Anda di halaman 1dari 40

TETANUS PADA ANAK, PERMASALAHAN DAN PECEGAHANNYA

Mei 10, 2014 by Dokter Anak Indonesia in Penyakit Dicegah Imunisasi.

TETANUS PADA ANAK, PERMASALAHAN DAN PECEGAHANNYA

Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit


yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat
saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid). Tetanus
adalah suatu penyakit toksemik akut dengan tanda utama
kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan
kesadaran. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian
perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi.
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot
tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis
pernapasan
Tetanus pertama kali dijelaskan oleh orang Mesir kuno di Edwin Smith Papirus
sekitar SM 3000. Tetanus juga muncul dalam dokumen medis militer
sepanjang zaman. Menampar kotoran pada tali pusar bayi baru lahir yaitu,
sebagai bagian dari upacara ritual yang disebabkan merajalelanya tetanus
neonatorumatau nascentium trismus di Hindia Barat dan di Afrika. Buku
teks Osler menggambarkan penyakit delapan hari yang disebabkan oleh
sepsis pusar, yang menewaskan 84 dari 125 anak-anak dalam dua minggu
lahir di St Kilda, Skotlandia. Selama Perang Dunia I, tetanus terjadi di 1,47
per 1000 terluka di Inggris dan 12,5 per 1000 orang yang terlibat dalam
kampanye Semenanjung. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier menemukan
basil anaerob Clostridium tetani. Pada tahun 1889, Shibasaburo Kitasato
merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme dari korban
manusia yang terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat
dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik. Vaksin toksoid tetanus
ditemukan oleh P. Descombey pada tahun 1924 selama Perang Dunia II.
Hingga sekarang penyakit ini belum dapat diberantas. Diagnosis dini dan
intervensi dini dapat menyelamatkan nyawa. Pencegahan adalah strategi
manajemen utama untuk tetanus. Para 4 jenis klinis tetanus umum, lokal,
kepala, dan neonatal.

Epidemiologi
Angka kejadian tetanus telah menurun drastis dengan munculnya imunisasi
aktif. Laporan menunjukkan bahwa 560 kasus terjadi pada tahun 1947; 101
kasus terjadi pada tahun 1974; 60-80 kasus terjadi setiap tahun selama
tahun 1980; 47 kasus terjadi di California pada tahun 1997, dan selama
1998-2000, rata-rata 43 kasus tetanus terjadi setiap tahun. Hampir semua
kasus terjadi pada orang-orang yang sebagian diimunisasi atau
nonimmunized. Insiden pasien yang tetanus kontrak meskipun imunisasi
penuh sangat jarang (yaitu, ~ 4 setiap 100 juta orang yang imunokompeten
dan divaksinasi). Laporan internasional menunjukkan hingga 1 juta kasus per
tahun, terutama di negara-negara terbelakang. Neonatal tetanus
menyumbang 50% dari tetanus kematian terkait di negara berkembang.
Tetanus mengakibatkan sekitar 5 kematian per tahun di Amerika Serikat.
Mortalitas di Amerika Serikat yang dihasilkan dari tetanus umum adalah 30%
secara keseluruhan, 52% pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun, dan 13%
pada pasien yang lebih muda dari 60 tahun. Gejala sisa neurologis jarang
terjadi. Kematian biasanya hasil dari disfungsi otonom (misalnya, ekstrem
tekanan darah, disritmia, atau gagal jantung). Tetanus mempengaruhi semua
ras dan mempengaruhi kedua jenis kelamin. usia Di Amerika Serikat, 59%
kasus dan 75% kematian terjadi pada orang berusia 60 tahun atau lebih.

Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100


kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak
di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30%
kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi < 12
bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%.

Tetanus neonatal merupakan penyebab utama kematian bayi di negara-


negara terbelakang, tapi ini bentuk tetanus jarang terjadi di Amerika Serikat.
Infeksi hasil dari kontaminasi tali pusat pada saat persalinan tidak sehat,
ditambah dengan kurangnya imunisasi ibu. Pada akhir minggu pertama
kehidupan, bayi yang terinfeksi menjadi mudah marah, makan buruk, dan
mengembangkan kekakuan dengan kejang. Tetanus neonatal memiliki
prognosis yang sangat buruk

Cephalic tetanus jarang dan biasanya terjadi trauma kepala berikut atau
otitis media. Pasien dengan bentuk hadir dengan kelumpuhan saraf kranial.
Infeksi dapat dilokalisasi atau mungkin menjadi umum. Pasien dengan
tetanus lokal dengan kekakuan terus-menerus dalam kelompok otot dekat
lokasi cedera. Kekakuan otot disebabkan oleh disfungsi dalam interneuron
yang menghambat neuron motorik alpha dari otot yang terkena. Tidak ada
keterlibatan SSP lebih lanjut terjadi, dan bentuk ini memiliki tingkat kematian
sangat rendah.

Sekitar 50-75% pasien dengan tetanus umum dengan trismus (lockjaw)


atau ketidakmampuan untuk membuka mulut sekunder terhadap spasme
otot masseter. Kaku kuduk dan disfagia juga keluhan awal yang
menyebabkan sardonicus risus, senyum mengejek tetanus, hasil dari
keterlibatan otot wajah
Pasien juga memiliki kekakuan otot umum dengan kejang refleks intermiten
dalam menanggapi rangsangan misalnya kebisingan, cahaya, atau
sentuhan. Kontraksi tonik menyebabkan opisthotonus yaitu, fleksi dan
adduksi lengan, mengepalkan dari tinju, perpanjangan dari ekstremitas
bawah. Selama episode ini, pasien memiliki sensorium utuh dan merasa
sakit parah. Gangguan kejang pada penderita dapat menyebabkan patah
tulang, tendon robek, dan kegagalan pernafasan akut.

Clostridium tetani
C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat
membentuk spora, dan berbentuk drumstick.Spora yang dibentuk oleh C.
tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik.Ia dapat tahan
walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap
fenol dan agen kimia lainnya.Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan
di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. [1]
[5]
Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran
penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan
ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan
neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang
bagian sistem saraf).C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu
tetanolysin dan tetanospasmin.Fungsi dari tetanoysin tidak diketahui dengan
pasti, namun juga dapat memengaruhi tetanus. Tetanospasmin merupakan
toksin yang cukup kuat
Patogenesis
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif
anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah
inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera
(periode inkubasi).[4][7] Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang
manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin
(tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme).[2]Tempat masuknya kuman
penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan
kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang
terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang
berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif.Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh
bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa.Toksin tersebut akan
beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf
termasuk otak.Gejala klonis yang ditimbulakan dari toksin tersebut adalah
dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi
otot yang tidak terkontrol.

Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk
vegetatif bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen
jaringan yang rendah. Kuman ini dapat membentuk metalo-exotosin tetanus,
yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular
junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal
kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang,
akhirnya menyebar ke SSP. Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh
pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh
tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah
keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi
eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk
kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke
sungsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas,
otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin
mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum
yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh,
sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika,
hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx,
hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan
penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena
penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan
diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun
gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.
Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk
bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol),
sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot
rahang dan wajah.Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan
pernapasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.
Penyebab
Sumber infeksi biasanya sebagian besar 65% adalah luka, yang sering
adalah kecil misalnya, kayu atau logam pecahan, duri. Ulkus kulit kronis
adalah sumber pada sekitar 5% kasus, dan dalam sisa kasus, tidak ada
sumber jelas diidentifikasi.

Menurut data Centers for Disease Control and Prevention (CDC) amerika
serikat tahun 1982-84 penyebab tersering adalah sebagai berikut:

o Terinfeksi laserasi atau luka tusukan (69%)

o Terinfeksi luka kronis dan abses (20%)

o Paparan melalui penyalahgunaan obat intravena (3%)

o Neonatus (1%)
o Lain atau tidak dapat diidentifikasi penyebab (7%)
Kemungkinan penyebab tidak biasanya berhubungan dengan tetanus

o otitis media

o luka bakar

o Benda asing Intranasal

o kornea lecet

o Benda asing di tubuh

o Gigi atau prosedur bedah


Urungkan pengeditan
Manifestasi Klinis

o Gejala klinik yang dominan adalah kekakuan otot bergaris yang disusul

dengan kejang tonik dan klonik. Masa inkubasi 5-14 hari, period of

onset (waktu antara gejala pertama sampai timbul kejang pertama)

yang pendek dapat dijadikan indikator tetanus berat dengan berbagai

penyulit.

o Kebanyakan kasus di Amerika Serikat terjadi pada pasien dengan

riwayat imunisasi hanya parsial. Orang yang menyuntikkan narkoba

juga merupakan kelompok berisiko tinggi.

o Gejala biasanya dimulai 8 hari setelah infeksi, tetapi serangan bisa

berkisar dari 3 hari sampai 3 minggu. Pasien mengeluhkan sakit

tenggorokan dengan disfagia sebagai tanda awal.

o Tetanus lokal menyebabkan kekakuan otot pada tempat inokulasi

spora.

