Kedatangan Nihilisme
BAB I
Seberang Metafisika?
Do I dare
disturb the universe?
In a minute there is time
for decisions and revisions which a minute will reverse.
TS Elliot, The Love Song of J. Alfred Prufrock
6
1.1. Kedatangan Nihilisme
7
1.1. Kedatangan Nihilisme
1
Max Stirner, Der Einzige und Sein Eigenthum dalam RWK Paterson, The Nihilist-Egoist: Max
Stirner (Oxford: Oxford University Press), 1971, hlm. 65.
8
1.1. Kedatangan Nihilisme
dan bebas dari egoisme, semuanya egois. Maka aku, menurut Stirner, tak perlu
mengupayakan suatu tujuan lain yang bukan berasal dari diriku sendiri. Maka:
Away with every cause which is not wholly and entirely my cause! Do
you think that my cause must at least be the good cause? Good and
evil indeed! I am my own cause, and I am neither good nor evil My
cause is neither the divine nor the human, it is not the true, the good,
the just, or the free cause, but simply mine, and it is not anything
general, for it isunique, as I am unique. Nothing more to me than
myself!2
Melalui kutipan tersebut kita telah melihat bahwa Stirner menekankan sifat unik
dari individu dan bukan sifat umum dari individu (misalnya kesamaan di hadapan
hukum dan negara). Terlihat pula bahwa ia mengkritik Subyek universal Hegelian
(dan Gattung alias Bangsa-Manusia Feuerbachean).
Stirner juga menolak segala bentuk transendensi (entah itu Tuhan, Kebenaran
Sejati, Hukum Moral, dsb). Sang egois alias sang individu dalam pandangannya
bukanlah sesuatu yang transenden, bukanlah Sang Manusia yang bermartabat dan
adiluhung. I am neither God, nor Man, nor the Supreme Being, nor my Essential
Being, tulis Stirner3. Ia juga dapat disebut sebagai anti-Humanis pertama
(mendahului Nietzsche dan Heidegger). Nilai-nilai transenden seperti Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Hukum Moral (seperti dalam Proudhon), Sang Manusia
(dalam Feuerbach), adalah berbagai bentuk manifestasi dari filsafat Roh yang ingin
mematuhkan individu dan meleburnya ke dalam kesatuan kolektif yang abstrak.
Bersamaan dengan itu ia juga menolak hierarki karena hierarchy is the dominion of
thoughts, the dominion of Spirit4.
Menurutnya sejarah dunia tersusun dalam tiga fase. Pertama, era
Negroiddengan budaya Mesir dan Afrika utara dimana proses abstraksi atas realitas
Ilahiah baru dimulai. Kedua, era Mongoloid (dalam pandangannya sesuai dengan
nilai-nilai Kristiani) yang mengutamakan kesatuan absolut antara dunia dan surga
demi mencipta suatu culture-heaven berdasarkan proses abstraksi yang merengkuh
segala-galanya. Hegel, dalam pandangan Stirner, merupakan puncak dari zaman ini
(yang telah didahului oleh Martin Luther dan Descartes yang mengutamakan suatu
fakultas abstrakiman/rasioyang mengaburkan realitas konkret). Ketiga, era
Kaukasian yang sedang akan datang (dimana yang berjaya adalah para egois).
Menurutnya, proses ini merupakan keniscayaan historis. Mongolisme akan
tumbang dan mencapai era Kaukasian karena manusia sadar bahwa Roh, Keutamaan
Moral, dan segala bentuk ideal, adalah ciptaannya sendiri sehingga manusia, yang
2
Ibid. hlm. 65-66.
3
Ibid. hlm. 69-70.
4
Ibid. hlm. 72.
