Anda di halaman 1dari 19

1.1.

Kedatangan Nihilisme

BAB I

Seberang Metafisika?
Do I dare
disturb the universe?
In a minute there is time
for decisions and revisions which a minute will reverse.
TS Elliot, The Love Song of J. Alfred Prufrock

1.1. Kedatangan Nihilisme

6
1.1. Kedatangan Nihilisme

Sejarah metafisika mengejawantah dalam era Modern dan bergerak menuju


puncak kepenuhannya pada Hegel dimana dikotomi subyek x obyek, pemikiran x
Ada, partikularitas x universalitas, dipersatukan dalam suatu kesatuan absolut.
Kesatuan organik antara segala hal yang bertentangan ini terwujud dalam Roh
Absolut yang telah mengejawantah pada tataran pikiran murni, perkembangan alam
semesta dan sejarah peradaban. Dengan demikian, segala-galanya telah diterangi
dalam suatu kepastian yang niscaya; tak ada lagi tempat bagi yang tak terpahami, tak
ada lagi tempat bagi tragedi.
Tiga belas tahun setelah kematian Hegel di tahun 1831, yaitu tahun 1844,
terbitlah sebuah buku yang menggemparkan masanya. Penulisnya adalah seorang
Hegelian Muda. Bukunya itu terbit setahun sebelum Die Heilige Familie nya Marx
terbit, setahun sebelum Das Wesen des Christentums nya Feuerbach terbit, juga
bersamaan dengan terbitnya buku-buku pertama Kierkegaard. Pada tahun ketika buku
itu terbit, lahirlah Friedrich Nietzsche. Dalam buku itu, penulisnya melakukan kritik
habis-habisan atas filsafat Hegelian, moralitas Kristiani, masyarakat kapitalis, tirani
negara, humanisme dan pandangan ketuhanan. Buku itu berjudul Der Einzige und
Sein Eigentum (Individu dan Miliknya). Sang penulis itu bernama Max Stirner (1806-
1856).
Stirner melancarkan kritik atas Hegel dengan membalikkan oposisi hierarkis
dalam Hegel. Namun ia telah terlebih dahulu membaca Hegel secara tertentu,
maksudnya, menitikberatkan sisi-sisi tertentu dari filsafat Hegel (seperti universalitas,
keteraturan dan spiritualitas). Berdasarkan pembacaan yang tertentu inilah, ia
memprioritaskan sisi-sisi yang ia anggap disubordinasikan dalam pemikiran Hegel
seperti partikularitas, ketiadaan tatanan dan realitas individual.
Dua puluh delapan tahun setelah buku itu terbit, Nietzsche menerbitkan
bukunya yang pertama, Die Geburt der Tragdie (Lahirnya Tragedi). Perlahan-lahan
Nietzsche menjadi terkenal sebagai pemikir yang mengumandangkan kedatangan
nihilisme. Ia melakukan kritik (seperti sudah didahului oleh Stirner) terhadap
moralitas Kristiani, ide tentang Tuhan dan kebenaran. Ia menunjukkan bahwa
nihilisme merupakan suatu keniscayaan historis yang akan muncul dari peradaban
manusia yang masih terjebak dalam metafisika. Nietzsche yang dibahas di sini adalah
Nietzsche sebagaimana dipahami secara umum. Ia berupaya mengatasi nihilisme
dengan melakukan pembalikan atas oposisi hierarkis metafisika. Ia lebih
memprioritaskan tubuh ketimbang jiwa, kekacauan ketimbang tatanan, irasionalitas
kehendak ketimbang rasionalitas nalar, sirkularitas ketimbang teleologi.
Pada bagian ini kita akan melihat bagaimana kedatangan nihilisme itu terjadi.
Pertama, kita akan melihat bagaimana pemikiran Max Stirner (yang jarang kita sebut
ketika kita membicarakan Nietzsche) ternyata telah mengantisipasi gagasan-gagasan
Nietzsche dan melakukan pembalikan atas hierarki oposisional Hegelian. Kedua, kita

7
1.1. Kedatangan Nihilisme

akan menguraikan pemikiran Nietzsche dari perspektif umum dalam kaitannya


dengan pembalikan hierarki oposisinal metafisika secara umum.

1. MAX STIRNER: PROLEGOMENA MENUJU NIHILISME

Pemikirannya, sebagaimana tertuang dalam bukunya, Der Einzige und Sein


Eigentum, dapat dikatakan telah mengantisipasi berbagai tema besar dalam filsafat
abad berikutnya. Bersama Kierkegaard, Stirner dapat disebut sebagai bapak
Eksistensialisme yang menekankan keunikan dan singularitas ego. Mendahului
Nietzsche, Stirner dapat disebut sebagai bapak Posmodernisme yang menolak
segala bentuk klaim kepastian rasio, segala bentuk ide tentang yang transenden
(bahkan ide Kemanusiaan) dan menolak segala bentuk universalisme. Mendahului
Bakunin, Stirner juga dapat disebut sebagai bapak Anarkisme yang menolak segala
bentuk otoritas yang diimposisikan dari luar (seperti negara). Bersama Marx, Stirner
juga dapat disebut sebagai orang pertama yang menganalisa kontradiksi internal
dalam kapitalisme, yang berpikir tentang cita-cita masyarakat tanpa kelas dan yang
berpikir tentang revolusi proletariat (walaupun Stirner, setelah melakukan analisa
tentang hal ini, menolak segala ide ini). Ia juga mengkritik habis-habisan paham
Liberalisme dan positivisme hukum. Melihat posisi pemikirannya yang membuka
persimpangan jalan bagi tema-tema filsafat abad ke-20, maka sungguh aneh jika ia
jarang sekali dibahas dalam sejarah filsafat Modern.
Buku sepanjang 400 halaman itu berlandaskan suatu semangat, yaitu
semangat nihilis-egois. Ia menggunakan bahasa Jerman dengan penuh kelincahan dan
permainan kata-kata dengan menciptakan segudang neologisme (hingga Marx pernah
mengkritik kecenderungan etimologisme pada Stirner). Motif dasar buku itu
adalah kritik atas Hegelianisme yang cenderung mengutamakan peran Roh dalam
mempersatukan segala sesuatu dalam suatu kesatuan organik yang niscaya.
Ia mempertanyakan berbagai larangan dan ketentuan yang mengharuskan
manusia untuk melayani suatu tujuan lain yang dianggap lebih tinggi dari dirinya,
seperti Tuhan, Negara, Roh, dsb. Menurutnya, segala ide-ide yang dianggap agung itu
pun memiliki sifat egois. Tuhan, Moralitas, Kemanusiaan, semua itu merupakan ide
tertinggi yang tak melayani yang lain kecuali dirinya sendiri. Tuhan, misalnya, tidak
perlu melayani Kebenaran dan Cinta Kasih karena Ia sendirilah Kebenaran dan Cinta
Kasih itu, Ia sendirilah ideal sempurna bagi diri-Nya sendiri; maka Ia hanya perlu
melayani diri-Nya sendiri. Stirner menulis: He serves nothing higher and pleases
only himself. His cause isa purely egoistic cause1. Oleh karena itu, ia melawan
segala bentuk ajaran yang memandang bahwa manusia mesti melayani suatu Ide
tertentu karena Ide itu suci, mulia dan penuh pada dirinya sendiri. Tak ada yang mulia

1
Max Stirner, Der Einzige und Sein Eigenthum dalam RWK Paterson, The Nihilist-Egoist: Max
Stirner (Oxford: Oxford University Press), 1971, hlm. 65.

