http://lovelydiary18.blogspot.co.id/2011_04_01_archive.html
II.1 Definisi
Sindrom koroner akut (SKA) adalah suatu keadaan gawat darurat jantung dengan
manifestasi klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat
iskemia miokard. Sindrom koroner akut mencakup:2
Gambar 1. Rentang SKA mulai dari UAP tanpa nekrosis miokard sampai
infark miokard ektensif (dikutip dari Fox Heart. 2004;90:698-706)
II.2 Epidemiologi
Penyakit jantung koroner yang bermanifestasi klinis akut sebagai SKA sampai saat ini
masih merupakan penyebab kematian utama di berbagai benua mulai dari Amerika, Eropa dan
Asia yang meliputi juga Indonesia.3
Di Amerika Serikat, lebih dari 13 juta pasien menderita penyakit arteri koroner dan setiap
tahunnya lebih dari 1,1 juta pasien menderita IMA. Selanjutnya, 150.000 pasien didiagnosa
setiap tahunnya dengan UAP. Kematian karena aterosklerotik arteri koroner terhitung hampir 50
% dari seluruh kematian jantung, dan 50% dari kematian karena aterosklerotik arteri koroner
terjadi secara tiba-tiba. Takada et al menguji individual dengan infark miokard lama yang
meninggal secara tiba-tiba selama periode 1998-2001. Hasil dari analisis patologi yang mereka
lakukan menyatakan bahwa kematian tiba-tiba yang disebabkan SKA adalah 55 %, aritmia fatal
24 %, kegagalan pompa jantung 14 %, dan penyebab lain adalah 6 % kasus. Penemuan-
penemuan ini ditandai dengan plak arteri koroner yang ruptur pada infark lama adalah penyebab
utama kematian jantung secara tiba-tiba dengan infark miokard yang lama. Berdasarkan laporan
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC/NCHS), 879.000 pasien dengan diagnosa
SKA pada tahun 2003 di Amerika Serikat (767.00 IMA dan 112.000 UAP), dan berdasarkan
laporan National Heart, Lung, and Blood Institute/Framingham Heart Study (NHLBI/FHS),
penyakit jantung koroner terdiri lebih dari setengah kejadian kardiovaskuler pada pria dan wanita
dibawah umur 75 tahun. Investigasi data dari 7.733 partisipan di Framingham Heart Study,
Lyoyd-Jones et al mendemonstrasikan bahwa risiko seumur hidup dari kejadian koroner setelah
umur 40 tahun adalah 49% pada pria dan 32% pada wanita. Studi NHLBI ARIC (Atherosclerotic
Risks in Communities) juga menyatakan bahwa umur rata-rata disesuaikan dengan laju insiden
penyakit jantung koroner per 1000 orang/tahun adalah 12,5 pada pria kulit putih dan 10,6 pada
pria kulit hitam, 4,0 pada wanita kulit putih, dan 5,1 pada wanita kulit hitam.3
Di Indonesia, data lengkap mengenai penyakit jantung koroner belum ada. Pada survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler
menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di Pulau
Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap menempati urutan
pertama dan persentasenya semakin meningkat (25%) dibandingkan dengan SKRT tahun 1992.
Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri di empat rumah sakit selama 5 tahun
(1985 sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan
persentase berkisar antara 7,5 sampai 8,6%. Penyakit jantung koroner terus-menerus menempati
urutan pertama di antara jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara
30 sampai 36,1%.1
II.3 Patofisiologi
II.3.1 Sirkulasi Koroner
Arteri coronaria kanan dan kiri adalah arteri yang memperdarahi jantung. Arteri coronaria
kanan berasal dari sinus anterior aortae dan berjalan ke depan antara truncus pulmonalis dan
auricula kanan memberikan cabang-cabang ke atrium kanan dan ventrikel kanan. Pada pinggir
inferior jantung pembuluh ini melanjutkan diri ke posterior sepanjang atrioventricularis untuk
beranastomosis dengan a.coronaria kiri. Ia mempercabangkan r.marginalis, yang memperdarahi
ventrikel kanan, dan r.interventricularis posterior, yang memperdarahi kedua ventrikel. Ramus
interventricularis posterior beranastomosis dengan r.interventricularis anterior yang merupakan
cabang a.coronaria kiri pada sulcus interventricularis posterior.8
Arteri coronaria kiri, yang lebih besar dibandingkan dengan a.coronaria kanan, berasal
dari sinus posterior aortae kiri dan berjalan ke depan antara truncus pulmonalis dan auricula kiri.