9
1.1. Kedatangan Nihilisme
kini telah sadar dan menjadi egois, lalu mendeklarasikan: Akulah sang pemilik
[proprietor] dunia benda-benda, dan akulah sang pemilik dunia Roh.5
Liberalisme yang seakan membela individu dan memberikan kebebasan pada
individu, bagi Stirner, sebenarnya merupakan muslihat tengik. Segala individu setara
di hadapan hukumapa ini kalau bukan generalisasi dan skematisasi terhadap
keunikan diriku? Kebebasan sipil, Stirner menulis, does not signify my liberty, but
the liberty of a power which rules and coerces me its liberty is my slavery6. Maka
baginya Revolusi Perancis cuma menumbangkan rezim dan membebaskan warga
negara, namun tidak membebaskan individu. Dalam bab Der sociale
Liberalismus, Stirner menganalisa tentang kemungkinan tatanan masyarakat sosialis
dunia. Baginya, terdapat kontradiksi internal dalam kapitalisme, yaitu kesetaraan
manusia yang digembar-gemborkan secara teoritis dan sekaligus ketidaksetaran yang
aktual dalam hal kepemilikian real7. Hal ini akan mengarah pada destruksi negara
kapitalis oleh kaum sosialis dan melahirkan suatu tatanan masyarakat tanpa hak milik
pribadi dimana semua kepemilikan diatur oleh Masyarakat (Society)8. Namun hal
ini, menurut Stirner, akan mengarah juga kepada tatanan pemimpin (Masyarakat)
versus budak (individu). Stirner, oleh karenanya, menolak ide kaum sosialis. Sebab
baginya individu mesti bebas dan memiliki sifat-sifatnya sendiri tanpa berbagai
proses birokratisasi.
Stirner mengkritik pandangan tentang manusia sebagai makhluk rasional
(animal rationale). Baginya segala bentuk labelisasi yang diterakan pada individu
merupakan suatu ketakmungkinan. Mengapa bisa begitu? Ia menulis: For I, from
whom I start, am not a thought, nor does my essence consist in thinking. Against me,
the unnameable, the realm of concepts, thought, and Spirit is shattered. 9 Esensi ego
tidak terletak pada sifat rasionalnya. Individu tak pernah dapat dipahami, tak
ternamai, tak terrengkuh segala konsep dan Roh. Ketika individu mulai mengalami
keterjebakan pada kepemilikannya (misalnya kepemilikan atas fakultas rasio), ia
dapat meninggalkannya atau menghancurkannya sebelum hal itu terkristalisasi
menjadi suatu prinsip yang mengatur ego. In order to secure my property, therefore I
continuously take it back into myself, annihilate its every movement towards
independence, and swallow it before it can crystallize itself into any kind of
established principle., tulis Stirner10. Dengan demikian individu dalam artian Stirner
bukanlah suatu individu yang stabil dan statis melainkan individu yang terus bergerak
terus berubah mengafirmasi dan menegasi dirinya sendiri seturut kehendak hatinya
sendiri. I start by presupposing myself, demikian Stirner, a presupposition which I
exist by consuming, for as The Unique One I repudiate the dualism of a presupposing
and a presupposed self rather, I posit myself or create myself, existing only in the
5
Ibid. hlm. 73.
6
Ibid. hlm. 74.
7
Ibid. hlm. 74-75.
8
Ibid.
9
Ibid. hlm. 77.
10
Ibid.
10
1.1. Kedatangan Nihilisme
11
1.1. Kedatangan Nihilisme
kehendak yang terus menghendaki secara lebih. I see nothing, demikian Stirner,
but a multiplication of my power and which I preserve only so long as it remains my
multiplied power.20 Dengan kata lain, preservasi kehendak adalah peningkatan
kehendak, pengakumulasian kekuasaan (power) yang lebih besar. Ia menulis (kita
barangkali akan teringat Nietzsche), power is only a simpler word for the
manifestation of power21.
Sekilas Stirner memang nampak seperti seorang pragmatis-utilitarianistik.
Namun ia lebih dari sekedar itu, ia tidak setengah-setengah (dalam arti melakukan
perhitungan, misalnya dengan birokratisasi, agar kenikmatan bisa meningkat), ia juga
tidak peduli dengan kegunaan praktis. Lihatlah kata-katanya: enjoyment of life
means using life up22. Maka dapat dikatakan bahwa self-enjoyment is a self-
destruction, bahwa penikmatan diri adalah penghancuran diri. Saya bisa menikmati
diri saya dengan menghancurkan diri saya, dengan menggunakan daya hidupku
habis-habisan.