8
1.1. Kedatangan Nihilisme

dan bebas dari egoisme, semuanya egois. Maka aku, menurut Stirner, tak perlu
mengupayakan suatu tujuan lain yang bukan berasal dari diriku sendiri. Maka:

Away with every cause which is not wholly and entirely my cause! Do
you think that my cause must at least be the good cause? Good and
evil indeed! I am my own cause, and I am neither good nor evil My
cause is neither the divine nor the human, it is not the true, the good,
the just, or the free cause, but simply mine, and it is not anything
general, for it isunique, as I am unique. Nothing more to me than
myself!2

Melalui kutipan tersebut kita telah melihat bahwa Stirner menekankan sifat unik
dari individu dan bukan sifat umum dari individu (misalnya kesamaan di hadapan
hukum dan negara). Terlihat pula bahwa ia mengkritik Subyek universal Hegelian
(dan Gattung alias Bangsa-Manusia Feuerbachean).
Stirner juga menolak segala bentuk transendensi (entah itu Tuhan, Kebenaran
Sejati, Hukum Moral, dsb). Sang egois alias sang individu dalam pandangannya
bukanlah sesuatu yang transenden, bukanlah Sang Manusia yang bermartabat dan
adiluhung. I am neither God, nor Man, nor the Supreme Being, nor my Essential
Being, tulis Stirner3. Ia juga dapat disebut sebagai anti-Humanis pertama
(mendahului Nietzsche dan Heidegger). Nilai-nilai transenden seperti Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Hukum Moral (seperti dalam Proudhon), Sang Manusia
(dalam Feuerbach), adalah berbagai bentuk manifestasi dari filsafat Roh yang ingin
mematuhkan individu dan meleburnya ke dalam kesatuan kolektif yang abstrak.
Bersamaan dengan itu ia juga menolak hierarki karena hierarchy is the dominion of
thoughts, the dominion of Spirit4.
Menurutnya sejarah dunia tersusun dalam tiga fase. Pertama, era
Negroiddengan budaya Mesir dan Afrika utara dimana proses abstraksi atas realitas
Ilahiah baru dimulai. Kedua, era Mongoloid (dalam pandangannya sesuai dengan
nilai-nilai Kristiani) yang mengutamakan kesatuan absolut antara dunia dan surga
demi mencipta suatu culture-heaven berdasarkan proses abstraksi yang merengkuh
segala-galanya. Hegel, dalam pandangan Stirner, merupakan puncak dari zaman ini
(yang telah didahului oleh Martin Luther dan Descartes yang mengutamakan suatu
fakultas abstrakiman/rasioyang mengaburkan realitas konkret). Ketiga, era
Kaukasian yang sedang akan datang (dimana yang berjaya adalah para egois).
Menurutnya, proses ini merupakan keniscayaan historis. Mongolisme akan
tumbang dan mencapai era Kaukasian karena manusia sadar bahwa Roh, Keutamaan
Moral, dan segala bentuk ideal, adalah ciptaannya sendiri sehingga manusia, yang

2
Ibid. hlm. 65-66.
3
Ibid. hlm. 69-70.
4
Ibid. hlm. 72.

9
1.1. Kedatangan Nihilisme

kini telah sadar dan menjadi egois, lalu mendeklarasikan: Akulah sang pemilik
[proprietor] dunia benda-benda, dan akulah sang pemilik dunia Roh.5
Liberalisme yang seakan membela individu dan memberikan kebebasan pada
individu, bagi Stirner, sebenarnya merupakan muslihat tengik. Segala individu setara
di hadapan hukumapa ini kalau bukan generalisasi dan skematisasi terhadap
keunikan diriku? Kebebasan sipil, Stirner menulis, does not signify my liberty, but
the liberty of a power which rules and coerces me its liberty is my slavery6. Maka
baginya Revolusi Perancis cuma menumbangkan rezim dan membebaskan warga
negara, namun tidak membebaskan individu. Dalam bab Der sociale
Liberalismus, Stirner menganalisa tentang kemungkinan tatanan masyarakat sosialis
dunia. Baginya, terdapat kontradiksi internal dalam kapitalisme, yaitu kesetaraan
manusia yang digembar-gemborkan secara teoritis dan sekaligus ketidaksetaran yang
aktual dalam hal kepemilikian real7. Hal ini akan mengarah pada destruksi negara
kapitalis oleh kaum sosialis dan melahirkan suatu tatanan masyarakat tanpa hak milik
pribadi dimana semua kepemilikan diatur oleh Masyarakat (Society)8. Namun hal
ini, menurut Stirner, akan mengarah juga kepada tatanan pemimpin (Masyarakat)
versus budak (individu). Stirner, oleh karenanya, menolak ide kaum sosialis. Sebab
baginya individu mesti bebas dan memiliki sifat-sifatnya sendiri tanpa berbagai
proses birokratisasi.
Stirner mengkritik pandangan tentang manusia sebagai makhluk rasional
(animal rationale). Baginya segala bentuk labelisasi yang diterakan pada individu
merupakan suatu ketakmungkinan. Mengapa bisa begitu? Ia menulis: For I, from
whom I start, am not a thought, nor does my essence consist in thinking. Against me,
the unnameable, the realm of concepts, thought, and Spirit is shattered. 9 Esensi ego
tidak terletak pada sifat rasionalnya. Individu tak pernah dapat dipahami, tak
ternamai, tak terrengkuh segala konsep dan Roh. Ketika individu mulai mengalami
keterjebakan pada kepemilikannya (misalnya kepemilikan atas fakultas rasio), ia
dapat meninggalkannya atau menghancurkannya sebelum hal itu terkristalisasi
menjadi suatu prinsip yang mengatur ego. In order to secure my property, therefore I
continuously take it back into myself, annihilate its every movement towards
independence, and swallow it before it can crystallize itself into any kind of
established principle., tulis Stirner10. Dengan demikian individu dalam artian Stirner
bukanlah suatu individu yang stabil dan statis melainkan individu yang terus bergerak
terus berubah mengafirmasi dan menegasi dirinya sendiri seturut kehendak hatinya
sendiri. I start by presupposing myself, demikian Stirner, a presupposition which I
exist by consuming, for as The Unique One I repudiate the dualism of a presupposing
and a presupposed self rather, I posit myself or create myself, existing only in the
5
Ibid. hlm. 73.
6
Ibid. hlm. 74.
7
Ibid. hlm. 74-75.
8
Ibid.
9
Ibid. hlm. 77.
10
Ibid.

