Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah
atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis yang kemudian
menyerang seluruh tubuh terutama paru-paru. Mycobacterium tuberculosis telah
menginfeksi hampir 2 miliar orang atau sepertiga dari total penduduk dunia. Tidak
berhenti sampai di situ, WHO memperkirakan hingga tahun 2020 jumlah orang
yang terinfeksi TB paru akan bertambah 1 miliar orang lagi. Dengan kata lain,
terjadi pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56 juta orang setiap tahunnya.
Angka ini sangat memprihatinkan karena berarti ada 2-4 orang yang terinfeksi
M.tuberculosis setiap detik dan hampir 4 orang meninggal setiap menit karena TB
paru.(1)
Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat ke-4 di dunia. Menurut
WHO dalam Global TB Report 2012, prevalensi TB di Indonesia pada tahun
2011 adalah 244/100.000 penduduk. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan
jumlah terbanyak keempat di dunia yakni 5,8% setelah India 21,1%, Cina 14,3%
serta Afrika Selatan. Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia
dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera dengan angka
prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Bali dan Jawa
dengan angka prevalensi TB tertinggi yaitu 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah
Indonesia Timur dengan angka prevalensi tertinggi yaitu 210 per 100.000
penduduk (Departemen Kesehatan RI, 2008).(1)
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 didapatkan data bahwa
prevalensi Tuberkulosis paru klinis yang tersebar di seluruh Indonesia adalah
1,0%. Tujuh belas provinsi diantaranya mempunyai angka prevalensi di atas
angka nasional, yaitu provinsi NAD, Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Banten, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua
Barat dan Papua. Secara umum prevalensi yang tertinggi di Papua Barat yaitu
2.5% dan terendah di provinsi Lampung yaitu 0,3% (Kemenkes RI, 2011).(2)
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sulawesi Selatan,
pada 2011, penderita penyakit menular ini mencapai 8.939 kasus.Angka ini
meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya 7.783
kasus.Kabupaten Takalar menduduki peringkat pertama dalam jumlah kasus
dengan pertumbuhan penderita TBC di atas 109 %, menyusul Pare-pare

1
79%,Pinrang 75 %,disusul Makassar 70% dan terendah Kabupaten Luwu 33 %
serta Jeneponto 36 % .(2)
Khusus di Kota Makassar, berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Bina
Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota
Makassar, jumlah kasus TB Paru klinis di Puskesmas dan RS sebanyak 900 kasus
dan kasus baru TB BTA (+) yang ditemukan pada tahun 2012 sebanyak 1.819
kasus (puskesmas dan rumah sakit) meningkat dibandingkan tahun 2011 dimana
dilaporkan jumlah penderita TB Paru Klinis di Puskesmas dan Rumah Sakit
sebanyak 511 Jumlah penderita TB Paru Klinis, TB BTA+ sebanyak 1608
penderita (Puskesmas dan Rumah Sakit). (2)
Prevalensi penderita TB paru di Puskesmas Jumpandang Baru tahun 2015
dalam 3 bulan terakhir adalah 33 pasien dengan rincian tipe pasien : 30 kasus
baru, 3 kasus kambuh, 0 kasus pindahan.
TB paru juga merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit pernapasan akut. Dibandingkan dengan penyakit
menular lainnya seperti HIV/AIDS dan Demam Berdarah Dengue (DBD), TB
paru merupakan pembunuh dengan tingkat kematian tertinggi di Indonesia.(3)
Pengendalian Tuberkulosis Paru kemudian menjadi masalah kesehatan
global dan nasional. Maka tak heran bila salah satu indikator derajat kesehatan
masyarakat dalam visi Indonesia Sehat adalah angka kesembuhan TB Paru BTA+.
Berbagai program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka
penemuan dan angka kesembuhan dengan berlandaskan pada strategi Directly
Observed Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan
berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) walaupun tercatat
angka putus obat masih tinggi mencapai 50-85 % .Sejak tahun 2000 strategi
DOTS dilaksanakan secara nasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan
dasar.(1)
Menurut George Enggel pendekatan dalam pelayanan medis tidak hanya
berfokus pada aspek biologi (penyakit) tetapi juga dipengaruhi aspek psikososial.
Karena itu interaksi antara komunitas sosial dan keluarga dengan bantuan
lingkungan komunitasnya sangat membantu tidak hanya dalam menyelesaikan
masalah klinis saja tetapi juga masalah psikososial.(3)
Oleh karena itu sejalan dengan program DOTS di layanan primer maka
pendekatan diagnostik holistik pada pasien TB Paru juga dapat menjadi salah satu
penunjang dalam mendukung upaya pencapaian sasaran strategi nasional
pengendalian TB yang mengacu pada Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
2009-2014.(2)