Kemudian pembuluh ini masuk ke sulcus atrioventricularis dan bercabang menjadi
r.interventricularis anterior dan r.circumflexus. Ramus intervetricularis anterior berjalan ke
bawah menuju apeks jantung dalam sulcus interventricularis anterior. Kemudian pembuluh ini
berjalan sekitar apeks untuk beranastomosis dengan r.interventricularis posterior yang
merupakan cabang a.coronaria kanan. Ramus interventricularis anterior memperdarahi ventrikel
kanan dan kiri dan septum interventricularis.8
Ramus circumflexus mengikuti sulcus atrioventricularis, mengitari pinggir kiri jantung,
dan berakhir dengan anastomosis dengan a.coronaria kanan. Ramus circumflexus memperdarahi
atrium kiri dan ventrikel kiri.8
Gambar 2. Sirkulasi Koroner
II.3.2 Patogenesis
a. Ruptur plak
Ruptur plak ateroslerotik merupakan salah satu penyebab terjadinya SKA, yang diakibatkan
oklusi subtotal atau total dari arteri koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang
minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung
jaringan fibrotik. Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan
adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan
intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada
dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan
secara enzimatik melemahkan dinding plak.4
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan
aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi
STEMI, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang
berat akan terjadi UAP.4
Gambar 3. Atherosclerosis
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting terhadap terjadinya SKA.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet
berperan dalam perubahan pada tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Adanya
spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan
trombus.4
II.4 Diagnosis
II.4.1 Anamnesis
Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat
apakah pasien menderita infark miokard atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau salah, dalam
jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat. Nyeri dada tipikal (angina)
merupakan gejala kardinal pasien infark miokard. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri
dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan
petanda awal dalam pengelolaan pasien infark miokard. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut:5
- lokasi: substernal, retrosternal, dan perikordial.
- sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa
diperas, dan dipelintir.
- penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan.
- nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
- faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
- durasi: lebih dari 30 menit.
- onset: tiba tiba.
- baru pertama kali atau sudah berulang.
II.4.3 Elektrokardiogram
a. STEMI
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosa infark miokard gelombang Q
sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak
total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami UAP atau NSTEMI. Pada sebagian
pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.
Sebelumnya, istilah infark transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau
hilangnya gelombang R dan infark miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan
perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi
gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural) sehingga terminologi infark
miokard gelombang Q dan non Q menggantikan infark miokard mural/transmural.5
b. NSTEMI
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang
menentukan risiko pada pasien. Pada Trombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) III Registry;
adanya depresi segmen ST baru sebanyak 0,05 mV merupakan prediktor outcome yang buruk.
Kaul et al, menunjukkan peningkatan risiko outcome yang buruk meningkat secara progresif
dengan memberatnya depresi segmen ST, dan baik depresi segmen ST maupun perubahan
troponin T, keduanya memberikan tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan
NSTEMI.6
c. UAP
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun stratifikasi risiko pasien
UAP. Adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia akut.
Gelombang T negatif juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI. Perubahan gelombang ST dan
T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,05 mm dan gelombang T negatif
kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan karena hal lain. Pada UAP,
sebanyak 4% mempunyai EKG yang normal, dan pada NSTEMI, sebanyak 1-6% EKG juga
normal.4
Terdapat pula laporan adanya kenaikan kadar troponin tanpa adanya kelainan arteri
koroner. Berdasarkan pendapat para ahli disimpulkan bahwa setiap kenaikan kadar troponin
harus dianggap sebagai suatu hal klinis yang dikaitkan dengan kejadian yang tidak diinginkan
dan karenanya perlu diwaspadai. Diajukan pula keraguan mengenai pengaruh fungsi ginjal
terhadap kadar troponin namun telah dibuktikan bahwa pengaruh troponin tidak tergantung pada
fungsi ginjal.7
Masih ada keluhan terhadap troponin melihat cukup sering terjadi lambatnya dapat
dideteksi setelah serangan IMA, tidak dapat menjelaskan penyebab nekrosis, tidak dapat
mendeteksi infark ulangan/susulan, masih ada interferensi oleh zat lain, dan masalah pembakuan
metodik. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kepekaan diagnostik masih ada tempat bagi
penanda jantung lain yaitu CKMB dan mioglobin.7
a. STEMI
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase CKMB dan cardiac specifik
troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda
optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga
akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala infark miokard,
terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.5
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).5
CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan
kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.
cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah
5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
Creatinin kinase (CK): meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Gambar 7. Biomarker jantung pada STEMI (dikutip dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam)
b. NSTEMI
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai,
karena lebih spesifik dari pada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. Pada pasien
dengan infark miokard, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat
menetap sampai 2 minggu.6
c. UAP
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CKMB telah diterima sebagai petanda
paling penting dalam diagnosa SKA. Menurut ESC dan ACC dianggap ada mionekrosis bila
troponin T atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif dalam 2 minggu. Risiko kematian
bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.4
CKMB kurang spesifik untuk diagnosa karena juga diketemukan di otot skeletal, tapi
berguna untuk diagnosa infark akut dan akan meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal
dalam 48 jam.4
Kenaikan CRP dalam SKA berhubungan dengan mortalitas jangka panjang. Marker yang
lain seperti aminoid A, interleukin-6 belum secara rutin dipakai dalam diagnosa SKA.4
II.5 Penatalaksanaan
Tatalaksana SKA terus berkembang pesat dengan banyaknya penelitian (randomized
clinical trial) dengan menggunakan terapi antitrombotik baru atau intervensi koroner perkutan,
namun laju mortalitas di RS pada pasien STEMI masih cukup tinggi berkisar antara 5 sampai
7%, dan setelah 6 bulan laju mortalitas berkisar 12 sampai 13%.7
ESC pada tahun 2008 telah mengupdate guideline untuk tatalaksana infark miokard akut
pada pasien STEMI. Pada guideline tatalaksana STEMI, sasaran pada gudeline tersebut
dibandingkan dengan guideline sebelumnya tetap sama yang mencakup diagnosis dini, terapi
reperfusi segera dan pencegahan sekunder yang optimal, metode yang digunakan untuk
mencapai sasaran tersebut telah dimodifikasi berdasarkan informasi clinical trial terbaru. Berikut
ini akan dijelaskan mengenai tatalaksana STEMI dan non-ST elevation acute coronary
syndromes (NSTE-ACS) yang terdiri dari NSTEMI dan UAP.7
segera memanggil tim medis mengenai yang dapat melakukan tindakan resusitasi
transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis
dokter dan perawat yamg terlatih
Keterlambatan terbanyak yang terjadi pada penanganan pasien biasanya bukan selama
transportasi ke rumah sakit, namun karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan
pasien untuk meminta pertolongan. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara edukasi kepada
masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini.5
Pemberian fibrinolitik prahospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis di ambulans yang
sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan talaksana STEMI dan kendali komando medis
online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di Indonesia saat ini, pemberian
trombolitik prahospital ini belum bisa dilakukan.5
a. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua
pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.5
b. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan
sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat
menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai
oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau
pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG
intravena juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema paru.5
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien
yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru
bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek
hipotensi nitrat.5
c. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana
nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis, sehingga
terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik
ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan
IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV. 5
PCI Primer
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika
dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam
membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan
jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat
syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah
ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur
dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan
aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit.5
PCI primer adalah memasukkan kateter (melalui arteri femoral) ke dalam arteri koroner.
Visualisasi dilakukan dengan sinar-X dengan bantuan injeksi medium kontras radioopaque
melalui kateter. Ketika pembuluh darah koroner sudah dapat dilihat, identifikasi definitif arteri
yang trombosis dapat dilakukan dan arteri dapat dibuka menggunakan balon pada ujung kateter
sehingga terjadi reperfusi miokard yang mengalami infark. Stent kemudian disisipkan untuk
menjaga patensi pembuluh darah. Teknik ini memungkinkan pembukaan arteri yang dikehendaki
dengan lebih tepat, tidak seperti jika digunakan obat trombolisis sistemik. Sebelum dilakukan
PCI primer platelet harus dihambat sepenuhnya, dimaksudkan untuk mengurangi resiko
trombosis periprosedur yang disebabkan oleh lepasnya plak atau trombosis pada stent. Hal ini
dapat dicapai dengan pemberian clopidogrel (300-600 mg) bersama dengan terapi standard
aspirin. Pemberian harus dilakukan secepatnya, sebelum PCI. Penghambatan platelet
periprosedural tambahan dapat dilakukan dengan abciximab (inhibitor glikoprotein IIb/IIIa) atau
bivalirudin (inhibitor langsung trombin). PCI primer merupakan pilihan yang lebih baik untuk
pasien MI akut yang dapat dilakukan dalam waktu 90 menit sejak kontak medik pertama (door
to balloon time kurang dari 90 menit). Jika lebih dari 90 menit, PCI primer masih merupakan
terapi pilihan apabila terapi trombolisis dikontraindikasikan atau jika pasien berisiko tinggi
mengalami perdarahan, syok kardiogenik atau dengan faktor risiko tinggi lainnya. Lebih dari
90% pasien yang mendapat PCI kembali normal secara angiografi, dibanding dengan 60% pasien
yang mendapat trombolisis (dimana arteri yang tersumbat berhasil dialiri kembali).10
Keuntungan lain PCI:
Tidak ada efek samping serius (misalnya hemoragik intrakranial)
Waktu tinggal rawat inap lebih pendek
Resiko reinfark berkurang.