10
1.1. Kedatangan Nihilisme

act of positing myself moment-by-moment, as creator and creature in one.11 Maka


individu selalu menciptakan dirinya dengan mengubah, mengafirmasi dan menegasi
dirinya sendiri.
Dengan menekankan sifat ketidak-konsistenan dari individu, Stirner jelas
menolak paham Humanisme yang mengakui kualitas-kualitas luhur yang inheren
dalam diri manusia. Baginya, the religion of Humanity is only the last
metamorphoses of Christian religion12 Humanisme, dan/atau Kristianisme, adalah
suatu bentuk keterasingan individu ke dalam kesatuan kolektif. Jika demikian,
bagaimana sang egois berrelasi dengan orang lain? Ia, menurut Stirner, memiliki
relasi dengan yang lain tidak sebagai sesama manusia melainkan sebagai yang
masing-masing unik, suatu relasi antara Aku dan Engkau (I-Thou)13. Lantas apakah
ego ini adalah suatu bentuk prinsip metafisis yang merengkuh segala sesuatu? Tidak.
Stirner menulis, it is not so much that ego is all, as that the ego destroys all, and that
only the self-dissolving ego, the never-being ego, the finite egois really me.14
Maka jelas bahwa ego, individu, bukanlah suatu prinsip metafisis yang merengkuh
seluruh realitas melainkan justru sebaliknya. Ego itu terbatas, fana, dapat mati, dan
bangga dengan kefanaannya, dengan kerapuhannya (lemah tapi pongah). Yang
menarik lagi adalah bahwa Stirner menekankan aspek ke-belum-an dari ego itu
sendiri, never-being ego, ego selalu belum, ego selalu tak mencapai kepenuhan. Maka
bagi Stirner, hanya transitory ego inilah yang nyata; umat manusia hanyalah fiksi
yang dirajut dengan berbagai konsep yang wah 15. Stirner menyebut ego sebagai
Yang Unik (Der Einzige) persis karena ego itu dapat mati, dapat berubah, dapat
hancur, dan tak tergantikan.
Pandangan mengenai sifat ke-belum-an dari ego ini memungkinkan Stirner
untuk memandang individu sebagai yang dapat berkontradiksi dengan dirinya sendiri.
Ia tak sepenuhnya stabil, mantap, puas diri. Wretched stability!, kutuk Stirner 16.
Oleh karena itu, ia juga menolak peran negara dalam masyarakat. The State does not
let individuals play as freely as possible [] but I am free in no State [] Get out of
my sunlight17. Dengan kalimat ini Stirner telah menggemakan pekik perjuangan
kaum anarkis. Negara hanya menggunakan aku, melakukan birokratisasi atas diri dan
sifat-sifatku, dengan berulangkali menekankan di berbagai media bahwa I am
worthless in myself18. Egoisme Stirner jelas terkait dengan kehendak, sang ego
adalah ego yang menghendaki, what I want, I must have, tulis Stirner, dan bahwa
ego yang menghendaki adalah juga ego yang memutuskan: Here egoism, self-
seeking, must decide.19 Dan kehendak, sebagaimana dalam Nietzsche, adalah
11
Ibid.
12
Ibid. hlm. 79.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid. hlm. 79-80.
16
Ibid. hlm. 81.
17
Ibid. hlm. 83.
18
Ibid. hlm. 84.
19
Ibid. hlm. 84-85.

11
1.1. Kedatangan Nihilisme

kehendak yang terus menghendaki secara lebih. I see nothing, demikian Stirner,
but a multiplication of my power and which I preserve only so long as it remains my
multiplied power.20 Dengan kata lain, preservasi kehendak adalah peningkatan
kehendak, pengakumulasian kekuasaan (power) yang lebih besar. Ia menulis (kita
barangkali akan teringat Nietzsche), power is only a simpler word for the
manifestation of power21.
Sekilas Stirner memang nampak seperti seorang pragmatis-utilitarianistik.
Namun ia lebih dari sekedar itu, ia tidak setengah-setengah (dalam arti melakukan
perhitungan, misalnya dengan birokratisasi, agar kenikmatan bisa meningkat), ia juga
tidak peduli dengan kegunaan praktis. Lihatlah kata-katanya: enjoyment of life
means using life up22. Maka dapat dikatakan bahwa self-enjoyment is a self-
destruction, bahwa penikmatan diri adalah penghancuran diri. Saya bisa menikmati
diri saya dengan menghancurkan diri saya, dengan menggunakan daya hidupku
habis-habisan.
Bagi Stirner, pikiran, yang biasanya disebut sebagai mahkota kesadaran dan
sesuatu yang membuat manusia berdiri di puncak ciptaan, adalah sekedar salah-satu
bentuk manifestasi kehendak. Absolute thought, tulis Stirner, is nothing but that
thinking which forgets that it is my thinking that it only exists through me that it
is only my judgement, which I can at any moment change, i.e. annihilate, take back
into myself, and consume.23 Lebih jauh lagi, Kebenaran hanyalah sekedar hasil
pikiran. Stirner menulis, Truths are mens thought, expressed in words and therefore
just as extant as other things, dan bahwa kebenaran hanyalah phrases, forms of
speech, wordswhen brought into connection or into an articulate series, forming
logic, science, or philosophy tapi selalu nothing but words dan bahwa the Truth
itself is dead, a corpse; it is alive only in the same way as my lungs are aliveas the
measure of my vitality 24. Maka, bagi Stirner, pemikiran hanyalah sekedar parodi
yang bisa kau buang ketika sifat humornya sudah habis25.
Ketika buku tersebut diterbitkan, yaitu pada tahun 1844, kaum intelektual
Jerman segera memberikan reaksi yang keras. Szeliga dan Feuerbach mengkritik
buku tersebut melalui jurnal ilmiah. Moses Hess, yang telah berkonsultasi terlebih
dahulu dengan Marx dan Engels, menuliskan suatu pamflet berjudul Filsuf-Filsuf
Terakhir yang mengkritik buku itu. Pada tahun 1845 Stirner membalas mereka
dengan mengklarifikasi bahwa, sebagai konsep, Yang Unik (Der Einzige) tak
memiliki isi (dalam arti tertentu, ia bukan konsep sama sekali) karena bersamanya
segala evolusi konseptual mencapai akhirnya (dalam arti tertentu, ia menandai akhir
dan batas segala konseptualisasi)26. Mari kita kutip lebih panjang:

20
Ibid. hlm. 87.
21
Ibid. hlm. 88.
22
Ibid.
23
Ibid. hlm. 90.
24
Ibid.
25
Ibid. hlm. 91.
26
Ibid. hlm. 94.

12
1.1. Kedatangan Nihilisme

Someone who calls you Ludwig does not mean any old Ludwig, but
you, for whom he lacks a word. What Stirner says is a word, a thought,
a concept; what he means is no word, no thought, no concept. What he
says is not what he means, and what he means cannot be said. []
Thus you are without predicates, as you are without determination,
without vocation, and without laws.27