2
B. Rumusan Masalah

Melihat banyaknya penderita Tuberkulosis yang terjadi Indonesia dan


kurangnya pemahaman warga di Puskesmas Batua mengenai penyakit
tersebut, penulis merumuskan masalah yaitu bagaimana memberikan edukasi
serta penatalaksanaan penyakit TB dengan metode pendekatan keluarga
kepada warga di wilayah Puskesmas Batua, khususnya Tn.N dan Tn.S yang
merupakan salah satu penderita TB di wilayah Puskesmas tersebut.

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuannya adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan laporan kasus ini yaitu penulis
mampu memahami konsep penatalaksanaan penyakit TB dengan metode
pendekatan kedokteran keluarga

2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan laporan kasus ini yaitu
penulis mampu menggambarkan, mengetahui, menentukan, memahami,
menjelaskan, dan mendiskripsikan :
a. Pengkajian pada pasien dengan tuberkulosis.
b. Penentuan diagnosa atau masalah yang muncul pada pasien dengan
tuberkulosis.
c. Penyusunan penatalaksanaan secara tepat pada pasien tuberkulosis
dengan metode pendekatan kedokteran keluarga.
d. Implementasi penatalaksanaan pasien tuberculosis dengan metode
pendekatan kedokteran keluarga.
e. Evaluasi tindakan yang telah dilakukan pada pasien dengan tuberkulosis.

D. Manfaat Laporan Kasus

1. Manfaat Teoritis

Meningkatkan pengetahuan bagi penulis dan pembaca agar dapat


melakukan pencegahan untuk diri sendiri dan orang disekitarnya agar
tidak terkena TB. Penulisan laporan kasus ini juga berfungsi untuk
mengetahui antara teori dan kasus nyata yang terjadi dilapangan sesuai
atau tidak, karena dalam teori yang sudah ada, kadang-kadang ada hal

3
yang tidak sesuai dengan kasus yang terjadi, sehingga disusunlah laporan
kasus ini.

2. Manfaat Praktisi
Bagi Teman Sejawat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
menambah wacana keilmuan bagi teman sejawat dalam memberikan
penatalaksanaan pada pasien tuberkulosis.
Bagi Puskesmas
Laporan kasus ini dapat dijadikan salah satu contoh hasil dalam
melakukan penatalaksanaan pada pasien khususnya pasien
tuberkulosis.
Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat praktis bagi instansi akademik yaitu dapat digunakan
sebagai referensi bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan tentang pentalaksanaan pasien tuberkulosis dengan
metode pendekatan kedokteran keluarga.
Bagi Pasien dan Keluarga
Manfaat laporan kasus ini bagi pasien dan keluarga yaitu agar
pasien dan keluarga mengetahui tentang penyakit tuberkulosis serta
penatalaksanaan yang benar dan tepat agar pasien mendapat perawatan
yang tepat.
Bagi Pembaca
Manfaat penulisan laporan kasus ini yaitu menjadi sumber
referensi dan informasi bagi orang yang membaca laporan kasus
iniserta menjadi lebih mengetahui dan memahami bagaimana cara
penatalaksanaan yang benar dan tepat pada pasien tuberkulosis.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tuberculosis
Tuberculosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis dengan gejala sangat bervariasi. Penyebab tuberculosis adalah kuman
Mycobacterium tuberculosa, yang merupakan kuman tahan asam. Penyebab
tuberculosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosa, yang merupakan kuman
tahan asam.Dikenal ada 2 type kuman Mycobacterium tuberculosa, yaitu type
humanus dan type bovinus. Hampir semua kasus tuberkulosis disebabkan oleh
type humanus, walaupun type bovinus dapat juga menyebabkan terjadinya
tuberkulosis paru, namun hal itu sangat jarang sekali terjadi. Kuman tersebut
biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan ke dalam paru.
Kemudian kuman tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain, melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas atau
penyebaran langsung kebagian tubuh lainnya dan tuberkulosis paru merupakan
bentuk yang paling banyak serta penting.(1)(4)
B.Patofisiologi Penyakit Tuberculosis

