Anda di halaman 1dari 38

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Postpartum

2.1.1 Definisi Postpartum

Postpartum (puerperium) adalah masa setelah keluarnya plasenta sampai

alat-alat repruduksi pulih seperti sebelum hamil dan secara normal postpartum

berlangsung selama 6 minggu atau 40 hari (Ambarawati & Wulandari, 2008)


Masa nifas (puerperium) dimulai setelah kelahiran dan berakhir ketika alat-

alat reproduksi / kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa

nifas atau puerperium dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya plasenta sampai

dengan 6 minggu (42 hari) (Dewi,dkk, 2013).

2.1.2 Tahapan Postpartum

1. Puerperium dini
Kepulihan diman ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan. Dalam

agama islam dianggap telah bersih dan boleh bekerjan setelah 40 hari.
2. Puerperium intermedial
Kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8 minggu.
3. Remote puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila

selama kehamilan atau waktu persalinan mempunyai komplikasi. Waktu

untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan, tahunan

(Ambarawati & Wulandari, 2009).


2.1.3 Kebijakan Program Nasional Masa Nifas

Menurut Suherni (2009), pemerintah melalui Dapartemen Kesehatan, telah

memberikan kebijakan dalam masa nifas, sesuai dengan dasar kesehtan pada

ibu masa nifas, yakni paling sedikit 4 kali kunjungan pada masa nifas.
Tujuan kebijakan program nasional masa nifas ialah:
1. Untuk menilai kesehatan ibu dan kesehatan bayi baru lahir
2. Pencegahan tehadap kemungkingan-kemungkinan adanya gangguan

kesehatan ibu nifas dan bayinya.


3. Mendeteksi adanya kejadian-kejadian pada masa nifas
4. Menangani berbagai masalah yang timbul dan mengganggu kesehatan ibu

maupun bayinya pada masa nifas.

Adapun frekuensi kunjungan, waktu dan tujuan kunjungan tersebut

dipaparkan sebagai berikut:

Tabel 2. 1 Asuhan pada Masa Nifas

KUNJU
WAKTU ASUHAN
NGAN

a. Mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri

b. Pemantauan keadaan umum ibu


I 6-8 Jam PP c. Melakukan Hubungan antara bayi dan ibu (Bonding
Attachment)

d. Asi Ekslusif

a. Memastikan involusi uterus berjalan dengan normal,


kontraksi uterus keras, fundus dibawah umbilicus dan tidak
ada tanda-tanda perdarahan abnormal

b. menilai tanda-tanda demam, Infeksi dan perdarahan abnormal


II 6 Hari PP
c.memastikan ibu istirahat dengan cukup

d.memastikan ibu mendapat makanan yang bergizi

e.memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak


memperlihatkan adanya penyulit.

III 2 Minggu PP a. Memastikan involusi uteri berjalan dengan normal, uterus


berkontraksi, fundus dibawah umbilicus dan tidak ada tanda-
tanda perdarahan abnormal.

b. menilai tanda-tanda demam, Infeksi dan perdarahan abnormal

c.memastikan ibu istirahat dengan cukup

d.memastikan ibu mendapat makanan yang bergizi

e.memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak


memperlihatkan adanya penyulit.

a. menanyakan ibu tentang penyulit-penyulit yang dialami

IV 6 Minggu PP b. Memberikan konseling untuk KB secara dini, imunisasi,


senam nifas, dan tanda-tanda bahaya yang dialami oleh ibu
dan bayi

Sumber: Ambarwati, dkk, 2010

2.1.4 Perubahan yang Terjadi pada Masa Nifas

1. Perubahan Fisiologi
Menurut Saleha (2009), pada masa nifas alat genetalia interna maupun

eksterna akan berangsur pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil.

Perubahan alat genetalia ini secara keseluruhan disebut involusi. Pada masa

ini terjadi juga perubahan penting lainnya, perubahan-perubahan yang terjadi

antara lain:
a. Uterus
Pada uterus terjadi involusi, yaitu proses kembalinya uterus ke dalam

keadaan semula sebelum hamil setelah melahirkan. Proses ini dimulai

segera setelah plasenta keluar akibat kontraksi otot-otot polos uterus.

Proses involusi uterus adalah sebagai berikut :


1) Iskemia miometrium, disebabkan olehh kontraksi dan retraksi yang

terus-menerus dari uterus setelah pengeluaran plasenta.


2) Autolisis, merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di

dalam otot uterus. Hal ini disebabkan oleh menurunnya hormon

estrogen dan progesteron.


3) Efek oksitosin, menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot

uterin sehingga akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan

berkurangnya suplai darah ke uterus.

Tabel 2. 2 Proses Involusi

Bayi lahir Setinggi pusat 1000

Uri lahir 2 jari bawah pusat 750 12,5

1 minggu Pertengahan simfisis 500 7,5


pusat

2 minggu Tak teraba diatas 350 3-4


simfisis

6 minggu Bertambah kecil 50-60 1-2

8 minggu Sebesar normal 30

Sumber: Dewi,dkk, (2013)

b. Perubahan pada Vagina dan Perenium


Esterogen pascapartum yang menurun berperan dalam penipisan

mukosa vagina dan hilangnya rugae. Vagina yang semula sangat

teregang akan kembali secara bertahap pada ukuran sebelum hamil

selama 6-8 minggu setelah bayi lahir. Penurunan hormon esterogen pada

masa postpartum berperan dalam penipisan mukosa vagina dan

hilangnya rugae. Rugae akan kembali sekitar minggu ke 4. Kekurangan

esterogen menyebabkan penurunan jumlah pelumas vagina dan

penipisan mukosa vagina. Kekeringan lokal dan rasa tidak nyaman saat

koitus menetap sampai fungsi ovarium kembali normal dan menstruasi

dimulai lagi. Biasanya wanita dianjurkan menggunakan pelumas larut


air pada saat melakukan hubungan seksual untuk mengurangi nyeri

(Vivia, 2011).
2. Perubahan Psikologi
Wanita postpartum akan mengalami perubahan mood yang umumnya

dikenal sebagai babyblues yang akan terus mengalami transisi menuju sifat

keibuan; perubahan ini diasumsikan normal sebagai manifestasi ringan

psikopatologi, khususnya depresi. Menurut Emmanuel & St. John (2010),

konseptualisasi peran sebagai ibu memiliki tantangan psikologis amtara

lain:
a. Mengubah sistuasi yang awalnya sangat dikenal menjadi situasi baru yang

tidak dikenalnya sama sekali


b. Memiliki identitas baru yaitu sebagai ibu maka ini juga akan terkait

dengan perasaan, perilaku, dan keterampilan


c. Me-renegosiasikan peran sosial sebelumnya seperti status pekerjaan,

hubungan dengan pasangan, dan peran dalam keluarga yang meluas


d. Harus berusaha menyeimbangkan tuntutan dan gangguan
e. Mengalami kehilangan kontrol pada pola tidur, kebebasan, dan rasa

rendah diri.

Menurut Nurul (2011), pada ibu nifas selain terjadi perubahan secara fisiologs

juga terjadi perubahan dalam psikologisnya yaitu:??????