Dengan demikian, Stirner menekankan sifat keunikan, singularitas, yang tak


terbahasakan dalam bentuk apapun, yang tak terrengkuh oleh konsep seketat apapun,
dari individu. Maka sebenarnya Stirner melawan segala bentuk kepenuhan makna
dalam bentuk apapun (bahkan dalam bentuk ego, karena Stirner memandang ego
sebagai sesuatu yang terus berubah berkontradiksi dan dapat menghancurkan diri).
Yang ia lawan bukanlah cinta atau pikiran ataupun sosialisme; Stirner menulis, not
against love but against holy-love, not against thought but against sacred thought, not
against the socialist but against the devout socialist.28
Jika Stirner kita bandingkan dengan Nietzsche, maka setidaknya kita akan
melihat lima jenis persamaan gagasan: pertama, pro-kefanaan dan anti segala bentuk
ide tentang yang transenden; kedua, anti-moral; ketiga, anti-otoritas; keempat;
penekanan pada penegasan-diri; kelima, penekanan pada kehendak29. Walaupun
Nietzsche tak pernah membaca buku Stirner, Karl Lwith mencatat bahwa Stirner
has often been compared with Nietzsche, to the point of asserting that Stirner was the
intellectual arsenal from which Nietzsche derived his weapons.30 Meski demikian
terdapat setidaknya tiga jenis perbedaan di antara keduanya. Pertama, Stirner tak
berupaya melakukan revaluasi atas nilai-nilai yang dekaden. Kedua, Nietzsche masih
mengakui perbedaan esensial dari jenis manusia pemimpin dan budak sementara
Stirner menolak membandingkan manusia satu sama lain karena setiap manusia tak
terbandingkan dan tak terskematisasi. Ketiga, manusia Stirnerian adalah Un-Mensch
(sang non-manusia, karena manusia adalah konsep umum) dan bukan
bermensch yang hampir memiliki status transenden dalam pemikiran Nietzsche.
Stirner menulis, seakan seperti mengejek Nietzsche, tentang Yang Unik itu: I have
no vocation and follow none, not even that of becoming Superman. [] By the side
of Man there always stands the Unman, the solitary one, the egoist invincible
Devil31.

2. NIETZSCHE: SANG NABI NIHILISME

2.1. Nihilisme
27
Ibid. hlm. 94-95.
28
Ibid. hlm. 95.
29
Lih. Ibid. hlm. 146-147.
30
Ibid. hlm. 148.
31
Ibid. hlm. 158-159.

13
1.1. Kedatangan Nihilisme

Barangkali kita dapat menangkap semangat nihilisme Nietzschean dengan


melihat sebagian dari aforisme yang terkenal dalam bukunya, Die frchliche
Wissenschaft (Ilmu yang Ceria):

The Madman
Have you not heard of that madman who lit a lantern in the
bright morning hours, ran to the market place, and cried incessantly: I
seek God! I seek God!As many of those who did not believe in
God were standing around just then, he provoked to much laughter.
Has he got lost? asked one. Did he lose his way like a child? asked
another. Or is he hiding? Is he afraid of us? He has gone on a voyage?
Emigrated?Thus they yelled and laughed.
The madman jumped into their midst and pierced them with his
eyes. Whither is God? he cried; I will tell you. We have killed him
you and I. All of us are his murderers. But how did we do this? How
could we drink up the sea? Who gave us the sponge to wipe away the
entire horizon? What were we doing when we unchained this earth
from its sun? Whither is it moving now? Whither are we moving?
Away from all suns? Are we not straying as through infinite nothing?
Do we not feel the breath of empty space? Has it not become colder?
Is not night continually closing in on us? Do we not need to light
lanterns in the morning? Do we hear nothing as yet of the noise of the
gravediggers who are burying God? Do we smell nothing as yet of the
divine decomposition? Gods, too, decompose. God is dead. God
remains dead. And we have killed him.32

Memang bombastis kedengarannya. Namun kita tak menemukan definisi tentang


nihilisme di kutipan tersbutbahkan kita tak menemukan kata nihilism di sana
selain seruan yang keras tentang matinya Tuhan.
Kata Tuhan dalam konteks Nietzschean tidak hanya merujuk pada artian
Tuhan secara harafiah saja, yaitu Tuhan sebagai suatu entitas yang transenden.
Tuhan juga berarti suatu titik teguh yang absolut dan niscaya tempat kita
menambatkan diri kita sepenuhnya. Itulah dia. Itulah kebenaran. Tepat di sinilah
nihilisme itu mengejawantah: kebenaran telah mati.
Istilah nihilisme memiliki akar katanya dalam bahasa Latin, yaitu nihil yang
artinya tiada, nothing. Lewat ajarannya tentang nihilisme, Nietzsche langsung
menggoyang pondasi tunggal dari seluruh realitas: kebenaran. Lebih persisnya, ia
mempertanyakan secara radikal validitas klaim kebenaran. Kita akan kembali
membahas tentang nihilisme dan aforisme panjang itu setelah merenung terlebih
dahulu mengenai kebenaran.

32
Freidrich Nietzsche, The Gay Science diterjemahkan oleh Walter Kaufmann (New York: Random
House), 1994, hlm. 181.

14
1.1. Kedatangan Nihilisme

Apa itu kebenaran? Truth is the kind of error without which a certain
species of life could not live33, tulis Nietzsche dalam Der Wille zur Macht. Nampak di
sini bahwa Nietzsche berbicara tentang kebenaran sebagai suatu kondisi yang
merupakan prasyarat bagi kehidupan (condition for life) suatu makhluk tertentu, atau
persisnya, manusia. Dalam aforisme yang sama, ia melanjutkan, The value for life is
ultimately decisive.34 Nilai (value) memiliki kedudukan yang sangat menentukan
dalam kehidupan. Kebenaran sebagai condition for life itu memiliki bentuknya yang
konkret dalam nilai.
Kebenaran sebagai nilaitetapi apakah nilai yang ia maksud itu? Dalam
Jenseits von Gut und Bse: Vorspiel einer Philosophie der Zukunft (Melampaui Baik
dan Buruk: Prelud untuk Filsafat Masa Depan), Nietzsche memberikan insight:

[] and it is high time to replace the Kantian question, How are


synthetic judgements a priori possible? by another question, Why is
belief in such judgements necessary?and to comprehend that such
judgements must be believed to be true, for the sake of the
preservation of creatures like ourselves []35

Seperti kita ketahui, Immanuel Kant berupaya memberikan landasan rasional-a priori
bagi validitas klaim kebenaran. Dengan upaya itulah, ia mengajukan pertanyaan
tentang kemungkinan keputusan sintesis a priori. Namun Nietzsche membalik
pemikiran Kant: mengapa kita memerlukan pembuktian bahwa kita dapat meraih
kebenaran? Bagi Nietzsche, peryataan yang diajukan oleh Kant itu justru
menunjukkan bahwa validitas klaim kebenaran adalah suatu kepercayaan (belief).
Kita takut untuk mengakui bahwa memang tak ada kebenaran sehingga kebenaran itu
must be believed to be true; dan tujuan dari kepercayaan itu adalah for the sake of
the preservation of creatures like ourselves.
Dalam konteks yang sama, Nietzsche menerangkan lebih lanjut. Menurutnya,
keputusan (judgement) atau secara lebih umum, klaim kebenaran, adalah
kepercayaan kita yang tertua, our most habitual holding-true or holding-untrue, an
assertion or denial, a certainty that something is thus and not otherwise, a belief that
here we really know []36. Kebenaran, sebagai belief, memiliki karakter khas
yaitu holding-true. Jadi, bagi Nietzsche, kebenaran adalah sesuatu yang diperlukan
dan bukan sesuatu yang niscaya. Dalam Jenseits von Gut und Bse, ia menulis:

[] that without accepting the fictions of logic, without measuring


reality against the purely invented world of the unconditional and self-
33
Friedrich Nietzsche, The Will to Power diterjemahkan oleh RJ Hollingdale (New York: Vintage
Books), 1968, hlm. 272.
34
Ibid.
35
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam Friedrich Nietzsche, Basic Writing of Nietzsche
diterjemahkan dan diedit oleh Walter Kaufmann (New York: The Modern Library), 2000, hlm. 209.
36
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 288.