Inhalasi baksil TB Alveolus Fagositosis


Fagositosis oleh
oleh makrofag
makrofag

Baksil TB Destruksi baksil


berkembangbiak TB

Destruksi makrofag

Resolusi Pembentukan Kelenjar limfe


tuberkel

Kalsifikasi Perkijuan Penyebaran hematogen


Kompleks Pecah
Ghon
Lesi di hepar,
Lesi sekunder paru lien,ginjal,tulang,
otak dll
Gambar 1: Patogenesis Tuberkulosa

Paru merupakan tempat masuk lebih dari 98% kasus infeksi tuberkulosis,
karena ukurannya sangat kecil, kuman TB dalam percik renik yang terhirup dapat
mencapai alveolus. Tempat Mycobacterium tuberculosis yang terhirup dan masuk
ke paru akan ditelan oleh makrofag alveolar, selanjutnya makrofag akan
melakukan 3 fungsi penting, yaitu :(5)(6)
1. Menghasilkan enzim proteolitik dan metabolit lain yang mempunyai efek
mikobakterisidal;

5
2. Menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon terhadap M. tuberculosis
berupa IL-1, IL-6, TNF (Tumor Necrosis Factor alfa ), TGF
(Transforming Growth Factor beta )
3. Memproses dan mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T5.
Kuman tersebut masuk tubuh melalui saluran pernafasan yang masuk ke
dalam paru, kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas atau
penyebaran langsung ke bagian tubuh yang lain. Saluran limfe akan membawa
kuman tuberkulosis paru ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru dan ini disebut
sebagai kompleks primer. Tuberkulosis primer terjadi pada individu yang terpapar
dengan kuman tuberkulosis untuk pertama kali, sedangkan tuberkulosis reaktivasi
terjadi karena reaktivasi infeksi tuberkulosis yang terjadi beberapa tahun
lalu.Reaksi imunologi yang berperan terhadap M. tuberculosis adalah reaksi
hipersensitivitas dan respon seluler, karena respon humoral kurang berpengaruh.(3)
Akibat klinis infeksi M.tuberculosis lebih banyak dipengaruhi oleh sistem
imunitas seluler.Orang yang menderita kerusakan imunitas seluler seperti
terinfeksi HIV dan gagal ginjal kronik mempunyai risiko tuberkulosis paru yang
lebih tinggi.Sebaliknya orang yang menderita kerusakan imunitas humoral dan
mieloma mutipel tidak menunjukkan peningkatan predisposisi terhadap
tuberkulosis paru.(3)
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.Kuman dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Proses infeksi tuberkulosis
tidak langsung memberikan gejala. Paru merupakan lokasi tersering (>95%)
masuknya kuman tuberkulosis pada manusia.Oleh karena itu patogenesis
tuberkulosis primer di paru merupakan model utama dalam kajian patogenesis
tuberkulosis.(1)
Kelainan patologi yang terjadi :(1)(3)(4)(7)
1. Tipe Eksudatif
Terdiri dari inflamasi yang akut dengan edema, sel-sel leukosit PMN dan
menyusul kemudian sel-sel monosit yang mengelilingi tuberculosis.Kelainan
ini terutama terlihat pada jaringan paru dan mirip Pneumonia bakteri.Dalam
masa eksudatif ini tuberculin adalah positif.
2. Tipe Produktif
Apabila sudah matang prosesnya lesi ini berbentuk granuloma yang
kronik, terdiri dari 3 zona.:
a) Zona Sentral dengan sel raksasa yang berinti banyak dan mengandung
tuberculosis.

