serikat di NATO. Negara-negara Eropa berupaya untuk

memposisikan Amerika Serikat dibawah kendali NATO. Dengan kata lain, Eropa

ingin me-NATO-kan Amerika Serikat agar berada di bawah kendali negara-negara

Eropa.71 Namun, Bagi Amerika Serikat, mempertahankan kepemimpinan melalui

NATO merupakan satu-satunya jalan untuk tetap mempertahankan pengaruhnya di

Eropa secara permanen. Di sisi lain, konsep baru NATO, jika berhasil dibuat, akan

memberikan ruang manuver bagi Amerika Serikat di arena internasional yang bersifat

militeristik. Sementara di sisi lain, menggerogoti kekuatan fungsional dari Dewan

Keamanan PBB.

71 Diez T., dan Wiener A., Loc. cit.

60
Hal di atas merupakan sebuah konflik struktural antara Amerika Serikat dengan

negara-negara Eropa, dalam hal ini Perancis. Konflik struktural ini telah lama

berlangsung sejak NATO didirikan, namun masih dapat diantisipasi oleh NATO. Pada

dasarnya, tantangan utama ke konsep dari Perjanjian Atlantik Utara diwujudkan

dalam perjanjian itu. Dan bagaimanapun juga, konflik struktural antara Perancis dan

Amerika Serikat yang terlibat dalam perjuangan untuk kepemimpinan NATO menjadi

dasar dari perseteruan Perancis dan Amerika Serikat. Persiteruan ini namapak dalam

hal kepemimpinan Perancis dan Amerika Serikat dalam setiap operasi NATO. Pada

awal pendiriannya, Prancis menentang pemindahan markas besar NATO dari Paris ke

Brussel. Sejak itu, Perancis juga menolak untuk berpartisi dalam latihan militer

NATO, tetapi hal itu tetap menegaskan komitmennya terus prinsip-prinsip aliansi.72

Perkembangan konflik struktural di NATO terus berjalan seiring dengan

berbagai perubahan dalam tubuh NATO dalam merespon keamanan internasional,

baik regional maupun global. Dengan demikian, seiring dengan perubahan waktu,

maka berbagai macam ancaman muncul. Realitas abad ke-21 ancaman keamanan

lebih didasarkan pada ekonomi dan organisasi militer. Adapun, NATO telah

melakukan beberapa revisi strategi dalam menghadapi berbagai ancaman yang

muncul. Selain itu, dibawah kepemimpinana Amerika Serikat, dan dengan semakin

bertambahnya keanggotaan NATO, akan semakin sulit bagi Amerika Serikat dalam

merespon distribusi kekuasaan di NATO, sehingga mempengaruhi posisi Amerika

Serikat dalam mempertahankan dominasinya di NATO.

72 Ziring, Plano, dan Olton, Loc. cit.

61
BAB IV

RIVALITAS PERANCIS-AMERIKA SERIKAT DI NATO


PASCA PERANG DINGIN

A. Kepentingan Perancis dan Amerika Serikat di NATO


1. Revitalisasi Kepentingan Perancis di NATO

Kepentingan Perancis di NATO tidak terlepas dari keikutsertaannya dalam

berbagai operasi perdamaian yang dijalankan oleh NATO sejak tahun 1949. Sebagai

salah satu negara pendiri NATO, Perancis telah banyak berkontribusi dalam hal

pengiriman pasukan NATO. Di antara anggota NATO, Perancis merupakan negara

yang paling intens dalam pengiriman pasukan luar negeri setelah Amerika Serikat. 73

Perancis juga menjadi negara penting dalam berbagai reformasi kelembagaan NATO.

Seiring dengan perubahan waktu, revitalisasi kepentingan Perancis di NATO menjadi

agenda baru dalam politik luar negeri Perancis, khususnya di bidang pertahanan.

Sebagai salah satu anggota NATO, Perancis telah bekerja secara aktif dengan

sekutu untuk beradaptasi di NATO, baik internal maupun eksternal dalam lingkungan

pasca Perang Dingin. Dukungan Perancis dalam upaya modernisasi struktur

kelembagaan NATO dan memimpin kontributor NATO Response Force (NRF)

merupakan bagian dari implementasi kepentingan Perancis di NATO. Di luar NATO,

Perancis tertarik untuk membangun kemampuan pertahanan Eropa, termasuk

pengembangan kelompok tentara regu-cepat Uni Eropa dan menjadi tulang punggung

bagi produksi militer Eropa.

73 Portelli, Op. cit., hal. 210.

62
Pada tahun 2009, Presiden Nicholas Sarkozy mendukung penuh pengembangan

pertahanan Eropa untuk melengkapi dan memperkuat NATO, yang tujuan intinya

tetap pada stabilisasi keamanan trans-atlantik. Di luar misi trans-atlantik, Presiden

Nicholas Sarkozy telah menggarisbawahi komitmen Perancis untuk menyelesaikan

misi NATO di Afghanistan, di mana sekitar 4.000 tentara Perancis dikirim ke

Afganistan pada bulan Januari 2011. Sebelumnya, pada Juni 2008 Paris sukses

menjadi tuan rumah Konferensi Afghanistan. Dan, dukungan sukses bagi ketuan-

rumahan Perancis menunjukkan bahwa Perancis memiliki kemampuan untuk

memimpin misi NATO di luar trans-atlantik, dimana dalam konferensi tersebut donor

internasional telah menjanjikan bantuan total sebesar $ 21 miliar untuk membantu

mengembangkan infrastruktur Afghanistan, memerangi narkoba, kekerasan, dan

kemiskinan.74

Bagi Perancis, NATO merupakan simbol mata rantai strategi antara Eropa,

Amerika Serikat, dan Kanada.75 Dalam posisinya sebagai anggota NATO, Perancis

memainkan peran global yang berpengaruh sebagai anggota tetap Dewan Keamanan

PBB, G-8, G-20, Uni Eropa, Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa

(OSCE), WTO, la Francophonie, dan lembaga multilateral lainnya. Sebagai anggota

tetap Dewan Keamanan PBB, Perancis adalah anggota sebagian besar agen-agen

khusus PBB. Selain itu, Perancis telah menjadi pendukung kuat dari perluasan

anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk kebutuhan untuk satu atau lebih kursi

74 Background Note: France http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3842.htm, diakses pada Jumat,


tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB.

75 Portelli, Op. cit., hal. 198.

63
permanen bagi Afrika. Dalam hubungannya sebagai anggota G20, Perancis

mengambil alih kepemimpinan G-20 pada tanggal 1 November 2010, dan G-8 pada

tanggal 1 Januari 2011. Prioritas Perancis selama kepresidenan G-20 ialah dalam hal

reformasi struktural, seperti reformasi pensiun, investasi di bidang infrastruktur dan

pendidikan, dan perbaikan regulasi sektor keuangan, termasuk reformasi global.

Adapaun, Perancis hubungannya dengan Amerika Serikat merupakan sekutu tertua

dalam aliansi pertahanan Atlantik Utara. Selain itu, intervensi militer Perancis

berperan dalam usaha membantu mendirikan kemerdekaan bagi koloni Amerika

Serikat dan Inggris. Banyak pertempuran dimana Amerika Serikat terlibat selama

Perang Dunia I dan Perang Dunia II berlangsung di Perancis, dimana banyak tentara

Amerika Serikat telah gugur di tanah Perancis dibanding negara asing lainnya.76

Adapun, sebagai anggota Uni Eropa, Perancis adalah pemimpin di Eropa Barat

karena ukurannya, lokasi, ekonomi yang kuat, keanggotaan dalam organisasi Eropa,

postur militer yang kuat, dan diplomasi yang energik.77 Perancis umumnya telah

bekerja untuk memperkuat pengaruh ekonomi dan politik global Uni Eropa dan

perannya dalam pertahanan Eropa. Ini dilihat dalam kerjasama Franco-Jerman dan

pengembangan Kebijakan Umum Pertahanan dan Keamanan (CSDP) dengan anggota

Uni Eropa lainnya sebagai dasar upaya untuk meningkatkan keamanan Eropa.

Keterlibatan Perancis di berbagai organisasi internasional di atas, memberikan

pengaruh lebih besar bagi Perancis untuk lebih leluasa dalam menentukan masa

depan pertahanan Eropa. Namun, di sisi lain dengan semakin banyaknya keterlibatan

76 Background Note: France, Op. cit., pukul 09.44 WIB.

77 Loc. cit.

64
Perancis di organisasi internasional, maka Perancis dituntut untuk lebih kerja keras

dalam mencapai kepentingan nasional negaranya, terutama kepentingan nasional

Perancis di NATO. Secara garis besar, kepentingan Perancis di NATO ialah:

to take following steps, in keeping with the choices it made in 1996 to move
toward a professional army and to define a new model for the armed forces that
gives due consideration to the requirement for Frances participation in
European and Atlantic Alliances.78

Berangkat dari tujuan ini, maka Perancis dalam hubungannya dengan NATO

menjalankan misi. Pertama, mempertahankan kebebasan Perancis untuk menentukan

pilihan dan tindakan untuk memastikan bahwa Perancis tetap bebas untuk memilih

apakah dalam setiap operasi akan terlibat dengan mitra dan atau dengan sekutu, serta

mempertahankan kemampuannya untuk bertindak sendiri jika perlu; Kedua,

mempertahankan pengaruhnya di aliansi dan koalisi negara Perancis, dimana Perancis

bertindak sebagai framework nation untuk melaksanakan misi Eropa (hal ini dapat

membantu negara-negara koalisi Perancis dalam melaksanakan framework nation

sekaligus sebagai penuntun bagi negara Eropa lainnya untuk bersama menggunakan

its own national headquarter staff, dan mempertahankan kemampuan militer yang

memadai; Ketiga, mempertahankan kemutahiran teknologi memastikan kredibilitas

dalam mengontrol pencegahan nuklir, mengembangkan sumber daya yang tepat untuk

perlindungan terhadap ancaman baru dan mempertahankan dasar produksi bagi

industri pertahanan Eropa. Strategis ini berdasarkan pada jalur penangkalan

78 Portelli, Op. cit., hal 193.

65
(deterrence), pencegahan (preventioan), proyeksi (projection), tindakan (action), dan

perlindungan (protection).79

Memahami kepentingan Perancis dalam aliansi tentu saja memiliki ruang

lingkup yang berbeda dengan memahami kepentingan Perancis secara global.