Bagi Stirner, pikiran, yang biasanya disebut sebagai mahkota kesadaran dan
sesuatu yang membuat manusia berdiri di puncak ciptaan, adalah sekedar salah-satu
bentuk manifestasi kehendak. Absolute thought, tulis Stirner, is nothing but that
thinking which forgets that it is my thinking that it only exists through me that it
is only my judgement, which I can at any moment change, i.e. annihilate, take back
into myself, and consume.23 Lebih jauh lagi, Kebenaran hanyalah sekedar hasil
pikiran. Stirner menulis, Truths are mens thought, expressed in words and therefore
just as extant as other things, dan bahwa kebenaran hanyalah phrases, forms of
speech, wordswhen brought into connection or into an articulate series, forming
logic, science, or philosophy tapi selalu nothing but words dan bahwa the Truth
itself is dead, a corpse; it is alive only in the same way as my lungs are aliveas the
measure of my vitality 24. Maka, bagi Stirner, pemikiran hanyalah sekedar parodi
yang bisa kau buang ketika sifat humornya sudah habis25.
Ketika buku tersebut diterbitkan, yaitu pada tahun 1844, kaum intelektual
Jerman segera memberikan reaksi yang keras. Szeliga dan Feuerbach mengkritik
buku tersebut melalui jurnal ilmiah. Moses Hess, yang telah berkonsultasi terlebih
dahulu dengan Marx dan Engels, menuliskan suatu pamflet berjudul Filsuf-Filsuf
Terakhir yang mengkritik buku itu. Pada tahun 1845 Stirner membalas mereka
dengan mengklarifikasi bahwa, sebagai konsep, Yang Unik (Der Einzige) tak
memiliki isi (dalam arti tertentu, ia bukan konsep sama sekali) karena bersamanya
segala evolusi konseptual mencapai akhirnya (dalam arti tertentu, ia menandai akhir
dan batas segala konseptualisasi)26. Mari kita kutip lebih panjang:
20
Ibid. hlm. 87.
21
Ibid. hlm. 88.
22
Ibid.
23
Ibid. hlm. 90.
24
Ibid.
25
Ibid. hlm. 91.
26
Ibid. hlm. 94.
12
1.1. Kedatangan Nihilisme
Someone who calls you Ludwig does not mean any old Ludwig, but
you, for whom he lacks a word. What Stirner says is a word, a thought,
a concept; what he means is no word, no thought, no concept. What he
says is not what he means, and what he means cannot be said. []
Thus you are without predicates, as you are without determination,
without vocation, and without laws.27
2.1. Nihilisme
27
Ibid. hlm. 94-95.
28
Ibid. hlm. 95.
29
Lih. Ibid. hlm. 146-147.
30
Ibid. hlm. 148.
31
Ibid. hlm. 158-159.
13
1.1. Kedatangan Nihilisme
The Madman
Have you not heard of that madman who lit a lantern in the
bright morning hours, ran to the market place, and cried incessantly: I
seek God! I seek God!As many of those who did not believe in
God were standing around just then, he provoked to much laughter.
Has he got lost? asked one. Did he lose his way like a child? asked
another. Or is he hiding? Is he afraid of us? He has gone on a voyage?
Emigrated?Thus they yelled and laughed.
The madman jumped into their midst and pierced them with his
eyes. Whither is God? he cried; I will tell you. We have killed him
you and I. All of us are his murderers. But how did we do this? How
could we drink up the sea? Who gave us the sponge to wipe away the
entire horizon? What were we doing when we unchained this earth
from its sun? Whither is it moving now? Whither are we moving?
Away from all suns? Are we not straying as through infinite nothing?
Do we not feel the breath of empty space? Has it not become colder?
Is not night continually closing in on us? Do we not need to light
lanterns in the morning? Do we hear nothing as yet of the noise of the
gravediggers who are burying God? Do we smell nothing as yet of the
divine decomposition? Gods, too, decompose. God is dead. God
remains dead. And we have killed him.32
32
Freidrich Nietzsche, The Gay Science diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Random
House), 1994, hlm. 181.
14
1.1. Kedatangan Nihilisme
Apa itu kebenaran? Truth is the kind of error without which a certain
species of life could not live33, tulis Nietzsche dalam Der Wille zur Macht. Nampak di
sini bahwa Nietzsche berbicara tentang kebenaran sebagai suatu kondisi yang
merupakan prasyarat bagi kehidupan (condition for life) suatu makhluk tertentu, atau
persisnya, manusia. Dalam aforisme yang sama, ia melanjutkan, The value for life is
ultimately decisive.34 Nilai (value) memiliki kedudukan yang sangat menentukan
dalam kehidupan. Kebenaran sebagai condition for life itu memiliki bentuknya yang
konkret dalam nilai.