15
1.1. Kedatangan Nihilisme

identical, without a constant falsification of the world by means of


numbers, man could not live []37

Serangan Nietzsche atas validitas klaim kebenaran sangat radikal. Kita percaya pada
logika berpikir yang sah: bahwa jika orang mengatakan, Tak ada kebenaran!,
maka pernyataan itu akan menyangkal dirinya sendiri dan juga seluruh implikasi dari
pernyataan itu. Kita seringkali tak sadar bahwa logika semacam itu hanyalah ciptaan
kita saja; logika adalah fiksi. Begitu pula dengan logika matematika. Kita yakin
bahwa 1+1=2 adalah benar, sah, logis. Padahal itu pun hanya fiksi buatan manusia 38.
Lantas untuk apa manusia menciptakan fiksi-fiksi itu? Jawabannya jelas: For the
sake of the preservation of creatures like ourselves, to maintain the condition of
life, singkatnya, holding-to-be-true. Dalam pengantarnya untuk buku The Gay
Science, kita memperoleh gambaran yang sangat jelas:

[] what was at stake in all philosophizing hitherto was not at all


truth but something elselut us say, health, future, growth, power,
life.39

Lantas, dalam hal apakah truth sebagai fiksi itu nampak jelas? Jawabnya: dalam
skematisasi. Nietzsche menuliskan hal ini dalam salah satu aforismenya pada Der
Wille zur Macht: Not to know but to schematizeto impose upon chaos as much
regularity and form as our practical needs require.40 Klaim kebenaran bekerja dengan
menskematisasi realitas yang kacau-balau (chaos) ini, mengatur dan menyusunnya
sedemikian sehingga realitas ini tampak tertata, rapih dan siap untuk kita gunakan.
Contoh yang jelas: penemuan ilmu ukur (matematika dan geometri) di Mesir
sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebutuhan praktis (practical need) rakyat Mesir
untuk mengukur tingginya peluapan air sungai Nil. Tak ada yang dramatis di sini
tak ada penemuan yang heroik seakan-akan penemuan itu for the sake of truth itself.
Kebenaran hanyalah sederet konvensi yang dirayakan dengan ribuan konfeti.
Kini kita akan membahas kebenaran dalam tataran yang lebih kasat mata,
yaitu moralitas. Nietzsche melihat moralitas sebagai tanda dekadensi, suatu sikap
ketidakpercayaan-atas-hidup41. Dalam bab Origin of Moral Valuations pada buku Der
Wille zur Macht, Nietzsche menggambarkan moralitas senada dengan penjelasannya
atas kebenaran: I understand by morality a system of evaluations that partially
coincides with the condition of a creatures life.42 Moralitas adalah bentuk nyata dari
37
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil dalam op.cit. hlm. 201.
38
Oleh karena itu, mungkin bukannya tidak sengaja jika Nietzsche memasukkan tulisan yang kita kutip
tadi pada bab pertama yang berjudul On the Prejudices of Philosophers (Tentang Prasangka-Prasangka
Para Filsuf).
39
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, op.cit. hlm. 35.
40
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 278.
41
Ibid. hlm. 149.
42
Ibid. hlm. 148. Dalam buku Genealogy of Moral, Nietzsche menunjukkan bahwa perkembangan
moralitas selalu terkait dengan kekuasaan. Argumentasi tentang moral ini senada dengan

16
1.1. Kedatangan Nihilisme

klaim kebenaran di dalam masyarakat. Bagi Nietzsche, fenomena moral tak pernah
ada, yang ada hanyalah interpretasi moral atas fenomena itu43. Perbuatan seperti
membantu orang tua, hidup sederhana, rendah hati, bukanlah perbuatan moral.
Perbuatan semacam itu hanya kita tafsirkan secara moral. Sedangkan interpretasi itu
berasal dari sesuatu yang bersifat extra-moral. Apa itu extra-moral? Untuk
memahami ini, terdapat sebuah aforisme Nietzsche yang menarik:

Formerly one said of every morality: By their fruits ye shall know


them. I say of every morality: It is a fruit by which I recognize the
soil from which it sprang.44

Dalam aforisme itu, Nietzsche sebenarnya berbicara tentang fenomena extra-moral.


Orang pada umumnya melihat moralitas dari buah yang dihasilkan moralitas itu
(misalnya perbuatan etis). Namun Nietzsche melihat sebaliknya: moralitas merupakan
buah dimana kita bisa menyadari dari tanah macam manakah buah itu muncul. Bisa
kita duga, tanah (soil) yang dimaksud oleh Nietzsche adalah masyarakat. Di sinilah
kita dapat melihat analisadan juga kritik tajamNietzsche atas masyarakat
Kristiani-Eropa.
Masyarakat Eropa yang Kristiani, bagi Nietzsche, telah menjadi masyarakat
yang dekaden. Apa yang ditolak oleh Kristus? Semua yang kini disebut Kristiani. 45
Dekadensi yang meresapi peradaban Eropa disebabkan oleh paradigma berpikir
Platonis46. Paradigma ini membuat manusia Eropa menghasrati pembebasan setelah
kematian, semacam dunia Idea nya Plato, dan dengan itu menampik kehidupan itu
sendiri. Maka itu, Nietzsche menyebut agama Kristiani sebagai la religion de la
souffrance humaine (the religion of human suffering)47. Agama Kristiani
mengajarkan manusia untuk menegasi dirinya sendiri, menyangkal eksistensinya di
dunia, meredam gejolak manusiawinya. Semua itu dilakukan demi imbalan surga
yang abadi dan final. Kritik Nietzsche atas Kristianitas cukup keras:

From the start, the Christian faith is a sacrifice: a sacrifice of all


freedom, all pride, all self-confidence of the spirit; at the same time,
enslavement and self-mockery, self-mutilation.48

argumentasinya tentang pengetahuan sebagai skematisasi (sebuah upaya penundukkan).


43
Ibid. hlm. 149.
44
Ibid
45
Ibid. hlm. 98.
46
Friedrich Nietzsche, Basic Writing of Nietzsche, op.cit. hlm. 212. Dalam sebuah surat kepada
kawannya, Franz Overbeck tanggal 8 Januari 1887, Nietzsche menuliskan bahwa Kristianitas dan
dekadensi masyarakat Eropa merupakan kesalahan Plato: And it is all Platos fault! He is still
Europes greatest misfortune!. Lih. Friedrich Nietzsche, Selected Letters of Friedrich Nietzsche
diterjemahkan oleh Christopher Middleton (Indianapolis: Hackett Publishing Company), 1996. hlm.
258.
47
Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit. hlm. 220.
48
Friedrich Nietzsche, op.cit. hlm. 250.