o Manifestasi awal mungkin tetanus lokal, di mana kekakuan hanya

mempengaruhi 1 atau anggota tubuh area tubuh mana luka clostridium

mengandung berada.
o Tanda-tanda pertama umum dari tetanus adalah sakit kepala dan

kekakuan otot di rahang (yaitu, lockjaw), diikuti oleh kekakuan leher,

kesulitan menelan, kekakuan otot perut, kejang, dan berkeringat.

o Pasien sering tanpa demam

o Tetanus berat menyebabkan opistotonus, fleksi pada lengan, ekstensi

pada tungkai, periode apnea akibat spasme otot-otot interkostal dan

diafragma, dan kekakuan dinding perut.

o Perjalanan akhir penyakit terjadi disfungsi otonom, hipertensi dan

takikardi bergantian dengan hipotensi dan bradikardi.

o Pasien mungkin memiliki kejang refleks dari otot-otot masseters ketika

dinding faring posterior dirangsang yang menyebabkan mereka

menggigit sebagai lawan muntah (uji spatula).

o Gejala awal adalah trismus; pada neonatus tidak dapat/sulit menetek,

mulut mencucu. Pada anak besar berupa trismus, akibat kekakuan otot

masseter. Disertai dengan kaku kuduk, risus sardonikus (karena

kekakuan otot mimik, opistotonus, perut papan. Selanjutnya dapat

diikuti kejang apabila dirangsang atau menjadi makin berat dengan

kejang spontan, bahkan pada kasus berat terjadi status konvulsivus.

Spasme larynx merupakan penyebab kematian yang sering dijumpai,

bronchopneumonia akibat kekakuan rongga dada, gagal nafas nafas

dan status konvulsivus.

o Perubahan derajat berat penyakit dapat terjadi sangat cepat, sehingga

seringkali memerlukan perubahan dosis antikonvulsan yang sesuai

dengan perjalanan klinik. Digunakan kriteria berat penyakit Surabaya

yang lebih sederhana dibanding cara penilaian dari Abblet, skor Phillips,
skor Dakar atau modifikasi Patel dan Joag. Penelitian Rizal menunjukkan

adanya kesetaraan kuat antara kriteria Surabaya dan Kriteria Abblet.

Penilaian klinis yang menitik beratkan pada perbedaan jenis kejang,

dapat dilakukan oleh paramedik, sehingga perubahan dosis dapat

dilakukan lebih cepat dan tepat.


Derajat penyakit tetanus
Derajat I (tetanus ringan)

o Trismus (lebar antar gigi sama atau lebih 2 cm)

o Kekakuan umum

o Tidak dijumpai kejang

o Tidak dijumpai gangguan respirasi


Derajat II (tetanus sedang)

o Trismus (lebar kurang dari 1 cm)

o Kekakuan umum makin jelas

o Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan


Derajat III a. tetanus berat

o Trismus berat (kedua baris gigi rapat)

o Otot sangat spastis, timbul kejang spontan

o Takipnea, takikardia

o Apneic spell (spasme laryng)


Derajat III b. tetanus dengan gangguan saraf otonom

o Gangguan otonom berat

o Hipertensi berat dan takikardi, atau

o Hipotensi dan bradikardi

o Hipertensi berat atau hipotensi berat


Diagnosis
o Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan

perawatan tali pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media

supurativa kronik (OMSK), atau gangren gigi.

o Riwayat anak tidak diimunisasi/tidak lengkap imunisasi

tetanus/BUMIL/WUS Adanya kekakuan lokal atau trismus. Adanya kaku

kuduk, risus sardonicus, opisthotonus, perut papan. Kekakuan

extremitas yang khas : flexi tangan, extensi kaki. Adanya penyulit

o Anamnesis : partus non steril, status imunisasi, masa inkubasi, period

of onset, luka tusuk, otitis media

o Pemeriksaan fsik : kekakuan otot, kejang, kesadaran baik.

o Diagnosis berdasarkan data klinik, tidak ada pemeriksaan penunjang

yang membantu

o Pemeriksaan penunjang laboratorium tidak terlalu informatif sebagai

diagnosis, tetapi dapat membantu menyingkirkan diagnosis keracunan

strychnine.

o Hitung jenis darah dan temuan darah kimia biasanaya dalam keadaan

normal

o Pungsi lumbal tidak diperlukan. Cairan serebrospinal (CSF) biasanaya

normal, kecuali untuk tekanan pembukaan meningkat, terutama

selama kejang.

o Tingkat serum antitoksin lebih dari 0,01 U / mL biasanya pelindung,

membuat diagnosis kecil kemungkinannya.

o Studi pencitraan kepala dan tulang belakang biasanya tidak ada

kelainan.
Diagnosa banding

o Trismus akibat abses gigi, abses parafaring/retrofaring/peritonsiler


o Sepsis neonatorum, meningitis bakterialis, ensefalitis, rabies

o keracunan striknin, efek simpang fenotiazin, tetani, epilepsi.


Komplikasi

o Dystonia, Tardive

o Gangguan ventilasi paru,

o Aspirasi pneumonia,

o Bronkopneumonia, atelektasis

o Emfisema mediastinal, pneumotoraks,

o Sepsis,

o Fraktur vertebra atau fraktur tulang paha.


Penanganan

o Untuk menetralisir racun, diberikan immunoglobulin tetanus. Antibiotik

tetrasiklin dan penisilin diberikan untuk mencegah pembentukan racun

lebih lanjut, supaya racun yang ada mati. Obat lainnya bisa diberikan

untuk menenangkan penderita, mengendalikan kejang dan

mengendurkan otot-otot.Penderita biasanya dirawat di rumah sakit dan

ditempatkan dalam ruangan yang tenang.Untuk infeksi menengah

sampai berat, mungkin perlu dipasang ventilator untuk membantu

pernapasan.

o Imunisasi pasif dengan globulin imun tetanus manusia (TIG) lebih

pendek jalannya tetanus dan dapat mengurangi beratnya manifestasi

klinis. Dosis 500 U mungkin sama efektifnya dengan dosis yang lebih

besar. Terapi TIG (3,000-6,000 sebagai unit 1 dosis) juga telah

direkomendasikan untuk tetanus umum.

o Perawatan ICU dan terapi suportif mungkin termasuk bantuan ventilasi

dan tinggi kalori dukungan nutrisi, dan agen farmakologis yang


mengobati kejang otot refleks, kaku, kejang berhubung dgn tetanus

dan infeksi.

o Diet. Makanan diberikan melalui infus atau

selang nasogastrik.Untuk membuang kotoran, dipasang

kateter.Penderita sebaiknya berbaring bergantian miring ke kiri atau ke

kanan dan dipaksa untuk batuk guna mencegah

terjadinya pneumonia.Untuk mengurangi nyeri

diberikan kodein.Obat lainnya bisa diberikan untuk mengendalikan

tekanan darah dan denyut jantung. Setelah sembuh, harus diberikan

vaksinasi lengkap karena infeksi tetanus tidak memberikan kekebalan

terhadap infeksi berikutnya.


Terapi dasar tetanus

o Antibiotik diberikan selama 10 hari, 2 minggu bila ada komplikasi

o Penisillin prokain 50.000 IU/kg BB/kali i.m, tiap 12 jam, atau

o Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5 mg/kg BB

tiap 6 jam

o Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.

o Benzodiazepin sebagai terapi utama untuk gejala tetanus. Untuk

mencegah kejang yang berlangsung lebih lama dari 5-10 detik,

diazepam intravena, biasanya 10-40 mg setiap 1-8 jam. Vecuronium

(dengan infus kontinu) atau pankuronium (melalui suntikan intermiten)

alternatif yang memadai.

o Magnesium sulfat dengan dosis loading 40 mg / kg, diikuti dengan

infus intravena terus menerus dari 1,5 g / jam jika pasien memiliki

berat kurang dari 45 kg atau 2 g / jam jika pasien memiliki berat lebih
dari 45 kg, dapat digunakan untuk membantu kontrol otot kejang dan

tetanus-terkait disfungsi otonom

o Penisilin G, yang telah digunakan secara luas selama bertahun-tahun,

bukan obat pilihan. Metronidazol (misalnya, 0,5 g setiap 6 jam)

memiliki aktivitas antimikroba yang sebanding atau lebih baik, dan

penisilin merupakan antagonis GABA dikenal, seperti toksin tetanus.

o Dokter juga menggunakan hipnotik sedatif, narkotika, anestesi hirup,

agen memblokir neuromuskuler, dan relaksan otot yang bekerja sentral

(misalnya, intratekal baclofen).

o Sampai saat ini, laporan menunjukkan bahwa lebih dari 26 orang

dewasa dengan tetanus berat telah diobati dengan baclofen intratekal

untuk mengelola kekakuan otot dan kejang. Dosis wakil dari infus

kontinu adalah 1750 mcg per hari. Kasus laporan dan seri kasus kecil

menguraikan kemanjuran baclofen intratekal dalam mengontrol

kekakuan otot.

o Efek dari baclofen dimulai dalam 1-2 jam dan bertahan 12-48 jam.