Kebenaran sebagai nilaitetapi apakah nilai yang ia maksud itu? Dalam
Jenseits von Gut und Bse: Vorspiel einer Philosophie der Zukunft (Melampaui Baik
dan Buruk: Prelud untuk Filsafat Masa Depan), Nietzsche memberikan insight:
Seperti kita ketahui, Immanuel Kant berupaya memberikan landasan rasional-a priori
bagi validitas klaim kebenaran. Dengan upaya itulah, ia mengajukan pertanyaan
tentang kemungkinan keputusan sintesis a priori. Namun Nietzsche membalik
pemikiran Kant: mengapa kita memerlukan pembuktian bahwa kita dapat meraih
kebenaran? Bagi Nietzsche, peryataan yang diajukan oleh Kant itu justru
menunjukkan bahwa validitas klaim kebenaran adalah suatu kepercayaan (belief).
Kita takut untuk mengakui bahwa memang tak ada kebenaran sehingga kebenaran itu
must be believed to be true; dan tujuan dari kepercayaan itu adalah for the sake of
the preservation of creatures like ourselves.
Dalam konteks yang sama, Nietzsche menerangkan lebih lanjut. Menurutnya,
keputusan (judgement) atau secara lebih umum, klaim kebenaran, adalah
kepercayaan kita yang tertua, our most habitual holding-true or holding-untrue, an
assertion or denial, a certainty that something is thus and not otherwise, a belief that
here we really know []36. Kebenaran, sebagai belief, memiliki karakter khas
yaitu holding-true. Jadi, bagi Nietzsche, kebenaran adalah sesuatu yang diperlukan
dan bukan sesuatu yang niscaya. Dalam Jenseits von Gut und Bse, ia menulis:
15
1.1. Kedatangan Nihilisme
Serangan Nietzsche atas validitas klaim kebenaran sangat radikal. Kita percaya pada
logika berpikir yang sah: bahwa jika orang mengatakan, Tak ada kebenaran!,
maka pernyataan itu akan menyangkal dirinya sendiri dan juga seluruh implikasi dari
pernyataan itu. Kita seringkali tak sadar bahwa logika semacam itu hanyalah ciptaan
kita saja; logika adalah fiksi. Begitu pula dengan logika matematika. Kita yakin
bahwa 1+1=2 adalah benar, sah, logis. Padahal itu pun hanya fiksi buatan manusia 38.
Lantas untuk apa manusia menciptakan fiksi-fiksi itu? Jawabannya jelas: For the
sake of the preservation of creatures like ourselves, to maintain the condition of
life, singkatnya, holding-to-be-true. Dalam pengantarnya untuk buku The Gay
Science, kita memperoleh gambaran yang sangat jelas:
Lantas, dalam hal apakah truth sebagai fiksi itu nampak jelas? Jawabnya: dalam
skematisasi. Nietzsche menuliskan hal ini dalam salah satu aforismenya pada Der
Wille zur Macht: Not to know but to schematizeto impose upon chaos as much
regularity and form as our practical needs require.40 Klaim kebenaran bekerja dengan
menskematisasi realitas yang kacau-balau (chaos) ini, mengatur dan menyusunnya
sedemikian sehingga realitas ini tampak tertata, rapih dan siap untuk kita gunakan.
Contoh yang jelas: penemuan ilmu ukur (matematika dan geometri) di Mesir
sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebutuhan praktis (practical need) rakyat Mesir
untuk mengukur tingginya peluapan air sungai Nil. Tak ada yang dramatis di sini
tak ada penemuan yang heroik seakan-akan penemuan itu for the sake of truth itself.
Kebenaran hanyalah sederet konvensi yang dirayakan dengan ribuan konfeti.
Kini kita akan membahas kebenaran dalam tataran yang lebih kasat mata,
yaitu moralitas. Nietzsche melihat moralitas sebagai tanda dekadensi, suatu sikap
ketidakpercayaan-atas-hidup41. Dalam bab Origin of Moral Valuations pada buku Der
Wille zur Macht, Nietzsche menggambarkan moralitas senada dengan penjelasannya
atas kebenaran: I understand by morality a system of evaluations that partially
coincides with the condition of a creatures life.42 Moralitas adalah bentuk nyata dari
37
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam op.cit. hlm. 201.
38
Oleh karena itu, mungkin bukannya tidak sengaja jika Nietzsche memasukkan tulisan yang kita kutip
tadi pada bab pertama yang berjudul On the Prejudices of Philosophers (Tentang Prasangka-Prasangka
Para Filsuf).