Adaptasi psikologi pada masa nifas
a. Pengalaman selama persalnan
b. Tanggung jawab peran sebagai ibu
c. Adanya anggota keluarga baru(bayi)
d. Peran baru sebagai ibu pada bayi
Teori Reva Rubin (1963)
seorang ibu yang baru melahirkan mengalami adaptasi psikologi pada

masa nifas dengan melalui tiga fase penyesuaian ibu (perilaku ibu)

terhadap perasaannya sebagai ibu.

Tiga Fase Penyesuaian Nifas

1. Fase taking in
Fase taking in yaitu periode ketergantungan yang berlangsung pada hari

pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat itu, fokus

perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman selama proses

persalinan berulang kali diceritakannya. Beberapa hari setelah

melahirkan akan menangguhkan keterlibatannya dalam tanggung jawab.

Pada fase ini, ibu lebih mudah tersnggung dan cenderung pasif terhadap

lingkungannya disebabkan faktor keelahan. Oleh karena itu ibu perlu

cukup istirahat untuk mencegah gangguan kurang tidur serta memahami

ibu dan memberikan komunikasi yang baik.


2. Fase taking hold
Fase taking hold adalah fase yang berlangsung antara 3-10 hari setelah

melahirkan. Pada fase ini, ibu merasa khawatir akan

ketidakmampuannya dan rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi.

Ibu mulai terbuka untuk menerima pendidikan kesehatan bagi dirinya

dan bayi. Bidan perlu memberikan dukungan tambahan bagi ibu yang

baru melahirkan berikut ini


a) Ibu primipara yang belum berpengalaman mengasuh anak
b) Ibu yang merupakan wanita karier
c) Ibu yang tidak mempunyai keluarga untuk dapat berbagi rasa
d) Ibu yang berusia remaja
e) Ibu yang tidak mempunyai suami
Ibu tersebut sering mengalami kesulitan menyesuaikan diri terhadap

isolasi yang dialaminya dan tidak menyukai terhadap tanggung

jawabmua di rumah dan merawat bayi.

3. Fase letting go
Fase letting go merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran

barunya yang berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah

dapat menyesuaikan diri, merawat diri dan bayinya, serta kepercayaan

dirinya sudah meningkat. Terjadinya penyesuaian dalam hubungan

keluarga untuk memperhatikan bayinya dan menyesuaikan dengan

kehadiran anggota baru. Depresi postpartum umumnya terjadi pada fase

ini.
4. Postpartum Blues
Postpartum blues atau baby blues adalah reaksi penyesuaian dengan

perasaan depresi, merupakan periode sementara terjadinya depresi yang

sering terjadi selama beberapa hari pertama pada masa nifas. Postpartum

blues merupakan depresi yang terjadi pada masa nifas. Ibu-ibu yang

baru melahirkan diharapkan merasa gembira setelah melahirkan. Tetapi

karena perubahan hormonal yang besar waktu melahirkan dan tantangan

untuk merawat bayi.


a. Penyebab
1) Perubahan perasaan yang dialami ibu saat hamil sehingga sulit

menerima kehadiran bayinya, yang merupakan respon alami terhadap

rasa lelah yang dirasakan.


2) Perubahan fisik selama beberapa bulan kehamilan yaitu terjadi

perubahan kadar hormon esterogen, progesterone dan prolaktin yang

cepat setelah melahirkan. Setelah melahirkan dan lepasnya plasenta


dari dinding rahim, tubuh ibu mengalami perubahan besar dalam

jumlah hormon tersebut sehingga membutuhkan waktu untuk

penyesuaian diri.
3) Perubahan emosional kehadiran seorang bayi dapat membuat

perbedaan besar dalam kehidupan ibu dan hubungannya dengan

suami, orang tua, maupun anggota keluarga lain.


a. Gejala
1) Ibu mengalami perubahan perasaan
2) Menangis
3) Cemas
4) Kesepian
5) Khawatir mengenai bayinya
6) Tidak mampu beradaptasi
7) Sensitive
8) Tidak nafsu makan
9) Sulit tidur
10) Penurunan gairah seks
11) Kurang percaya diri terhadap kemampuannya menjadi seorang

ibu
b. Cara mengatasi
1) Baby blues dapat disembuhkan kembali tanpa pengobatan

namun, jika terjadi menetap/memburuk ibu membutuhkan

evaluasi lebih lanjut terhadap depresi postpartum.


2) Bidan/perawat dapat membantu dengan cara
a. Membantu perawatan diri ibu dan bayinya
b. Memberikan informasi yang tepat
c. Menyarankan pada ibu untuk:
1. Meminta bantuan suami atau keluarga jika

membutuhkan istirahat untuk menghilangkan kelelahan


2. Memberitahu suami mengenai apa yang sedang ibu

rasakan karena dengan bantuan suami dan keluarga

dapat membantu mengantasi gejala ini


3. Membuang rasa cemas dan kekhawatiran akan

kemampuan merawat bayinya, ibi akan semakin

terampil dan percaya diri.


4. Mencari bantuan dan meluangkan waktu untuk diri

sendiri.

1. Kesedihan dan duka cita


a. Pengertian
Berduka diartikan sebagai respon psikologi terhadap kehilangan dapat

memiliki makna mulai dari pembatalan kegiatan (piknik, perjalanan,

pesta) sampai kematian seseorang yang dicintai. Seberapa berat

kehilangan tergantung dari persepsi individu yang mengalami

kehilangan. Kehilangan yang di bahas sebagai penyebab baby blues

(kehilangan keintiman eksklusif antara suami dan istri menjadi

kelompok ntiga orang ayah-ibi-anak.


b. Tiga tahap berduka
1) Tahap syok
a) Merupakan tahap awal dari kehilangan
b) Manifestasi perilaku meliputi menyangkal, ketidakpercayaan,

marah, jengkel, ketakutan, kecemasan, rasa bersalah, kekosongan,

kesendirian, kesedihan, isolasi, mati rasa, menangis, introvesri

(memikirkan dirinya sendiri), tidak rasional, bermusuhan,

kebencian, kegetiran, kewaspadaan akut, kurang inisiatif,

mengasingkan diri, frustasi, dan kurang konsentrasi.


c) Manifestasi fisik meliputi gelombang distress somatic yang

berlangsung selama 20-60 menit, menghela nafas panjang,


penurunan berat badan, anoreksia, tidur tidak tenang, keletihan,

penampialan kusur dan tampak lesu, rasa penuh ditenggorokkan,

tersedak, nafas pendek, mengeluh tersiksa karena nyesri dada,

gemetaran, kelemahan umum, dan kelemahan pada tungkai.