Penghapusan paruh baclofen dalam CSF berkisar 0,9-5 jam. Setelah

pemberian intratekal lumbal, rasio konsentrasi serviks-ke-lumbal

adalah 1:4. Efek samping utama dari baclofen adalah tingkat depresi

kesadaran (LOC) dan kompromi pernapasan.

o Terapi Bedah Dalam kebanyakan kasus, luka yang bertanggung

jawab terhadap berbagai gejala dan komplikasi tetanus. Debridement

tidak memiliki manfaat untuk tetanus. Jika debridement diindikasikan,

harus dilakukan setelah pasien telah stabil.


Imunisasi aktif-pasif
o Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular.

Untuk neonatus bisa diberikan iv; apabila tersedia dapat diberikan

Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.

o Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat

bersamaan.
Anti konvulsi

o Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan

dengan respon klinik (titrasi). Bila datang dengan kejang diberi

diazepam : neonatus bolus 5 mg iv atau anak bolus 10 mg iv

o Dosis rumatan maximal : anak 240 mg/hari dan pada neonatus 120

mg/hari

o Bila dengan dosis 240 mg/hari masih kejang (tetanus sangat berat),

harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam

dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari, dengan atau tanpa kurarisasi.

o Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur

dalam botol cairan infus. Bilamana tidak ada syringe pump, diberikan

bolus tiap 2 jam (12 x/hari)

o Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti

magnesium sulfat, bilamana ada gangguan saraf otonom.


Perawatan luka atau port dentree yang dicurigai, dilakukan sekaligus
dengan pembuangan jaringan yang diduga mengandung kuman dan spora
(debridemant), sebaiknya dilakukan setelah diberi antitoksin dan anti-
konvulsi.
Terapi suportif

o Bebaskan jalan nafas

o Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan &

memindah-mindahkan posisi pasien)

o Pemberian oksigen
o Perawatan dengan stimulasi minimal

o Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde

nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang

o Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum

o Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit


Tetanus ringan dan sedang

o Diberikan pengobatan tetanus dasar


Tetanus sedang

o Terapi dasar tetanus

o Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)

o Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral.


Tetanus berat/sangat berat

o Terapi dasar seperti di atas

o Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi

o Balans cairan dimonitor secara ketat.

o Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik

dengan pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05

mg/kg bb/kali, diberikan tiap 2-3 jam.

o Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan b-blocker

seperti propanolol/a dan b- blocker labetalol.


Farmakoterapi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mencegah komplikasi dan
mengurangi morbiditas.

Antimikroba
Terapi harus mencakup semua patogen mungkin dalam konteks pengaturan
klinis.

o Metronidazole (Flagyl) Sebuah studi membandingkan metronidazole

oral untuk intramuskular penisilin menunjukkan kelangsungan hidup


yang lebih baik, rawat inap lebih pendek, dan kurang perkembangan

penyakit pada kelompok metronidazole (dosis sebesar 0,5 g setiap 6

jam atau 1 g q12h IV untuk 7-10 d).

o Penisilin G (Pfizerpen) Mengganggu sintesis dinding sel

mucopeptide selama multiplikasi aktif, sehingga aktivitas bakterisida

terhadap mikroorganisme rentan.

o Doxycycline (Vibramycin) Menghambat sintesis protein dan

pertumbuhan sehingga bakteri dengan mengikat 30S dan kemungkinan

50S subunit ribosom bakteri yang rentan.

o benzodiazepin Agen ini dapat bertindak dalam sistem saraf pusat

untuk merangsang relaksasi otot.

o Diazepam (Valium, Diastat, Intensol Diazepam) Memodulasi efek

postsynaptic dari transmisi GABA-A, mengakibatkan peningkatan

hambatan presinaptik. Muncul untuk bertindak atas bagian dari sistem

limbik, thalamus, dan hypothalamus, menginduksi efek menenangkan.

Juga telah ditemukan untuk menjadi tambahan efektif untuk

menghilangkan kejang otot rangka disebabkan oleh gangguan atas

neuron motor. Cepat mendistribusikan ke lemak tubuh lainnya. Dua

puluh menit setelah infus IV awal, konsentrasi serum turun menjadi

20% dari Cmaks. Individualize dosis dan meningkatkan hati-hati untuk

menghindari efek samping.


Pencegahan
Imunisasi aktif

o Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan

interval 4-6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat

Bab Jadwal Imunisasi).


o Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu

hamil, wanita usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk

mencapai tingkat TT lifelong-card).


Pencegahan pada luka

o Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang

o Luka ringan dan bersih: Bila Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS

atau tetanus imunoglobulin, Bila Imunisasi tidak lengkap : imunisasi

aktif DPT/DT.

o Luka sedang/berat dan kotor: Bila Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS

3000-5000 U, atau tetanus imunoglobulin 250-500 U. Toksoid tetanus

pada sisi lain. Bila Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan

toksoid, ATS 3000-5000 U, tetanus imunoglobulin 250-500 U.


Monitoring
Sekuele

o Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus

berlangsung lebih lama.

o Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus

yang berat.

o Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan

berlangsung selama 1-2 minggu.


Tumbuh Kembang

o Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif

tidak mengganggu tumbuh kembang anak.

o Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh

kembang oleh karena hipoksia yang berat.


Daftar Pustaka
o Arnon SS. Tetanus In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds)

Nelson Textbook of pediatrics, 17 ed. Philadelphia, Saunders, 2004 :

951.

o Brook I, tetanus In Long SS, Pickering LK, Preber CG. Churchill

livingstone, New York, 2nd ed, 2003 : 981.

o Bizzini B, 1979. Tetanus toxin. Microbiol Rev. 43 (2) : 224-40.

o Cristie AB, 1987. Tetanus In infectious disease : Epi demiology and

clinical practice. 4th ed. Churchill living stone, Edenburgh, hal. 759-786.

o Khoo BH, Lee EL, Lam KL, 1978. Neonatal tetanus treated with high

dozage diazepam. Arch Dis Childhood, 53 : 737-79.

o Laurence DR, Webster RA, 1986. Pathologic physiology, pharmacology

and therapeutic of tetanus. Clin pharm therap 4 : 36-61.

o Glezen WP. Prevention of neonatal tetanus. Am J Public Health. Jun

1998;88(6):871-2.

o Prevots DR. Neonatal tetanus. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Dec 31

1999;48 Suppl:176-7.

o Pearce JM. Notes on tetanus (lockjaw). J Neurol Neurosurg Psychiatry.

Mar 1996;60(3):332.

o Bleck TP. Clostridium tetani. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R,

eds. Bennetts Principles and Practice of Infectious Diseases.

Philadelphia, Pa: Churchill Livingstone; 1995:2373-8.

o Yeh FL, Dong M, Yao J, Tepp WH, Lin G, et al. 2010 SV2 Mediates Entry

of Tetanus Neurotoxin into Central Neurons. PLoS Pathog 6(11):

e1001207. doi:10.1371/journal.ppat.1001207. PLoS Pathogens [serial

online]. 11/10/2010;6(11):e1001207. Available


at http://www.plospathogens.org/article/info%3Adoi

%2F10.1371%2Fjournal.ppat.1001207.

o Pascual FB, McGinley EL, Zanardi LR, et al. Tetanus surveillanceUnited

States, 19982000. MMWR Surveillance Summaries [serial online].

2003;52(SS03):1-8. Available from: CDC. Available

at http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/ss5203a1.htm.

o Apte NM, and Karnad DR. Short report: The spatula test: a simple

bedside test to diagnose tetanus. Am. J. Trop. Med. Hyg.

1995;53(4):386-7.

o TetanusPuerto Rico, 2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Jul 19

2002;51(28):613-5.

o Thwaites CL, Yen LM, Loan HT, et al. Magnesium sulphate for treatment

of severe tetanus: a randomised controlled trial. Lancet. Oct

2006;368(9545):1398-9.

o Boots RJ, Lipman J, OCallaghan J, Scott P, Fraser J. The treatment of

tetanus with intrathecal baclofen. Anaesth Intensive Care. Aug

2000;28(4):438-42.

o Engrand N, Guerot E, Rouamba A, et al. The efficacy of intrathecal

baclofen in severe tetanus. Anesthesiology. Jun 1999;90(6):1773-6.

o Zimmerman RK. Adult vaccination, part 1: vaccines indicated by age.

Teaching Immunization for Medical Education (TIME) Project. J Fam

Pract. Sep 2000;49(9 Suppl):S41-50.

o Zimmerman RK, Burns IT. Child vaccination, part 2: childhood

vaccination procedures. J Fam Pract. Sep 2000;49(9 Suppl):S34-9; quiz

S40.
o Bowie C. Tetanus toxoid for adultstoo much of a good thing. Lancet.

