Anda di halaman 1dari 23

Pendahuluan

Eklampsia merupakan salah satu penyebab meningkatnya resiko morbiditas dan mortalitas
pada maternal dan perinatal. Kejadian eklampsia di negara berkembang berkisar dari 1 dari 100
hingga 1 dari 700 kelahiran. Di Indonesia preeklampsia dan eclampsia berkisar 1,5% sampai
25%. Komplikasi signifikan yang mengancam jiwa ibu dengan eklampsia adalah edema
pulmonal, gagal ginjal dan hati, DIC, sindrom HELLP, dan pendarahan otak. Eklampsia sering
disebut dengan antepartum, intrapartum, dan pascapartum, tergantung dari kapan terjadi kejang,
sebelum, saat, atau sesudah kehamilan. Eklampsia paling sering terjadi pada trimester terakhir
dan semakin sering menjelang aterm. Eklampsia ditandai dengan adanya kejang yang diikuti
dengan tanda tanda preeklampsia.

Anamnesis

Karena pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran setelah kejang, maka anamnesis
dilakukan melalui alloanamnesis, yaitu menanyakan kepada orang-orang terdekat pasien dan
mengetahui tentang keadaan pasien contohnya seperti suami. Hal yang dapat ditanyakan adalah:

1 Identitas pasien.
2 Menanyakan tentang riwayat kejang pasien. Kapan mulainya, berapa lama, apakah
pernah mengalami sebelum ini.
3 Menanyakan hari pertama haid terakhir pasien.
4 Pasien sudah berapa kali hamil, apakah ada komplikasi pada kehamilan sebelumnya.
5 Menanyakan apakah pasien pernah menerima antenatal care. Antenatal care penting
untuk mendeteksi hipertensi pada kehamilan.
6 Menanyakan apakah ada riwayat penyakit lainnya, seperti hipertensi, epilepsi,
hipoglikemi dsb.
7 Menanyakan apakah pasien pernah timbul keluhan lainnya.
8 Menanyakan apakah ada riwayat trauma, pengambilan obat-obatan dsb.

Pemeriksaan

Pemeriksaan yang dilakukan berupa pemeriksaan fisik dan penunjang.

1. Pemeriksaan fisik1,2
Salah satu pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa keadaan umum dan tanda-
tanda vital yang terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Keadaan
umumnya artinya melihat kondisi pasien secara umum dan kesadarannya. Dilakukan juga

1
pemeriksaan pada sclera dan kulit secara keseluruhan untuk melihat ada tidaknya ikterik pada
pasien. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan pada konjungtiva untuk mengetahui pasien sedang
dalam anemia atau tidak. Langkah selanjutnya, melakukan pemeriksaan tanda tanda vital. Suhu
tubuh yang normal adalah 36-37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36 oC, sedangkan pada sore
hari mendekati 37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka
normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-80 kali permenit. Dalam keadaan normal,
frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.
Pada pasien didapatkan:

Keadaan umum : Tampak sakit berat


Kesadaran : Somnolen
Tekanan darah : 180/110 mmHg
Suhu : 36.7C
Frekuensi napas : 20x/menit
Frekeunsi nadi : 96 x/menit
Dalam pemeriksaan fisik pada pasien yang menderita sakit pada sistem reproduksi,
pemeriksaan dilakukan untuk melihat ada tanda-tanda kelainan pada maternal maupun janin
didalam kandungan, serta dampaknya pada organ-organ lainnya.
Inspeksi
Melihat secara keseluruhan penampakan apa yang terlihat pada perut ibu. Melaporkan hasil
yang terlihat, misalnya perut tampak membuncit, adakah linea nigra, dan apakah tampak ada
striae gravidarum atau tidak.2
Palpasi
Pasien diminta untuk berbaring pada meja pemeriksaan. Melakukan palpasi Leopold.
Leopold I dan II dilakukan dengan posisi muka pasien berhadapan dengan muka pemeriksa.
Leopold III dan IV dilakukan dengan posisi muka pemeriksa menghadap kaki pasien. 1,2
Leopold I : memeriksa bagian janin mana yang berada di fundus uteri dan menentukan
tinggi fundus uteri sesuai dengan kehamilan atau tidak.
Leopold II : menentukan bagian janin mana yang ada pada perut kanan atau kiri ibu, apakah
itu punggung atau ekstremitas janin.
Leopold III : menentukan apakah ada bagian janin yang masuk ke pintu atas panggul
(PAP). Jika ada yang masuk, bagian mana dari janin.
Leopold IV : menentukan apakah seberapa besar bagian kepala janin yang masuk ke
pintu atas panggul (PAP).2