Jika pasien alergi terhadap medium kontras yang digunakan untuk angiografi, maka trombolisis
merupakan pilihan terapi satu-satunya.10
Reperfusi Farmakologis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak
masuk. Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa
macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok
yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti streptokinase.5
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan
dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading
system:5
Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi
dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran
normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada
arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya
infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan
jangka panjang.5
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relatif kematian di rumah sakit sampai
50% jika diberikan dalam jam pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan
sampai 10 tahun. Setiap hitungan menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 jam onset
gejala akan mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih tinggi jika
dibandingkan terapi dalam 1-3 jam, terapi masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam
setelah onset infark, dan beberapa manfaat tampaknya masih ada sampai 12 jam, terutama jika
nyeri dada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sandapan EKG yang belum
menunjukkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI (PCI
primer), fibrinolisis secara umum merupakan strategi reperfusi yang lebih disukai pada pasien
pada jam pertama gejala, jika perhatian terhadap masalah logistik seperti transportasi pasien ke
pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu
trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI.5
a. Streptokinase (SK)
Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh
diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang
ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insiden perdarahan intrakranial yang
rendah.
b. Tissue Plasminogen Activator (tPA)
Global use of strategies to open coronary arteries-1 (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA
harganya lebih mahal daripada SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi.
c. Reteplase (rPA)
INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada
GUSTO III trial, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
d. Tenekteplase (TNK)
Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap
Plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 10 B menunjukkan TNK
mempunyai TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan tPA.
2. Beta Blocker
Beta blocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil. Studi ISIS-1 menunjukkan
pemberian dini beta blocker bermanfaat menurunkan 15% mortalitas dalam 36 jam setelah MI,
dengan cara menurunkan kebutuhan oksigen, membatasi ukuran infark. Juga mengurangi resiko
pecahnya pembuluh darah jantung dengan menurunkan tekanan darah, juga mengurangi resiko
ventrikular dan aritmia supraventrikular yang disebabkan aktivasi simpatetik. Jika tidak ada
kontraindikasi, pasien diberi beta blocker kardioselektif misalnya metoprolol atau atenolol.
Heart rate dan tekanan darah harus terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah sakit.
Kontraindikasi terapi beta blocker adalah:
Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <100 mmHg
Bradikardi <50 denyut/menit.
Adanya heart block.
Riwayat penyakit saluran nafas yang reversibel.
Beta blocker harus dititrasi sampai dosis maksimum yang dapat ditoleransi. Jika terdapat left
ventricular systolic dysfunction (LVSD, disfungsi sistolik ventrikel kiri), beta blocker yang
dilisensikan untuk gagal jantung harus diberikan (misalnya bisoprolol atau carvedilol).
Pemberian dimulai dengan dosis terkecil dan dititrasi naik sesuai dengan interval yang
disarankan sampai tercapai dosis maksimum yang dapat ditoleransi.11
4. ACE Inhibitor
Pada ~20% pasien MI akut akan berkembang LVSD. Mortalitas pada pasien demikian meningkat
secara signifikan. Studi AIRE menunjukkan bahwa pemberian ACEi pasca-MI menguntungkan.
Pemberian ramipril pada gagal jantung menurunkan 27% mortalitas dalam 15 bulan. Bukti ini
dikonfirmasi juga oleh studi HOPE (ramipril), EUROPA (perindopril), keduanya juga
menunjukkan adanya manfaat ACEi untuk jantung koroner dengan atau tanpa gagal jantung atau
hipertensi. Setelah infark, miokard akan tertarik dan menipis sehingga terjadi dilasi ventrikel.