Nov 2 1996;348(9036):1185-6.

o Brabin L, Fazio-Tirrozzo G, Shahid S, et al. Tetanus antibody levels

among adolescent girls in developing countries. Trans R Soc Trop Med

Hyg. Jul-Aug 2000;94(4):455-9.

o Brabin L, Kemp J, Maxwell SM, et al. Protecting adolescent girls against

tetanus [editorial]. BMJ. Jul 8 1995;311(6997):73-4.

o Centers for Disease Control and Prevention. Shortage of tetanus and

diphtheria toxoids. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Nov 17

2000;49(45):1029-30.

o Centers for Disease Control and Prevention. Tetanus among injecting-

drug usersCalifornia, 1997. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Mar 6

1998;47(8):149-51.

o Diez-Domingo J, Delgado JD, Ballester A, et al. Immunogenicity and

reactogenicity of a combined adsorbed tetanus toxoid, low dose

diphtheria toxoid, five component acellular pertussis and inactivated

polio vaccine in six-year-old children. Pediatr Infect Dis J. Mar

2005;24(3):219-24.

o Farrar JJ, Yen LM, Cook T, et al. Tetanus. Journal of Neurology,

Neurosurgery, and Psychiatry. Sept 2000;69(3):292-301.

o Lee HC, Ko WC, Chuang YC. Tetanus of the elderly. J Microbiol Immunol

Infect. Sep 2000;33(3):191-6.

o Nishanian E. Can epidural anesthesia change the mortality rate of

tetanus?. Crit Care Med. Sep 1999;27(9):2025-6.


o Sanford JP. Tetanusforgotten but not gone. N Engl J Med. Mar 23

1995;332(12):812-3.

o Sheffield JS, Ramin SM. Tetanus in pregnancy. Am J Perinatol. May

2004;21(4):173-82.

o Shimoni Z, Dobrousin A, Cohen J, et al. Tetanus in an immunised

patient. BMJ. Oct 16 1999;319(7216):1049.

o Thwaites CL, Yen LM, Cordon SM, et al. Urinary catecholamine excretion

in tetanus. Anaesthesia. Mar 2006;61:355-59.

o Turnbull FM, Heath TC, Jalaludin BB, et al. A randomized trial of two

acellular pertussis vaccines (dTpa and pa) and a licensed diphtheria-

tetanus vaccine (Td) in adults. Vaccine. Nov 8 2000;19(6):628-36.

o Gergen PJ, McQuillan GM, Kiely M, et al. A population-based serologic

survey of immunity to tetanus in the United States. N Engl J Med. Mar

23 1995;332(12):761-6.

o Hanslik T, Wechsler B, Vaillant JN, Audrain L, Prinseau J, Baglin A, et al.

A survey of physicians vaccine risk perception and immunization

practices for subjects with immunological diseases. Vaccine. Nov 22

2000;19(7-8):908-15.

o Johansen P, Estevez F, Zurbriggen R, et al. Towards clinical testing of a

single-administration tetanus vaccine based on PLA/PLGA

microspheres. Vaccine. Dec 8 2000;19(9-10):1047-54.

o Keller MA, Stiehm ER. Passive immunity in prevention and treatment of

infectious diseases. Clin Microbiol Rev. Oct 2000;13(4):602-14.


o Kristensen I, Aaby P, Jensen H. Routine vaccinations and child survival:

follow up study in Guinea-Bissau, West Africa. BMJ. Dec 9

2000;321(7274):1435-8.

o Langkamp DL, Hoshaw-Woodard S, Boye ME, Lemeshow S. Delays in

receipt of immunizations in low-birth-weight children: a nationally

representative sample. Arch Pediatr Adolesc Med. Feb

2001;155(2):167-72.

o Lowburry Ejl, 1971. Tetanus : Bacteriology, prophylaxis and treatment.

Folia traumatologica, Geigy, hal. 1-16.

Tetanus
Posted on Februari 24, 2009 by idmgarut
Tetanus merupakan penyakit yang akut dan seringkali fatal, penyakit ini disebabkan oleh
eksotoksin yuang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Kata tetanus berasal dari bahasa
Yunani tetanos, yang diambil dari kata teinein yang berarti teregang. Tetanus dikarakteristikan
dengan kekakuan umum dan kejang kompulsif pada otot-otot rangka. Kekakuan otot biasanya
dimulai pada rahang ( lockjaw ) dan leher dan kemudian menjadi umum. Penyakit ini merupakan
penyakit yang serius namun dapat dicegah kejadiannya pada manusia.
II. DEFINISI
Penyakit yang timbul karena sistem saraf pusat terintoksikasi oleh Clostridium tetani, suatu
kuman basil gram positif yang memproduksi neurotoksin spesifik.
III. EPIDEMIOLOGI
Tetanus terjadi secara luas di seluruh dunia namun paling sering pada daerah dengan populasi
padat, pada iklim hangat dan lembab. Organisme penyebab ditemukan secara primer pada tanah
dan saluran cerna hewan dan manusia. Transmisi secara primer terjadi melalui luka yang
terkontaminasi. Luka dapat berukuran besar atau kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini, tatanus
sering terjadi melalui luka- luka yang kecil. Tetanus juga dapat menyertai setelah luka operasi
elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka robek, otitis media, infeksi gigi, gigitan binatang,
aborsi dan kehamilan.
Di Amerika Serikat, insidensi tetanus telah berhasil diturunkan sejak pertengahan tahun 1940,
sejalan degan penggunaan imunisasi tetanus secara luas. Pelaporan kasus pada tahun 1981
1991 oleh CDC di Amerika menunjukkan bahwa angka kematian pasien dengan tetanus hanya
sekitar 40%. Dari tahun 1991 -1994 telah dilaporkan bahwa 60% pasien berusia 20 -59 tahun dan
35% >60tahun.
Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi mengalami kematian karena
tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data dari WHO menghitung insidensi secara
global kejadian tetanus di dunia secara kasar berkisar antara 0,5 1 juta kasus dan tetanus
neonatorum terhitung sekitar 50% dari kematian akibat tetanus di negara negara
berkembang. Perkiraan insidensi tetanus secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun.
Di negara berkembang, tetanus lebih sering mengenai laki laki dibanding perempuan dengan
perbandingan 3 : 1 atau 4 :1
Secara epidemiologi, angka kematian tetanus sekitar 45% dan 6 % diketahui mendapatkan 1 -2
dosis tetanus toksoid, dan 15% pada individu yang tidak divaksin. Angka kematian tertinggi
diketahui pada penderita dengan usia >60 tahun (18%).
IV. ETIOLOGI
Penayakit tetanus ini disebabkan karena Clostridium tetani yang merupakan basil gram positif
obligat anaerobik yang dapat ditemukan pada permukaan tanah yang gembur dan lembab dan
pada usus halus dan feses hewan. Mempunyai spora yang mudah bergerak dan spora ini
merupkan bentuk vegetatif. Kuman ini bisa masuk melalui luka di kulit. Spora yang ada tersebar
secara luas pada tanah dan karpet, serta dapat diisolasi pada banyak feses binatang pada kuda,
domba, sapi, anjing, kucing, marmot dan ayam. Tanah yang dipupuk dengan pupuk kandang
mungkin mengandung sejumlah besar spora. Di daerah pertanian, jumlah yang signifikan pada
manusia dewasa mungkin mengandung organisma ini. Spora juga dapat ditemukan pada
permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi. Spora ini akan menjadi bentuk aktif kembali
ketika masuk ke dalam luka dan kemudian berproliferasi jika potensial reduksi jaringan rendah.
Spora ini sulit diwarnai dengan pewarnaan gram, dan dapat bertahan hidup bertahun tahun jika
tidak terkena sinar matahari. Bentuk vegetatif ini akan mudah mati dengan pemanasan 120oC
selama 15 20 menit tapi dapat betahan hidup terhadap antiseptik fenol, kresol.
Kuman ini juga menghasilkan 2 macam eksotoksin yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Fungsi
tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun diketahui dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang sehat pada luka terinfeksi, menurunkan potensial reduksi dan meningkatkan
pertumbuhan organisme anaerob. Tetanolisin ini diketahui dapat merusak membran sel lebih dari
satu mekanisme. Tetanospasmin (toksin spasmogenik) ini merupakan neurotoksin potensial yang
menyebabkan penyakit. Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang dikenal
berdasarkan beratnya. Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal asam amino polipeptida
151-kD 1315 yang dikodekan pada plsmid 75 kb. Tetanospasmin ini mempengaruhi
pembentukan dan pengeluaran neurotransmiter glisin dan GABA pada terminal inhibisi daerah
presinaps sehingga pelepasan neurotransmiter inhibisi dihambat dan menyebabkan relaksasi otot
terhambat. Batas dosis terkecil tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada manusia
adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk manusia dengan berat
badan 75 kg.
V. PATOGENESIS
C.tetani biasa memasuki tubuh melalui luka. Pada keadaan yang anaerobik, spora dapat
tumbuh. Jaringan nekrosis, benda asing atau infeksi aktif juga merupakan tempat yang baik
untuk perkembangan spora dan pelepasan toksin. Tetanospasmin merupakan suatu zinc
metalloprotease, suatu substansi amino acid polyperptide chain yang dilepaskan di dalam luka.
Toksin kemudian dapat menyebar melalui otot yang terkena kepada otot di sekitarnya, dan terikat
pada ujung terminal motor neuron perifer, kemudian memasuki akson dan ditransport secara
retrograd mealui intraneuronal. Toksin ini bekerja pada sistem saraf simpatis. Selain itu toksin
juga dapat menyebar melalui sistem predaran darah dan limfatik.
Toksin tetanus ini memblokade pelepasan neurotransmitter dengan membelah permukaan
protein dari vesikel sinaps, hal ini mencegah eksositosis normal dari neurotransmiter. Toksin ini
menginterfensi fungsi arkus refleks dengan memblokade transmiter inhibisi, terutama GABA,
pada daerah presinaps pada medula spinalis dan brainstem. Elisitasi dari gerakan rahang, secara
normal akan diikuti dengan supresi dari aktivitas motor neuron, manifestasi pada elektromiogram
sebagai silent period. Pada pasien dengan tetanus, terdapat kegagalan dari mekanisme inhibisi,
yang menghasilkan peningkatan pada aktivasi saraf-saraf yang menginervasi muskulus maseter
(trismus or lockjaw). Dari semua sistem neuromuskular, persarafan maseter merupakan yang
paling sensitif terhadap toksin. Stiulus yang berbeda ini bukan hanya menghasilkan efek yang
berlebihan, tetapi juga menghilangkan inervasi resiprokal; kontraksi agonis dan antagonis,
meningkatkan spasme muskular. Selain terjadi efek generalisata pada saraf-saraf motorik di
medula spinalis dan brainstem, toksin ini juga beraksi langsung pada otot skeletal pada titik
akson membentuk end plate (muingkin terjadi pada tetanus terlokalisasi) dan pada korteks
serebral dan sistem saraf simpatis, pada hipotalamus.
Efek tetanospasmin terhadap pelepasan neurotransmiter
Pengaruh tetanospasmin terhadap pelepasan neurotransmiter dapat terjadi melalui invasi saraf
terminal, aksi potensial dependent calcium entry, dan peranan kalsium itu sendiri terhadap
pelepasan transmiter. Terdapatnya hambatan aliran kalsium oleh toksin juga dapat menghambat
pelepasan eurotransmiter, selain itu pelepasan transmiter dari saraf terminal presinaps juga
tergantung pada kalsium. Toksin diketahui dapat memodifikasi proses mekanisme perubahan 4
Ca dependent menajadi 1 Ca dependent, bersamaan dengan meningkatnya daya ikat kalsium.
Vesikel sinaptik memerlukan 4 kalsium untuk dapat berataut pada membran presinaps bagian
dalam, untuk mkemudian bergabung dna melepaskan transmiter. Tetanospasmin ini merupah
keadaan tadi menjadi 1 ca dependent, bersamaan dengna menurunnya afinirtas terhadap kalsium.
Dnenga demikian vesikel sinaps menjauhi membran presinaps yang aktif dan neurotransmiter
yang gagal dilepaskan.
Hipotesa lain oleh Gambale dan Montal, yang menyebutkan bahwa setelah toksin masuk
ke dalam sel, meniumbulkan passive cation channel yang menyebabkan sel tetap berdepolarisasi
sehingga mencegah pelepasan transmiter. Sedangkan Sanberg dkk mengemukakan sehingga
mencegah pelepasan transmiter. Sedangkan Sanberg dkk mengemukakan bahwa tetanospasmin
dapat menginhibisi pelepasan asetilkolin dari sel faeokromositoma adrenal tikus dan mencegah
akumulasi cGMP (cyclic guanosin monophosphate).
VI. GAMBARAN KLINIS
Tetanus biasanya mengikuti luka-luka yang dikenali. Kontaminasi benda tajam dengan
tanah, pupuk atau besi yang berkarat dapat menyebabkan tetanus. Penyakit ini juga dapat sebagai
komplikasi dari luka bakar, ulkus, gangren, gigitan ular yang telah nekrotik, infeksi telinga
tengah, aborsi, kelahiran, injeksi intramuskular dan pembedahan.
Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, jika parah maka bisa disfungsi
otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan kesulitan membuka mulut sering
merupakan gejala awal. Spasme otot masseter bisa menyebabkan trismus atau lockjaw.
Spasme yang prosesif meluas dari otot muka menyebabkan ekspresi khusus yang disebut Risus
Sardonicus dan pada otot menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher
menyebabkan retraksi kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan
kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.
Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik ini seperti konvulsi
yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok otot. Bisa spontan atau dipengaruhi
oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi. Spasme bervariasi untuk kekuatannya dan frekuensi tapi
cukup kuat menyebabkan patah tulang dan robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi
terus-menerus yang bisa mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti spasme laring
dan berhubungan dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas.
Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Pada umumnya
tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf pusat, sehingga lokasi luka
yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang lebih lama.Masa inkubasi yang pendek
mempunyai angka kematian yang cukup tinggi. Pada tetanus neonatorum gejala biasanya muncul
antara 4 sampai 14 hari setelah lahir dengan rata-rata 7 hari.
Karakteristik Dari Tetanus:
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama 5-7 hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan leher.
5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw) karena spasme otot
masseter.
6. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)
7. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat.
8. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
9. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin,
bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).
Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk tetanus yang telah dideskripsikan yaitu:

1. Tetanus lokal, merupakan bentuk yang tidak umum dimana pasien mengalami
kontraksi otot yang persisten pada daerah luka yang terjadi ( agonis, antagonis,
dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus likal. Kontraksi otot
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan
biasanya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus
umum namun dalam bentuk yang relatif lebih ringan dan jarang menimbulkan
kematian.. Prognosis pada pasien dengan tetanus lokal ini sangat baik, hanya
berkisar 1% dari kasus yang mengalami kematian.

2. Tetanus sefalik, merupakan bentuk tetanus yang jarang terjadi, bisanya terjadi
menyertai otitis media dimana C. tetani ditemukan sebgai flora pada telinga
tengah atau menyertai trauma kepala. Tetanus bentuk ini dapat mengenai nervus
kranialis, khususnya pada daerah wajah. Bentuk tetanus ini merupakan bentuk
yang tidak biasa dengan masa inkubasi 1-2 hari.

3. Tetanus Umum, merupakan bentuk yang paling sering terjadi (sekitar


80%).Penyakit ini biasanya muncul dalam bentuk descending. Gejala pertama
yang muncul adalah trismus dan lockjaw, kemudian diikuti dengan kekakuan
leher, kesulitan menelan, dan rigiditas abdomen. Gejala lain berupa Risus
sardonicus, (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan
otot punggung), kejang dinding punggung. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Gejala
lainnya adalah suhu tubuh yang meningkat 2-4 C di atas suhu normal,
berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan denyut jantung yang cepat secara
episodik. Spasme dapat terjadi secara berkala selama beberapa menit. Spasme
dapat berkelanjutan selama 3-4 minggu.Penyembuhan secara komplit dapat
memakan waktu selama beberapa bulan.

4. Tetanus neonatorum, merupakan bentuk tetanus umum yang terjadi pada bayi
baru lahir. Tetanus neonatorum terjadi pada bayi yang tidak mendapatkan
perlindungan imunisasi pasif, karena ibu yang tidak diimunisasi. Infeksi biasanya
terjadi melalui umbilikus yang dipotong dengan perangkat yang tidak
steril. Tetunus neonatorum sering terjadi di negara-negara berkembang
(terhitung sekitar lebih dari 215.000 kematian di dunia pada tahun 1998), namun
sangat jarang terjadi di Amerika Serikat.