Kepentingan Perancis di NATO adalah terkhusus pada pertahanan kemanan dan

kepemimpinan Perancis di NATO, sedangkan dalam ruang lingkup global yang lebih

luas kepentingan Perancis tidak hanya fokus pada pertahanan, tetapi juga menyangkut

seluruh nilai-nilai vital kepentingan Perancis. Termasuk meningkatkan pertahanan

Eropa secara menyeluruh. Untuk itu, reformasi struktur dan postur kekuatan militer

Perancis menjadi salah satu domain terpenting di NATO dan Eropa.

Kepentingan Perancis dalam bidang militer adalah untuk menjamin postur

militer Perancis yang lebih baik. Doktrin militer Perancis didasarkan pada konsep

kemerdekaan nasional, pencegahan nuklir, dan postur militer yang mapan. Untuk itu,

revitalisasi struktur militer Perancis menjadi fokus utama dalam meningkatkan

kapabilitas militer Perancis. Hal ini sesuai dengan Buku Putih yang dirilis oleh

Perancis pada Juni 2008 yang menitikberatkan pada masalah pertahanan luar negeri,

pertahan domestik, dan masalah keamanan.80 Buku Putih itu dimaksudkan untuk

memberikan gambaran strategi keamanan yang lebih komprehensif untuk jangka

waktu 25 tahun ke depan, mencerminkan lingkungan keamanan yang baru pada abad

ke-21, dan untuk menguraikan proposal restrukturisasi untuk membuat militer

79 Loc. cit.

80 French White Paper on Defence and National Security, June 2008, http://www.ambafrance-
ca.org/IMG/pdf/, Livre_blanc_Press_kit_english_version.pdf, diakses pada tanggal 20 Januari 2012
Pukul 10.00 WIB.

66
Perancis lebih fleksibel, berteknologi maju, dan lebih mampu berkoordinasi dengan

sekutu seperti Amerika Serikat dan organisasi-organisasi multilateral seperti Uni

Eropa, NATO, dan PBB.

Konsisten dengan Buku Putih, Perancis telah melakukan restrukturisasi besar

untuk mengembangkan profesionalisme militer yang lebih ramping, lebih cepat,

tangguh, dan lebih berbobot yang telah disesuaikan untuk operasi di luar daratan

Perancis. Elemen kunci dalam restrukturisasi militer termasuk mengurangi personel,

pangkalan, markas dan rasionalisasi industri peralatan persenjataan Perancis. Jumlah

militer Perancis yang masih aktif dalam tugas sekitar 350.000 (termasuk gendarm).

Selain itu, Perancis juga berhasil menyelesaikan perpindahan tugas semua angkatan

bersenjata profesional saat wajib militer berakhir pada tanggal 31 Desember 2002.

Adapun, kepentingan Perancis di NATO dalam bidang pertahanan telah lama

dipersiapkan oleh para pendahulunya. Rencana Perancis untuk membangun

pertahanan Eropa telah dirancang sejak tahun 1966 ketika Presiden Charles De Gaulle

secara tegas menarik keluar keanggotaan Perancis dari srtuktur integrasi militer

NATO. Sejak itu, Perancis mulai fokus membangun dasar bagi pertahanan Eropa di

luar NATO bersama Jerman. Keluarnya Perancis dari Struktur militer NATO, tidak

berarti Perancis meningalkan kepentingannya di NATO, melainkan untuk bisa lebih

leluasa dalam mencapai tujuan tersebut di atas. Dan, pada masa yang sama, Perancis

memulai dan ikut berpartisipasi penuh dalam struktur politik kelembagaan NATO.81

Seiring dengan semakin kompleksnya ancaman keamanan, tugas-tugas NATO

tidak hanya terfokus pada wilayah Atlantik Utara, melainkan telah meluas dalam

81 Portelli, Op. cit., hal 198.

67
level global. Sehingga negara-negara anggota NATO dituntut untuk memaksimalkan

perannya di NATO. Ketika Perancis berada di luar struktur integrasi militer NATO,

maka pasukan Perancis yang tergabung dalam aliansi tetap ikut dalam operasi NATO,

meskipun Perancis tidak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan di NATO. Pada

awalnya, perihal ini tidak menjadi pertimbangan utama bagi Perancis. Namun, dalam

perkembangannya, Perancis mengubah arah untuk mulai ikut dalam pengambilan

keputusan pada setiap rencana operasi NATO. Hal ini didasarkan pada pertimbangan

Perancis untuk menaikkan postur kekuatan militer dan pertahanan di NATO. Selain

itu, dominasi Amerika serikat di NATO, hari ini dilihat berbeda oleh Perancis. Jika

sebelumnya, dominasi Amerika Serikat dilihat sebagai bentuk psicology of

dependent bagi Perancis di NATO, maka hari ini tampak berbeda bagi Perancis.

Perancis melihat ketidak-terlibatan Perancis dalam setiap pengambilan keputusan di

struktur integrasi militer NATO, secara otomatis mengurangi pengaruh Perancis

dalam posisinya sebagai anggota NATO di Eropa. Dengan demikian mengurangi pula

pengaruhnya di Eropa, More France in NATO means more Europe in the Atlantic

Alliance82, dan sebaliknya pula. Oleh karena itu, Perancis harus ikut terlibat kembali

dalam setiap pengambilan keputusan di struktur integrasi militer NATO. Hal ini tidak

lain untuk mengurangi dominasi Amerika Serikat di NATO dan Eropa terutama dalam

menentukan kemandirian Eropa di bidang pertahanan.

Sebelumnya, Perancis tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Hari

ini tidak demikian bagi Perancis. Keputusan Perancis untuk kembali masuk dalam

82 Pierre Lellouche, Winter, 2010, European Defense, a challenge for the New Europe,, dalam
MONDES; Les Cahiers du Quai DOrsay, No. 2, hal 125.

68
struktur integrasi militer NATO merupakan langkah penting yang akan memberikan

pengaruh lebih besar bagi Perancis di NATO. Reintegrasi Perancis ke dalam struktur

militer NATO sebenarnya telah disambut baik oleh Presiden Barack Obama, yang

mengatakan prinsip-prinsip keamanan Eropa ialah keamanan Amerika dan

sebaliknya, namun komitment ini tentu saja bergantung dari keputusan Perancis.83

Tujuan utama Perancis masuk kembali ke dalam srtuktur integrai militer NATO ialah

untuk mengimbangi dominasi Amerika Serikat di NATO dan Eropa. Dengan

demikian, sistem pembagian tugas dan distribusi tanggung jawab keanggotaan NATO

menjadi agenda utama bagi keanggotaan NATO, khususnya Perancis dan Amerika

Serikat dalam hal kepemimpinan mereka di NATO.

Untuk menyempurnakan pelaksanaan dan pencapaian kepentingan Perancis di

NATO, maka pada Desember 1995, Perancis mulai merubah arah kepentingannya di

NATO dengan terus meningkatkan partisipasi dalam sayap militer NATO, termasuk

Komite Militer. Dan pada akhirnya, pada April 2009, Presiden Nicholas Sarkozy

menyelesaikan proses ini dengan mengumumkan bahwa Perancis akan sekali lagi

bergabung kembali dengan komando militer NATO yang terintegrasi di Brussels. Hal

ini diikuti dengan perintah transisi 900 perwira Perancis dan lebih dari 1.200 personil

untuk NATO di Brussels yang dimulai segera setelah Perancis resmi terintegrasi

dalam srtuktur militer NATO, dan rencana tersebut ditargetkan selesai pada tahun

2015 mendatang. Selanjutnya, untuk yang pertama kalinya, pada tahun 2011,

Presiden Sarkozy memimpin panggilan untuk intervensi militer di Libya. Dalam

kasus ini, Perancis mengambil peran utama dalam upaya stabilisasi keamanan

83 Background Note: France, Op. cit., pukul 09.44 WIB.

69
internasional di Libya. Dan, sekaligus menjadi titik tolak bagi posisi Perancis sebagai

pemain penting di NATO.

Kepemimpinan Perancis dalam misi perdamaian di Libya sekaligus menandai

era baru keanggotaan Perancis dalam meyelesaikan misi NATO di luar wilayah

Atlantik Utara. Sebelumnya, Perancis berada di luar struktur integrasi militer NATO

hingga tahun 2009. Kondisi ini tentu saja memiliki efek signifikan bagi peningkatan

struktur dan kualitas militer Perancis, dengan demikin telah mendorong peningkatan

postur pertahanan Perancis dan Eropa secara menyeluruh. Langkah selanjutnya yang

harus ditempuh adalah mencari strategi baru untuk mencapai kepentingan Perancis di

NATO. Hal ini telah menambah pengaruh besar kepemimpinan Perancis di NATO.