2
Auskultasi
Dilakukan untuk mendengarkan bunyi denyut jantung bayi dengan fetalphone yang
diletakkan sesuai dengan posisi punggung janin pada perut ibu. Didengarkan selama 5 detik dan
dimulai pada detik pertama, ketiga, dan kelima, kemudian hasilnya dikali 4. Menentukan denyut
jantung janin termasuk irregular atau tidak. Denyut jantung janin normal adalah 120-
160x/menit.1,3
2. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien dalam skenario adalah melakukan pemeriksaan
darah lengkap, urinalisis, dan radiologi.1,5

o Pemeriksaan darah lengkap


Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kadar eritrosit, leukosit, trombosit, hematocrit,
hemoglobin, LED, hitung retikulosit, morfologi darah tepi. Pada eclampsia, dapat
ditemukan anemia karena hemodilusi akibat kehamilan. Nilai hematocrit juga meningkat
sehingga menyebabkan hemokonsentrasi. Pada pemeriksaan hapus sel darah tepi dapat
ditemukan schistocytes dan burr cell. Dapat juga ditemukan keadaan trombositopenia
(<100.000 sel trombosit) akibat hemolisis mikroangiopati atau akibat sindrom HELLP
(hemolisis, elevated liver enzyme, low platelet). Selain itu pada sindrom HELLP, nilai
Hb, LDH, dan SGPT meningkat, sedangkan nilai platelet count dan kadar haptoglobin
serum menurun. 2,3

o Pemeriksaan urinalisis
Sebuah kateter Foley diinsersikan ke dalam kandung kemih dalam usaha untuk
mendapatkan contoh urin permulaan dan untuk memantau urin yang keluar. Proteinuria
biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal akibat kerusakan glomerulus dan atau gangguan
reabsorpsi tubulus ginjal. Dengan menggunakan spesimen urin acak, protein dapat
diidentifikasi dengan strip reagen atau dipstick. Spesimen urin yang menunjukkan positif
proteinuria perlu mempertimbangkan specimen urin 24 jam untuk uji analisis kuantitatif
protein. Jumlah proteinuria dalam 24 jam digunakan sebagai indikator menilai tingkat
keparahan ginjal.1,3
Nilai rujukan :
Spesimen Acak : Negatif : 0-5 mg/dl. Positif : 6-2000 mg/dl
Spesimen 24 jam : 25-150 mg / 24 jam

3
Pada pasien dengan eclampsia atau preeclampsia berat : Proteinuria + 5 g /24 jam atau
3 pada tes celup. Untuk diagnose eklampsia proteinuria + >300 mg/24 jam.
Volume urin : Pada pasien eclampsia maupun preeclampsia berat dapat dijumpai oliguria
(urin<400 ml dalam 24 jam). Pada eclampsia dapat dijumpai bilirubin serum total
meningkat (>1.2 mg/dl). Nilai normal: 0,1-1,2 mg/dl. Kadar kreatinin
serummeningkatpadaeclampsiakarenavolumeintravaskularmenurundanmengurangi GFR.
Clearancekreatinin(CrCl) mungkinkurangdari90mL/menit/1.73m2. Nilai normal : 0,5-1,5
mg/dl.6

o Pemeriksaan fungsi hati2,4


Tes fungsi hepar dapat positif pada sekitar 20-25% pasien dengan eclampsia :
Aspartate aminotransferase (SGOT) > 72 IU/L
Kadar bilirubin total > 1.2 mg/dL
Kadar LDH > 600 IU/L

Tes fungsi hepar ini dapat meningkat akibat HELLP syndrome.

o Pemeriksaan radiologi
USG transabdominal
Transabdominalultrasonografidigunakanuntukmemperkirakanumurkehamilan.
Inijugadapatdigunakanuntuk melihat pertumbuhan janin, normal atau ada kelainan seperti
pertumbuhan janin terhambat (PJT), terutama menyingkirkanplasentaabruptio,
yangdapatmempersuliteklampsia dan oligohidramnion.2,5

Diagnosis Kerja

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, maka dapat ditegakkan diagnosis
kerja pada Ny. SP berusia 18 tahun mengalami eclampsia.

Perjalanan Penyakit Eclampsia

Pada umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya pre-eklampsia dan terjadinya gejala-
gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium,
dan hiperrefleksia. Bila keadaan ini tidak dikenal dan tidak segera diobati, akan timbul kejangan;
terutama pada persalinan bahaya ini besar. Konvulsi eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yaitu:5

4
1. Tingkat awal atau aura(Tingkat Invasi). Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik.
Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya,
dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.5

2. Kemudian timbul tingkat kejangan tonik (Tingkat Kontraksi) yang berlangsung


kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan
kaku, tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti,
muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.5

3. Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik (Tingkat Konvulsi) yang
berlangsung antara 1 2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan
berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat
tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut ke luar ludah yang berbusa, muka
menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tak sadar. Kejang klonik ini dapat
demikian hebatnya, sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya,
kejangan terhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.5

4. Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama


secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, Kalau pasien sadar kembali maka ia
tidak ingat sama sekali apa yang telah terjadi, lamanya coma dari beberapa menit sampai
berjam-jam, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan
yang berulang, sehingga ia tetap dalam koma.5

Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat, dan suhu meningkat sampai 40 derajat
Celcius. Sebagai akibat serangan dapat terjadi komplikasi-komplikasi seperti (1) lidah tergigit;
perlukaan dan fraktura; (2) gangguan pernapasan; (3) solusio plasenta; dan (4) perdarahan
otak.5

Sebab kematian eklampsia ialah: edema paru-paru, apoplexia dan asidosis; atau pasien
mati setelah beberapa hari karena pneumonia aspirasi, kerusakan hati dan gangguan faal ginjal.

Kadang-kadang terjadi eklampsia tanpa kejang, gejala yang menonjol adalah koma.
Eklampsia semacam ini disebut eclampsia sine eclampsi, dan terjadi pada kerusakan hati yang
berat. Pernafasan biasanya cepat dan berbunyi, pada eklampsia yang berat ada cyanosis.