6
b) Zona Tengah yang terdiri dari sel-sel epitel yang tersusun radial
c) Zona yang terdiri dari fibroblast, limfosit, dan monosit. Lambat laun zona
luar akan berubah menjadi fibrotik dan zona sentral akan mengalami
perkijuan. Kelainan seperi ini disebut sebagai tuberkel.

Perjalanan Kuman tuberculosis di dalam tubuh.


Kuman menjalar melalui saluran limfe ke kelenjar getah bening atau
ductus thoracicus atau organ tubuh melalui aliran darah atau dapat juga
langsung dari proses perkijuan masuk ke vena atau pecah ke bronkus atau
tersebar ke seluruh paru-paru atau tertelan ke tractus digastivus.

i. Etiologi

Gambar 2: Mycobacterium tuberculosis

Penyebab penyakit TB adalah kuman Mycobacterium tuberculosis, yang


berbentuk batang lurus atau agak bengkok, berukuran panjang 1 sampai 5
dan lebar 0.2 sampai 0.8 . dapat ditemukan bentuk sendiri maupun
berkelompok. Kuman ini merupakan bakteri tahan asam (BTA) yang
bersifat tidak bergerak, tidak berspora, dan tidak bersimpai.
Micobacterium tuberculosis yang merupakan basil tahan asam dan dapat
dilihat dengan pewarnaan Ziehl - Neelsen (karbol fuksin). Pada
pewarnaannya M. tuberculosis tampak seperti manik-manik atau tidak
terwarnai secara merata. Mycobacterium tuberculosis pertama kali
dideskripsikan pada tanggal 24 Maret 1882 oleh Robert Koch. Bakteri ini
juga disebut basilus Koch.(8)

ii. Epidemiologi
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban
TB tertinggi di dunia.Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar
660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus
baru per tahun.Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian
per tahunnya.Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan
epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV
dinyatakan sebagai epidemik erkonsentrasi (a concentrated epidemic),

7
dengan perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah
mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi
prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%.(2)(3)(7)
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk
intervensi HI dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia
sekitar 190.000- 400.000.Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB
baru adalah 2.8%.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB
baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20%
dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar
6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya. Meskipun memiliki beban penyakit
TB yang tinggi, Indonesia merupakan negar pertama diantara High Burden
Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai
target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada
tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus
TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari
169.213 diantaranya terdeteksi BTA+.Dengan demikian, Case Notification
Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%).
Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir
adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%.
Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program
pengendalian TB nasional yang utama.(2)(9)
Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka
penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan
pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan.
Tabel 1. Pencapaian target pengendalian TB per provinsi 2009R

%Dengan angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di bawah
2%, maka angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di pelayanan
kesehatan pada umumnya masih rendah. Namun demikian, sebagian besar data
berasal dari Puskesmas yang telah menerapkan strategi DOTS dengan baik selama