17
1.1. Kedatangan Nihilisme

Bagi Nietzsche, moralitas Kristiani adalah moralitas budak. Moralitas ini adalah
moralitas milik para budak: kesetiakawanan, saling mengasihi, menyangkal diri demi
komunitas, semua itu merupakan ciri khas moralitas budak. Moralitas ini disebut pula
moralitas kawanan49. Moralitas semacam ini membuat orang-orang hanya berani
hidup dalam kerumunan, dalam kebersamaan yang dangkal, dalam anonimitas yang
aman. Nietzsche sendiri menulis, Entry into real lifeone rescues ones personal
life rom death by living a common life 50. Bagi Nietzsche, tak ada jalan lain,moralitas
semacam itu harus dihancur-leburkan. Moralitas itu bertanggung jawab atas
dekadensi masyarakt Eropa yang semakin takut untuk berpikir, yang hanya berani
hidup dalam kerumunan. [] the whole morality of self-denial must be questioned
mercilessly and taken to court [] There is too much charm and sugar in these
feeling of for others, not for myself, []51. Oleh karena itu dalam suatu adegan
singkat di tempi sungai, Zarathustra bersabda:

O my brethren, is not everything at present in flux? Have not all


raillings and gangways fallen into the water? Who would still hold on
to good and evil?52

Sekarang kita akan beralih menuju pandangan Nietzsche mengenai atheisme.


Baginya, seperti ia tulis dalam Der Antichrist (Sang Anti-Kristus), kepercayaan akan
Tuhan tak hanya merupakan suatu kesalahan namun juga suatu pengkhianatan atas
hidup53. Kita menganggap Tuhan memang sungguh ada, namun kita tak sadar bahwa
kita, nun dahulu kala, telah menciptakan-Nya dari ketidaktahuan kita. Begitulah
kira-kira yang dimaksud oleh Nietzsche ketika ia menulis dalam Beyond Good and
Evil: circulus vitiosus deus54. Lingkaran setan lah yang menciptakan Tuhan.
Nampaknya term lingkaran setan (vicious circle) di sini dapat diartikan sebagai
lingkaran setan logika, yaitu hubungan antar konsep yang jalin-jemalin sehingga
membentuk lingkaran penuh yang tanpa jalan keluar; circulus in definiendo. Contoh
yang jelas adalah pertanyaan ini: Manakah yang lebih dulu ada, telur atau ayam?.
Pertanyaan semacam itu hanya akan bergerak melingkar-lingkar saja tanpa jalan
keluar, kecuali jika kita menghadirkan semacam deus ex machina sebagai entitas
ketiga yang melampaui keduanya. Dan persis di sinilah, Tuhan dihadirkan. Maka
Tuhan tercipta justru dari lingkaran setan, dari ketidaktahuan kita. Selain itu, Tuhan
49
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 157.
50
Ibid. hlm. 114.
51
Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit. hlm. 236.
52
Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra diterjemahkan oleh Thomas Common (London: George
Allen & Unwin Ltd), 1967, hlm. 246.
53
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ diterjemahkan oleh RJ Hollingdale
(Middlesex: Penguin Books), 1974, hlm. 163.
54
Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit. hlm. 258. Kata-kata dalam bahasa Latin itu
adalah ciptaan Nietzsche sendiri dan sulit diterjemahkan. Walter Kaufmann, sang editor sekaligus
penerjemah, menawarkan tiga terjemahan.

18
1.1. Kedatangan Nihilisme

membuat manusia menyangkal dirinya, sebagaimana Nietzsche menulis dalam Ecce


Homo (Lihatlah Manusia): [] what has been the greatest objection to existence so
far? God.55 Penerimaan akan adanya Tuhan dan moralitas Kristiani sebetulnya hanya
merupakan kedok ketakutan manusia. Hal-hal itu membuat manusia merasa memiliki
legitimasi yang sah di atas bumi (sebagai homo imago Dei), yang dalam
kenyataannya merupakan makhluk kecil yang tak berarti, sebuah aksiden selintas di
tengah gelombang kemenjadian dan arus buas dari jagad raya yang chaotic ini56.
In summa: kebenaran adalah nilai yang berguna untuk melestarikan kehidupan
manusia. Moralitas, sebagai manifestasi kebenaran dalam tataran sosial, adalah
ciptaan manusia, atau lebih persisnya dalam konteks Eropa, adalah ciptaan orang-
orang lemah (budak) yang hanya berani hidup dalam kerumunan. Masyarakat Eropa
yang diresapi moralitas budak atau kawanan mau tak mau akan segera terjatuh dalam
dekadensi. Tuhan, sebagai manifestasi kebenaran dalam tataran spiritual, adalah
konsep kosong hasil ciptaan manusia yang lemah, yang lari dari kenyataan hidupnya,
yang tak bisa lagi berpikir. Semua ini adalah gejala, tanda-tanda lahirnya suatu zaman
yang muram: the age of nihilism.
Term nihilisme dalam pemikiran Nietzsche setidaknya memiliki dua arti:
nihilisme sebagai kondisi dan sebagai laku. Sebagai kondisi, nihilisme merupakan
sebuah keniscayaan historis. Sebagaimana ditulis oleh Nietzsche dalam Der Wille zur
Macht:

What I relate is the history of the next two centuries, I describe what is
coming, what can be n longer come differently: the advent of nihilism.
This history can be related even now; for necessity itself is at work
here. This future speaks even now in a hundred signs, this destiny
announces itself everywhere; for this music of the future all ears are
cocked even now. For some time now, our whole European culture has
been moving as toward a catastrophe, with a tortured tension that is
growing from decade to decade: restlessly, violently, headlong, like a
river that wants to reach the end, that no longer reflects, that is afraid
to reflect. [] For why has the advent of nihilisme become necessary?
Because the values we have had hitherto thus draw their final
consequence; because nihilism represents the ultimate logical
conclusion of our great values and idealsbecause we must
experience nihilism beferoe we can find out what value of these
values really had.57

55
Ibid. hlm. 701.
56
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 9. Nietzsche menolak memandang alam semesta
sebagai kosmos (tatanan; keteraturan) karena baginya keteraturan merupakan hasil skematisasi
manusia demi practical need nya. Bagi Nietzsche, alam semesta ini adalah khaos (kekacauan),
gelombang dashyat yang bergolak tanpa akhir (eternal flux of becoming).
57
Ibid. hlm. 3-4.