Miokard yang masih berfungsi kemudian akan mengkompensasi dengan hipertropi, Remodelling
ini merupakan indikator peningkatan mortalitas. Angitensin II juga dapat bersifat sebagai growth
factor, yang memacu hipertropi. Inhibisi angiotensin II akan menghambat proses ini. ACEi mulai
diberikan dalam 24-48 jam pasca-MI pada pasien yang telah stabil, dengan atau tanpa gejala
gagal jantung. ACEi menurunkan afterload ventrikel kiri karena inhibisi sistem renin-
angiotensin, menurunkan dilatasi ventrikel. ACEi harus dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi
naik sampai dosis tertinggi yang dapat ditoleransi. Kontraindikasinya hipotensi, gangguan ginjal,
stenosis arteri ginjal bilateral, dan alergi ACEi. Elektrolit serum, fungsi ginjal dan tekanan darah
harus dicek sebelum mulai terapi dan setelah 2 minggu.11
5. Antagonis Aldosteron
Pedoman NICE menyatakan untuk pasien dengan gejala gagal jantung dan LVSD antagonis
aldosteron (eplerenone) dilisensikan sebagai terapi pasca-MI yang dimulai dalam 3-14 hari MI,
lebih disukai setelah terapi ACEi. Studi EPHESUS menunjukkan penurunan 43% resiko 30 hari
untuk semua mortalitas. Setelah maksimum terapi eplerenone 12 bulan, pasien LVSD dapat
diterapi dengan spironolakton sesuai dengan pedoman NICE untuk gagal jantung. Kadar
potasium/kalium dan fungsi ginjal harus dimonitor.11
6. Suplemen Diet
Pasien dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi minyak ikan polyunsaturated dan makan
dengan pola diet Mediteranian. NICE menyarankan untuk menkonsumsi paling sedikit omega 3
acid ethyl ester 7g/minggu. Ini bisa diperoleh dari 2-4 porsi ikan (oily fish) atau 1g/hari
suplementasi peroral.11
Tabel 3. Strategi manajemen pasien dengan NSTE-ACS berdasarkan guidelines ESC dan ACC/AHA
ESC ACC/AHA
Strategi invasif Angina persisten atau Strategi invasif Angina atau iskemi rekuren
segeraa rekuren dengan/tanpa (initial or early saat istirahat atau aktivitas
perubahan ST (>2mm) atau invasive ringan walaupun terapi medis
gelombang T negatif yang strategyb) intensif; kenaikan biomarker
dalam; resisten terhadap jantung; new or presumably
pengobatan antiangina; new ST-segment depression;
gejala klinik gagal jantung tanda atau gejala gagal jantung
atau instabilitas atau perburukan regurgitasi
hemodinamik; aritmia yang mitral; high risk findings from
mengancam nyawa (fibrilasi/ non-invasive testing;
takikardia ventrikel) instabilitas hemodinamik;
sustained ventricular
Kenaikan troponin; tachycardia; PCI dalam 6
perubahan gelombang T atau bulan; riwayat CABG; skor
Strategi invasif ST; diabetes mellitus; risiko tinggi; penurunan fungsi
dinic penurunan fungsi ginjal ventrikel kiri
(GFR <60 ml/menit/1,73
m2); penurunan fungsi
ventrikel kiri; angina pasca
infark; PCI dalam 6 bulan;
riwayat CABG; risiko
sedang sampai tinggi sesuai
skor risiko
Tidak terdapat nyeri dada
berulang; tidak ada tanda Skor risiko rendah; patient of
Strategi gagal jantung; tidak ada physician preference in the
konservatif perubahan EKG; tidak ada absence of high risk features
kenaikan troponin Strategi
konservatif
a
dalam 2 jam berdasarkan ESC guidelines
b
dalam 48 jam berdasarkan ACC/AHA guidelines
c
dalam 72 jam berdasarkan ESC guidelines
Pasien NSTE-ACS harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi
segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan, yaitu:9
Terapi antiiskemia
Terapi antikoagulan
Terapi antiplatelet
Revaskularisasi koroner
Terapi Antiiskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang, dapat diberikan
terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta. Terapi antiiskemia terdiri dari NTG sublingual
dan dapat dilanjutkan dengan intravena, dan penyekat beta oral (pada keadaan tertentu dapat
diberikan intravena). Antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia
refrakter atau yang tidak toleran dengan penyekat beta.6
a. Nitrat
Nitrat pertama kali harus diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien mengalami nyeri
dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitrat sublingual 3 kali dengan interval 5
menit, direkomendasikan pemberian NTG intravena (mulai 5-10 ug/menit). Laju infus dapat
ditingkatkan 10 ug/menit tiap 3-5 menit sampai keluhan menghilang atau tekanan darah sistolik
<100 mmHg. Setelah nyeri dada hilang dapat digantikan dengan nitrat oral atau dapat
menggantikan NTG intravena jika pasien sudah bebas nyeri selama 12-24 jam. Kontraindikasi
absolut adalah hipotensi atau penggunaan sildenafil atau obat sekelasnya dalam 24 jam
sebelumnya.