39
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, op.cit. hlm. 35.
40
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 278.
41
Ibid. hlm. 149.
42
Ibid. hlm. 148. Dalam buku Genealogy of Moral, Nietzsche menunjukkan bahwa perkembangan
moralitas selalu terkait dengan kekuasaan. Argumentasi tentang moral ini senada dengan
16
1.1. Kedatangan Nihilisme
klaim kebenaran di dalam masyarakat. Bagi Nietzsche, fenomena moral tak pernah
ada, yang ada hanyalah interpretasi moral atas fenomena itu43. Perbuatan seperti
membantu orang tua, hidup sederhana, rendah hati, bukanlah perbuatan moral.
Perbuatan semacam itu hanya kita tafsirkan secara moral. Sedangkan interpretasi itu
berasal dari sesuatu yang bersifat extra-moral. Apa itu extra-moral? Untuk
memahami ini, terdapat sebuah aforisme Nietzsche yang menarik:
17
1.1. Kedatangan Nihilisme
Bagi Nietzsche, moralitas Kristiani adalah moralitas budak. Moralitas ini adalah
moralitas milik para budak: kesetiakawanan, saling mengasihi, menyangkal diri demi
komunitas, semua itu merupakan ciri khas moralitas budak. Moralitas ini disebut pula
moralitas kawanan49. Moralitas semacam ini membuat orang-orang hanya berani
hidup dalam kerumunan, dalam kebersamaan yang dangkal, dalam anonimitas yang
aman. Nietzsche sendiri menulis, Entry into real lifeone rescues ones personal
life rom death by living a common life 50. Bagi Nietzsche, tak ada jalan lain,moralitas
semacam itu harus dihancur-leburkan. Moralitas itu bertanggung jawab atas
dekadensi masyarakt Eropa yang semakin takut untuk berpikir, yang hanya berani
hidup dalam kerumunan. [] the whole morality of self-denial must be questioned
mercilessly and taken to court [] There is too much charm and sugar in these
feeling of for others, not for myself, []51. Oleh karena itu dalam suatu adegan
singkat di tempi sungai, Zarathustra bersabda:
18
1.1. Kedatangan Nihilisme
What I relate is the history of the next two centuries, I describe what is
coming, what can be n longer come differently: the advent of nihilism.
This history can be related even now; for necessity itself is at work
here. This future speaks even now in a hundred signs, this destiny
announces itself everywhere; for this music of the future all ears are
cocked even now. For some time now, our whole European culture has
been moving as toward a catastrophe, with a tortured tension that is
growing from decade to decade: restlessly, violently, headlong, like a
river that wants to reach the end, that no longer reflects, that is afraid
to reflect. [] For why has the advent of nihilisme become necessary?
Because the values we have had hitherto thus draw their final
consequence; because nihilism represents the ultimate logical
conclusion of our great values and idealsbecause we must
experience nihilism beferoe we can find out what value of these
values really had.57
55
Ibid. hlm. 701.
56
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 9. Nietzsche menolak memandang alam semesta
sebagai kosmos (tatanan; keteraturan) karena baginya keteraturan merupakan hasil skematisasi
manusia demi practical need nya. Bagi Nietzsche, alam semesta ini adalah khaos (kekacauan),
gelombang dashyat yang bergolak tanpa akhir (eternal flux of becoming).
57
Ibid. hlm. 3-4.
19
1.1. Kedatangan Nihilisme
Kedatangan nihilisme adalah sesuatu yang niscaya. Nihilisme terlahir dari kesalahan
manusia sendiri. Kepercayaan manusia terhadap nilai moral yang mutlak,
kepercayaan manusia pada Tuhan dan surga, kepercayaan manusia pada kebenaran
yang baku, itu semua membuat manusia tak lagi berrefleksi, tak berani berrefleksi (no
longer reflects, afraid to reflects). Kepercayaan kita pada nilai-nilai seperti itu telah
mengantarkan kita pada konsekuensi finalnya: the advent of nihilism. Oleh karena itu,
Nietzsche menulis pada bab European Nihilism: What does nihilism mean? That the
highest values devaluate themselves. The aim is lacking; why? finds no answer. 58
Kepercayaan manusia pada kebenaran sebagai kebenaran, pada adanya kebenaran
absolut, kebenaran-pada-dirinya-sendiri, membuat kepercayaan itu sendiri runtuh.