Hal ini untuk lebih memudahkan Perancis dalam mengimbangi dominasi Amerika

Serikat di NATO bersama dengan anggota NATO lainnya yang berasal dari Eropa.

2. Revitalisasi Kepentingan Amerika Serikat di NATO

Amerika Serikat berperan dalam upaya NATO menghadapi tantangan luar biasa

abad 21. Tersedianya kesempatan besar di NATO, Amerika Serikat bersama anggota

lainnya berencana membangun sebuah visi bersama untuk masa depan aliansi yang

lebih sukses. Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di Paris, Hillary R.

Clinton menyampaikan prinsip-prinsip yang memandu keterlibatan Amerika Serikat

di Eropa secara keseluruhan. Ia juga berbicara secara khusus tentang NATO,

menyampaikan garis besar konsep strategis baru NATO, menjelaskan beberapa

70
pertanyaan kunci bagi dokumen strategi NATO, serta mengeksplorasi visi Amerika

Serikat untuk revitalisasi aliansi pada abad 21.84

Revisi Konsep Strategis NATO merupakan domain utama Amerika Serikat

dalam menilai perkembangan aliansi sekaligus merevitalisasi kepentigan Amerika

Serikat di NATO. Bagi Amerika Serikat, aliansi telah bertahan karena keahlian para

diplomat anggota NATO, kekuatan tentara NATO, dan paling penting ialah kekuatan

prinsip-prinsip pendiriannya. Pada saat kelahiran NATO, Eropa masih belum pulih

dari konflik. Di bawah ancaman perdamaian pasca perang, para pemimpin Eropa

masih belum bisa memastikan masa depan Eropa. Namun, atas kondisi tersebut,

aliansi dibangun untuk mengawali tujuan jangka panjang Eropa agar mampu

beradaptasi dengan segala bentuk tantangan baru di masa mendatang. Aliansi

dibentuk dengan tujuan utamanya: pertama, untuk membela kepentingan bangsa-

bangsa aliansi Euro-Atlantik. Kedua, NATO sengaja dirancang untuk memperkuat

hubungan negara-negara trans-atlantik. Dan ketiga, NATO diharapkan mampu

membantu memfasilitasi integrasi lebih lanjut di antara bangsa-bangsa Eropa.85

Transformasi pencapaian politik luar negeri Amerika Serikat menandai bentuk

baru kepentingan Amerika Serikat di NATO. Berbagai bentuk reformasi kelembagaan

NATO, termasuk pertemuan tingkat tinggi dalam merevisi konsep dan strategi baru

NATO dalam mengawal ancaman baru abad 21. Berbagai kemajuan tentu saja telah

84 Remarks at the NATO Strategic Concept Seminar, Remarks Hillary Rodham Clinton, Secretary
of State Ritz-Carlton Hotel Washington, DC February 22, 2010
http://www.state.gov/secretary/rm/2010/02/137118.htm, diakses pada Jumat 20 Januari 2012 pukul
10.00 WIB.

85 Ibid, pukul 10.05 WIB.

71
dicapai oleh NATO. Dan, di dalamnya tidak lepas dari campur tangan Amerika

Serikat. Meskipun demikian, hari ini Amerika Serikat menghadapi tantangan yang

paralel dengan masalah-masalah yang dihadapi Aliansi. Terutama, tantangan Amerika

Serikat dalam menghadapi pola strategis baru NATO. Dengan demikian, teknologi

baru, musuh baru, dan ideologi-ideologi baru juga ikut mengancam keamanan aliansi.

Namun, dasar asli dari misi NATO membela bangsa anggotanya, memperkuat

hubungan trans-atlantik, dan mendorong integrasi Eropa, diharapkan masih terus

berproses. Dengan demikian, NATO bergerak maju sesuai proses penyusunan konsep

strategis baru. Negara anggota harus ingat bahwa tujuan dasar yang mendefinisikan

aliansi, masih mengikat negara anggotanya hari ini.86

Namun, jika kita melihat pemahan tentang konsep aliansi, maka hal di atas akan

nampak berbeda. Adapun, Brin Walt berpendapat, tujuan aliansi pada dasarnya

memiliki tujuan yang sama, namun setelah tujuan itu tercapai, tidak menutup

kemungkin terjadi pemecahan di dalamnya. Dan, hal ini bisa saja terjadi dalam tubuh

NATO, seperti pada periode Perang Irak 2003. Tidak ada satupun negara NATO yang

dapat menyangkal bahwa Perang Irak membawa perpecahan pada dua negara anggota

NATO Perancis dan Amerika Serikat.87 Perpecahan ini, terkait cara pandangan

Eropa melalui Perancis dan Amerika Serikat dalam menyelesaikan konflik Irak yang

berkepanjangan. Lebih lanjut, Brin Walt berpendapat:

bahwa semakin tinggi tingkat pelembagaan, maka akan semakin sulit untuk
memecah aliansi. Dalam aliansi yang sangat birokrasi ada sekelompok aktor
yang secara struktural mempertahankan sebuah aliansi, dan NATO adalah

86 Loc. cit.

87 Portelli, Op. cit., hal 210.

72
contoh yang baik. Sebagai dukungan utama, berasal dari mantan pejabat NATO,
intelektual pertahanan, perwira militer, wartawan dan analis kebijakan yang
kesemuanya telah membahas masalah yang dihadapi oleh kerjasama Euro-
Atlantik dan konflik. Selain itu, aliansi dalam sebuah organisasi yang sangat
dilembagakan mungkin memang memberikan kemampuan yang diperlukan,
yang akan berguna di masa depan. Terutama, dalam hal pembiayaan. NATO
dapat membangun fondasi kerjasamanya yang telah dimulai sejak Perang
Dingin, dan dorongan hubungan ini, dilanjutkan dalam sistem internasional
kontemporer. 88

Di sisi lain, Karl Deutsch89 berpendapat bahwa Ketika dua negara memiliki

nilai-nilai politik, sosial dan tujuan umum yang sama, maka aliansi mungkin lebih

mudah untuk bertahan, bahkan setelah alasan aslinya telah musnah. Dari pendapat di

atas, dapat diketahui bahwa sebuah aliansi akan tetap bertahan dan tetap kuat apabila

memiliki sebuah nilai politik dan tujuan yang sama dalam aliansi. Pembebasan rasa

egositis dan keinginan untuk mendominasi satu sama lain merupakan kunci mutlak

sebuah aliansi tetap bertahan. Namun, bertolak dari pendapat di atas, keberadaan

Perancis dan Amerika Serikat di NATO tampak berbeda. Pergeseran kepentingan

kedua negara mengakibatkan munculnya cara pandang baru kedua negara dalam

menilai NATO. Oleh karena itu, konflik kepentingan menjadi tidak terelakkan.

Sebagai contoh konfliknya ialah mengenai kebijakan pencegahan nuklir NATO.

Dalam hal ini, Perancis dan Amerika Serikat memiliki cara pandang yang berbeda

dalam melihat masalah ini. Bagi Amerika Serikat, pencegahan nuklir harus terus

berlanjut, dan Amerika Serikat telah menanggapi ancaman dengan tidak hanya

mempertahankan penangkal nuklir, tetapi juga mengembangkan sistem pertahanan

88 Mariani, Loc. cit.

89 Teuku May Rudy, 1993, Teori, Etika, dan Kebijakan Hubungan Internasional, Bandung: PT.
Angkasa, hal 37.

73
rudal yang dirancang untuk melindungi wilayah Amerika, penduduk Amerika, dan

pasukan Amerika di NATO.90 Amerika Serikat percaya bahwa, NATO perlu

mengembangkan rudal sendiri sebagai bentuk arsitektur pertahanan trans-atlantik,

sehingga dapat membela bangsa-bangsa Eropa. Di sisi lain, pendekatan baru

Pemerintah Obama tentang pertahanan rudal NATO yang adaptif, Amerika Serikat

telah berkontribusi dalam membentuk arsitektur baru NATO. Fokus NATO, tidak

hanya pada penangkalan ancaman baru. NATO juga perlu membuat Rusia menjadi

mitra untuk mencegah proliferasi nuklir dan pertahanan rudal. Untuk itu, Amerika

Serikat mengundang Rusia bergabung dengan NATO dalam mengembangkan sistem

pertahanan rudal yang mampu melindungi seluruh warga Eropa dan Rusia juga.