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis dan anamnesa. Tetanus tidaklah mungkin
apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara lengkap dan vaksin ulangan
yang sesuai telah diberikan. Pemeriksaan laboratorium hanya dipakai untuk eksklusi diagnosa-
diagnosa yang lain.
Biakan anaerob dari jaringan luka yang terkontaminasi didapat organisme Clostridium tetani, dan
elektromiogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak
adanya interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. Perubahan non-
spesifik dapat dijumpai pada elektrokardiogram, dan enzim otot (CPK) mungkin meningkat.
VIII. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang karakteristik untuk tetanus. Pada pemeriksaan darah,
jumlah lekosit mungkin meningkat, laju endap darah sedikit meningkat. Pemeriksaan cairan
serebrospinal masih dalam batas normal. Tingkat serum enzim otot mungkin meningkat.
Diagnosis ditegakkan secara klinis dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dan tidak tergantung
pada konfirmasi bakteriologis. C. Tetani hanya ditemukan pada 30% pada luka pasien dengan
kasus tetanus, dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak memberikan gejala tetanus.
IX. KLASIFIKASI
Berdasarkan gambaran klinis yang telah dideskripsikan, maka tingkatan penyakit tetanus dapat
dibuat dalam suatu kriteria/derajat berat ringannya penyakit.
Menurut abletts, kriteria tetanus ini dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
I. (ringan) : kasus tanpa disfagia dan gangguan respirasi
II. (sedang) : kasus dengan spastisitas nyata, gangguan menelan (disfagia) dan gangguan
respirasi
IIIa. (berat) : kasus dengan spastisitas berat disertai spasme berat
IIIb (sangat berat) : sama dengan tingkat IIIa disertai adanya aktivitas simpatis berlebihan
(disotonomia)
Modifikasi Abletts :
I : trismus ringan dan sedang dengan kekakuan umum. Tidak disertai dengan kejang, gangguan
respirasi dengan sedikit atau tanpa gangguan menelan
II : trismus sedang, kaku disertai spasme kejang ringan sampai sedang yang berlangsung singkat
disertai disfagia ringan dan takipnea > 30 35 x/ menit
III : trismus berat, kekakuan umum, spasme dan kejang spontan yang berlangsung
lama. Gangguan pernapasan dengan takipnea > 40 x/menit, kadang apnea, disfagioa berat dan
takikardia > 120x/menit. Terdapat peningkatan aktivitas saraf otonom yang moderat dan
menetap.
IV : gambaran tingkat III disertai gangguan saraf otonom berat dimana dijumpai hipertensi berat
dengan takikardi berselang dengan hipotensi relatif dan bradikardia atau hipertensi diastolik yang
berat dan menetap (tekanan diastolik >110 mmHg) atau hipotensi sistolik yang menetap (tekanan
sistolik <90 mmHg). Dikenal juga dengan autonomic storm
Sedangkan Patel dan Joag membagi penyakit tetanus ini dalam tingkatan dengan berdasarkan
gejala klinis yang dibaginya dalam 5 kriteria :
Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang
Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 100 0 farenheit dan aksila sampai 990 farenheit
Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas, maka dibuatlah tingkatanh p[enyakit tetanus sebagai
berikut :
Tingkat I : Ringan, minimal 1 kriteria ( K1 / K2 ) mortalitas 0 %
Tingkat II : Sedang, minimal 2 kriteria ( K1& K2) dengan masa inkubasi lebih dari 7
Hari dan onset lebih dari 2 hari, moirtalitas 10 %
Tingkat III : Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi kurang dari 7 hari dan onset kurang
dari 2 hari, mortalitas 32%
Tingkat IV : Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%
Tingat V : Biasanya mortalitas 84 % dengan 5 kriteria, termasuk di dalamnya adalah tetanus
neonatorum maupun puerpurium
X. PENATALAKSANAAN
Prinsip :
1. Mengeliminasi bakteri dalam tubuh untuk mencegah pengeluaran tetanospasmin lebih
lanjut
2. Menetralisir tetanospasmin yang beredar bebas dalam sirkulasi (belum terikat dengan
sistem saraf pusat)
3. Meminimalisasi gejala yang timbul akibat ikatan tetanospasmin dengan sistem saraf pusat
Terapi umum :
1. Semua pasien disarankan untuk menjalani perawatan di ruang ICU yang tenang
supaya bisa dimonitor terus-menerus fungsi vitalnya. Pasien dengan tetanus
tingkat II, III, IV sebaiknya dirawat di ruang khusus dengan peralatan intensif
yang memadai serta perawat yang terlatih untuk memantau fungsi vital dan
mengenali tanda aritmia. Hendaknya pasien berada di ruangan yang tenang
dengan maksud untuk meminimalisasi stimulus yang dapat memicu terjadinya
spasme.
2. Berikan cairan infus D5 untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi
3. Debridement luka. Semua luka harus dibersihkan. Jaringan nekrotik dan benda-
benda asing harus dikeluarkan. Semua luka yang berpotensial harus
didebridement, abses harus diinsisi dan didrainase. Selama dilakukannya
manipulasi terhadap luka yang diduga menjadi sumber inkubasi tetanus ini,
harus diberikan hTIG dan terapi antibiotika. Juga penting diberikan obat-obatan
pengontrol spasme otot selama manipulasi luka.
Terapi khusus :
1. Human Tetanus Imunoglobulin (hTIG 3000-6000 IU i.m) : untuk menetralisir
tetanospasmin bebas. Antitoksin ini tidak mempuny6ai efek pada toksin yang telah terikat
pada jaringan saraf pada susunan saraf pusat ataupun sistem otonom. Toksin bebas
mungkin terdapat pada sekeliling luka tempat pertumbuhan C. tetani. Diberikan secepat
mungkin setelah diagnosis klinis tetanus ditegakkan. Dosis efektif yang
direkomendasikan adalah 3000-10.000 IT iv/im, dengan kadar puncak dalam darah
dicapai dalam 48-72 jam. Sebagai pengobatan secara aktif 1500-3000 IU diinfiltrasikan
pada sekeliling luka. Di Indonesia umumnya masih memakai Anti Tetanus Serum,
termasuk juga di RSHS.
2. Antibiotik : untuk menghilangkan sumber tetanospasmin
DOC : Metronidazole 500 mg p.o tiap 6 jam atau 1gr tiap 12 jam selama 10-14 hari,
aktif menghambat pertumbuhan bakteri anaerob dan protozoa.
3. Benzodiazepine : untuk meminimalisasi spasme otot dan rigiditas karena bersifat GABA
enhancer.
DOC : Diazepam karena dapat mengurangi ansietas, menyebabkan sedasi
danrelaksasi otot. Dosis pemberian berdasarkan derajat keparahan spasme otot.
Pada orang dewasa :
Spasme ringan : 5-10 mg p.o tiap 4-6 jam
Spasme sedang : 5-10 mg i.v
Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, infuskan dengan kecepatan
10-15 mg/jam
Bila refrakter terhadap benzodiazepine, berikan neuromuscular blocking
agents (vecuronium)
4. Tetanus Toxoid (Td 0,5 ml i.m) : untuk merangsang dibentuknya antibodi terhadap
eksotoksin bakteri. Td ini merupakan suatu eksotoksin yang telah didetoksikasi dengan
formaldehid dan diabsorbsi ke dalam garam aluminium. Antigen ini akan menginduksi
produksi antibody yang melawan eksotoksin.
5. -adrenergik blocking agents (Labetolol 0,25-1 mg/menit melalui infus i.v setelah
dititrasi) untuk mengontrol disfungsi otonom yang didominasi aktivitas simpatis, yakni
menurunkan tekanan darah tanpa memperberat takikardi
6. Intubasi endotrakeal atau trakeostomi pada tetanus berat (stadium III-IV) untuk atasi
gangguan napas. Hendaknya trakeostomi dilakukan pada pasien yang memerlukan
intubasi lebih dari 10 hari, disamping itu trakeostomi juga direkomendasikan setelah
onset kejang umum yang pertama.
7. Walaupun imunisasi aktif tidak 100% efektif mencegah tetanus, namun imunisasi tetanus
telah memperlihatkan sebagai salah satu yang paling efektif sebagai pencegahan
terhadap kejadian tetanus. Pemberian imunisasi dan penanganan luka yang baik
diketahui merupakan komponen yang penting dalam mencegah penyakit ini. Pada
pasien dengan tetanus, imunisasi aktif dengan Td harus mulai diberikan atau
dilanjutkan sesegera mungkin setelah kondisi pasien stabil.
XI. KOMPLIKASI
1. Kematian (sudden cardiac death)
Kasus fatal sering terjadi terutamanya pada pasien yang berusia lebih dari 60 tahun (18%)
dan pasien yang tidak mendapat vaksinasi (22%). Kematian sering diakibatkan oleh adanya
produksi katekolamin yang berlebihan dan adanya efek langsung tetanospasmin atau
tetanolisin pada miokardium.
2. Obstruksi jalan napas
Pasien tetanus sering merasa nyeri hebat waktu mengalami kejang (spasme) hingga
terjadinya laringospasme (spasme pita suara) hingga menyebabkan obstruksi dan
gangguan pada jalan napas.
3. Fraktur
Fraktur pada tulang vertebra atau tulang panjang bisa terjadi karena kontraksi yang berlebih
atau kejang yang kuat.
4. Hiperaktifitas sistem saraf otonomik
Efek samping yang terjadi pada keadaan ini adalah dengan meningkatnya tekanan darah
(hipertensi) dan denyut jantung yang tidak normal.
5. Infeksi nosokomial
Infeksi nosokomial sering terjadi karena perawatan di rumah sakit yang lama.
6. Infeksi sekunder
Infeksi sekunder dapat berupa sepsis akibat pemasangan kateter, hospital-acquired
pneumonias dan ulkus dekubitus.
7. Hypoxic injury, aspirasi pneumonia dan emboli paru
Emboli paru adalah masalah yang sering ditemukan pada pasien lanjut usia dan pasien
dengan penggunaan obat-obatan. Aspirasi pneumonia adalah komplikasi lanjut pada tetanus
dan sering ditemukan pada 50 -70% pasien yang diotopsi.
8. Ileus paralitik, luka akibat tekanan, retensi urin dan konstipasi
9. Malnutrisi dan stress ulcers
10. Koma
11. Neuropati
12. Kelainan psikis
13. Kontraktur otot
14. Dislokasi sendi glenohumeral dan temporomandibular
XII. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, waktu dari inokulasi spora sampai timbul
gejala awal dan waktu dari timbulnya gejala awal sampai spasme tetanik awal. Secara umum,
interval yang lebih pendek menunjukkan tetanus yang lebih berat dan prognosis yang lebih
buruk. Kebanyakan pasienyang bertahan dari tetanus ini biasanya akan kembali pada kondisi
kesehatan sebelumnya walau pun perbaikan berjalan secara lambat (sekitar 2 hingga 4 bulan) dan
pasien seringkali tetap menjadi hipotonus. Pasien yang sembuh harus mendapatkan imunisasi
aktif dengan tetanus toksoid untuk mengelakkan dari terjadinya rekurensi. Selain itu, prognosis
dan angka kematian pasien dengan tetanus juga dipengaruhi oleh factor usia, gizi yang buruk
serta penangan terhadap komplikasi yang mungkin terjadi. Dari data terkini yang diperolehi,
kadar kematian pada penderita tetanus ringan dan sedang adalah 6% dan pada penderita tetanus
berat bisa mencapai 60%. Meningkatnya kadar kematian pada penderita tetanus adalah
berhubung dengan faktor faktor berikut:

a. Masa inkubasi yang pendek

b. Onset kejang yang dini (early onset)

c. Penanganan yang lambat


d. Apabila terdapat lesi di kepala dan muka yang terkontaminasi

e. Tetanus neonatorum

Berdasarkan 5 kriteria menurut Patel dan Joag, dibuat 5 tingkatan yaitu:

a. Tingkat 1 (ringan): minimal 1 kriteria (K1 atau K2), mortalitas 0%

b. Tingkat 2 (sedang): minimal 2 kriteria (K1atau K2) dengan masa inkubasi >
7hari dan awitan > 2 hari, mortalitas 10%

c. Tingkat 3 (berat): minimal 3 kriteria (K1atau K2) dengan masa inkubasi < 7 hari
dan awitan < 2 hari, mortalitas 32%

d. Tingkat 4 (sangat berat): minimal 4 kriteria, mortalitas 60%

e. Tingkat 5: minimal 5 kriteria termasuk tetanus neonatorum maupun puerperium,


mortalitas 80%.

f. Tetanus
g. Diposkan oleh Darman Rasyid Baido di 21.28 Rabu, 05 Januari
2011 Label: Artikel ilmu penyakit saraf
h.
i. Artikel Ini membahas secara lengkap mengenai penyakit
tetanus, dimulai dari defenisinya, epidemiologinya,etiologi,
patogenesis, gejala klinis dan pengobatannya.
j.
k. I. Pendahuluan
l.
m. Tetanus atau lock jaw merupakan penyakit akut yang
menyerang susunan saraf pusat yang ditandai dengan
penigkatan tonus otot disertai spasme, yang disebabkan oleh
racun tetanospasmin, suatu toksin yang sangat kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani.Di negara berkembang
seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari penyakit
tetanus masih cukup tinggi, oleh karena itu tetanus masih
merupakan masalah kesehatan. Akhir- akhir ini dengan adanya
penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka
angka kesakitan dan angka kematian akibat penyakit tetanus
telah menurun secara drastis.Tetanus terbagi menjadi
beberapa bentuk klinis diantaranya tetanus umum, cephalic,
neonatal dan lokal.
n.
o. II. Epidemiologi

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu


menginfeksi orang yang belum diimunisasi, imunisasi parsial
atau pada orang yang sudah imunisasi lengkap tetapi gagal
mempertahankan imunitas yang cukup dengan dosis vaksin pada
booster. Walaupun tetanus seluruhnya dapat dicegah dengan
imunisasi, gangguan akibat penyakit ini tetap saja luas
diseluruh dunia.
p.
q. Penyakit ini biasanya terjadi pada daerah pertanian,
pedesaan, iklim yang hangat, sepanjang musim panas dan pada
laki-laki. Perawatan luka yang tidak baik, disamping
penggunaan jarum suntik yang tidak steril (misalnya pada
pecandu narkotik) merupakan beberapa faktor yang sering
dijumpai sebagai pencetus timbulnya tetanus. Tetanus dapat
menyerang semua golongan usia mulai dari bayi (tetanus
neonatorum), dewasa muda (biasanya pecandu narkotik), sampai
orang-orang tua.Pada negara-negara yang tidak memiliki
program imunisasi yang komprehensif, tetanus utamanya
terjadi pada neonetus dan anak usia muda lainnya. Di Amerika
Serikat dan negara-negara lain denganprogram imunisasi yang
berhasil, tetanus pada neonatus jarang terjadi dan infeksi
lain lebih sering terjadi pada kelompok umur yang lain dan
kelompok yang memiliki imunitas yang tidak adekuat.
r.
s. Dari program Natonal Surveilance Tetani di Amerika
Serikat, diketahui 60 % kasus terjadi pada usia dewasa
berkisar antara diatas 60 tahun, sekitar 50-100 kasus
dilaporkan setiap tahunnya. Perkiraan angka kejadian umur
rata-rata pertahun sangat meningkat sesuai kelompok umur,
peningkatan 7 kali lipat pada keompok umur 5-19 tahun dan
20-29 tahun, sedangkan penigkatan 9 kali lipat pada kelompok
umur 30-39 tahun dan umur lebih 60 tahun.
t.
u. III. Etiologi

Kuman tetanus yang dikenal sebagai clostridium tetani,


berbentuk batang yang ramping dengan ukuran panjag 2-5 um
dan lebar 0,3-0,5 um. Kuman ini berspora termasuk golongan
gram positif dan hidupnya anaerob. Spora dewasa mempunyai
bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung, khas
seperti batang korek api atau raket squash atau tongkat
penabuh genderang (drum stick). sifat spora ini tahan dalam
air mendidih selama 4 jam, tetapi mati dalam autoclave bila
dipanaskan selama 15-20 menit pada suhu 121 derajat celsius.

Kuman tetanus tidak invasif tetapi mampu memproduksi 2


macam eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini
melalui beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat
dan menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme
otot dan kejang-kejang tetanolisin menyebabkan lisis dari
sel-sel darah merah.
v.
w. IV. Patogenesis

Clostridium tetani masuk kedalam tubuh manusia dalam


bentuk spora melalu luka yang terkontaminasi dengan debu,
tanah, tinja binatang, pupuk dan lain sebagainya. Cara
masuknya spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara
lain : luka tusuk, luka bakar, luka lecet, otitis media,
infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat,
kadang-kadang luka tersebut hampir tidak terlihat.

Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila


lingkungan tempat lukanya menjadi hipoaerob sampai anaerob
disertai jaringan nekrotik, lekosit yang mati serta benda-
benda asing yang memungkinkan untuk perubahan bentuk
tersebut dan kemudian berkembang. Bila dinding sel kuman
lisis maka mengeluarkan eksotoksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Kuman tetanusnya sendiri tetap tinggal di
daerah luka, tidak ada penyebaran kuman.
x.
y. Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, Yaitu:
z. a. Toksin diabsorbsi ujung saraf motorik dan melalui sumbu
aa. silindrik dibawa ke kornu anterior susunan saraf pusat.
ab. b. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke
dalam
ac. sirkulasi darah arteri kemudian masuk susunan saraf
pusat.
ad.
ae. Toksin bersifat antigen, sangat mudah diikat jaringan
saraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi
dinetralkan oleh antitoksi spesifik. Aktifitas tetanospasmin
pada motor and plate akan menhambat pelepasan asetilkolin,
tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga
tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa
spasme otot. Tetanospasmin juga mempengaruhi sistem saraf
simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi
overaktifitas simpatis berupa hipertensi yang labil,
takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya
ekskresi katekolamin dalam urine.
af. V. Maniestasi
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-28 hari, namun
dapat singkat hanya 1-2 hari, dan kadang-kadang lebih dari 1
bulan. Makin pendek masa inkubasi, makinj elek prognosanya.
Terdapat hubungan antara jarak tempat infasi clostridium
tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka
dan permulaan penyakit, dimana makin jauh tempat invasi,
maka masa inkubasi makin panjang. Secara klinis, tetanus
dibagi menjadi 4 macam :

1. Tetanus umum.
2. Tetanus lokal.
3. Tetanus cephalic.
4. Tetanus neonatorum.
ag.
ah. 1. Tetanus umum
ai. Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling
sering dijumpai.Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan
luas dan dalamnya luka, seperti luka bakar yang luas, luka
tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus
dekubitus, dan suntikan hipodermis.
aj.
ak. Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa
kekakuan otot baik bersifat menyeluruh ataupun hanya
sekelompok otot. Kekakuan otot terutama pada rahang
(trismus) dan leher (kaku kuduk). 50 % penderita tetanus
umum akan menunjukkan trismus.
al.
am. Dalam 24-48 jam dari kekakuan otot menjadi
menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang
terutama otot masseter menyebabkan mulut sukar dibuka lock
jaw. Selain kekakuan pada otot masseter, pada wajah juga
terjadi kekakuan otot wajah sehingga wajah menyerupai muka
meringis kesakitan yang disebut rhisus sardonikus (alis
tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah,
bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot-otot
leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan
fleksi leher sehingga memberi gejala kaku kuduk sampai
opistotonus (disebabkan oleh kaku kuduk, kaku leher dan kaku
pada punggung). Selain itu dinding perut menjadi keras
seperti papan.
an.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang
umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan
rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang
menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal
kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.Kesadaran penderita
tetap baik, walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan yang
menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah
terangsang. Spasme pada otot-otot laring dan otot-otot
pernafasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan
sianosis.