2) Tahap penderitaan (Fase Realitas)
a) Penerimaan terhadap fakta kehilangan dan upaya penyesuaian

terhadap realitas yang harus ia lakukan.


b) Nyeri karena kehilangan akan dirasakan secara menyeluruh, dalam

realitas yang memanjang dan dalam ingantan setiap hari.


c) Menangis adalah suatu pelepasan emosi yang umum
d) Selama masa ini, kehidupan orang yang berduka akan berlanjut
e) Saat individu terus melanjutkan tugasnya untuk berduka, dominasi

kehilangan secara tahap berubah menjadi kecemasan terhadap

masa depan.
3) Tahap Resolusi (fase yang membutuhkan hubungan yang bermakna)
a) Selama periode ini, orang yang berduka menerima kehilangan,

penyesuaian telah komplet dan individu kembali pada fungsinya

secara penuh
b) Kemajuan ini berhasil karena adanya penanaman kembali emosi

seseorang pada hubungan lain yang lebih bermakana


c) Tanggung jawab bidan/perawat adalah membagi informasi dengan

orang tua. Keluarga dapat segera merasakan bila berjalan tidak

baik
d) Pada peristiwa kematian, ibu tidak mendengarkan suara bayi dan

ibu mempunyai hak untuk mendapatkan informasi sebanyak

mungkin dari bidan/perawat pada saat itu juga


e) Kejujuran dan realitas akan jauh lebih baik menghibur dar pada

keyakinan yang palsu atau kerahasiaan


2.1.5 Tujuan Asuhan Masa Nifas

Menurut suherni (2009), terdapat beberapa tujuan asuhan masa niafas, yaitu:
1. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya baik fisik maupun psikologi
2. Melakukan skrining secara komprehensif, deteksi dini, mengobati atau

merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu maupun bayinya


3. Memberikan pendidikan kesehatan pada ibu berkaitan dengan: gizi,

menyusui, imunisasi, perawatan bayi dan KB


4. Memberikan pelayanan KB

2.1.6 Peran dan Tanggung jawab Bidan dalam Masa Nifas

1. Mengidentifikasi dan merespon terhadap kebutuhan dan komplikasi yang

terjadi pada saat penting yaitu 6 jam, 6 hari, 2 minggu dan 6 minggu
2. Mengadakan kolaborasi antara orangtua dan keluarga
3. Membuat kebijakan, perencanaan kesehatan dan administrator asuhan masa

nifas sangat penting karena periode ini merupakan masa kritis ibu maupun

bayinya (Suherni, 2009).

2.1.7 Deteksi Dini Komplikasi Masa Nifas

Menurut Dewi, dkk, (2013), deteksi dini komplikasi pada masa nifas harus

dilakukan untuk mencegah hal buruk yang terjadi pada ibu nifas, berikut

beberapa komplikasi atau tanda bahaya ibu nifas:

1. Perdarahan pasca persalinan primer

Perdarahan per vaginam yang melebihi 500 ml setelah bersalin, beberapa

etiologi dari komplikasi ini adalah atonia uteri dan sisa plasenta, laserasi
jalan lahir, serta gangguan faal pembekuan darah pascasolusio plasenta.

Penatalaksanaannya :

a) Perdarahan kala III

Masase fundus uteri untuk memicu kontraksi uterus disertai dengan

tarikan tali pusat terkendali. Bila perdarahan terus terjadi meskipun

uterus telah berkontraksi dengan baik, periksa kemungkinan laserasi

jalan lahir atau ruptura uteri. Bila plasenta belum dapat dilahirkan,

lakukan plasenta manual.

b) Perdarahan pasca persalinan primer

1. Periksa apakah plasenta lengkap

2. Masase fundus uteri

3. Pasang infus RL dan berikan uterotonik (oksitosin, methergin atau

misoprostol)

4. Bila perdarahan > 1 lt pertimbangkan tranfusi

5. Periksa faktor pembekuan darah

6. Bila kontraksi uterus baik dan perdarahan terus terjadi, periksa

kembali kemungkinan adanya laserasi jalan lahir

7. Bila perdarahan terus berlangsung, lakukan kompresi bimanual

2. Perdarahan Pasca persalinan Sekunder

Sisa konsepsi atau gumpalan darah. Penatalaksanaannya, terapi awal yang

dilakukan adalah memasang infus dan memberikan uterotonika (methergin

0,5 mg IM), antiipiretika, dan antibiotika. Kuretase hanya dilakukan bila

terdapat sisa konsepsi.


3. Hematoma

Hematoma adalah pembengkakan jaringan yang berisi darah. Bahaya

hematoma adalah kehilangan sejumlah darah karena hemoragi, anemia, dan

infeksi. Hematoma terjadi karena ruptur pembuluh darah spontan atau

akibat trauma. Kemungkinan penyebab termasuk sebagai berikut :

1) Laserasi sobekan pembuluh darah yang tidak dijahit selama injeksi

lokal, atau selama penjahitan episiotomi atau laserasi


2) Kegagalan hemostatis lengkap sebelum penjahitan laserasi atau

episiotomi
3) Pembuluh darah di atas apeks insisi atau laserasi tidak dibendung, atau

kegagalan melakukan jahitan pada titik tersebut


4) Penanganan kasar pada jaringan vagina kapanpun atau pada uterus

selama massase

Tanda gejalanya adalah, pembengkakan yang tegang dan berdenyut,

perubahan warna jaringan kebiruan atau biru kehitaman.Penanganannya

adalah pemantauan perdarahan secara terus-menerus dengan melakukan

pemeriksaan laboratorium hematokrit, insisi untuk mengevaluasi darah dan

bekuan darah, serta penutupan rongga, dan perlunya intervensi

pembedahan lain, penggantian darah, atau antibiotic.

4. Infeksi Masa Nifas

a. Infeksi trauma vulva,perinium,vagina, dan serviks


Tanda gejalanya adalah, nyeri lokal, disuria, suhu derajat rendah-jarang

diatas 38,3 derajat celcius, edema, sisi jahitan merah dan inflamasi,

mengeluarkan pus atau eksudat berwarna abu-abu kehijauan, pemisahan

atau terlepasnya lapisan luka operasi. Penanganannya, membuang


semua jahitan, membuka, membersihkan luka, dan memberikan obat

antimikroba spektrum luas.


b. Infeksi Saluran Kemih
Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relatif tinggi dan hal ini

dihubungkan dengan hipotoni kandung kemih akibat trauma kandung

kemih saat persalinan, pemeriksaan dalam yang sering, kontaminasi

kuman dari perinium, atau kateterisasi yang sering. Tanda gejalanya

adalah nyeri saat berkemih (disuria), demam, menggigil, perasaan mual

muntah. Penanganannya, antibiotik yang terpilih meliputi golongan

nitrofurantion, sulfonamid, trimetoprim, sulfametoksasol, atau

sefalosporin.
c. Mastitis
Mastitis adalah infeksi payudara. Meskipun dapat terjadi pada setiap

wanita, mastitis semata-mata merupakan komplikasi pada wanita

menyusui. Mastitis terjadi akibat invasi jaringan payudara oleh

mikroorganisme infeksius atau adanya cedera payudara. Tanda

gejalanya adalah, nyeri otot, sakit kepala, keletihan, nyeri ringan pada

salah satu lobus payudara yang diperkuat ketika bayi menyusui,

menggigil, demam, area payudarra keras. Penanganan terbaik mastitis

adalah dengan pencegahan. Pencegahan dilakukan dengan mencuci

tangan menggunakan sabun antibakteri secara cermat, pencegahan

pembesaran dengan menyusui sejak awal dan sering, posisi bayi yang

tepat pada payudara, penyangga payudara yang baik tanpa konstriksi,

membersihkan hanya dengan air.