Pada periode Perang Dingin, kepentingan Amerika Serikat terlihat ambivalen

terhadap NATO. Amerika Serikat melihat, NATO tidak seharusnya terlibat dalam

kerjasama keamanan dengan negara-negara Uni Eropa. Namun, hari ini Amerika

Serikat tidak melihat Uni Eropa sebagai pesaing NATO, tetapi melihat Uni Eropa

sebagai mitra penting NATO. Amerika Serikat berharap, perjanjian Lisbon akan

membantu memajukan hubungan negara-negara anggota NATO. Amerika Serikat

berharap bisa bekerjasama dengan Uni Eropa dalam bidang pertahanan dan bisa

saling mendukung, juga dengan PBB dalam mengatasi tantangan keamanan. Untuk

itu, NATO harus mengidentifikasi ulang efektifitas senjata konvensional, nuklir, dan

kemampuan pertahanan rudal. NATO juga perlu strategi baru untuk merespon secara

efektif terhadap tantangan keamanan abad 21. Memperkuat pencegahannya sebagai

bagian komitmen Amerika Serikat untuk menjalin keamanan bersama. Mengingat

90 Remarks at the NATO Strategic Concept Seminar, Op. cit., pukul 10.27 WIB.

74
pelaksanaan KTT NATO pada bulan Mei 2012 mendatang, dimana Presiden Obama

akan menjadi tuan rumah konferensi di Chicago.91

Tujuan strategis yang mendorong pendekatan Amerika Serikat ke Eropa ialah

bahwa Amerika Serikat ingin menawarkan penilaian catatan selama dua tahun

terakhir atas tujuan tersebut. Dan, menyodorkan solusi bagi kelangsungan aliansi di

masa medatang. Dengan demikian, adalah suatu keharusan bagi Amerika Serikat

untuk tetap fokus pada prioritas pemerintah di Eropa. Untuk itu, ada tiga tujuan

mendasar yang menonjol dalam keterlibatan Amerika Serikat di Eropa. Pertama,

Amerika Serikat bekerja dengan Eropa sebagai mitra dalam memenuhi tantangan

global. Pada setiap isu kepentingan global, kontribusi Eropa sangat penting untuk

memecahkan tantangan keamanan internasional. Dari perang di Afghanistan,

tantangan nuklir Iran, dan situasi di Libya Eropa sangat diperlukan. Amerika Serikat

sangat kuat dalam hal legitimasi, sumber daya, dan ide, dan akan lebih baik lagi

ketika Eropa bergabung dalam agenda global. Kedua, Amerika Serikat masih bekerja

dengan Eropa di Eropa, bekerja untuk menyelesaikan proyek bersejarah, membantu

untuk memperpanjang stabilitas, keamanan, kemakmuran dan demokrasi ke seluruh

benua. Suatu keberhasilan yang luar biasa, bahwa Amerika Serikat dan Eropa bisa

bersama-sama mempromosikan integrasi Eropa, dalam mengkonsolidasikan dan

mendukung demokrasi baru di Eropa Tengah dan Timur dan mengintegrasikannya ke

lembaga Euro-Atlantik. Upaya perdamaian di Balkan, Eropa timur, dan Kaukasus.

Ketiga, Amerika Serikat telah berusaha mengatur hubungan dengan Rusia pada

91 The State Department's Role in NATO Deterrence and Defense Posture Review (DDPR) and
Future Arms Control, http://www.state.gov/t/us/176669.htm, diakses pada Jumat 20 Januari 2012
pukul 10.30 WIB.

75
perihal yang lebih konstruktif. Presiden Obama mengakui telah mewarisi situasi yang

sulit, dimana secara eksplisit kepentingan Amerika Serikat di NATO sedikti tidak

dapat diketahui secara pasti. Salah satu kepentingan Amerika Serikat di NATO ialah

menciptakan kerjasama dengan Rusia, Amerika Serikat juga memiliki kepentingan di

luar NATO, tetapi tidak mengorbankan prinsip aliansi atau negara mitra.92

Melihat perkembangan NATO dua tahun terakhir, NATO telah menunjukkan

kemajuan yang signifikan melalui peran negara masing-masing. Dalam tataran

kerjasama dengan Eropa secara global, Amerika Serikat telah bekerja sama dengan

Eropa yang sebelumnya tidak pernah dilakukan dengan mitra Eropa di Afghanistan,

Iran pada pertahanan rudal, dan di Afrika Utara dan Timur Tengah. Secara khusus,

kemajuan tersebut dapat dijelakskan.

Pertama, Di Afghanistan, menyusul pidato West Point Presiden pada bulan

November 2009, Eropa menyumbang sekitar 7.000 tentara tambahan, lebih dari 100

tim pelatihan bagi tentara Afghanistan dan polisi, dan hampir $300 juta untuk dana

Tentara Nasional Afghanistan dikerahkan. Negara-negara Eropa sekarang memiliki

hampir 40.000 tentara di Afghanistan dan total kontribusi Eropa di Afghanistan sejak

tahun 2001 mencapai ke $ 14 miliar.

Kedua, di Iran, NATO mempertahankan persatuan dalam upaya untuk terlibat

dan pada saat yang sama mengadopsi sanksi berdasarkan keputusan Dewan

Keamanan PBB. Selanjutnya, menetapkan tindakan sanksi yang telah diadopsi oleh

92 Overview of U.S. Relations with Europe and Eurasia Testimony, Philip H. Gordon, Assistant
Secretary, Bureau of European and Eurasian Affairs, House Foreign Affairs Subcommittee on Europe
and Eurasia, Washington, DC, March 10, 2011, http://www.state.gov/p/eur/rls/rm/2011/158214.htm,
diakses pada Jumat 20 Januari 2012 pukul 11.45 WIB.

76
Uni Eropa. Langkah-langkah tambahan yang diambil oleh Uni Eropa mencakup

berbagai bidang penting untuk rezim termasuk perdagangan, perbankan keuangan,

dan asuransi, transportasi, dan sektor gas dan minyak, selain larangan visa baru dan

pembekuan aset. Langkah-langkah ini telah menaikkan harga kegagalan Iran untuk

memenuhi kewajibannya dan NATO berharap bisa membawa negara tersebut kembali

ke dalam meja perundingan.

Ketiga, pada Pertahanan Rudal, sekutu NATO sepakat sesuai dengan KTT

Lisbon pada November 2010, bahwa pertahanan Eropa tidak bisa lagi dicapai hanya

dengan tank atau bom. Sekarang, NATO perlu pertahanan baru untuk menangkal

ancaman baru, khusuya menangkal rudal balistik dari rezim berbahaya. Tujuan

Amerika Serikat dalam aliansi adalah untuk mengembangkan kemampuan pertahanan

rudal yang akan memberikan cakupan penuh dan perlindungan dari ancaman rudal

balistik untuk seluruh wilayah NATO dan Eropa, sesuai dengan jumlah populasi dan

kekuatan. Kemampuan ini akan menjadi ekspresi nyata dari misi utama pertahanan

kolektif NATO. Pada akhirnya, sekutu juga menyambut rudal AS di sistem

pertahanan Eropa, yang dikenal sebagai Pendekatan Adaptif Eropa yang bertahap,

sebagai kontribusi nasional bagi upaya pertahanan menyeluruh. Amerika Serikat

berharap, NATO bisa mendapatkan tambahan kontribusi sukarela dari sekutu lainnya.

Amerika Serikat tengah mencari cara lebih lanjut untuk bekerja sama dengan Rusia

pada pertahanan rudal, dengan cara apapun tanpa merugikan kemampuan NATO

untuk lebih mandiri dalam meningkatkan dan mempertahankan wilayahnya dari

ancaman rudal.

77
Keempat, di Afrika Utara dan Timur Tengah, Amerika Serikat berkonsultasi dan

bekerja sama erat dengan NATO, Uni Eropa dan negara-negara anggota, dan sekutu

Eropa lainnya sebagai situasi yang berkembang. Bekerja bersama dalam forum-forum

multilateral, Amerika Serikat telah bergabung dengan negara lain untuk

memberlakukan embargo senjata PBB di Libya dan untuk menangguhkan Libya dari

Dewan Hak Asasi Manusia. Amerika Serikat juga telah mengkoordinasikan sanksi

tambahan Libya melalui Uni Eropa dan negara anggotanya, dengan pengakuan bahwa

Eropa memiliki hubungan dan aset di Afrika Utara, dan bahwa persatuan akan lebih

efektif untuk meningkatkan tekanan pada rezim Qadhafi. Dalam jangka panjang,

Amerika Serikat akan bekerja sama dengan Eropa, Mesir, Tunisia, dan Libya untuk

mendorong transisi demokrasi dan meningkatkan pola pembangunan ekonomi untuk

membangun kawasan-kawasan strategis dunia.93 Termasuk dalam hal ini adalah

perbaikan dan pemulihan bagi Libya.

Berbagai bentuk keterlibatan dan peran Amerika Serikat seperti yang telah

dijelaskan di atas, secara langsung dapat mendorong keanggotaan Amerika Serikat

tetap berada dalam posisinya sebagai negara yang paling dominan di NATO. Namun,

hal ini tentu saja akan menjadi pertimbangan khusus bagi kebijakan internal Amerika

Serikat dan negara anggota NATO lainnya dalam menentukan kebijakan pertahanan

NATO di masa mendatang, khususnya bagi keanggotaan Perancis di NATO. Bagi

Perancis, posisi Amerika Serikat perlu diimbangi di NATO, dengan tujuan agar

NATO tetap bisa bergerak sesuai kepentingan negara-negara anggota NATO dan

93 Ibid, pukul 11.45 WIB.

78
sesuai dengan kepentingan negara-negara Eropa yang tergabung dalam aliansi.

Adapun, kebijakan NATO yang menjadi prioritas utama adalah terkait pelaksanaan

berbagai operasi NATO yang di dalamnya melibatkan berbagai perangkat militer,

dana, dan personil pasukan perdamaian dari seluruh anggota NATO. Sebagai jalan

akhir, maka dalam setiap operasi NATO, keterlibatan tentara Perancis bersama

negara-negara anggota NATO lainnya menjadi semakin diperhitungkan pada era

pasca Perang Dingin.

B. Bentuk Rivalitas Perancis-Amerika Serikat Dalam Mencapai Kepentingan


Di NATO
Perimbangan kekuasaan untuk memperoleh dominasi di NATO menjadi isu

krusial bagi keanggotaan Perancis dan Amerika Serikat di NATO pasca Perang

Dingin. Kembalinya Perancis secara penuh dalam struktur integrasi militer NATO

merupakan sebuah langkah taktis bagi Perancis dalam usaha mengimbangi dominasi

Amerika Serikat di NATO dan juga di Eropa. Kembalinya Perancis ke dalam srtuktur

integrasi militer NATO sekaligus memberi legitimasi penuh kepada Perancis untuk

memimpin Eropa dalam memperkuat sistem pertahanan dan keamanan Eropa secara

menyeluruh.