Retensi urine sering terjadi karena spasme spinchter


kandung kemih. Pada anak-anak dapat terjadi fraktur collumna
vertebralis akibat kontraksi otot yang sangat kuat. Kenaikan
temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai
panas yang tinggi sehingga harus hati-hati terhadap
komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat
pengatur suhu. Pada kasus yang berat mudah terjadi
overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang
labil, berkeringat banyak, panas yaang tinggi, dan aritmia
jantung.

ao. Menurut berat ringannya tetanus umum, dapat dibagi


atas :
ap. a. Tetanus ringan; trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai
kejang umum walaupun dirangsang.
b. Tetanus sedang; trismus kurang dar 3 cm dan disertai
kejang umum bila dirangsang.
c. Tetanus berat; trismus kurang dari 1 cm dan disertai
kejang umum yang spontan.

Cole dan youngman (1969) membagi tetanus umum, atas :

Grade I : ringan
- Masa inkubasi lebih dari 14 hari.
- onset periodnya lebih dari 6 hari.
- Trismus positif tetapi tidak berat.
- Sukar makan dan minum tetapi tidak disfagia.
Lokasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme di
sekitar
luka dan kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.

Grade II : sedang
- Masa inkubasi 10-14 hari.
- Onset periodnya 3 hari atau kurang.
- Trismus ada dan disfagia ada
Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnu
dan sianosis tidak ada.

Grade III : berat


- Masa inkubasi kurang dari 10 hari.
- Onset periodnya 3 hari atau kurang.
- Trismus berat.
- Disfagia berat
Kekakuan umum dan gangguan pernafasan asfiksia,
ketakutan,
keringat banyak dan takikardi.
aq. 2.Tetanus lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang
dipertimbangkan karena gambaran klinis yang tidak khas.
Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot disekitar
luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka
kematian 1 %, kadang-kadang bentuk ini dapat berkembang
menjadi tetanus umum. Prognosis dari tetanus bentuk ini
biasanya baik.

3.Tetanus cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya
bentuk ini bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala,
wajah,telinga, atau leher. Gejala berupa disfungsi daraf
kranial, antara lain : N. III, IV, VII, IX, X dan XI, dapat
berupa gangguan sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap
dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan. Tetanus bentuk
ini dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya
prognosa bentuk tetanus cephalic ini jelek.

4. Tetanus neonatal
Biasanya terjadi dalam bentuk kejang umum, dan biasanya
fatal jika diiarkan tidak tertangani. Tetanus ini terjadi
pada bayi yang lahir dari ibu dengan imunitas yang tidak
adekuat, sering akibat perawatan tali pusat yang tidak
steril. Umumnya onset berlangsung dalam 2 minggu pertama
kelahirannya. Intake yang kurang, kekakuan dan spasme
merupakan gejala khas tetanus neonatal.
ar.
VI Diagnosis

Tetanus pada umumnya dapat ditegakkan berdasarkan :


1. Riwayat adanya luka sesuai dengan masa inkubasi.
2. Gejala klinis.
3. Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.
as.
at. Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam
diagnosis. Pada pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan
nilai-nilai yang spesifik; leukosit dapat normal atau dapat
meningkat.
au.
Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa
pus atau jaringan nekrosis, kemudian dibiakkan pada kultur
agar darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan
mikrobiologi hanya pada 30 % kasus ditemukan clostridium
tetani. Pemeriksaan cairan serebrospinal dalam batas normal,
walaupun kadang-kadang didapatkan tekanan meningkat akibat
kontraksi otot.

Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) adalah normal, dan


pada pemeriksaan elektromiogram (EMG), hasilnya tidak
spesifik.
av. VII Diagnosis banding.

Bila gambaran klinis tetanus sudah jelas, biasanya


diagnosis mudah ditegakkan.Tetanus dapat dibandingkan dengan
meningitis bakterial, rabies, absesretropharygeal,
tonsilitis berat, mastoiditis,miositis, dan spondilitis
leher, tetani, poliomyelitis, dan lain-lain.

VIII Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan tetanus terdiri atas 3 upaya, yaitu


mengatasi akibat eksotoksin yang sudah terikat pada susunan
saraf pusat, menetralisir toksin yang masih beredar di dalam
darah dan menghilangkan kuman penyebab.
aw. a. Pengobatan umum.
ax. - Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan, ruangan
perawatan harus tenang (tidak ramai) dan gelap.
- Perawatan luka degan rivanol, betadin dan H2O2.
- Bila perlu diberikan oksigen dan kadang-kadang
diperlukan
tindakan trakeostomi untuk menghindari obstruksi jalan
napas.
- Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau
penumpukan saliva, maka dibersihkan dengan pengisap
lendir.
- Makanan dan minuman diberikan melalui sonde lambung.
bahan makanan sebaiknya mudah dicerna dan cukup
mengandung protein dan kalori.
- mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
ay. b. Pengobatan khusus.
az.
ba. Antitoksin
bb.
bc. Dosis inisial tetanus Immunoglobulin Human (TIGH)
yang dianjurkan adalah 500 u/im yang dilanjutkan dengan
dosis harian 500-6000 u. Bila pemberian TIG tidak
memungkinkan, anti tetanus serum (ATS) dapat diberikan 5000
u im dan 5000 u secara iv. Pemberian baru dilaksanakan
setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitifitas.
bd.
be. Antikonvulsan dan sedatif
bf.
bg. Obat-obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan
mengurangi kepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat
yang ideal dalam penanganan tetanus adalah obat yang dapat
mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa
mengganggu pernafasan, gerakan-gerakan volunter atau
kesadaran. obat-obat yang lazim digunakan adalah :
bh. a. Diazepam
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka di
berikan dosis 0,5-1 mg/kgBB/4 jam im perlahan-lahan.
b. Fenobarbital
Dosis 50-100 mg/4 jam im
c. Dapat juga diberikan CPZ atau clorpromazin
Dosis yang dianjurkan 25-75 mg/4 jam im.

Antibiotik
a. Pemberian penicilin prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif clostridium
tetani, dosisnya 1,2 juta unit/hari im selama 10
hari.
b. Tetrasiklin
Diberikan tertama bila penderita alergi terhadap
penisilin.
c. Metronidazole
Diberikan dalam dosis 500 mg/6 jam/iv atau 1 gram/12
jam/iv dosis tidak lebih dari 4 gram/hari.

Oksigen
Pemberian oksigen dilakukan bila terdapat asfiksia
dan
sianosis

Trakeostomi

Dilakukan pada penderita tetanus, jika terjadi spasme


yang berkepanjangan dari otot pernafasan, tidak ada
kesanggupan batuk atau menelan, obstruksi laring dan kondisi
koma.
c. Pencegahan
- Perawatan luka
Terutama pada luka tusuk, kotor atau luka tercemar
dengan
spora tetanus.
- Imunisasi pasif
Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk
yaitu ATS dari serum kuda dan Tetanus imunoglobulin human
atau (TIGH) dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman
yaitu 1500-3000 u im dan 3000-5000 u im. Pemberian ini
sebaiknya didahului dengan tes kulit, dosis (TIGH) : 250-500
u im. Kita dapat memberikan ATS/TIGH atau toksoid tetanus
maupun antibiotik, tergantung dari kekebalan seseorang
(apakah pernah mendapat imunisasi dasar dan bosternya),
berapa lama antara pemberian toksoid dan terjadinya luka.

bi. - Imunisasi aktif


Di Indonesia dengan adanya program pengembangan imunisasi
(PPI) selain menurunkan angka kesakitan juga mengurangi
angka kematian tetanus. Imunisasi tetanus biasanya dapat
diberikan dalam bentuk DPT, DT dan TT.

DPT : diberikan untuk imunisasi dasar.


DT : diberikan untuk boster pada usia 5 tahun; diberikan
pada anak dengan riwayat kejang demam.
TT : diberikan pada wanita hamil dan anak usia 13 tahun
ke atas.
bj.
IX. Prognosis

1. Masa inkubasi.
Makin pajang masa inkubasi, biasanya penyakit makin
ringan, sebaliknya makin pendek masa inkubasi, penyakit
makin berat, pada umumnya bila masa inkubasi kurang dari
7 hari, maka tergolong berat.
2. Umur
Makin muda umur penerita, seperti pada neonatus dan pada
usia tua (lebih dari 60 tahun) maka prognosisnya makin
jelek.
3. panas
Pada tetanus, umumnya tidak ada febris. adanya
hiperpireksia maka prognosisnya makin jelek.
4. Period of onset
Jika kurang dari 48 jam, prognosisnya jelek.
5. Pengobatan
Jika pengobatannya terlambat, prognosisnya jelek.
6. Frekuensi kejang
Semakin sering kejang, semakin buruk prognosisnya.
7. Ada tidaknya komplikasi/penyulit.
Seperti spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas
maka prognosisnya buruk.

Anda mungkin juga menyukai