5
Setelah persalinan keadaan pasien berangsur baik, kira-kira dalam 12-24 jam. Juga kalau
anak mati di dalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya penyakit akan berkurang.
Proteinuria hilang dalam 4-5 hari sedangkan tensi normal kembali kira-kira 2 minggu.

Ada pula gejala yang datang bersamaan dengan kejang adalah :

Proteinuria
Peningkatan tekanan darah (>140 mm Hg atau sistolik >90mmHg diastolic)
Sakit perut
Penurunan output urin
Tanda-tanda gawat janin indikasi bahawa bayi mengalami masalah
Trombositopenia

Gejala tambahan ini digunakan sebagai dasar untuk mendiagnosis eklampsia, tetapi tidak
selalu diperlukan untuk membuat diagnosis. Simptom definitif untuk mendiagnosis eklampsia
adalah tekanan darah yang sangat tinggi, kejang, dan koma. Setiap wanita hamil dengan tekanan
darah tinggi yang mengalami kejang yang tidak dapat dikaitkan dengan beberapa penyebab lain
dapat didiagnosis dengan eklampsia.

Penatalaksanaan

Tujuan pertama pengobatan eclampsia ialah menghentikan berulangnya serangan kejang dan
mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengizinkan, me-
ngurangi vasospasmus, meningkatkan diuresis, dan menurunan tekanan darah bila meningkat
nyata. Pengawasan dan perawatan yang intensif sangat penting bagi penanganan penderita
eclampsia, sehingga pasien eclampsia harus dirawat di rumah sakit. Dalam pada itu, pertolong-
an yang perlu diberikan jika timbul kejangan ialah mempertahankan jalan pernafasan bebas,
menghindarkan tergigitnya lidah, dan pemberian oksigen. Selain itu, penderita harus disertai
seorang tenaga yang terampil dalam resusitasi dan yang dapat mencegah terjadinya trauma apabila
terjadi serangan kejangan.2,5

6
Segera setelah persalinan diselesaikan, perubahan patologis pada eclampsia akan
membaik dan akhirnya pulih dengan sempurna. Kenyataan umum ini berlaku juga untuk
kelainan pada fungsi susunan saraf pusat, hepar serta ginjal untuk kelainan pada darah,
termasuk trombositopenia serta hemolisis berat, dan biasanya berlaku juga untuk kehamilan
selanjutnya. 2,5

Perawatan dasar eclampsia


Perawatan dasar eclampsia yang utama ialah terapi suportif untuk stabilisasi vital, yang
harus selalu diingat Airway,Breathing,Circulation (ABC), mengatasi dan mencegah kejang,
mengatasi hipoksemia dan asidemia mencegah trauma pada pasien, pada waktu kejang,
mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada
waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat. Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif
eclampsia, merupakan perawatan yang sangat penting. Tujuan utama pengobatan
medikamentosa eclampsia ialah mencegah dan menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi
penyulit, khususnya hipertensi krisis, mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin sehingga dapat
melahirkan janin pada saat dan dengan cara yang tepat. 2,6

Medikamentosa
Obat antikejang
Obat antikejang yang menjadi pilihan pertama ialah magnesium sulfat. Bila dengan jenis obat
ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat jenis lain, misalnya tiopental. Diazepam dapat
dipakai sebagai alternatif pilihan, namun mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi,
pemberian diazepam hanya dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman. Pemberian
diuretikum hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma elektrolit. Obat kardiotonika
ataupun obat-obat anti hipertensi hendaknya selalu disiapkan dan diberikan benar-benar atas
indikasi.2,7

Magnesium sulfat (MgSO4)


Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian magnesium sulfat pada
preeclampsia berat. Pengobatan suportif terutama ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ
penting, misalnya tindakan-tindakan untuk memperbaiki asidosis, mempertahankan ventilasi paru-
paru, mengatur tekanan darah, mencegah dekompensasi kordis. Pada penderita yang mengalami
kejang dan koma, nursing care sangat penting misalnya meliputi cara-cara perawatan penderita

7
dalam suatu kamar isolasi, mencegah aspirasi, mengatur infus penderita, dan monitoring
produksi urin. 2,7

Perawatan pada waktu kejang


Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama pertolongan ialah mencegah
penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut.Dirawat di kamar isolasi cukup
terang, tidak di kamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera dapat diketahui. Penderita
dibaringkan di tempat tidur yang lebar,dengan rail tempat tidur harus dipasang dan dikunci
dengan kuat. Selanjutnyamasukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita dan jangan
mencoba melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan gigi. Kepala
direndahkan dan daerah orofaring diisap. Hendaknya dijaga agar kepala dan
ekstremitaspenderita yang kejang tidak terlalu kuat menghentak-hentak benda keras di
sekitarnya. Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor, guna menghindari fraktur. Bila
penderita selesai kejang-kejang, segera beri oksigen. 2,7