Kepentingan Perancis kembali ke dalam srtuktur integrasi militer NATO secara

tegas termuat dalam Buku Putih Konsep Pertahanan Perancis, dimana hal ini menjadi

salah satu kepentingan vital Perancis dalam membangun masa depan Pertahanan

Eropa yang lebih mandiri dan independen. Dasar dari konsep Pertahanan Perancis

seperti yang termuat dalam Undang-Undang Perancis 7 Januari 1959, meletakkan tiga

dasar bagi tujuan Pertahanan Perancis, yaitu:

79
To defend Frances vital interests, which are defined by the President of the
Republic and include its peoples, its territory, and the fredom to exercise its
sovereignty; To work for European integration and stability in Europe; and to
implement a comprehenshive defence concept, which is not limited to military
concern.94

Point kedua konsep pertahanan Perancis to work for European integration and

stability in Europe, selanjutnya menjadi dasar bagi kepentingan Perancis di NATO.

Bagi Perancis, salah satu cara untuk memperkuat pencapaian kepentingan nasional

Perancis di NATO adalah dengan memperkuat posisinya di Eropa. Untuk itu, Perancis

berusaha to keep its place in the world, it will need to influence European

integration and the coming change in Europe. It is European choice stems from

strategic and economic considerations.95 Selanjutnya, meskipun Perancis masih

bebas menentukan persyaratan keamanan dan untuk memilih sumber daya, Perancis

mengakui bahwa Aliansi Atlantik (NATO) adalah link penting antara Eropa dan

Amerika, bahkan untuk menjaga misi perdamaian dilakukan atas nama PBB atau

Organisasi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE). Tantangan terbesar Perancis

di NATO adalah untuk memperbaharui keseimbangan kekuasan di NATO antara

Perancis dan Amerika Serikat, to strike a better balance of responsibilities between

the United Stated and Europe and to put these capabilitie to work for peacekeeping

missions and crisis management.96 Oleh karena itu, untuk menjaga dan

memperbaharui keseimbangan kekuasaan di NATO, maka Perancis dan Amerika

Serikat harus mampu melihat dan memahami bentuk-bentuk kekuatan negara masing-

94 Portelli, Op. cit., hal 192.

95 Ibid, hal. 192.

96 Loc. cit.

80
masing. Termasuk dalam hal ini adalah kekuatan seluruh komponen negara dan

sumber daya manusia sebagai pendukung dari sebuah kekuasaan. Komponen-

komponen ini termasuk dalam golongan vital bagi suatu negara dalam membangun

sumber-sumber kekuatan negara. Seperti kekuatan diplomasi, ekonomi, politik,

militer, hukum dan kebudayaan. Sejalan dengan pemahaman di ini, US Secretary of

State, Hillary Rodham Clinton menjelaskan, bahwa:

Every nation should use a smart power as the full range of tools at our
disposal diplomatic, economic, military, political, legal and cultural, picking
the right tool or combination of tools for each situation. With smart power,
dilomacy will be the vanguard of our foreign policy.97

AS dan Inggris harus menentang rencana Perancis dalam memperlemah

NATO.98 Presiden Obama telah mengumumkan bahwa, Perancis akan kembali ke

dalam struktur komando NATO, dengan diikuti oleh masuknya perwira-perwira

Perancis dalam dua posisi komando senior Aliansi: Allied Command Transformation

(salah satu dari dua komando tertinggi NATO, yang berbasis di Norfolk, Virginia) dan

Joint Command Lisbon (salah satu dari tiga markas operasi utama NATO, yang juga

termasuk Komando Pasukan Reaksi Cepat NATO).99 Ini adalah perkembangan yang

sangat signifikan yang akan menempatkan Perancis di jantung perencanaan militer

97 Olivier Poivre DArvor, Winter, 2010, The Smart Use of Soft Power, dalam MONDES; Les
Cahiers du Quai DOrsay, No. 2, hal 214.

98 The U.S. and U.K. Must Oppose French Plans to Weaken NATO, Nil Gardiner Ph.D. Direktur,
Sally McNamara, dan Erica Munkwitz: Analis Kebijakan Senior Eropa di The Margaret Thatcher
Center for Freedom di Heritage Foundation,http://www.heritage.org/research/reports/2009/02/the-us-
and-uk-must-oppose-french-plans-to-weaken-nato, diakses pada Jumat, tanggal 20 Januari 2012 Pukul
15.55 WIB

99 Command Accord Presages French Return to NATO, Ben Hall and James Blitz, dalam
Financial Times, http://www.ft.com/cms/s/0/fbc2122a-f323-11dd-abe6-0000779fd2ac.html, diakses
pada Jumat, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB.

81
NATO dan proposal reformasi dan merupakan sebuah keputusan dan konsesi berisiko

oleh Washington ke Pemerintah Sarkozy.

Dalam pidato utama pada Konferensi Keamanan Munich pada tanggal 7

Februari100, Wakil Presiden Joe Biden menyambut baik keputusan Perancis untuk

sepenuhnya berpartisipasi dalam struktur NATO dan juga menjelaskan bahwa

Amerika Serikat akan mendukung penguatan lebih lanjut pertahanan Eropa.

Termasuk peran untuk meningkatkan misi Uni Eropa dalam memelihara perdamaian

dan keamanan, kemitraan NATO-Uni Eropa secara fundamental. Pernyataan Biden

menggemakan pandangan Sekretaris Pertahanan Inggris John Hutton, yang ceroboh

mendukung rencana Perancis untuk tentara Uni Eropa.101 Baik Amerika Serikat dan

Inggris harus mengambil langkah-langkah taktis atas proposal jangka panjang

tuntutan Perancis bagi masa depan NATO. Kongres AS harus melakukan pemeriksaan

untuk menilai strategi pemerintahan baru berkenaan dengan reintegrasi Perancis

dalam rangka untuk menyorot bahaya yang ditimbulkan kepentingan AS. Ini akan

menjadi kesalahan strategis besar penghakiman oleh Pemerintah baru AS dan

pemerintah Inggris untuk terus mendukung ambisi Perancis untuk restrukturisasi

arsitektur keamanan Eropa. Persetujuan seperti itu akan membawa Perancis menjadi

sebuah kekuatan yang luar biasa dan membawa pengaruh dalam tubuh NATO

100 Vice President Joseph R. Biden, speech at the 45th Munich Security Conference
ttp://www.securityconference.de/konferenzen/rede.php?
menu_2009=&menu_konferenzen=&sprache=en&id=238&, diakses pada Jumat, tanggal 20 Januari
2012 pukul 09.59 WIB.

101 John Hutton Backs European Army, Isabel Oakeshott, dalam The Sunday Times, October 26,
2008, http://www.timesonline.co.uk/tol/news/politics/article5014832.ece, diakses pada Jumat, tanggal
20 Januari 2012 pukul 09.59 WIB.

82
kekuatan dan pengaruh baik dari proporsi peran aktual militer Perancis dalam operasi

Aliansi. Menyediakan Perancis dengan pengaruh tersebut pada akhirnya akan

melemahkan hubungan khusus Anglo-Amerika, pergeseran kekuasaan dari

Washington dan London dan menuju benua Eropa, sementara membuka jalan bagi

pengembangan identitas pertahanan Uni Eropa yang terpisah yang semuanya akan

melemahkan NATO.

Presiden Nicholas Sarkozy, pertama kali melontarkan gagasan reintegrasi

Perancis ke komando militer NATO di Juni 2007, ia menguraikan dua prasyarat:

pertama pos komando dijamin untuk perwira senior Perancis dalam Aliansi, dan

kedua dukungan Amerika Serikat atas peningkatan identitas pertahanan Uni Eropa.102

Untuk itu, Perancis secara resmi menetapkan prinsip reintegrasi, Sarkozy

menugaskan Buku Putih pada Pertahanan dan Keamanan Nasional Perancis, yang

diterbitkan pada Maret 2008. Dirancang untuk mempromosikan sebuah identitas

independen pertahanan Eropa. Kepentingan Perancis dalam Buku Putih Pertahanan

dan Keamanan Nasional jelas menyatakan Keinginana kuat Eropa berdiri sebagai

prioritas semakin kuat. Membuat Uni Eropa sebagai pemain utama dalam manajemen

krisis dan keamanan internasional merupakan salah satu prinsip utama kebijakan

keamanan Perancis.103 Selain itu, Perancis ingin Eropa harus dilengkapi dengan

kemampuan militer dan sipil yang sesuai.104 Oleh karenyanya, redefinisi tanggung

jawab pembagian antara Amerika dan Eropa merupakan sebuah penolakan eksplisit
102 Debate Still Open on NATO Integration: French Defence Officials, Agence France-Presse,
September 25, 2007.

103 French White Paper on Defence and National Security, June 2008, Op. cit., Pukul 10.00 WIB.

104 Loc. cit.

83
gagasan bahwa Uni Eropa bertindak sebagai pelengkap sipil untuk NATO. Dan,

sebuah preferensi yang kuat untuk meningkatkan teknologi pertahanan Eropa. Bagi

Perancis, prinsip-prinsip pertahanan Eropa adalah menjadi bagian dari Pertahan

Perancis dan bagi negara Eropa lainnya.