19
1.1. Kedatangan Nihilisme

Kedatangan nihilisme adalah sesuatu yang niscaya. Nihilisme terlahir dari kesalahan
manusia sendiri. Kepercayaan manusia terhadap nilai moral yang mutlak,
kepercayaan manusia pada Tuhan dan surga, kepercayaan manusia pada kebenaran
yang baku, itu semua membuat manusia tak lagi berrefleksi, tak berani berrefleksi (no
longer reflects, afraid to reflects). Kepercayaan kita pada nilai-nilai seperti itu telah
mengantarkan kita pada konsekuensi finalnya: the advent of nihilism. Oleh karena itu,
Nietzsche menulis pada bab European Nihilism: What does nihilism mean? That the
highest values devaluate themselves. The aim is lacking; why? finds no answer. 58
Kepercayaan manusia pada kebenaran sebagai kebenaran, pada adanya kebenaran
absolut, kebenaran-pada-dirinya-sendiri, membuat kepercayaan itu sendiri runtuh.
Nilai-nilai yang dulunya diyakini benar, kini mendevaluasi dirinya sendiri, hancur
dengan sendirinya. Semuanya karena manusia hanya berani hudup dalam kawanan,
tanpa bertanya, dan akhirnya, merasa tanpa tujuan, tanpa makna.
Nietzsche menjelaskan tentang nihilisme sebagai kondisi ini dalam tiga tahap:
[1] when we have sought a meaning in all events that is not there [] being
ashamed in front of oneself, as if one had deceived oneself all to long. [2] man has
lost the faith in his own value when no infinitely valuable whole works through him;
i.e. he conceived such a whole in order to be able to believe in his own value. [3] as
man find out how thatworld is fabricated solely from psychological needs, and how
he has absolutely no right to it, the last form of nihilism come into being: it includes
disbelief in any metaphysical world and forbids itself any belief in a true world.59
Nihilisme menyelimuti masyarakat kerumunan seperti awan gelap. Orang tak bisa
menemukan makna yang sungguh menyentuh dalam kerumunan; ketika tersadar, ia
merasa ditipu oleh dirinya sendiri. Orang menyadari bahwa nilai yang absolut itu tak
ada; selama ini ia hanya berusaha percaya pada nilai yang ia pegang sendiri. Pada
akhirnya, orang sadar bahwa semua yang kita anggap realitas, yang kita anggap
benar, sebenarnya tak lain dari manifestasi kebutuhan praktis kita; ia kini merasa sakit
hati karena telah dibohongi oleh keyakinannya sendiri ketika dulu percaya akan
aadnya kebenaran, moralitas dan Tuhan. Oleh karena itu, Nietzche menggembar-
gemborkan perlunya suatu upaya revaluasi semua nilai (Umwertung aller Werte),
sebagaimana merupakan subjudul buku Der Wille zur Macht. Nilai-nilai lama seperti
Tuhan, moralitas, kebenaran mutlak, harus dirombak total.
Pada titik inilah kita bisa mengerti maksud aforisme The Madman yang kita
kutip tadi. Tuhan telah mati!! Kebenaran telah mati!!!. Lalu: bagaimana jika bumi
ini terlepas dari orbitnya? Apakah kita bergerak? Menjauh dari matahari? Menjauh
dari segala patron? Apakah kita hanya berputar-putar saja? Mana barat, mana timur?
Apakah kita tak menghirup udara kosong? Tidakkah kini terasa dingin? Kenapa
hanya ada malam dan malam senantiasa? Tidakkah kita dengan suara bising penggali
kubur yang sedang menguburkan Tuhan dengan ocehan gosip yang tolol, dengan
sikap letoy, sebuah psikopatisme dalam kehidupan sehari-hariseakan-akan

58
Ibid. hlm. 9.
59
Ibid. hlm. 12-13.

20
1.1. Kedatangan Nihilisme

kehidupan ini berjalan baik-baik saja? Mau kemana kita? Celaka, sungguh celaka
Nietzsche bersorak: Everything is false! Everything is permitted! 60. Nihilisme
membuat kita hilang tak tentu arah, seperti orang yang hilang di padang tandus. Kita
tak lagi punya telos (tujuan), kita bahkan tak bisa tahu dari mana kita, kita terdampar.
Maka: dimulailah tragedi, Incipit Tragdia.
Kini kita akan melihat arti kedua dari term nihilisme, yaitu sebagai laku.
Sebagai laku, Nietzsche memaksudkan nihilisme sebagai suatu sikap dalam
menghadapi kondisi nihilistis yang niscaya datang. Nietzsche membagi laku nihilis
ini ke dalam dua bentuk: nihilisme pasif dan nihilisme aktif61. Jika dalam menghadapi
kondisi nihilitas manusia menyerah ke dalam sikap keputus-asaan, ketakutan, ingin
lari dari hidup yang tanpa tujuan ini, maka manusia itu mennjalankan laku nihilisme
pasif. Laku ini sangat dibenci oleh Nietzsche, nihilisme pasif adalah sebentuk
penyangkalan atas hidup. Satu-satunya cara untuk melampaui nihilisme
(berwindung der Nihilismus) adalah dengan menjalankan laku nihilisme aktif. Laku
ini mengatakan Ya pada hidup, dengan kata lain, mengafirmasi seluruh
kekacauan (khaos) hidup ini. Dengan menjalankan laku ini, kita menjadi manusia
tragis. Tapi perlu dibedakan antara pesimisme dan tragisme. Pesimisme adalah sikap
menolak hidup, ketakutan atas ketidakbertujuan hidup ini. Pesimisme adalah muara
sikap nihilisme pasif. Tragedi adalah sesuat yang agung di mata Nietzsche. Dalam
Die Geburt der Tragdie, ia menulis: Knowledge kills action; action requires the
veils of illusion: that is the doctrine of Hamlet. 62 Sikap tragis hanya muncul karena
ada unsur ketidaktahuan dalam diri kita. Hamlet tak tahu persis apakah yang ia
ketahui itu benar atau salah, dan dia tetap berani mengafirmasi kehidupan,
melancarkan konfrontasi atas pamannya, walaupun sungguh tahu bahwa hal itu dapat
mengakibatkan kematian dirinya; ia mengamini itu semua dan berjuang hingga akhir.
Dalam Gtzen-Dmmerung (Senjakala Para Dewa), Nietzsche menuliskan bahwa
orang sebijak Sokrates pun, pada akhirnya hidupnya, mengakui bahwa hidup itu sia-
sia; hal itu terlihat lewat kata-kata terakhirnya: To livethat means to be a long time
sick: I owe a cock to the saviour Asclepius. 63 Nietzsche melihat dalam kata-kata
Sokrates: hidup adalah sesuatu yang sia-sia. Bahkan kalimatnya yang terakhir, bahwa
Sokrates berhutang seekor ayam pada Asklepius, menunjukkan betapa remehnya
kehidupan itu, sebuah aksiden selintas yang tanpa arti. Jadi, sejak awal, hidup itu
sendiri adalah tragedi. Manusia tragis adalah ia yang berkata Ya, mengafirmasi,
menerima sepenuhnya absurditas kehidupan ini tanpa harapan akan surga dan segala
tujuan final yang lain, tanpa menambatkan diri pada kepercayaan akan kebenaran
absolut, tanpa takut tersingkir dari kawanan. Manusia tragis adalah manusia yang
berani dipeluk oleh kesepian.

60
Ibid. hlm. 326.
61
Ibid. hlm. 17.
62
Friedrich Nietzsche, Basic Writings of Nietzsche, op.cit.
63
Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ, op.cit. hlm. 29.

21
1.1. Kedatangan Nihilisme

Berkata Ya pada hidup, mengafirmasi hidup, menerima sepenuhnya seluruh


gejolak alam yang chaotic, maka kita akan sampai pada ajaran Nietzsche yang
terkenal: kehendak untuk berkuasa.