d. Endometritis
Jenis infeksi yang paling sering ialah endometritis. Kuman-kuman yang

memasuki endometrium, biasanya melalui bekas insersio plasenta, dan

dalam waktu singkat mengikutsertakan seluruh endometrium. Tanda

gejala endometritis adalah sebagai berikut :

1. Peningkatan suhu tubuh hingga 40 derajat celcius

2. Takikardi (nadi cepat)

3. Menggigiil dengan infeksi berat

4. Nyeri tekan uteri menyebar secara lateral

5. Nyeri panggul dan pemriksaan bimanual

6. Subinvolusio

7. Lochea sedikit, tidak berbau, atau berbau tidak sedap, lochea

seropurelenta

e. Tromboflebitis dan Emboli Paru


Tomboflebitis merupakan inflamasi permukaan pembuluh darah disertai

pembentukan pembekuan darah. Tomboflebitis cenderung terjadi pada

periode pasca partum pada saat kemampuan penggumpalan darah

meningkat akibat peningkatan fibrinogen; dilatasi vena ekstremitas

bagian bawah disebabkan oleh tekanan keopala janin gelana kehamilan

dan persalinan dan aktifitas pada periode tersebut yang menyebabkan

penimbunan, statis dan membekukan darah pada ekstremitas bagian

bawah (Adele Pillitteri, 2007). Emboli paru merupakan oklusi dari

bagian pembuluh darah paru-paru oleh embolus. Emboli adalah suatu

kondisi terjadinya obstruksi sebagian atau total akibat tersangkutnya


emboli trombus atau emboli yang lain pada sirkulasi pulmonalis atau

cabang-cabangnya. Embolus ialah suatu benda asing yang tersangkut

pada suatu tempat dalam sirkulasi darah. Benda tersebut ikut terbawa

oleh aliran darah dan berasal dari suatu tempat lain dari susunan

sirkulasi darah. Proses terjadinya embolus disebut embolisme. Hampir

99% emboli berasal dari thrombus (Wulandari, 2009).

2.2 Konsep Dasar Paritas

2.2.1 Definisi Paritas

Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang

wanita (BKKBN, 2006). Menurut Prawirohardjo (2009), paritas dapat

dibedakan menjadi primipara, multipara dan grandemultipara.


Paritas merupakan suatu istilah untuk menunjukkan jumlah kehamilan

bagi seorang wanita yang melahirkan bayi yang dapat hidup pada setiap

kehamilan ( Winkjosastro, 2009).

2.2.2 Klasifikasi Paritas

Terdapat beberapa istilah yang merujuk pada jumlah paritas, yaitu :


1. Nulipara adalah seorang wanita yang tidak pernah menjalani proses

kehamilan melebihi minggu ke-20.


2. Primipara adalah seorang wanita yang pernah melahirkan hanya sekali atau

beberapa kali melahirkan janin yang hidup atau mati dengan estemasi lama

waktu gestasi antara 20 atau beberapa minggu. Primipara adalah wanita


yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup di

dunia luar (Varney, 2009).


3. Multipara adalah seorang wanita yang pernah menjalani waktu kehamilan

dengan sempurna 2 atau lebih dengan waktu gestasi 20 minggu atau lebih

( Winjosastro, 2009). Multipara adalah wanita yang telah melahirkan

seorang anak lebih dari satu kali (Prawirohardjo, 2009). Multipara adalah

wanita yang pernah melahirkan bayi viable (hidup) beberapa kali

( Manuaba, 2008)
4. Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau

lebih dan biasanya mempunyai penyulit dalam kehamilan dan persalinan

(Manuaba, 2008). Grandemultipara adalah wanita yang pernah melahirkan

6 kali atau lebih hidup atau mati ( Rustam, 2005). Grandemultipara adalah

wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih (Varney, 2007).

Ditinjau dari tingkat paritas dikelompokkan menjadi tiga antara lain


a. Paritas rendah atau primipara
Paritas rendah meliputi nullipara dan primipara
b. Paritas sedang atau multipara
Paritas sedang atau multipara digolongkan pada hamil dan bersalin dan

sampai empat kali. Pada paritas sedang ini, sudah masuk dalam kategori

rawan terutam pada kasus-kasus obstetrik, serta interval kehamilan yang

terlalu dekat kurang dari 2 tahun.


c. Paritas tinggi
Kehamilan dan persalinan pada paritas tinggi atau grandemulti, adalah

ibu hamil dan melahirkan 5 kali atau lebih. Paritas tinggi merupakan

paritas rawan oleh karena paritas tinggi banyak kejadian-kejadian

obstetrik patologi yang bersumber dari paritas tinggi. Antara lain


plasenta previa, perdarahan postpartum, dan atonia uteri (Manuaba,

2010).
Menurut Manuaba (2010) seorang wanita yang telah mengalami

kehamilan sebanyak 6 kali atau lebih, lebih mungkin mengalami:


Kontraksi yang lemah pada saat persalinan (karena otot rahim lemah )
1. Perdarahan setelah persalinan
2. Plasenta previa
3. Pre eklamsia

2.2.3 Penentuan Paritas

Paritas ditentukaan dari jumlah kehaamilan yang mencapai 20 minggu dan

bukan dari jumlah bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu, paritas tidak lebih

besar apabila yang dilahirkan adalah janin tunggal, kembar, atau kuintuplet,

atau lebih kecil apabila janin lahir mati (Cunninggham et al, 2005).paritas

adalah ringkasan dari riwayat kehamilan dan 2 angka digunakan untuk

dokumentasi. Penambahan kedua angka ini member nilai untuk kehamilan

sebelumnya. Sebagai contoh 0+0 berati tidak mempunyai riwayat kehamilan

sebelumnya. Angka yang pertamamerupkan jumlah angka janinyang masih

hidup, ditambah dengan angka janin yang hidup selepas 24 minggu gestasi.

Angka yang kedua merupakan angka kehamilan sebelumnya 24 minggu

dimana janin tidak dilahirkan hidup ( Drife et al, 2004).


Merupakan jumlah angka janin yang masih hidup, ditambah dengan angka

janin yang hidup selepas 24 minggu gestasi. Angka yang kedua merupakan

angka kehamilan sebelum 24 minggu di mana janin tidak dilahirkan hidup

(Drife et al, 2004).


2.2.4 Faktor yang mempengaruhi paritas

1. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Makin

tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin mudah dalam

memperoleh menerima informasi, sehingga kemampuan ibu dalam

berpikir lebih rasional. Ibu yang mempunyai pendidikan tinggi akan lebih

berpikir rasional bahwa jumlah anak yang ideal adalah 2 orang.


2. Pekerjaan
Pekerjaan adalah simbol status seseorang dimasyarakat. Pekerjaan

jembatan untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan

hidup dan untuk mendapatkan tempat pelayanan kesehatan yang

diinginkan. Banyak anggapan bahwa status pekerjaan seseorang yang

tinggi, maka boleh mempunyai anak banyak karena mampu dalam

memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari.