b. Penyekat Beta
Penyekat Beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60 kali/menit. Antagonis
kalsium yang mengurangi frekuensi jantung seperti verapamil dan diltiazem direkomendasikan
pada pasien dengan nyeri dada persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis penuh dan
penyekat beta dan pada pasien dengan kontraindikasi penyekat beta. Jika nyeri dada menetap
walaupun dengan pemberian NTG intavena, morfin sulfat dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan
tiap 5-30 menit sampai dosis total 20 mg.
Terapi Antikoagulan
Beberapa rekomendasi antikoagulan berdasarkan ESC guideline antara lain:9
antikoagulan direkomendasikan pada semua pasien sebagai tambahan terapi antiplatelet.
Pada strategi infasif segera, UFH, enoksaparin atau bivalirudin harus segera diberikan.
Pada kondisi tidak segera, sepanjang keputusan untuk strategi invasif dini atau strategi
konservatif masih belum ditetapkan:
Terapi Antiplatelet
a. ASA
Peran penting ASA adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan pada penelitian
klinis multiple dan beberapa meta-analisis, sehingga ASA menjadi tulang punggung dalam
pelaksanaan UAP/NSTEMI.6 ASA direkomendasikan pada semua pasien UAP/NSTEMI tanpa
kontraindikasi dengan dosis loading awal 160-325 mg (non-enteric) dan dengan dosis
pemeliharaan 75-100 mg jangka panjang.9
b. Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphospate P2Y12 pada permukaan platelet dan
dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Penggunaannya pada UAP/NSTEMI terutama
berdasarkan penelitian Clopidigrel in Unstable Angina to Prevent Recurrent Ischemic Events
(CURE) dan Clopidogrel for The Reduction of Events during Observation (CREDO).
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, maka klopidogrel direkomendasikan sebagai obat lini
pertama pada UAP dan NSTEMI dan ditambahkan ASA kecuali mereka dengan risiko tinggi
perdarahan dan pasien yang memerlukan coronary artery bypass graft (CABG) segera.
Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien dengan UAP/NSTEMI pada pasien-pasien:6
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi
klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri
atas angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut (IMA) yang disertai elevasi segmen ST, dan
IMA tanpa elevasi segmen ST. Ketiga penyakit tersebut mempunyai mekanisme patofisiologi
yang sama, yaitu disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang terjadinya agregasi
trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stenosis berat atau oklusi
pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli. Sedangkan letak perbedaan antara angina tak
stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi ST adalah dari jenis trombus yang
menyertainya. Angina tak stabil dengan trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus
inkomplit/nonklusif, sedangkan pada elevasi ST adalah trobus komplet/oklusif.
Diagnosis sindrom koroner akut didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang berupa elektrokardiogram dan biomarker jantung. Penatalaksanaan
pasien dengan sindrom koroner akut dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu penatalaksanaan
STEMI dan NSTE-ACS (UAP & NSTEMI). Pada pasien STEMI, PCI primer merupakan terapi
reperfusi yang lebih dianjurkan dibanding fibrinolisis sepanjang keterlambatan dari onset gejala
90-120 menit. Selain itu, terdapat juga terapi awal seperti pemberian oksigen, NTG, beta blocker,
morfin, dan ASA, serta terapi sekunder berupa terapi platelet, beta blocker, terapi penurun kadar
lipid, ACE inhibitor, antagonis aldosteron, dan suplemen diet. Angiografi koroner
direkomendasikan pada semua pasien setelah terapi fibrinolitik dan pada pasien yang tidak
mendapat terapi reperfusi. Sedangkan pada pasien NSTE-ACS, terdapat empat kategori terapi,
yaitu antiiskemik, antikoagulan, antiplatelet dan revaskularisasi koroner.