Pada bulan Juni 2008, Presiden Perancis, Nicholas Sarkozy mengumumkan

dokumen tambahan yang menguraikan inisiatif kebijakan Paris untuk berintegrasi ke

dalam struktur integrasi militer Eropa. Hal ini menyajikan unsur-unsur utama dari

identitas pertahanan Uni Eropa, termasuk di dalamnya adalah: pertama sebuah

markas operasi permanen di Brussel, kedua pendanaan untuk setiap operasi militer

Umum Uni Eropa, dan ketiga, program pertukaran personil militer Eropa. 105 Ketiga

poin penting ini merupakan tambahan bagi kebijakan Perancis serperti yang tertuang

dalam Buku Putih Perancis, sekaligus sebagai pedoman dasar dalam pelaksanaan

politik luar negeri Perancis di NATO dan juga di Eropa.

Sangat mungkin bahwa Pemerintahan Obama akan menganggap reintegrasi

Perancis ke dalam NATO sebagai masterstroke diplomatik. Pemerintah Amerika

Serikat akan mengklaim bahwa ia telah membangun kembali hubungan Perancis-

Amerika dengan cara yang saling menguntungkan, dan Sarkozy pada gilirannya akan

mengklaim bahwa itu secara nyata menunjukkan komitmen Perancis untuk berdiri di

samping Amerika. Namun, Pemerintah Amerika Serikat harus mengkaji ulang apa

keuntungan Amerika Serikat terhadap perihal ini. Reintegrasi tersebut dapat

mengekstrak beberapa ratus tentara Perancis tambahan untuk Afghanistan timur dan

105 European HQ Heads Sarkozy Plan for Greater Military Integration, Ian Taylor and Patrick
Wintour, dalam The Guardian, June 7, 2008, http://www.guardian.co.uk/world/2008/jun/07/eu.france,
diakses pada Jumat, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.55 WIB.

84
menghasilkan dukungan kuat publik Perancis untuk misi Afghanistan. Tapi Presiden

Obama menjelaskan bahwa Amerika Serikat telah menyelamatkan aliansi dengan

jalan meloloskan kepentingan Perancis. Perancis telah mampu melakukan reformasi

militer di NATO, karena terbukti pada 2007 ketika 700 tambahan tentara Perancis

dikirim ke Afghanistan), tapi 10 tahun inisiatif program keamanan Uni Eropa telah

benar-benar mengalami penurunan dalam belanja pertahanan Eropa.

Washington terus berpendapat bahwa mendukung Keamanan Eropa dan

Kebijakan Pertahanan adalah sarana untuk memperbaiki anggaran pertahanan Eropa

dan kemampuan militer. Tapi setelah 10 tahun, peningkatan tersebut belum terjadi

dan tidak tercermin dalam anggaran pertahanan yang diproyeksikan dari setiap

kekuatan besar Eropa. Karena Uni Eropa dan NATO beroperasi di wilayah yang sama

baik secara militer dan geografis, kompetisi untuk sumber daya akan menjadi ganas,

dan Washington melihat permintaan untuk bantuan militer kemungkinan semakin

ditolak seperti tuntutan Perancis untuk berkomitmen dalam misi pertahanan Uni

Eropa.106 Setelah Amerika Serikat berhasil memberikan bantuan penciptaan struktur

pertahanan Eropa yang terpisah, tidak akan ada alasan untuk memaksa Eropa untuk

memilih NATO atas permintaan Uni Eropa di masa depan. Daripada benar-benar

mencoba untuk meningkatkan kontribusi Eropa untuk pertahanan di panggung

internasional, Perancis berusaha untuk memperluas pertahannya dan basis kekuatan

Uni Eropa. Usulan Sarkozy sebagian besar bersifat politik, bukan militer. Dalam

prakteknya, Perancis sudah terlibat hampir di semua struktur dan operasi NATO,

106 French White Paper on Defence and National Security, June 2008, Op. cit., hal. 23.

85
termasuk semua badan politik dan juga NATO Response Force. Hal ini juga menjadi

salah satu keberhasilan Perancis dalam menjalankan kepentingannya di NATO.

Reintegrasi Perancis dalam struktur komando NATO menawarkan sedikit nilai

tambahan bagi Washington, tapi memberikan momentum luar biasa bagi kepentingan

Perancis untuk otonomi Uni Eropa terkait kebijakan luar negeri dan pertahanan.

Ketika presiden Perancis berbicara tentang kebijakan luar negeri Eropa, ia lebih

sering menekankan pada kebijakan luar negeri Perancis. Sama, ketika Sarkozy

berbicara tentang meningkatkan kemampuan keamanan Eropa, ia berarti mengurangi

keterlibatan Amerika di Eropa.107

Sebagai contoh, pada Januari 2007 Uni Eropa mendirikan pusat operasi militer

di Brussels, yang kemudian pada tahun itu dilakukan latihan sembilan hari yang

melibatkan penyebaran virtual 2.000 tentara Eropa untuk menangani krisis di negara

operasi NATO.108 Pusat operasional ini tanpa diragukan lagi menjadi markas besar

komando militer Uni Eropa yang pada akhirnya akan bersaing dengan komando

NATO. Usulan Perancis untuk melakukan reformasi struktur pertahanan Eropa yang

independen akan dibangun di atas fondasi markas militer Uni Eropa yang baru ini.

Jika Amerika Serikat setuju atas rencana Perancis, maka hal itu merupakan sebuah

pembalikan pengaturan baru bagi keanggotaan Perancis dan menciptakan erosi yang

lebih lanjut bagi supremasi NATO di Eropa. Dengan demikian, jika Pemerintahan

Obama setuju untuk mendukung sebuah struktur pertahanan Uni Eropa yang

107 Loc. cit.

108 EU Says NATO Will Benefit from New European Military Center, Associated Press, dalam
International Herald Tribune, June 13, 2007, http://www.iht.com/articles/ap/2007/06/13/europe/EU-
GEN-EU-Military.php, diakses pada Jumat, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.56 WIB.

86
independen sebagai bagian dari rencana Perancis untuk bergabung kembali dengan

komando NATO, dukungan tersebut akan mewakili transformasi besar dalam

pemikiran strategis AS yang akan memiliki dampak lebih besar dan membawa efek

negatif pada masa depan aliansi. Ini akan menggeser keseimbangan politik kekuasaan

dalam NATO dari Washington dan London menuju pusat-pusat utama dari kekuasaan

dalam Uni Eropa: Paris, Berlin, dan Brussels. Termasuk mendorong negara-negara

Eropa untuk terfokus pada misi pertahanan Eropa, itu akan menumbuhkan budaya

ketergantungan yang lebih besar di dalam benua Eropa pada sumber daya NATO.

Pergeseran itu juga akan menyebabkan duplikasi struktur komando NATO tanpa

penggandaan tenaga kerja atau material. Sangat penting bahwa baik AS dan Inggris

menolak usulan Perancis yang didasarkan pada dukungan Amerika dan Inggris untuk

sebuah organisasi pertahanan Eropa yang independen. Paris harus disambut kembali

ke klub pimpinan NATO hanya pada istilah yang diterima semua anggota NATO.

Ke depannya, amat sulit untuk melihat bagaimana kemampuan pertahanan Uni

Eropa mampu memperkuat misi NATO secara luas. Sehingga, mendorong peran

militer yang lebih besar bagi Uni Eropa hanya akan membuat tugas NATO lebih

rumit. NATO telah menjadi organisasi multilateral pasca-perang yang paling sukses,

dan oleh karena itu sistem pertahanan dan aliansi keamanan yang independen di

negara-bangsa Eropa perlu diciptakan. Usulan Perancis untuk membangun struktur

pertahanan Uni Eropa yang terpisah, yaitu sebuah pesaing bagi NATO menyedot

sumber daya berharga NATO. Dan oleh karena itu, tidak dapat diterima dan harus

ditolak dengan tegas oleh Amerika Serikat. Sedangkan, bagi Perancis, untuk

mewujudkan hal ini, maka strategi Perancis salah satunya ialah dengan jalan

87
memperkuat sistem pertahanan Eropa melalui peninggkatan postur militer uni Eropa

di Eropa. Termasuk dalam hal ini adalah keberhasilan Perancis dalam memasukkan

perwira Perancis dalam dua posisi Komando Senior Aliansi, yaitu Allied Command

Transformation (ACT): satu dari dua komando tertinggi NATO yang berbasis di

Norfolk, Virginia dan Joint Command Lisabon (JCL): satu dari tiga markas operasi

utama NATO, juga termauk Komando Pasukan Reaksi Cepat NATO. Proses ini telah

menjadi langkah penyesuaian Perancis dalam mencapai kepentingan nasional di

NATO. Dengan demikian, cita-cita Eropa seperti yang tertulis dalam Buku Putih

Perancis bisa terwujud.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

A. Kesimpulan
1. Buku Putih Perancis yang dirilis pada Juni 2008 menegaskan bahwa

kepentingan Perancis adalah untuk memperbaharui keseimbangan kekuasaan

antara Perancis dan Amerika Serikat di NATO. Oleh karena itu, Perancis

terfokus untuk membangun Sistem Pertahanan Eropa yang lebih kuat, berdiri

sebagai prioritas, dan menjadikan Eropa sebagai pemain utama dalam

manajemen krisis dan keamanan internasional. Sebaliknya, kepentingan

Amerika Serikat sesuai dengan mandat US Nationl Security adalah

mempertahankan posisinya sebagai negara terkuat di NATO, menjadi aktor

sentral dalam arena internasional di Eropa, dan menjaga kredibilitasnya

88
sebagai negara superpower atas NATO di Eropa. Hal ini bertujuan menjaga

aliansi tetap relevan, tidak punah, dan mampu bertahan terhadap berbagai

jenis ancaman baru abad 21. Pada akhirnya, persiteruan ini mempertajam

rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat yang dapat dijelaskan dalam

konsep Eropa I, meng-Amerikaserikat-kan NATO dimana munculnya

keinginan besar Amerika Serikat untuk memposisikan NATO dibawah

pengaruh dan kendalinya to make NATO under US. Sebaliknya, konsep

Eropa II, dimana negara-negara Eropa berkeinginan untuk me-NATO-kan

Amerika Serikat agar berada di bawah kendali negara-negara Eropa di

NATO to make US under NATO.