3. Keadaan Ekonomi
Kondisi ekonomi keluarga yang tinggi mendorong ibu untuk mempunyai

anak lebih karena keluarga merasa mampu dalam memenuhi kebutuhan

hidup.
4. Latar Belakang Budaya
Cultur universal adalah unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal,

ada di dalam semua kebudayaan di dunia, seperti pengetahuan bahasa dan

khasanah dasar, cara pergaulan sosial, adat-istiadat, penilaian-penilaian

umum. Tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh

sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap

anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak


pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok

masyarakat asuhannya. Hanya kepercayaan individu yang telah mapan dan

kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam

pembentukan sikap individual. Latar belakang budaya yang

mempengaruhi paritas antara lain adanya anggapan bahwa semakin

banyak jumlah anak, maka semakin banyak rejeki.


5. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan domain dari perilaku. Semakin tinggi tingkat

pengetahuan seseorang, maka perilaku akan lebih bersifat langgeng.

Dengan kata lain ibu yang tahu dan paham tentang jumlah anak yang

ideal, maka ibu akan berperilaku sesuai dengan apa yang ia ketahui

(Friedman, 2009).

2.3 Konsep Dasar Stress

2.3.1 Definisi Stress

Stress diawali dengan adanya ketidak seimbangan antara tuntutan dan

sumber daya yang dimiliki individu, semakin tinggi kesenjangan terjadi

semakin tinggi pula tingkat stress yang dialami individu, dan akan merasa

terancam. Berbagai pendekatan mengenai stress yang telah ditemukan oleh

para ahli tentang stress.

Menurut Dadang Hawari (2011), istilah stress dan depresi seringkali

tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap permasalahan kehidupan yang

menimpa pada diri seseorang dapat mengakibatkan gangguan fungsi/faal


organ tubuh. Reaksi tubuh (fisik) dinamakan stress dan manakala funsi organ-

organ tubuh sampai terganggu dinamakan distress. Sedangkan depresi adalah

reaksi kejiwaan seseorang terhadap stress yang dialami.

Kecemasan (anciety) dan depresi (depression) merupakan dua jenis

gangguan kejiwaan yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Stress adalah

tanggapan/ reaksi tubuh terhadap berbagai tuntutan atau beban atasnya yang

bersifat non spesifik. Namun selain itu stress dapat juga merupakan faktor

pencetus, akibat sekaligur merupakan suatu gangguan atau penyakit.

Stress biasanya dicirikan dengan adanya suatu rasa kewalahan. Hal ini

dapat diakibatkan oleh telah terlewatinya batas ketahanan anda atau akibat

tertekan dalam waktu yang terlalu lama. Kadangkala, rasa stress dapat

membantu anda menyelesaikan berbagai pekerjaan atau hal yang harus anda

lakukan, akan tetapi terlalu banyak rasa stress yang anda rasakan juga dapat

membuat anda merasa tertekan dan kelelahan.

2.3.2 Klasifikasi gangguan pasca postpartum

Gangguan pascasalin menurut Yurike (2009), diklasifikasikan dalam 3 tipe

yaitu:
1. Baby Blues
Merupakan bentuk yang paling ringan dan berlangsung hanya beberapa

hari saja. Gejala berupa perasaan sedih, gelisah, sering uring-uringan, dan

khawatir tanpa alas an yang jelas. Tahapan baby blues hanya berlangsung
beberapa hari saja pelan-pelan ibu akan dapat pulih kembali dan mulai

bias menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya.


2. Depresi Postpartum
Bentuk yang satu ini lumayan berat tingkatnya keparahan yang

membedakan ibu tidak bisa tidur atau sulit tidur. Dapat terjadi 2 minggu

sampai 1 tahun setelah melahirkan.

3. Psychosis postpartum
Jenis ini adalah yang paling parah. Ibu dapat mengalami halusinasi,

memiliki keinginan untuk bunuh diri. Tak saja psikis ibu yang nantinya

jadi terganggu secara keseluruhan.

2.3.3 Faktor Penyebab Stress Postpartum

Menurut Pitt (2009), mengemukakan 4 faktor penyebab Stres postpartum:


1. Faktor konstitusional
Gangguan postpartum berkaitan dengan status paritas adalah riwayat

obstetrik pasien yang meliputi riwayat hamil sampai bersalin serta apakah

ada komplikasi dalam dari kehamilan sampai persalinan sebelumnya dan

terjadi banyak pada primipara. Wanita primipara lebih mudah menderita

blues karena setelah melahirkan wanita primipara dalam proses adaptasi,

dulu ibu primipara masih memikirkan diri sendiri sedangkan sekarang

sudah mempunyai bayi jika ibu tidak paham akan perannya akan menjadi

bingung sementara bayinya harus tetap dirawat.


2. Faktor Fisik
Perubahan fisik setelah proses kelahiran dan memuncaknya gangguan

mental selama 2 minggu pertama menunjukkan bahwa faktor fisik

dihubungkan dengan kelahiran pertama merupakan faktor penting.

Perubahan hormon secara drastis setelah melahirkan dan periode laten


selama dua hari diantara kelahiran dan munculnya gejala. Perubahan ini

sangat berpengaruh pada keseimbangan. Kadang progesteron naik dan

estrogen yang menurun secara cepat setelah melahirkan merupakan faktor

penyebab yang sudah pasti.


3. Faktor Psikologi
Peralihan yang cepat dari keadaan dua dalam satu pada akhir kehamilan

menjadi dua individu yaitu ibu dan anak bergantung pada penyesuaian

psikologis individu. Klaus dan Kennel mengindikasikan pentingnya cinta

dalam menanggulangi masa peralihan ini untuk memulai hubungan baik

antara ibu dan anak.


4. Faktor social dan kaakteristik ibu
Paykel mengemukakan bahwa pemukiman yang tidak memadai lebih

sering menimbulkan depresi pada ibuibu, selain kurangnya dukungan

dalam perkawinan.
Menurut Krucman, 2009 menyatakan terjadinya depresi pascasalin

dipengaruhi oleh:
a. Biologis
Faktor biologis dijelaskan bahwa depresi postpartum sebagai akibat

kadar hormon seperti estrogen, progesteron dan prolaktin yang terlalu

tinggi atau terlalu rendah dalam masa nifas atau mungkin perubahan

hormon tersebut terlalu cepat atau terlalu lambat.


b. Karakteristik ibu, yang meliputi :
1) Faktor umur
Sebagian besar masyarakat percaya bahwa saat yang tepat bagi

seseorang perempuan untuk melahirkan pada usia antara 2030

tahun, dan hal ini mendukung masalah periode yang optimal bagi

perawatan bayi oleh seorang ibu. Faktor usia perempuan yang

bersangkutan saat kehamilan dan persalinan seringkali dikaitkan


dengan kesiapan mental perempuan tersebut untuk menjadi seorang

ibu.
2) Faktor paritas
Beberapa penelitian diantaranya adalah pnelitian yang dilakukan oleh

Paykel dan Inwood (Regina dkk, 2010 (Yurikke, 2009)) mengatakan

bahwa depresi postpartum ini lebih banyak ditemukan pada

perempuan primipara, mengingat bahwa peran seorang ibu dan segala

yang berkaitan dengan bayinya merupakan situasi yang sama sekali

baru bagi dirinya dan dapat menimbulkan stres. Selain itu penelitian

yang dilakukan oleh Le Masters yang melibatkan suami istri muda

dari kelas sosial menengah mengajukan hipotesis bahwa 83% dari

mereka mengalami krisis setelah kelahiran bayi pertama.