Perawatan koma
Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat bereaksi atau mempertahankan diri
terhadap suhu yang ekstrem, posisi tubuh yang menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena hilangnya
refleks muntah. Bahaya terbesar yang mengancam penderita koma, ialah terbuntunya jalan
napas atas. Setiap penderita eclampsia yang jatuh dalam koma harus dianggap bahwa jalan
napas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain.Oleh karena itu, tindakan pertama-tama pada
penderita yang jatuh koma (tidak sadar), ialah menjaga dan mengusahakan agar jalan napas atas
tetap terbuka.Untuk menghindari terbuntunya jalan napas atas oleh pangkal lidah dan epiglotis
dilakukan tindakan sebagai berikut. Cara yang sederhana dan cukup efektif dalam menjaga
terbukanya jalan napas atas, ialah dengan manuver head tilt-neck lift, yaitu kepala direndahkan
dan leher dalam posisi ekstensi ke belakang atau head tilt-chain lift, dengan kepala direndahkan
dan dagu ditarik ke atas, atau jaw-thrust, yaitu mandibula kiri kanan diekstensikan ke atas
sambil mengangkat kepala ke belakang. Tindakan ini kemudian dapat dilanjutkan dengan
pemasangan oropharyngeal airway.2
Hal penting kedua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita koma akan kehilangan
refleks muntah sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi bahan lambung sangat besar.
Lambung ibu hamil harus selalu dianggap sebagai lambung penuh. Oleh karena itu, semua
benda yang ada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa lendir maupun sisa makanan,

8
harus segera diisap secara intermiten. Penderita ditidurkan dalam posisi stabil untuk drainase
lendir.2
Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai Glasgow Coma Scale. Pada perawatan
koma perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita. Pada koma yang lama,
bila nutrisi tidak mungkin; dapat diberikan melalui Naso Gastric Tube (NGT).2

Pengobatan obstetrik
Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan eclampsia harus diakhiri,
memandang umur kehamilan dan keadaan janin. Persalinan diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi
(pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu. Pada perawatan pasca persalinan, bila persalinan
terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya. Setelah
kejangan dapat diatasi dan keadaan umum penderita diperbaiki, maka direncanakan untuk
mengakhiri kehamilan atau mempercepat persalinan dengan cara yang aman. Apakah
pengakhiran kehamilan dilakukan dengan sectio caesarea atau dengan induksi persalinan per
vaginam, hal tersebut tergantung dari banyak faktor, seperti keadaan cerviks, komplikasi
obstetrik, paritas, adanya ahli anestesia, dan sebagainya. 2,4,5

Persalinan per vaginam merupakan cara yang paling baik bila dapat dilak sanakan cepat
tanpa banyak kesulitan. Pada eclampsia gravidarum perlu diadakan induksi dengan
amniotomi dan infus pitocin, setelah penderita bebas dari serangan kejangan selama 12 jam
dan keadaan cerviks mengizinkan. Tetapi, apabila cerviks masih lancip dan tertutup terutama
pada primigravida, kepala janin masih tinggi, atau ada persangkaan disproporsi sefalopelvic,
sebaiknya dilakukan sectio caesarea. Jika persalinan sudah mulai pada kala I, dilakukan
amniotomi untuk mempercepat partus dan bila syarat-syarat telah dipenuhi, dilakukan
ekstraksi vakum. Di sini dipilih vakum karena rangsangannya lebih kecil daripada ekstraksi
dengan cunam. Tetapi, bila tidak ada ekstraktor vakum, cunam dapat juga dipergunakan.2,6

Pilihan anestesia untuk mengakhiri persalinan pada eclampsia tergantung dari keadaan
umum penderita dan macam obat sedatif yang telah dipakai. Keputusan tentang hal ini sebaiknya
dilakukan oleh ahli anestesia. Anestesia lokal dapat dipakai bila sedasi sudah berat. Anestesik
spinal dapat menyebabkan hipotensi yang berbahaya pada eclampsia; jadi sebaiknya jangan
dipergunakan. Pengalaman menunjukkan bahwa penderita eclampsia tidak seberapa tahan
terhadap perdarahan postpartum atau trauma obstetrik; keduanya dapat menyebabkan shock.

9
Maka dari itu, semua tindakan obstetrik harus dilakukan seringan mungkin, dan selalu
disediakan darah. Ergometrin atau methergin boleh diberikan pada perdarahan postpartum
yang disebabkan oleh atonia uteri, tetapi jangan diberikan secara rutin tanpa indikasi.Setelah
kelahiran, perawatan dan pengobatan intensif diteruskan untuk 48 jam. Bilk tekanan darah
turun, maka pemberian obat penenang dapat dikurangi setelah 24 jam postpartum untuk
kemudian lambat laun dihentikan. Biasanya diuresis bertambah 24-48 jam setelah kelahiran dan
edema serta proterinuria berkurang.2,3
Terapi Pembedahan
SC mungkin diperlukan untuk indikasi obstetri atau kondisi ibu yang memburuk. Pasien
harus stabil sehubungan dengan kejang, oksigenasi, dan status hemodinamik sebelum inisiasi
kelahiran SC. Tekanan darah harus dikontrol dan monitoring koagulopati atau diperbaiki.2

Anestesi
Konsultasi anestesiologi dapat dilakukan. Evaluasi awal dianjurkan untuk membantu
stabilisasi kardiopulmonal dan untuk mempersiapkan kemungkinan operasi persalinan atau
intubasi endotrakeal. Untuk SC tidak darurat, teknik epidural atau gabungan dari anestesi
regional lebih disukai. Anestesi regional dikontraindikasikan pada pasien dengan koagulopati
atau trombositopenia berat (<50.000 trombosit/L). Anestesi umum pada wanita dengan
eklampsia meningkatkan risiko aspirasi, dan edema jalan nafas yang dapat menyulitkan intubasi.
Hal ini juga dapat menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam tekanan sistemik dan otak
selama intubasi dan ekstubasi.2
Penggunaan anestesi spinal membutuhkan perhatian karena kemungkinan blokade
simpatik total, sehingga dapat menyebabkan hipotensi pada ibu dan insufisiensi uteroplasenta.2