2. Bentuk Rivalitas antara Perancis dan Amerika Serikat terletak pada

redefenisi tanggung jawab (Structur), pembagian tugas (Planning), dan

pengambilan kebijakan (Operation) di NATO. Gagasan redefinisi tanggung

jawab menjadi krusial bagi kepemimpinan Perancis dan Amerika Serikat di

NATO. Kembalinya Perancis di struktur integrasi militer NATO mewakili

transformasi besar pemikiran strategis Amerika Serikat sekaligus membawa

efek yang akan menggeser keseimbangan politik kekuasaan di NATO. Bagi

Amerika Serikat, Perancis harus disambut kembali ke klub pimpinan NATO

hanya pada istilah yang dapat diterima semua anggota NATO. Masuknya

Perwira Perancis di dua posisi Komando Senior Aliansi: Allied Command

Transformation dan Joint Command Lisbon merupakan perkembangan

signifikan yang akan menempatkan Perancis di jantung perencanaan militer

NATO. Hal ini menjadi konsesi berisiko bagi kepentingan Amerika Serikat

89
di NATO, menyediakan Perancis dengan pengaruh besar yang pada akhirnya

melemahkan hubungan Anglo-Amerika, memperlebar pergeseran kekuasaan

dari Washington-London menuju Eropa, sementara membuka jalan bagi

peningkatan identitas pertahanan Eropa yang terpisah dari NATO. Akhirnya,

tantangan terbesar Amerika Serikat adalah harus mampu menjamin rencana

jangka panjang Perancis dan mengakui Otonomi Eropa melalui peningkatan

Identitas Pertahan Eropa sesuai mandat Buku Putih. Sebaliknya, tantangan

terbesar Perancis adalah harus siap menghadapi kekuatan Amerika Serikat

sebagai jalan untuk memperbaharui perimbangan kekuasaan di NATO.

B. Saran-Saran
1. Hendaknya Perancis di bawah pemerintahan Nicholas Sarkozy terus

mengkawal perkembangan kepentingan Perancis di NATO. Sesuai dengan

rencana Buku Putih Perancis untuk tetap berada dalam keseimbangan

kekuasaan dengan Amerika Serikat di NATO, bisa terwujud. Dengan

demikian, rencana jangka panjang Perancis dalam membangun sistem

pertahan Eropa semakin menguat. Di sisi lain, Amerika Serikat hendaknya

mampu mengambil peran dan strategi baru untuk menyikapi kepentingan

Perancis di NATO agar kepentingan Amerika Serikat di NATO sebagai

negara yang paling dominan, tetap terjaga.

2. Untuk tetap menjaga keseimbangan kekuasaan di NATO, maka Perancis dan

Amerika Serikat hendaknya mampu mengkawal pembagian kerja dan

tanggung jawab di struktur utama kelembagaan NATO, sekaligus

90
memperjelas pembagian peran dalam setiap pelaksanaan misi operasi NATO,

dengan harapan agar kepentingan Perancis dan Amerika Serikat tetap

berjalan sesuai dengan tujuan masing-masing.

3. Perlunya kajian mendalam tentang NATO terkait konsep Eropa I dan II. Hal

ini untuk lebih memperjelas dalam memahami keberadaan NATO di Eropa

terkait dengan integrasi dan perluasan negara naggota NATO. Dengan

demikian, mampu menambah wawasan baru dalam memahami model

intregrasi dan perluasan keanggotaan NATO pada pasca Perang Dingin,

khususnya terkait perkembangan NATO dalam bidang pertahanan dan

kemanan di kawasan Atlantik Utara dan Global.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anonim (2008). Power dan Kapabilitas Negara-Bangsa dalam Pengantar Hubungan


Internasional. Surabaya: Universitas Airlangga.

Augustin, Sankt (2007). Konrad Adenauer and the European Integration. Berlin:
Konrad Adenauer Fundation.
Bakry, Umar Suryadi (1999). Pengantar Hubungan Internasional. Jakarta: Jayabaya
University Press.
Banyu, A. A., & Yani, Y. M. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Coplin, William D. (1992). Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: CV Sinar Baru.

Dougherty, James E. dan Robert L. Pfatzgraff, Jr. (1971). Contending Theories in


International Relations. New York: JB.Lippncot CO.
Firdausy, Arsi Dwinugra (1998). Motivasi Hongaria Masa Pemerintahan Koalisi
Konservatif Untuk Bergabung Dengan NATO. Skripsi S-1, Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional, Fisipol. Yogyakarta: UGM.

91
Griffiths, Martin dan OCallaghan, Terry (2002). International Relations: The Key
Concepts. London: Routledge.

Hugues Portelli, dkk. (2005). France. Paris: La Documentation Francaise; Ministere


des Affaires etrangeres.
Jones, Walter S. (1992). Logika Hubungan Internasional: Persepsi Nasional. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
_____________(1993). Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi-
Politik Internasional, dan Tatanan Dunia 2. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Masoed, Mohtar (1990). Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: PT. Pustaka LP3ES.
Morgentahau, Hans J. (1990). Politik Antarbangsa: Perjuangan Untuk Kekuasaan
dan Perdamaian. Bandung: MANNA, Lembaga Penterjemahan dan
Penyaduran.
Rimanelli, Marco (2009). Historical Dictionary of NATO and other International
Security Organizations. United Stated of America: Scarecrow Press, Inc.

Rudy, T May (2002). Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca
Perang Dingin. Bandung: PT. Refika Aditama.
Sarkesian, Sam C., Williams, John Alens and Cimbala, Stephen J. (2008). US
National Security: Policymakers, Processes, and Politics. Unites States of
America: Lynne Riener Publishers, Inc.

Schelling, T. C. (1966). The Diplomacy of Violence. New Haven: Yale University


Press.
Sheehan, Michael (1996). The Balance of Power: History and Theory. New York:
Routledge Publishing.

Soeprapto, R. (1997). Hubungan Internasional, Sistem, Interaksi dan Perilaku.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sriyono, A. Agus, dkk. (2004). Hubungan Internasional, Percikan Pemikiran
Diplomat Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
T., Diez dan A., Wiener (2009). Introducing the Mosaic of Integration Theory in
Wiener A., Diez T., European Integration Theory (2nd edition). London: Oxford
University Press.

92
Theodore A. Columbis dan James H. Wolfe (1990). Pengantar Hubungan
Internasional: Keadilan dan Power. Bandung: Abardin.

Yusuf, Sufri (1989). Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Ziring, Laurence., Plano, Jack C., Olton, Roy (1995). International Relation: A
Political Dictionary. California: ABC-CLIO, Inc.

Dokumen

French White Paper on Defence and National Security, June 2008.

NATO Handbook 2006, NATOs Public Diplomacy Division, Brussel.

NATO New Strategic Concept, 2010.

Jurnal

Chapelle, Bertrand De La. Automne (2010). Territoire, Puissance et Gouvernance a


lere Numerique, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai DOrsay, No. 5.

DArvor, Olivier Poivre (Winter, 2010). The Smart Use of Soft Power, dalam
MONDES; Les Cahiers du Quai DOrsay, No. 2.

Huth, P. K. (1999). Deterrence and International Conflict: Empirical Findings and


Theoretical Debate, dalam Annual Review of Political Science, No. 2.
Jentleson, B.A., dan Whytock, C.A. (Winter 2005). Who Won Libya, dalam
International Security, Vol. 30, No. 3.
Lasas, Ainius (2008). Restituting Victims: EU and NATO Enlargements through the
Lenses of Collective Guilt, dalam Journal of European Public Policy.

Mariani, Renato (2004). Book Review: Frank Schimmelfennig, The EU, NATO and
the Integration of Europe: Rules and Rhetoric, dalam Journal of International
Studies, Vol. 33.

Presse, Agence France (25 September 2007). Debate Still Open on NATO
Integration, dalam French Defence Officials.

93
Spero, Joshua B. (2005). Resensi Buku: Schimmelfennig Frank, Uni Eropa, NATO
dan Integrasi Eropa dan Retorika Aturan, dalam Review Slavia.

Internet

Background Note: France http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/3842.htm, diakses pada


hari Jumat, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB.

Command Accord Presages French Return to NATO, Financial Times, February 5,


2009, http://www.ft.com/cms/s/0/fbc2122a-f323-11dd-abe6-0000779fd2ac.html
diakses pada hari Jumat, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.44 WIB.

Declaration on Peace and Cooperation, 08 November 1991


http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_texts_23846.htm, diakses pada hari
Senin, tanggal 6 Februari 2012 pukul 23.07 WIB.