Nilai-nilai yang dulunya diyakini benar, kini mendevaluasi dirinya sendiri, hancur
dengan sendirinya. Semuanya karena manusia hanya berani hudup dalam kawanan,
tanpa bertanya, dan akhirnya, merasa tanpa tujuan, tanpa makna.
Nietzsche menjelaskan tentang nihilisme sebagai kondisi ini dalam tiga tahap:
[1] when we have sought a meaning in all events that is not there [] being
ashamed in front of oneself, as if one had deceived oneself all to long. [2] man has
lost the faith in his own value when no infinitely valuable whole works through him;
i.e. he conceived such a whole in order to be able to believe in his own value. [3] as
man find out how thatworld is fabricated solely from psychological needs, and how
he has absolutely no right to it, the last form of nihilism come into being: it includes
disbelief in any metaphysical world and forbids itself any belief in a true world.59
Nihilisme menyelimuti masyarakat kerumunan seperti awan gelap. Orang tak bisa
menemukan makna yang sungguh menyentuh dalam kerumunan; ketika tersadar, ia
merasa ditipu oleh dirinya sendiri. Orang menyadari bahwa nilai yang absolut itu tak
ada; selama ini ia hanya berusaha percaya pada nilai yang ia pegang sendiri. Pada
akhirnya, orang sadar bahwa semua yang kita anggap realitas, yang kita anggap
benar, sebenarnya tak lain dari manifestasi kebutuhan praktis kita; ia kini merasa sakit
hati karena telah dibohongi oleh keyakinannya sendiri ketika dulu percaya akan
aadnya kebenaran, moralitas dan Tuhan. Oleh karena itu, Nietzche menggembar-
gemborkan perlunya suatu upaya revaluasi semua nilai (Umwertung aller Werte),
sebagaimana merupakan subjudul buku Der Wille zur Macht. Nilai-nilai lama seperti
Tuhan, moralitas, kebenaran mutlak, harus dirombak total.
Pada titik inilah kita bisa mengerti maksud aforisme The Madman yang kita
kutip tadi. Tuhan telah mati!! Kebenaran telah mati!!!. Lalu: bagaimana jika bumi
ini terlepas dari orbitnya? Apakah kita bergerak? Menjauh dari matahari? Menjauh
dari segala patron? Apakah kita hanya berputar-putar saja? Mana barat, mana timur?
Apakah kita tak menghirup udara kosong? Tidakkah kini terasa dingin? Kenapa
hanya ada malam dan malam senantiasa? Tidakkah kita dengan suara bising penggali
kubur yang sedang menguburkan Tuhan dengan ocehan gosip yang tolol, dengan
sikap letoy, sebuah psikopatisme dalam kehidupan sehari-hariseakan-akan
58
Ibid. hlm. 9.
59
Ibid. hlm. 12-13.
20
1.1. Kedatangan Nihilisme
kehidupan ini berjalan baik-baik saja? Mau kemana kita? Celaka, sungguh celaka
Nietzsche bersorak: Everything is false! Everything is permitted! 60. Nihilisme
membuat kita hilang tak tentu arah, seperti orang yang hilang di padang tandus. Kita
tak lagi punya telos (tujuan), kita bahkan tak bisa tahu dari mana kita, kita terdampar.
Maka: dimulailah tragedi, Incipit Tragdia.
Kini kita akan melihat arti kedua dari term nihilisme, yaitu sebagai laku.