Anestesi Umum
Anestesi umum merupakan keadaan yang dihasilkan ketika pasien menerima obat untuk
amnesia, analgesia, kelumpuhan otot, dan sedasi. Pasien yang dibius dianggap dapat
dikendalikan, keadaan dimana pasien tidak sadarkan diri yang reversibel. Anestesi
memungkinkan pasien untuk mentolerir prosedur bedah yang akan menimbulkan rasa sakit yang
tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan memori
yang tidak menyenangkan.10

10
Anestesi umum menggunakan agen intravena dan inhalasi. Perlu diketahui bahwa
anestesi umum mungkin tidak selalu menjadi pilihan terbaik; tergantung pada presentasi klinis
pasien, anestesi lokal atau regional mungkin lebih tepat.10
Kebutuhan minimum untuk anestesi umum meliputi ruangan remang dengan ukurang
yang memadai, oksigen bertekanan, peralatan suction yang efektif, monitor standar ASA
(American Society of Anesthesiologists), termasuk tekanan darah, denyut jantung, EKG,
oksimetri pulse, kapnografi, suhu, dan konsentrasi oksigen saat inspirasi dan ekspirasi dan agen
anestesi yang dapat dipakai.10
Di luar ini, beberapa alat yang dibutuhkan untuk pemberian agen anestesi meliputi jarum
suntik, jika obat harus diberikan sepenuhnya secara IV; Dantrolene natrium (pengobatan spesifik
pada hipertermia maligna), peralatan manajemen jalan nafas, defibrilator jantung, dan ruang
pemulihan yang dikelola oleh individu yang terlatih.10
Klasifikasi ASA dalam menentukan status fisik pasien:10
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat
kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas.
Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu
sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada
harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%.Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.
Pemeriksaan fisik yang terkait dengan evaluasi praoperasi memungkinkan penyedia
anestesi untuk fokus secara khusus pada kondisi saluran nafas, termasuk pembukaan mulut, gigi
longgar atau bermasalah, keterbatasan pada gerak leher, anatomi leher, dan presentasi
Mallampati. Dengan menggabungkan semua faktor, rencana untuk intubasi yang tepat dapat
diuraikan dan langkah-langkah tambahan, jika perlu, dapat diambil untuk mempersiapkan

11
bronkoskopi fiberoptik, video laringoskopi, atau berbagai intervensi kesulitan jalan nafas
lainnya.10
Penilaian Mallampati idealnya dilakukan ketika pasien duduk dengan mulut terbuka dan
lidah yang menonjol tanpa phonating. Pada pasien yang diintubasi karena indikasi emergensi,
jenis penilaian ini tidak mungkin dilakukan. Penilaian dapat dilakukan dengan pasien berada
pada posisi terlentang untuk mendapatkan apresiasi dari ukuran pembukaan mulut dan
kemungkinan lidah dan orofaring menjadi faktor kesuksesan intubasi.10

Gambar 5. Klasifikasi Mallampati10

Keharusan datang ke ruang operasi dengan perut kosong (puasa) dikenal baik oleh tenaga
kesehatan dan masyarakat awam. Alasan untuk hal ini adalah untuk mengurangi risiko terjadinya
aspirasi paru selama anestesi umum ketika pasien kehilangan kemampuannya untuk secara
sukarela melindungi jalan nafas. Pedoman yang telah diterbitkan merekomendasikan bahwa
makanan padat (termasuk permen karet atau permen) harus dihindari selama 6 jam sebelum
induksi anestesi. Cairan bening (yaitu, air, Pedialyte, atau hanya Gatorade; tidak ada cairan lain)
harus dihindari selama 2-4 jam sebelum induksi anestesi. Pasien harus terus mengonsumsi obat
yang telah dijadwalkan secara rutin hingga dan termasuk operasi pagi. Pengecualian pada:10
Antikoagulan untuk menghindari peningkatan perdarahan saat operasi
Hipoglikemik oral (misalnya, metformin yang merupakan agen hipoglikemik oral yang
berhubungan dengan terjadinya asidosis metabolik dibawah anestesi umum)
Inhibitor monoamin oksidase
Terapi beta blocker (namun, terapi beta blocker harus dilanjutkan perioperatif untuk
pasien berisiko tinggi yang menjalani pembedahan nonkardiak mayor)