3) Faktor pendidikan
Perempuan yang berpendidikan tinggi menghadapi tekanan sosial dan

konflik peran, antara tuntutan sebagai perempuan yang memiliki

dorongan untuk bekerja atau melakukan aktivitasnya diluar rumah,

dengan peran mereka sebagai ibu rumah tangga dan orang tua dari

anakanak mereka.
4) Faktor selama proses persalinan.
Hal ini mencakup lamanya persalinan, serta intervensi medis yang

digunakan selama proses persalinan. Diduga semakin besar trauma

fisik yang ditimbulkan pada saat persalinan, maka akan semakin

besar pula trauma psikis yang muncul dan kemungkinan perempuan

yang bersangkutan akan menghadapi depresi postpartum.


5) Faktor dukungan sosial
Banyaknya kerabat yang membantu pada saat kehamilan, persalinan

dan postpartum, beban seorang ibu karena kehamilannya sedikit

banyak berkurang.

2.3.4 Gejala Stress pada postpartum

Beberapa gejala stress yang dapat ditemukan adalah:

1. Sulit tidur

2. Merasa kewalahan

3. Gangguan daya ingat

4. Kesulitan berkonsentrasi

5. Perubahan kebiasaan makan

6. Merasa gugup atau cemas

7. Merasa marah, mudah tersinggung, atau mudah merasa frustasi

8. Merasa sangat lelah akibat belajar mengurus bayinya

9. Merasa tidak dapat mengatasi berbagai kesulitan di dalam kehidupan

10. Kesulitan merawat bayinya dan menjalani kehidupan sehari-hari

11. Tidur yang buruk

12. Ketakutan dan kecemasan tentang kesehatan bayi

13. Kekhawatiran tentang tubuh pasca-kehamilan dan seksualitas

14. Kekecewaan tentang kualitas dukungan yang diterima dari salah satu

pasangan

15. Rasa bersalah lebih memiliki pikiran negatif tentang bayi atau orang tua
kekhawatiran keuangan atau tekanan yang berkaitan dengan kembali ke

tempat kerja

Dan orang tua juga mungkin menderita dari "baby blues," depresi

postpartum, atau postpartum gangguan obsesif-kompulsif. "Baby blues,"

ditandai dengan perasaan sedih, cemas, dan perubahan suasana hati,

adalah kondisi yang paling umum, diperkirakan mempengaruhi 50-80%

dari semua ibu postpartum (Hopkins et al 1984). Gejala biasanya dimulai

dalam 10 hari pertama postpartum (O'Hara 1995) dan mungkin dipicu

oleh penurunan mendadak kadar progesteron setelah melahirkan (Harris

1996).

2.3.5 Tingkatan dari Stress

Menurut klasifikasi WHO, berdasarkan tingkat penyakitnya depresi dapat

dibagi menjadi: (Lubis, 2009) Tingkat dan Bentuk Stress

Berdasarkan gejalanya, stress dibagi menjadi tiga tingkat yaitu :

a. Stress Ringan
Stres ringan adalah stresor yang dihadapi setiap orang secara teratur, seperti

terlalu banyak tidur, kemacetan lalu-lintas, kritikan dari atasan. Situasi

seperti ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam . Stresor ringan

biasanya tidak disertai timbulnya gejala

Ciri-cirinya yaitu semangat meningkat, penglihatan tajam, namun cadangan

energinya menurun, kemampuan menyelesaikan pelajaran meningkat,


sering merasa letih tanpa sebab, kadang-kadang terdapat gangguan sistem

seperti pencernaan, otot, perasaan tdk santai.

b. Stress Sedang
Berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa hari. Situasi

perselisihan yang tidak terselesaikan dengan rekan ; anak yang sakit; atau

ketidakhadiran yang lama dari anggota keluarga merupakan penyebab stres

sedang. Ciri-cirinya yaitu sakit perut, mules, otot-otot terasa tegang,

perasaan tegang, gangguan tidur, badan terasa ringan.


c. Stress Berat
Adalah situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai

beberapa bulan, seperti perselisihan perkawinan terus menerus; kesulitan

finansial yang berkepanjangan; berpisah dengan keluarga; berpindah

tempat tinggal; mempunyai penyakit kronis dan termasuk perubahan fisik,

psikologis, sosial pada usia lanjut. Makin sering dan makin lama situasi

stres, makin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan. Stres yang

berkepanjangan dapat mempengaruhi kemampuan untuk meyelesaikan

tugas perkembangan.
Ciri-cirinya yaitu sulit beraktivitas, gangguan hubungan sosial, sulit tidur,

penurunan konsentrasi, takut tidak jelas, keletihan meningkat, tidak mampu

melakukan pekerjaan sederhana, gangguan sistem meningkat, perasaan

takut meningkat.
2.3.6 Tipe Stress

Menurut Hebb (dalam Sarafino, 1997) mempergunakan istilah yang dapat

membedakan tipe stres, yaitu :

1. Distress merupakan stres yang berbahaya dan merusak keseimbangan fisik,

psikis atau sosial individu ,


2. Eustress merupakan stres yang menguntungkan dan konstruktif bagi

kesejahteraan individu.)
Bahwa stres juga dapat bersifat netral yaitu tidak memberikan efek buruk

maupun baik. Ini terjadi bila intensitas atau durasi stresor sangat kecil atau

kemampuan adaptasi individu sangat baik sehingga stresor dapat

dikendalikan.

2.3.7 Dampak akibat stress

faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi terhadap stresor adalah sebagai

berikut:

a. Pengalaman sebelumnya. Seseorang yang pernah mengalami situasi

stressfull pada umumnya mampu menghadapi dengan baik jika situasi yang

menyebabkan stres muncul lagi.


b. Informasi. Informasi mengenai suatu peristiwa stressfull dapat memberikan

persiapan kepada seseorang untuk menerima keadaan tersebut sehingga

mengurangi intensitas dari stres.


c. Perbedaan individu. Sebagian orang berusaha untuk melindungi diri

mereka dari dampak stres seperti penyangkalan atau melepaskan diri dari

situasi tersebut.
d. Dukungan sosial. Dampak dari peristiwa stres dipengaruhi sistem sosial.

Dukungan dan empati dari orang lain sangat membantu mengurangi tingkat

stres.
e. Kontrol. Kepercayaan seseorang untuk mengontrol situasi yang

menyebabkan stres dapat mengendalikan situasi akibat stres.