8
lebih dari 5 tahun terakhir. Probabilitas terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi
di rumah sakit dan sektor swasta yang belum terlibat dalam program pengendalian
TB nasional sebagai akibat dari tingginya ketidakpatuhan dan tingkat drop out
pengobatan karena tidak diterapkannya strategi DOTS yang tinggi. Data dari
penyedia pelayanan swasta belum termasuk dalam data di program pengendalian
TB nasional.Sedangkan untuk rumah sakit, data yang tersedia baru berasal dari
sekitar 30% rumah sakit yang telah melaksanakan strategi DOTS. Proporsi kasus
TB dengan BTA negatif sedikit meningkat dari 56% pada tahun 2008 menjadi
59% pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus TB BTA negatif yang terjadi
selama beberapa tahun terakhir sangat mungkin disebabkan oleh karena
meningkatnya pelaporan kasus TB dari rumah sakit yang telah terlibat dalam
program TB nasional. Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806
termasuk 1,865 kasus BTA positif.Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB
mencapai 10.45%.(4)(9)
Angka-angka ini merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak
yang sesungguhnya mengingat tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas
pelayanan kesehatan yang diiringi dengan rendahnya pelaporan dari fasilitas
pelayanan kesehatan.(1)
1. Epidemiologi penyakit TB dapat juga digambarkan menurut Trias
Epidemiologi adalah Agent, Host dan Environmentsebagai berikut :
a. Agent
TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri
gram positif, berbentuk batang halus, mempunyai sifat tahan asam
dan aerobic. Karakteristik alami dari agen TB hampir bersifat
resisten terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan mampu
bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang
lama.Pada Host, daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara
Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Pathogenesis hamper
rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi
Host. Sifat resistensinya merupakan problem serius yang sering
muncul setelah penggunaan kemoterapi modern, sehingga
menyebabkan keharusan mengembangkan obat baru.Umumnya
sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang
terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan
tidak langsung, serta transmisi congenital yang jarang terjadi .(3)(4)(7)
b. Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TB.
Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian :a).Paling rendah pada
awal anak (bayi) dengan orang tua penderita b) Paling luas pada
masa remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan,

9
perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita c).
Puncak sedang pada usia lanjut.Dalam perkembangannya, infeksi
pertama semakin tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan
dewasa, terutama pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia
ini atau tidak terlindung dari risiko infeksi.Pria lebih umum
terkena, kecuali pada wanita dewasa muda yang diakibatkan
tekanan psikologis dan kehamilan yang menurunkan resistensi.
Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi
yang mengenal TB sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi
sosioekonomi. Aspek keturunan dan distribusi secara familial sulit
terinterprestasikan dalam TB, tetapi mungkin mengacu pada
kondisi keluarga secara umum dan sugesti tentang pewarisan sifat
resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan pribadi turut
memainkan peranan dalam infeksi TB, sejak timbulnya
ketidakpedulian dan kelalaian Status gizi, kondisi kesehatan secara
umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme
pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik
dengan pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi,
namun sulit untuk dievaluasi.(3)(7)
c. Environment
Distribusi geografis TB mencakup seluruh dunia dengan
variasi kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat
perkembangannya. Penularannya pun berpola sekuler tanpa
dipengaruhi musim dan letak geografis.Keadaan sosial-ekonomi
merupakan hal penting pada kasus TB. Pembelajaran sosiobiologis
menyebutkan adanya korelasi positif antara TB dengan kelas sosial
yang mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan,
lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek
dinamis berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas
perdesaan. Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik,
pengangguran dan tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang
TB dapat juga menjadi pertimbangan pencetus peningkatan
epidemi penyakit ini .Pada lingkungan biologis dapat berwujud
kontak langsung dan berulang-ulang dengan hewan ternak yang
terinfeksi adalah berbahaya .(3)(7)
2. Epidemiologi penyakit TB dapat juga digambarkan menurut Variabel
Epidemiologi adalah Person(orang), Place(tempat)dan Time(waktu)
sebagai berikut :
a. Distribusi menurut orang.
Distribusi menurut umur