Persiapan Pasien

12
Sebelum induksi anestesia, harus dilakukan beberapa langkah untuk membantu
meminimalkan risiko komplikasi bagi ibu dan janin. Hal ini meliputi penggunaan antasida,
penggeseran uterus ke lateral, dan praoksigenasi.9
(a) Antasida
Pemberian antasida sesaat sebelum induksi anestesia digunakan untuk mengurangi angka
mortalitas akibat anestesia umum. American Society of Anesthesiologists Task Force on
Obstetrical Anesthesia (2007) merekomendasikan pemberian tepat waktu antasida
nonpartikulat, suatu antagonsi reseptor-H2, atau metoclopramide.
(b) Penggeseran Uterus
Uterus dapat menekan vena cava inferior dan aorta jika ibu berbaring telentang. Dengan
menggeser uterus ke lateral, durasi anestesi umum memiliki dampak yang lebih kurang
terhadap kondisi neonatus daripada saat ibu tetap telentang.
(c) Praoksigenasi
Dikarenakan kapasitas simpanan paru fungsional berkurang, ibu hamil menjadi
hipoksemik lebih cepat selama periode apnea daripada pasien tidak hamil. Obesitas
menetapkan kecenderungan ini. Untuk meminimalkan hipoksia antara waktu injeksi
pelemas otot dan intubasi, pertama-tama penting untuk mengganti nitrogen di paru
dengan oksigen. Hal ini dilakukan dengan pemberian oksigen 100% melalui masker
wajah selama 2 sampai 3 menit sebelum induksi anestesi.
Induksi Anestesia9
(a) Thiopental
Thiobarbiturate yang diberikan secara intravena ini telah digunakan secara luas dan
menawarkan induksi yang mudah dan cepat, pemulihan yang cepat, dan risiko muntah
yang minimal. Namun, thiopental dan senyawa serupa lainnya merupakan agen analgesik
yang buruk, dan pemberian obat itu sendiri secukupnya untuk mempertahankan anestesia
dapat menyebabkan depresi neonatus yang cukup berat.
(b) Ketamine
Agen ini juga dapat digunakan untuk membuat pasien tidak sadar. Dosis 1mg/kg
menginduksi anestesia umum. Sebagai alternatif, diberikan secara intravena dalam dosis
rendah 0,2-0,3mg/kg, ketamine dapat digunakan untuk menghasilkan analgesia dan
sedasi tepat sebelum pelahiran pervagina. Ketamine mungkin juga terbukti bermanfaat

13
pada perempuan dengan perdarahan akut karena, tidak seperti thiopental, ketamine tidak
menyebabkan hipotensi. Sebaliknya, ketamin biasanya menyebabkan peningkatan
tekanan daraha, dan karena itu umumnya dihindari pada perempuan yang sudah
mengalami hipertensi. Delirium yang tidak mengenakan dan halusinasi biasanya
diinduksi oleh agen ini.
Intubasi
Segera setelah pasien dibuat tidak sadar, diberikan pelemas otot untuk membantu intubasi.
Succinyl choline, agen awitan cepat dan kerja lambat, biasanya digunakan. Tekanan krikoid-
manuver Sellick digunakan oleh asisten terlatih untuk mengoklusi esofagus dari awitan
induksi sampai intubasi terselesaikan. Sebelum operasi dimulai, penempatan selang
endotrakea yang tepat harus dipastikan.9
Anestesi Gas
Ketika tube endotrakeal telah terfiksasi kuat, campuran 50:50 dinitrogen oksida dan oksigen
diberikan untuk memberikan analgesia. Biasanya, agen uap terhalogenasi ditambahkan untuk
memberikan efek amnesia dan analgesia tambahan.9
Anestesi uap yang paling sering digunakan di AS adalah isofluran dan dua turunannya,
desfluran dan sevofluran. Agen tersebut biasanya ditambahkan dalam konsentrasi rendah
pada campuran dinitrogen oksida-oksigen untuk memberikan efek amnesia. Agen ini kuat,
tidak meledak, dan dapat menghasilkan relaksasi uterus nyata jika diberikan dalam
konsentrasi tinggi. Agen ini digunakan jika dibutuhkan relaksasi seperti untuk versi podalik
internal pada kembar kedua, dekomposisi bokong, dan penggeseran uterus yang terputar
akut.9

Monitoring Postpartum
Setelah dipindahkan ke ruangannya, pasien diperiksa sedikitnya setiap jam selama 4 jam
dan selanjutnya dalam interval 4 jam. Tekanan darah, denyut nadi, suhu, tonus uterus, keluaran
urin, dan jumlah perdarahan perlu dievaluasi.3
Pada wanita berukuran rata-rata, dapat diberikan obat analgesia untuk perawatan pasca
operasi berupa meperidin 50-75mg IM setiap 3 jam seperlunya untuk mengatasi
ketidaknyamanan. Sebagai alternatif, dapat diberikan morfin sulfat 10-15mg dengan cara yang
sama. Antiemetik, misalnya promethazin 25mg, biasanya diberikan bersama dengan narkotika.9

14
Follow up 1-2 minggu setelah melahirkan untuk mengevaluasi tekanan darah pasien dan
setiap gejala sisa dari kejang eklampsia. Penderita hipertensi persisten setelah 8 minggu masa
nifas atau terdapat perubahan neurologis mungkin perlu rujukan medis.2
Berdasarkan hasil penelitian, minggu pertama setelah keluar/discharge merupakan masa
paling kritikal untuk terjadinya eklampsia postpartum. Diskusi mengenai risiko-risiko dan
edukasi pasien mengenai kemungkinan terjadinya preeklampsia postpartum yang tertunda adalah
penting, terlepas dari apakah mereka mengembangkan penyakit hipertensi sebelumnya.2