Dampak stress dibedakan dalam 3 kategori,

a) Dampak Fisiologik : Secara umum orang yang mengalami stress

mengalami sejumlah gangguan fisik seperti : mudah masuk angin, mudah

pening-pening, kejang otot (kram) dll


b) Dampak Psikologik: Keletihan emosi, jenuh. Dalam keadaan stress

berkepanjangan, seiring dengan kewalahan/keletihan emosi, kita dapat

melihat ada kecenderungan yang bersangkutan memperlakuan orang lain.


c) Dampak Perilaku : Manakala stress menjadi distress, kemampuan

beradaptasi menurun dan sering terjadi tingkah laku yang tidak diterterima

oleh masyarakat . Level stress yang cukup tinggi berdampak negative pada

kemampuan mengingat informasi, mengambil keputusan, mengambil

langkah tepat.
2.3.8 Tahapan Stress
1. Stress Tingkat I
Tahapan ini merupakan tahapan stress yang paling ringan dan biasanya

disertai dengan perasaan-perasaan sebai berikut


a. Semangat besar
b. Penglihatan tajam tidak sebagaimana mestinya
c. Energy dan gugup berlabihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dari

biasanya.
Tahpan ini biasanya menyenangkan dan orang lalu bertambah semangat tapi

tanpa disadari cadangan energy menipis.


2. Stress tingkat II
Dalam tahapan ini dampak stress yang menyenangkan mulai menghilang dan

timbul keluhan-keluhan karena cadangan energy tidak lagi cukup sepanjang

hari.
a. Merasa letih sewaktu bangun pagi
b. Merasa lelah sesudah makan siang
c. Merasa lelah menjelang sore hari
d. Terkadang gangguan dalam system pencernaan ( gangguan usus, perut

kembung), kadang pula jantung berdebar-debar


e. Perasaan tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk
f. Persaan tidak bias santai
3. Stress tingakat III
Pada tahap ini keluhan keletihan semakin Nampak disertai dengan gejala-gejal
a. Gangguan usus lebih terasa ( sakit perut, mulas, sering ingin kebelakang)
b. Otot-otot terasa tegang
c. Perasaan tegang yang semakin meningkat
d. Gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun malam hari dan sukar tidur

kembali, atau bangun terlalu pagi)


e. Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan(tidak sampai jatuh pingsan)
Pada tahahapan ini penderita harus segera berkonsul pada dokter, kecuali

kalau beban stress atau tuntutan-tuntutan dikurangi, dan tubuh mendapat

kesempatan untuk beristirahat atau relaksasi, guna memulihkan suplai energy


4. Stress tingkat IV
Keadan ini menunjukan keadaan yang lebih buruk ditandai dengan cirri

sebagai berikut:
a. Untuk bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit
b. Kegiatan-kegiatan yang menyenangkan kini terasa sulit
c. Kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan social, dan

kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat


d. Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi meneganggkan, dan sering kali terbangun

dini hari
e. Perasaan negative
f. Keampuan berkonsentrasi menurun tajam
g. Perasaan takut yang tidak dapat di jelaskan, dan tidak engerti mengapa
5. Stress tingkat V
Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahapan IV yaitu
a. Keletihan yang mendalam
b. Untuk merawat bayinya terasa kurang mampu dan pekerjaan yang

sederhana tidak dapat dilakukan


c. Gangguan system pencernaan lebih sering, sukar buang air besar atau

sebaliknya fese cair dan sering kebelaknag


d. Perasaan takut yang semakin mejadi, mirip panic
6. Stress tingkat VI
Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat

darurat. Tidak jarang penderita dalam keadaan ini di bawa ke ICCU. Gejala

gejala pada tahapan ini cukup mengerikan


a. Debar jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan zatadrenalinyang

dikeluarkan, karena stress tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah


b. Nafas sesak, megap-megap
c. Badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran
d. Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan atau

collaps

2.3.9 Penatalaksanaan Stress pada Post Partum

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat

perilaku, emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-sama, dengan

melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya.

Cara mengatasi gangguan psikologi pada nifas dengan postpartum blues ada dua cara

yaitu :

A. Dengan cara pendekatan komunikasi terapeutik


Tujuan dari komunikasi terapeutik adalah menciptakan hubungan baik antara

bidan dengan pasien dalam rangka kesembuhannya dengan cara :

1. Mendorong pasien mampu meredakan segala ketegangan emosi

2. Dapat memahami dirinya


3. Dapat mendukung tindakan konstruktif.

4. Dengan cara peningkatan support mental

Beberapa cara peningkatan support mental yang dapat dilakukan keluarga

diantaranya:

1. Sekali-kali ibu meminta suami untuk membantu dalam mengerjakan

pekerjaan rumah seperti : membantu mengurus bayinya, memasak,

menyiapkan susu dll.

2. Memanggil orangtua ibu bayi agar bisa menemani ibu dalam menghadapi

kesibukan merawat bayi

3. Suami seharusnya tahu permasalahan yang dihadapi istrinya dan lebih

perhatian terhadap istrinya

4. Menyiapkan mental dalam menghadapi anak pertama yang akan lahir

5. Memperbanyak dukungan dari suami

6. Suami menggantikan peran isteri ketika isteri kelelahan

7. Ibu dianjurkan sering sharing dengan teman-temannya yang baru saja

melahirkan

8. Bayi menggunakan pampers untuk meringankan kerja ibu

9. mengganti suasana, dengan bersosialisasi

10. Suami sering menemani isteri dalam mengurus bayinya

Selain hal diatas, penanganan pada klien postpartum blues pun dapat dilakukan pada

diri klien sendiri, diantaranya dengan cara :


1. Belajar tenang dengan menarik nafas panjang dan meditasi

2. Tidurlah ketika bayi tidur

3. Berolahraga ringan

4. Ikhlas dan tulus dengan peran baru sebagai ibu

5. Tidak perfeksionis dalam hal mengurusi bayi

6. Bicarakan rasa cemas dan komunikasikan

7. Bersikap fleksibel

8. Kesempatan merawat bayi hanya datang 1 x

9. Bergabung dengan kelompok ibu

2.3.10 Pengobatan Depresi postpartum

1. Terapi Obat
Obat diberikan untuk depresi sedang sampai berat obat yang umum

digunakan antara lain golongan selective serotonin reuptake inhibitors

(SSRI), SNRI, dan tricyclic antidepressants serta benzodiasepin sebagai

tambahan. Obat anti depressant tidak dapat digunakan hanya 1-2 minggu,

karena efeknya baru terasa setelah 2 minggu. Umumnya diberikan selama 6

bulan.
2. Psikoterapi
Psikoterapi antara lain talking therapy, terapi interpersonal dan

kognitif/perilaku dan terapi psikodinamik. Talking therapy membantu

pasien mengenali masalah dan menyelesaikannya melalui give anta take

verbal dengan terapis. Pada terapi kognitif/perilaku, pasien belajar

mengidentifikasi dan mengubah persepsi menyimpang tentang dirinya serta


menyesuaikan perilaku untuk mengatasi lingkungan sekitar dengan lebih

baik.
3. Konseling
Ibu akan diajak melihat bahwa merawat anak bukanlah kesulitan yang luar

biasa. Pelan-pelan diajak melihat fokus masalah, apa yang dihadapi dalam

merawat anak dan adakah masalah yang sekiranya bias diselesaikan.