European HQ Heads Sarkozy Plan for Greater Military Integration, The Guardian,
June 7, 2008, http://www.guardian.co.uk/world/2008/jun/07/eu.france, diakses
pada hari Jumat, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.55 WIB.
EU Says NATO Will Benefit from New European Military Center, International
Herald Tribune, June 13, 2007,
http://www.iht.com/articles/ap/2007/06/13/europe/EU-GEN-EU-Military.php. diakses
pada hari Jumat, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.56 WIB.

French White Paper on Defence and National Security, June 2008,


http://www.ambafrance-ca.org/IMG/pdf/,
livre_blanc_press_kit_english_version.pdf, diakses pada hari Jumat, tanggal 20
Januari 2012 Pukul 10.00 WIB.

John Hutton Backs European Army, The Sunday Times, October 26, 2008,
http://www.timesonline.co.uk/tol/news/politics/article5014832.ece diakses pada
hari Jumat, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.59 WIB.

NATOs Vision and Mission


http://www.nato.int/cps/en/natolive/nato_programs.htm, diakses hari Sabtu,
tanggal 4 Februari 2012 pukul 07.00 WITA

Overview of U.S. Relations with Europe and Eurasia Testimony, Philip H. Gordon,
Assistant Secretary, Bureau of European and Eurasian Affairs, House Foreign
Affairs Subcommittee on Europe and Eurasia, Washington, DC, March 10,
2011, http://www.state.gov/p/eur/rls/rm/2011/158214.htm, diakses pada hari
Jumat 20 Januari 2012 pukul 11.45 WIB.

Pidato Perdana Menteri Francois Fillon on France Parlemen, 2009.

94
http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2009-03-21-voa8-
85126987.html, diakses pada hari Selasa, tanggal 8 November 2011 pukul
22.35 WITA.

Remarks at the NATO Strategic Concept Seminar, Remarks Hillary Rodham


Clinton, Secretary of State Ritz-Carlton Hotel Washington, DC February 22,
2010 http://www.state.gov/secretary/rm/2010/02/137118.htm, diakses pada
hari Jumat 20 Januari 2012 pukul 10.00 WIB.

Text of the North Atlantic Treaty, 4 April 1949.


http://www.nato.int/cps/en/natolive/official_ext_17120.htm, diakses pada hari
Jumat, tanggal 7 Oktober 2011 pukul 23.30 WITA.

The State Department's Role in NATO Deterrence and Defense Posture Review
(DDPR) and Future Arms Control, http://www.state.gov/t/us/176669.htm,
diakses pada hari Jumat 20 Januari 2012 pukul 10.30 WIB.

The U.S. and U.K. Must Oppose French Plans to Weaken NATO, Nil Gardiner
Ph.D. Direktur, Sally McNamara, dan Erica Munkwitz (Analis Kebijakan
Senior Eropa di The Margaret Thatcher Center for Freedom di Heritage
Foundation), http://www.heritage.org/research/reports/2009/02/the-us-and-uk-
must-oppose-french-plans-to-weaken-nato, diakses pada hari Jumat, tanggal 20
Januari 2012 Pukul 15.55 WIB

United Nations Resolutin 1973, 17 Maret 2011


http://www.un.org/News/Press/docs/2011/sc10200.doc.htm, diakses pada hari
Selasa, tanggal 8 November 2011 pukul 22.30 WITA.

Vice President Joseph R. Biden, speech at the 45th Munich Security Conference,
http://www.securityconference.de/konferenzen/rede.php?
menu_2009=&menu_konferenzen=&sprache=en&id=238&, diakses pada hari
Jumat, tanggal 20 Januari 2012 pukul 09.59 WIB.

95
LAMPIRAN

96
The North Atlantic Treaty
Washington D.C. - 4 April 1949

The Parties to this Treaty reaffirm their faith in the purposes and principles of the
Charter of the United Nations and their desire to live in peace with all peoples and
all governments. They are determined to safeguard the freedom, common heritage
and civilisation of their peoples, founded on the principles of democracy, individual
liberty and the rule of law. They seek to promote stability and well-being in the North
Atlantic area. They are resolved to unite their efforts for collective defence and for
the preservation of peace and security. They therefore agree to this North Atlantic
Treaty:
Article 1
The Parties undertake, as set forth in the Charter of the United Nations, to settle any
international dispute in which they may be involved by peaceful means in such a
manner that international peace and security and justice are not endangered, and to
refrain in their international relations from the threat or use of force in any manner
inconsistent with the purposes of the United Nations.

Article 2
The Parties will contribute toward the further development of peaceful and friendly
international relations by strengthening their free institutions, by bringing about a
better understanding of the principles upon which these institutions are founded, and
by promoting conditions of stability and well-being. They will seek to eliminate

97
conflict in their international economic policies and will encourage economic
collaboration between any or all of them.
Article 3
In order more effectively to achieve the objectives of this Treaty, the Parties,
separately and jointly, by means of continuous and effective self-help and mutual aid,
will maintain and develop their individual and collective capacity to resist armed
attack.
Article 4
The Parties will consult together whenever, in the opinion of any of them, the
territorial integrity, political independence or security of any of the Parties is
threatened.
Article 5
The Parties agree that an armed attack against one or more of them in Europe or
North America shall be considered an attack against them all and consequently they
agree that, if such an armed attack occurs, each of them, in exercise of the right of
individual or collective self-defence recognised by Article 51 of the Charter of the
United Nations, will assist the Party or Parties so attacked by taking forthwith,
individually and in concert with the other Parties, such action as it deems necessary,
including the use of armed force, to restore and maintain the security of the North
Atlantic area.
Any such armed attack and all measures taken as a result thereof shall immediately be
reported to the Security Council. Such measures shall be terminated when the
Security Council has taken the measures necessary to restore and maintain
international peace and security.
Article 6109
For the purpose of Article 5, an armed attack on one or more of the Parties is deemed
to include an armed attack: on the territory of any of the Parties in Europe or North
America, on the Algerian Departments of France110, on the territory of or on the
Islands under the jurisdiction of any of the Parties in the North Atlantic area north of
the Tropic of Cancer; on the forces, vessels, or aircraft of any of the Parties, when in
or over these territories or any other area in Europe in which occupation forces of any
of the Parties were stationed on the date when the Treaty entered into force or the
Mediterranean Sea or the North Atlantic area north of the Tropic of Cancer.

Article 7
This Treaty does not affect, and shall not be interpreted as affecting in any way the
rights and obligations under the Charter of the Parties which are members of the

109 The definition of the territories to which Article 5 applies was revised by article 2 of the Protocol
to the North Atlantic Treaty on the accession of Greece and Turkey signed on 22 October 1951.

110 On January 16, 1963, the North Atlantic Council noted that insofar as the former Algerian
Departments of France were concerned, the relevant clauses of this Treaty had become inapplicable as
from July 3, 1962.

98
United Nations, or the primary responsibility of the Security Council for the
maintenance of international peace and security.

Article 8
Each Party declares that none of the international engagements now in force between
it and any other of the Parties or any third State is in conflict with the provisions of
this Treaty, and undertakes not to enter into any international engagement in conflict
with this Treaty.
Article 9
The Parties hereby establish a Council, on which each of them shall be represented, to
consider matters concerning the implementation of this Treaty. The Council shall be
so organised as to be able to meet promptly at any time. The Council shall set up such
subsidiary bodies as may be necessary; in particular it shall establish immediately a
defence committee which shall recommend measures for the implementation of
Articles 3 and 5.
Article 10
The Parties may, by unanimous agreement, invite any other European State in a
position to further the principles of this Treaty and to contribute to the security of the
North Atlantic area to accede to this Treaty. Any State so invited may become a Party
to the Treaty by depositing its instrument of accession with the Government of the
United States of America. The Government of the United States of America will
inform each of the Parties of the deposit of each such instrument of accession.
Article 11
This Treaty shall be ratified and its provisions carried out by the Parties in accordance
with their respective constitutional processes. The instruments of ratification shall be
deposited as soon as possible with the Government of the United States of America,
which will notify all the other signatories of each deposit. The Treaty shall enter into
force between the States which have ratified it as soon as the ratifications of the
majority of the signatories, including the ratifications of Belgium, Canada, France,
Luxembourg, the Netherlands, the United Kingdom and the United States, have been
deposited and shall come into effect with respect to other States on the date of the
deposit of their ratifications.111
Article 12
After the Treaty has been in force for ten years, or at any time thereafter, the Parties
shall, if any of them so requests, consult together for the purpose of reviewing the
Treaty, having regard for the factors then affecting peace and security in the North
Atlantic area, including the development of universal as well as regional
arrangements under the Charter of the United Nations for the maintenance of
international peace and security.
Article 13

111 The Treaty came into force on 24 August 1949, after the deposition of the ratifications of all
signatory states.

99
After the Treaty has been in force for twenty years, any Party may cease to be a Party
one year after its notice of denunciation has been given to the Government of the
United States of America, which will inform the Governments of the other Parties of
the deposit of each notice of denunciation.
Article 14
This Treaty, of which the English and French texts are equally authentic, shall be
deposited in the archives of the Government of the United States of America. Duly
certified copies will be transmitted by that Government to the Governments of other
signatories.

1. The definition of the territories to which Article 5 applies wa revised by Article 2


of the Protocol to North Atlantic Treaty on the accession of Greece and Turkey
signed on 22 October 1951.
2. On January 16, 1963, the North Atlantic Council noted that insofar as the former
Algerian Departments of France were concerned, the relevant clause of this Treaty
had become inapplicable as from July 3, 1962.
3. The Treaty came into force on 24 August 1949, after the deposition of the
ratifications of all signatory states.
Last updated: 23-Oct-2009 14:57

100

Anda mungkin juga menyukai