Pemulihan Pasca Anestesi dan Pasca Operasi


Pasca anestesi dan operasi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room atau Post Anesthesi Care Unit
(PACU) yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar
menjadi batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar
dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.8,9
Pasca operasi, selama di ruang pemulihan, jumlah perdarahan dari vagina harus dipantau
ketat, dan fundus uterus harus sering dipalpasi untuk memastikan uterus tetap berkontraksi kuat.
Sayangnya, setelah efek analgesia konduksi menghilang atau wanita telah sadar dari anestesi
umum, palpasi abdomen mungkin menimbulkan rasa tidak nyaman. Hal ini dapat diatasi dengn
memberikan obat analgesik intravena seperti meperidin 75-100mg, atau morfin 10-15mg. Bebat
tebal dengan plester erat yang banyak pada abdomen akan mengganggu tindakan palpasi dan
pijatan fundus dan selanjutnya akan menyebabkan ketidaknyamanan saat plester dilepas. Pasien
diedukasi untuk batuk dan bernapas dalam. Setelah pasien sadar sepenuhnya, perdarahan
minimal, tekanan darah baik, dan aliran urin sedikitnya 30ml/jam, pasien dapat dipindahkan ke
ruangannya.8,9
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu dilakukan
skoring tentang keadaan pasien setelah anestesi dan pembedahan. Untuk regional anestesi
digunakan skor Bromage.8
Tabel 1. Bromage Scoring System8

Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1

Tak mampu fleksi lutut 2 15

Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3


Bromage skor< 2 boleh pindah ke ruang perawatan. Selain itu, dapat digunakan juga Aldrete
Score yang merupakan nilai penjumlahan numerik sederhana dari aktivitas, respirasi, kesadaran,
sirkulasi, dan saturasi oksigen. Didapatkannya skor 9 dari 10 menunjukkan kesiapan untuk
dipindah ke ruangan.8

Tabel 2. Aldrete Scoring System8

Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah dan
komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk:7,8

16
Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi:7,8
1. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan,
luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2
ml/kgBB/jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
2. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa
untuk operasi:
Ringan = 4 ml/kgBB/jam
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV maka
cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang.
Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma/koloid/dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi
ditambah kebutuhan sehari-hari pasien. Kebutuhan cairan dan elektrolit pada dewasa:
Air : 30-40 ml/kgBB/hari
Na : 1-2 mEq/kgBB/hari
K : 1 mEq/kgBB/hari.
Kebutuhan kalori rata rata/ kgBB orang dewasa, dipengaruhi oleh faktor trauma atau
stress.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, pada wanita eklampsia,
pemberian terapi cairan harus dibatasi karena dapat menyebabkan terjadinya komplikasi edema
paru. Larutan Ringer Laktat diberikan secara rutin dalam laju 60ml hingga tidak melebihi 125ml
per jam, kecuali terdapat kehilangan cairan berlebihan akibat muntah, diare, atau diaforesis, atau,

17
yang lebih mungkin, kehilangan darah dalam jumlah berlebihan akibat pelahiran. Oliguria umum
dijumpai pada preeklampsia berat. Jadi, bila digabungkan dengan pengetahuan bahwa volume
darah ibu kemungkinan berkurang dibandingkan pada kehamilan normal, timbul keinginan untuk
memperbanyak pemberian cairan intravena. Namun, pemberian cairan yang terkendali dan
konservatif lebih dipilih untuk perempuan dengan eklampsia tipikal yang sudah memiliki cairan
ekstrasel dalam jumlah berlebihan, yang didistribusikan secara tidak seimbang antara ruang
intravaskular dan ekstravaskular. Infus cairan dalam jumlah besar akan menambah maldistribusi
cairan ekstravaskular sehingga meningkatkan risiko edema paru dan otak secara nyata.3
Etiologi

Laporan mengenai eklampsia telah ditelusuri hingga sejauh 2200 SM. Sejumlah besar
mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan penyebabnya. Preeklamsia tidaklah sesederhana
satu penyakit, melainkan merupakan hasil akhir berbagai faktor yang kemungkinan meliputi
sejumlah faktor pada ibu, plasenta, dan janin. Faktor-faktor yang saat ini dianggap penting
mencakup:
Implantasi plasenta disetai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus.
Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif diantara jaringan maternal, paternal
(plasental), dan fetal.
Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskuler atau inflamatorik yang
terjadi pada kehamilan normal.
Faktor-faktor genetik, termasuk gen predisposisi yang diwariskan, serta pengaruh
epigenetik.8
Epidemiologi

Karena dalam batas tertentu dapat dicegah melalui asuhan antenatal yang adekuat,
insiden eklamsia telah menurun selama beberapa tahun terakhir. Di negara maju, insiden
eklamsia mungkin sekitar 1 dalam 2000 kelahiran.8

Patofisiologi

Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis Preeklampsi-eklampsi. Vasokonstriksi


menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan hipertensi. Adanya
vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel setempat, sehingga terjadi
kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain itu

18
Hubel (1989) mengatakan bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan
terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan maladaptasi
plasenta. Hipoksia/anoksia jaringan merupakan sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan
proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan
demikian akan mengganggu metabolisme di dalam sel Peroksidase lemak adalah hasil proses
oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase lemak
merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara perok-sidase terganggu, dimana
peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul keadaan yang disebut stess oksidatif.
Pada Preeklampsi-eklampsi serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi
sumber terjadinya peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal, serumnya
mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai antioksidan yang
cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein.
Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel
endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel
tersebut akan meng-akibatkan antara lain :

adesi dan agregasi trombosit,

gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma

terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dai rusaknya
trombosit

produksi prostasiklin terhenti

terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan

terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase

Komplikasi

19
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan
bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut di
bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan eklampsia.8