2.2. Kehendak untuk Berkuasa


Kita akan membahas, setidaknya, dua aspek dari kehendak untuk berkuasa
yang paling terkenal, yaitu sebagai kekuatan alamiah dan sebagai pengetahuan. Kita
mulai dari yang pertama. Dalam bab Principles of a New Evaluation, Nietzsche
menggambarkan kehendak untuk berkuasa sebagai: the primitive form of affect, that
all other affects are only developments of it [] there is a striving for power, for an
increase of power.64 Kehendak untuk berkuasa adalah daya dorong azali. Banyak hal
yag dihasilkan oleh kehendak untuk berkuasa ini, tetapi semua itu hanyalah residu
atau ekses sampingan, kehendak untuk berkuasa sendiri hanya bergolak untuk
kekuasaan, untuk pencapaian lebih dari kekuasaan itu sendiri. Bahkan bagi Nietzsche,
hidup itu sendiri juga hanyalah suatu kasus khusus dari kehendak untuk berkuasa 65. Ia
menyebut kehendak untuk berkuasa ini sebagai the innermost essence of being 66;
The world is will to powerand nothing besides! And you yourselvees are also this
will to powerand nothing besides!67 Untuk lebih memahami kehendak untuk
berkuasa, kita akan masuk ke dalam aspek yang kedua: sebagai pengetahuan.
Pengetahuan pada dasarnya merupakan manifestasi kehendak untuk berkuasa.
Pengetahuan bekerja sebagai alat dari kekuasaan, tulis Nietzsche. Esensi keputusan
(the believe that something is thus and thus), skematisasi dan seluruh klaim
kebenaran sebenarnya adalah manifestasi dari kehendak untuk berkuasa. Kita ingin
menguasai alam ini, oleh karena itu kita ciptakan ilmu ukur, konsep baik-buruk dan
sebagainya. Kehendak untuk kebenaran, bagi Nietzsche, merupakan salah satu
bentuk dari kehendask untuk berkuasa. Maka ia berkata bahwa kriteria kebenaran
adalah seberapa besar ia meningkatkan perasaan kekuasaan 68. Hanya saja kata
kuasa di sini jangan melulu dimengerti dalam arti yang politis, ia lebih luas
ketimbang itu.
Konsepsinya mengenai kehendak untuk berkuasa sebenarnya terkait dengan
upaya Nietzsche untuk melakukan revaluasi atas seluruh nilai. Mereka yang
mengafirmasi kehendak untuk berkuasa berarti mengafirmasi pula seluruh gejolak
alam-semesta ini, hal ini juga berarti bahwa mereka berkata Ya terhadap hidup.
Oleh karena itu, kita bisa mengerti revaluasi Nietzsche atas baik dan buruk
seperti yang ia tulis dalam Der Antichrist:

What is good?All that heightens the feeling of power, the will to


power, power itself in man.
64
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 366.
65
Ibid. hlm. 369.
66
Ibid.
67
Ibid. hlm. 550.
68
Ibid. hlm. 290.

22
1.1. Kedatangan Nihilisme

What is bad?All that proceeds from weakness.


What is happines?The feeling that power increasesthat a
resistance is overcome.69

Mengafirmasi kehendak untuk berkuasa berarti terus-menerus mengalami


pelampauan kehendak, menjadi liar, mabuk-total seperti sehabis pulang dari
simposium (pesta minum minuman keras) Dionysius. Itulah kehendak untuk
berkuasa, the unexhausted, procreating life-will70. Afirmasi atas kehendak untuk
berkuasa menunjukkan penghormatan manusia atas hidup, bukan penyangkalan atas
hidup seperti yang dilakukan oleh para penganut agama. Dengan begitu manusia
menerima seluruhnya absurditas kehidupan, seluruh gejolak chaotic alam raya, tanpa
mengharapkan surga. Itulah figur seorang bermensch (Overman)71 seperti yang
diwartakan oleh Zarathustra: I teach you Superman. Man is something that is to be
surpassed. [] The Superman is the meaning of the earth. 72 Itulah bermensch, ia
yang berani berkata Ya pada gejolak kehendak untuk berkuasa, pada absurditas
hidup.
Lalu jika hidup ini absurd dan surga, apapun itu, tak ada, akan kemanakah
kita? Dengan pertanyaan ini, kita masuk ke ajaran Nietzsche yang lain: eternal return
of the same.

2.3. Kembalinya Segala Sesuatu yang Sama Secara Abadi


Ajaran ini terkait dengan pandangan Nietzsche bahwa alam raya ini adalah
aliran kemenjadian (flux of becoming) yang bergerak tak tentu arah berdasarkan
gejolak kehendak untuk berkuasa. Dengan pandangan tentang kembalinya segala
sesuatu ini, Nietzsche ingin melakukan konfrontasi dengan pandangan teleologis
Plato dan agama-agama secara umum. Nietzsche menulis:

Let us think this thought in its most terrible form: existence as it is,
without meaning or aim, yet reccuring inevitably without any finale of
nothingness: eternal reccurence. This is the most extreme form of
nihilism: the nothing (the meaningless), eternally!73

Sayangnya konsep ini belum selesai dikembangkan oleh Nietzsche hingga hari
kematiannya. Yang tersisa untuk kita hanyalah sketsa awal dari konsep ini.
Nampaknya Nietzsche memang mengartikan eternal reccurence ini secara harafiah.
Bahkan ia pun nampaknya ingin memberikan pembuktian ilmiah atas konsep ini 74.
Dengan konsep ini, Nietzsche memaksudkan bahwa tak ada yang namanya tujuan
69
Friedric Nietzsche, Twilight of the Idols and The Anti-Christ, op.cit. hlm. 115.
70
Friedrich Nietzsche, Thus Spake Zarathustra, op.cit. hlm. 164.
71
Dalam bahasa Inggris, istilah bermensch memiliki dua terjemahan, yaitu Overman dan
Superman.
72
Ibid. hl. 67-68.
73
Friedrich Nietzsche, The Will to Power, op.cit. hlm. 35-36.

23
1.1. Kedatangan Nihilisme

terakhir (end goal) dari eksistensi. Semuanya hanya akan berulang-ulang saja tanpa
tujuan akhir yang definitif. Ini jelas merupakan kritik atas konsep waktu agama-
agama Samawi. Konsep waktu agama-agama Samawi bersifat linear, mengandaikan
adanya akhir sejarah; konsep waktu Nietzsche bersifat siklik, semuanya berulang
secara abadi. Namun, konsep eternal reccurence ini juga merupakan upaya Nietzsche
untuk membuat manusia berkata Ya pada hidup yang absurd ini dan mengafirmasi
kehendak untuk berkuasa tanpa mengharapkan apapun, tanpa bersandar pada apapun.
Terus-menerus timbul tenggelam dalam kekacauan.

74
Nietzsche membandingkan konsep kembalinya segala sesuatu yang sama secara abadi ini dengan
hukum kekekalan energi. Lih Ibid. hlm. 547.

24

Anda mungkin juga menyukai