4. Modifikasi Lingkungan
Lingkungan keluarga penting dalam penyembuhan. Suami harus

pengertian. Serta keluarga harus mendukung ibu serta membantu dalam

merawat anak.

2.4 Pengukuran Depresi postpartum


Dalam penelitian ini menggunakan pengukuran depresi postpartum dengan

menggunakan kuesioner Edinburgh postnatal depression scale (EPDS) yaitu

metode untuk mendeteksi depresi pasca persalinan. EPDS dapat dengan

mudah digunakan selama 6 minggu pasca persalinan. EDPS berupa kuisioner

yang terdiri dari dari 10 pertanyaan mengenai bagaimana perasaan pasien

dalam satu minggu terakhir (Klainin & Arthur, 2009). Banyak peneliti yang

menggunakan EPDS sebagai alat untuk mengukur tingkat kejadian stress dan

depresi pada postpartum. Seperti penelitian yang dilakukan oleh World Health

Organizasition yang menggunakan EPDS sebagai pendeteksi depresi pasca

persalinan.
1. Cara penilaian EPDS
a) Pertanyaan 1, 2, dan 4
Mendapatkan nilai 0, 1, 2, atau 3 dengan kotak paling atas mendapatkan

nilai 0 dan kotak paling bawah mendapatkan nilai 3


b) Pertanyaan 3,5 sampai dengan 10
Merupakan penilaian terbalik, dengan kotak paling atas mendapatkan

nilai 3 dan kotak paling bawah mendapatkan nilai 0


c) Pertanyaan 10 merupakan pertanyaan yang menunjukkan keinginan

bunuh diri.
d) Dalam penelitian yang menggunakan EPDS gejala tingkatan depresi

ditunjukkan oleh perolehan skor.


a. Skor 1 8 menunjukkan tidak depresi,
b. Skor 9 12 menunjukkan depresi ringan,
c. Skor 13 14 menunjukkan depresi sedang
d. Skor lebih dari 15 menunjukkan depresi berat (Holden dalam

Astutiningrum, 2007)
2. Cara Pengisian
a. Para ibu diharap untuk memberikan jawaban tentang perasaan yang

terdekat dengan pertanyaan yang tersedia dalam 7 hari terakhir.


b. Semua pertanyaan kuisioner harus dijawab
c. Jawaban kuisioner harus berasal dari ibu sendiri. Hindari kemungkinan

ibu mendiskusikan pertanyaan dengan orang lain.


d. Ibu harus menyelesaikan kuisioner ini sendiri, kecuali ia mengalami

kesulitan dalam memahami bahasa atau tidak bisa membaca.


3. Keuntungan
a. Mudah dihitung (oleh perawat, bidan, petugas kesehatan lain)
b. Sederhana
c. Cepat dikerjakan ( membutuhkan waktu 5-10 menit bagi ibu untuk

menyelesaikan EPDS)
d. Mendeteksi dini terhadap adanya depresi pasca persalinan
e. Lebih diterima oleh pasien
f. Tidak memerlukan biaya
4. Kerugian
a. Tidak bisa mendiagnosis depresi pasca persalinan
b. Tidak bisa mengetahui penyebab dari depresi pasca persalinan
5. Interpretasi
a. Para ibu yang memiliki skor diatas 10 sepertinya menderita suatu

depresi dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Skala ini menunjukan

perasaan sang ibu dalam 1 minggu terakhir. Khusus untuk nomor 10,

jawaban: ya, cukup sering, merupakan suatu tanda dimana dibutuhkan

keterlibatan segera dari perawatan psikiatri. Wanita yang mengalami

gangguan fungsi (dibuktikan dengan penghindaran dari keluarga dan

teman, ketidakmampuan menjalankan kebersihan diri, ketidakmampuan

merawat bayi) juga merupakan keadaan yang membutuhkan penanganan

psikiatri segera.
b. Wanita yang memiliki skor antara 5 dan 9 tanpa adanya pikiran untuk

bunuh diri sebaiknya dilakukan evaluasi ulang setelah 2 minggu untuk

menentukan apakah episode depresi mengalami perburukan atau

membaik. EPDS yang dilakukan pada minggu pertama pada wanita

yang tidak menunjukkan gejala depresi dapat memprediksi

kemungkinan terjadinya depresi pasca persalinan pada minggu ke 4 dan

8. EPDS tidak dapat mendeteksi kelainan neurosis, phobia, kecemasan,

atau kepribadian, namun dapat dilakukan sebagai alat untuk mendeteksi

adanya kemungkinan depresi antepartum. Sensitifitas dan spesifisitas

EPDS sangat

2. Hubungan Paritas dengan Kejadian Depresi Postpartum

Adaptasi postpartum harus melewati penyesuaian maternal yang meliputi fase

menerima (taking in), fase dependen mandiri (taking hold), dan fase

interdependen (letting go). Pada fase taking hold, beberapa ibu menghadapi
kesulitan penyesuaian selama adaptasi maternal terutama untuk menguasai tugas-

tugas sebagai orangtua, isolasi yang dialami karena ia harus merawat bayi dan

tidak suka terhadap tanggung jawab di rumah dan merawat bayi. Ini sering

dialami oleh perempuan primipara yang belum berpengalaman mengasuh anak,

perempuan karier, perempuan yang tidak punya cukup waktu berteman atau

keluarga untuk berbagi rasa, ibu yang berusia remaja, atau perempuan yang tidak

bersuami (Ladewig dalam Nazara, 2009).


Pada fase taking hold ini sering terjadi depresi. Perasaan mudah tersinggung bisa

timbul akibat berbagai faktor, termasuk faktor psikologis akibat kejenuhan

dengan banyaknya tanggung jawab sebagai orangtua, kehilangan dukungan yang

pernah diterimanya dari anggota keluarga dan teman-teman ketika hamil,

perasaan kecewa ketika persalinan dan kelahiran telah selesai, juga faktor

keletihan setelah melahirkan yang diperburuk oleh tuntutan bayi yang banyak

sehingga dengan mudah timbul perasaan depresi (Ladewig dalam Nazara, 2009).
Hasil penelitian Handoyo dkk (2007) tentang risiko depresi post partum pada ibu

yang baru pertama kali dan yang sudah beberapa kali melahirkan di RS Margono

Soekardjo Purwokerto tahun 2007 didapatkan bahwa mayoritas risiko depresi

postpartum dialami oleh ibu yang baru pertama kali melahirkan.


Menurut Sudarsono (2009) wanita yang baru pertama kali melahirkan lebih

umum menderita depresi karena setelah melahirkan wanita tersebut berada dalam

proses adaptasi, kalau dulu hanya memikirkan diri sendiri, begitu bayi lahir jika

ibu tidak paham peran barunya, dia akan menjadi bingung sementara bayinya

harus tetap dirawat. Sedangkan ibu yang sudah pernah beberapa kali melahirkan
secara psikologis lebih siap menghadapi kelahiran bayinya dibandingkan dengan

ibu yang baru pertama kali.

Anda mungkin juga menyukai