1
Solusio plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita
hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada pre-eklampsia. Di Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo 15,5% solusio plasenta disertai pre-eklampsia.
2 Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
hipofibrinogenemia, pemeriksaan kadar fibrinogen secara berkala dianjurkan.
3 Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan
gejala klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti
apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah.
Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia
dapat menerangkanikterus tersebut.
4 Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
5 Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung
sampai seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina;
hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6 Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.
7
Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupakan
akibat vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia,
tetapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat
diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8 Sindroma HELLP. Yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet
count.
9 Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan
lain yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10 Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan frakura karena jatuh akibat kejang-
kejang pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).
11 Prematuritas, dismaturitas dan kematian jani intra-uterin.
Pencegahan

20
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah, atau frekuensinya dikurangi. Usaha-
usaha untuk menurunkan frekuensi eklampsia terdiri atas:8

1 Meningkatkan jumlah balai pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar


semua wanita hamil memeriksakan diri sejak hamil-muda;
2 Mencari pada tiap pemeriksaan tanda-tanda pre-eklampsia dan mengobatinya
segara apabila ditemukan;
3 Mengakhiri kehamilan sedapat-dapatnya pada kehamilan 37 minggu ke atas
apabila setelah dirawat tanda-tanda pre-eklampsia tidak juga dapat dihilangkan.
Prognosis

Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan, maka gejala perbaikan akan
tampak jelas setelah kehamilannya diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir perubahan
patofisiologik akan segera pula mengalami perbaikan. Diuresis terjadi 12 jam kemudian setelah
persalinan. Keadaan ini merupakan tanda prognosis yang baik, karena hal ini merupakan gejala
pertama penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam kemudian. 4
Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali pada janin dari ibu yang
sudah tidak mempunyai hipertensi kronik. Prognosis janin pada penderita eklampsia juga
tergolong buruk. Seringkali janin mati intrauterin atau mati pada fase neonatal karena memang
kondisi bayi sudah sangat inferior.

Kesimpulan

Walaupun insiden eklampsia telah menurun belakangan ini, terutama dikarenakan peningkatan
pelayanan kesehatan, hasil yang tidak diinginkan masih ada. Sekitar 5% dari pasien hipertensi
berkembang menjadi preeklampsia berat, dan sekitar 25% dari wanita dengan eklampsia
memiliki hipertensi pada kehamilan berikutnya. Sekitar 2% dari wanita dengan eklampsia
mengembangkan eklampsia pada kehamilan berikutnya.
Wanita multipara dengan eklampsia memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan
hipertensi esensial; mereka juga memiliki tingkat kematian lebih tinggi pada kehamilan
berikutnya daripada wanita primigravida.
Eklampsia dan preeklampsia telah menyebabkan sekitar 63.000 kematian maternal di
seluruh dunia. Pada negara berkembang, angka kematian maternal yang telah dilaporkan sekitar
0-1.8%. Wanita berkulit hitam memiliki risiko 2x lipat daripada wanita berkulit putih pada

21
mortalitas akibat preeklampsia/eklampsia. Hal ini mungkin dikarenakan akses pelayanan
antenatal yang tidak memadai/adekuat pada wanita kulit hitam, serta peningkatan insiden
penyakit genetik pada wanita kulit hitam yang berhubungan dengan sirkulasi antifosfolipid,
dimana telah dibuktikan bahwa pasien dengan peningkatan kadar antifosfolipid di plasma
memiliki insidensi lebih tinggi untuk preeklampsia dan eklampsia.
Angka kematian janin bervariasi dari 13-30% yang dikarenakan kelahiran prematur dan
komplikasinya. Infark plasenta, solusio plasenta, hambatan pertumbuhan janin dalam kandungan,
dan hipoksia janin juga berkontribusi terhadap kematian janin.

Daftar Pustaka

1 Prawirohardjo S. Hipertensi dalam kehamilan. Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT


Bina Pustaka; 2014.
2 Ross MG, Pierce JG, Ramus RM, dkk. Eclampsia. 22 September 2014. Diunduh dari:
emedicine.medscape.com/article/253960-overview#showall; 15 November 2015.
3 Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, dkk. Hipertensi dalam
kehamilan. Obstetri william. Edisi ke-23. Volume ke-2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012.
4 Cooper MA, Fraser DM. Buku ajar bidan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2009.
5 Decherney AH, Goodwin TM, Nathan L, Laufer N. Current diagnosis and treatment
obstetrics and gynecology. United States: McGraw-Hill Companies Inc; 2007.
6 Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana
penyakit saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007. Hal 87-90.
7 Michael BD. Penuntun praktis anestesi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004.
8 Ery L. Belajar ilmu anestesi. Semarang: FK Univ. Diponegoro; 2008.

22
9 Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, dkk. Anestesi obstetris,
pelahiran caesar dan histerektomi peripartum. Obstetri william. Edisi ke-23. Volume ke-
1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
10 Press CD, Talavela F, Krugman ME, dkk. Genereal anesthesia. 10 September 2013.
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#a4; 16
November 2015.

23

Anda mungkin juga menyukai