Sebagai laku, Nietzsche memaksudkan nihilisme sebagai suatu sikap dalam
menghadapi kondisi nihilistis yang niscaya datang. Nietzsche membagi laku nihilis
ini ke dalam dua bentuk: nihilisme pasif dan nihilisme aktif61. Jika dalam menghadapi
kondisi nihilitas manusia menyerah ke dalam sikap keputus-asaan, ketakutan, ingin
lari dari hidup yang tanpa tujuan ini, maka manusia itu mennjalankan laku nihilisme
pasif. Laku ini sangat dibenci oleh Nietzsche, nihilisme pasif adalah sebentuk
penyangkalan atas hidup. Satu-satunya cara untuk melampaui nihilisme
(berwindung der Nihilismus) adalah dengan menjalankan laku nihilisme aktif. Laku
ini mengatakan Ya pada hidup, dengan kata lain, mengafirmasi seluruh
kekacauan (khaos) hidup ini. Dengan menjalankan laku ini, kita menjadi manusia
tragis. Tapi perlu dibedakan antara pesimisme dan tragisme. Pesimisme adalah sikap
menolak hidup, ketakutan atas ketidakbertujuan hidup ini. Pesimisme adalah muara
sikap nihilisme pasif. Tragedi adalah sesuat yang agung di mata Nietzsche. Dalam
Die Geburt der Tragdie, ia menulis: Knowledge kills action; action requires the
veils of illusion: that is the doctrine of Hamlet. 62 Sikap tragis hanya muncul karena
ada unsur ketidaktahuan dalam diri kita. Hamlet tak tahu persis apakah yang ia
ketahui itu benar atau salah, dan dia tetap berani mengafirmasi kehidupan,
melancarkan konfrontasi atas pamannya, walaupun sungguh tahu bahwa hal itu dapat
mengakibatkan kematian dirinya; ia mengamini itu semua dan berjuang hingga akhir.
Dalam Gtzen-Dmmerung (Senjakala Para Dewa), Nietzsche menuliskan bahwa
orang sebijak Sokrates pun, pada akhirnya hidupnya, mengakui bahwa hidup itu sia-
sia; hal itu terlihat lewat kata-kata terakhirnya: To livethat means to be a long time
sick: I owe a cock to the saviour Asclepius. 63 Nietzsche melihat dalam kata-kata
Sokrates: hidup adalah sesuatu yang sia-sia. Bahkan kalimatnya yang terakhir, bahwa
Sokrates berhutang seekor ayam pada Asklepius, menunjukkan betapa remehnya
kehidupan itu, sebuah aksiden selintas yang tanpa arti. Jadi, sejak awal, hidup itu
sendiri adalah tragedi. Manusia tragis adalah ia yang berkata Ya, mengafirmasi,
menerima sepenuhnya absurditas kehidupan ini tanpa harapan akan surga dan segala
tujuan final yang lain, tanpa menambatkan diri pada kepercayaan akan kebenaran
absolut, tanpa takut tersingkir dari kawanan. Manusia tragis adalah manusia yang
berani dipeluk oleh kesepian.
60
Ibid. hlm. 326.
61
Ibid. hlm. 17.
62
Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit.
63
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ, op.cit. hlm. 29.
21
1.1. Kedatangan Nihilisme
22
1.1. Kedatangan Nihilisme
Let us think this thought in its most terrible form: existence as it is,
without meaning or aim, yet reccuring inevitably without any finale of
nothingness: eternal reccurence. This is the most extreme form of
nihilism: the nothing (the meaningless), eternally!73
Sayangnya konsep ini belum selesai dikembangkan oleh Nietzsche hingga hari
kematiannya. Yang tersisa untuk kita hanyalah sketsa awal dari konsep ini.
Nampaknya Nietzsche memang mengartikan eternal reccurence ini secara harafiah.
Bahkan ia pun nampaknya ingin memberikan pembuktian ilmiah atas konsep ini 74.
Dengan konsep ini, Nietzsche memaksudkan bahwa tak ada yang namanya tujuan
69
Friedric Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ, op.cit. hlm. 115.
70
Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra, op.cit. hlm. 164.
71
Dalam bahasa Inggris, istilah bermensch memiliki dua terjemahan, yaitu Overman dan
Superman.
72
Ibid. hl. 67-68.
73
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 35-36.
23
1.1. Kedatangan Nihilisme
terakhir (end goal) dari eksistensi. Semuanya hanya akan berulang-ulang saja tanpa
tujuan akhir yang definitif. Ini jelas merupakan kritik atas konsep waktu agama-
agama Samawi. Konsep waktu agama-agama Samawi bersifat linear, mengandaikan
adanya akhir sejarah; konsep waktu Nietzsche bersifat siklik, semuanya berulang
secara abadi. Namun, konsep eternal reccurence ini juga merupakan upaya Nietzsche
untuk membuat manusia berkata Ya pada hidup yang absurd ini dan mengafirmasi
kehendak untuk berkuasa tanpa mengharapkan apapun, tanpa bersandar pada apapun.
Terus-menerus timbul tenggelam dalam kekacauan.
74
Nietzsche membandingkan konsep kembalinya segala sesuatu yang sama secara abadi ini dengan
hukum kekekalan energi. Lih Ibid. hlm. 547.
24