10
Distribusi menurut jenis kelamin.
Distribusi menurut etnik
b. Distribusi menurut tempat.
c. Distribusi menurut waktu.
EPIDEMIOLOGI
a. Person / Orang
Umur
Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja tak
terkecuali pria, wanita, tua, muda, anak-anak, kaya dan miskin
serta dimana saja. Sebagian besar penderita TB Paru di Negara
berkembang berumur dibawah 50 tahun.Data WHO menunjukkan
bahwa kasus TB di Negara berkembang banyak terdapat pada umur
produktif 15-29 tahun,Sejalan dengan penelitian Rizkiyani (2008)
yang menunjukkan jumlah penderita baru TB Paru positif 87,6%
berasal dari usia produktif (15-54 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi
pada usia lanjut ( 55 tahun).(10)
Jenis Kelamin
Penyakit TB Paru menyerang orang dewasa dan anak-
anak,laki-laki dan perempuan.TB Menyerang sebagian besar
wanita pada usia produktif. Serupa dengan WHO yang
menunjukkan lebih dari 900 juta wanita di seluruh dunia tertular
oleh kuman TB dan satu juta di antaranya meninggal setiap tahun.
(10)

Etnik (Suku Bangsa)


Suku bangsa atau golongan etnik adalah sekelompok
manusia dalam suatu populasi yang memiliki kebiasaan atau sifat
biologis yang sama. Walaupun klasifikasi penyakit berdasarkan
suku bangsa sulit dilakukan baik secara praktis maupun secara
konseptual, tetapi karena terdapat perbedaan yang besar dalam
frekuensi dan beratnya penyakit diantara suku bangsa maka dibuat
klasifikasi walaupun kontroversi. Pada umumnya penyakit yang
berhubungan dengan suku bangsa berkaitan dengan faktor genetik
atau faktor lingkungan, misalnya: (Penyakit sickle cell anemia,
Hemofilia dan Kelainan biokimia sperti glukosa 6 fosfatase).
b. Place / tempat
Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis
lingkungan yang di tularkan melalui udara.Keadaan berbagai
lingkungan yang dapat mempengaruhi penyebaran TBC salah
satunya adalah lingkungan yang kumuh,kotor .Penderita TB Paru

11
lebih banyak terdapat pada masyarakat yang menetap pada
lingkungan yang kumuh dan kotor.(10)
Kondisi Sosial Ekonomi
Sebagai Penderita TB Paru adalah dari kalangan
Miskin.Data WHO yang menyatakan bahwa angka kematian akibat
TB sebagai besar berada di Negara berkembang yang relative
miskin(10)
Wilayah
risiko mendapatkan infeksi dan berkembangnya klinis
penyakit TB Paru bergantung pada keberadaan infeksi dalam
masyarakat misalnya Imigran dari daerah prevalensi tinggi TB, Ras
yang berisiko tinggi dan kelompok etnis minorias(misal
Afrika,Amerika,Amerika Indian,Asli Alaska,Asia,Kepulauan
(10)
Pasifik dan Hispanik)
c. Time / Waktu
Penyakit TB Paru dapat menyerang siapa saja,dimana saja dan
Kapan saja tanpa mengenal waktu,Apabila Kuman telah masuk ke
dalam tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan
berpotensi untuk terjadinya penyakit TB Paru.(10)

iii. Cara Penularan


Penularan Mikobakteruim tuberkulosis adalah dari orang ke orang,
droplet lendir berinti yang dibawa udara. Penularan jarang terjadi dengan
kontak langsung dengan kotoran cair terinfeksi atau barang-barang yang
terkontaminasi. Peluang penularan bertambah bila penderita mempunyai
ludah dengan basil pewarnaan tahan asam, infiltrat dan kaverna lobus atas
yang luas, produksi sputum encer banyak sekali, dan batuk berat serta
kuat. Faktor lingkungan terutama sirkulasi udara yang buruk,
memperbesar penularan. Kebanyakan orang dewasa tidak menularkan
organisme dalam beberapa hari sampai 2 minggu sesudah kemoterapi yang
cukup, tetapi beberapa penderita tetap infeksius selama beberapa minggu.
Anak muda dengan tuberculosis paru jarang menginfeksi anak lain atau
orang dewasa. Tuberkulosis adalah penyakit menular, artinya orang yang
tinggal serumah dengan penderita atau kontak erat dengan penderita
mempunyai risiko tinggi untuk tertular.(1)(3)
Penularan terjadi melalui udara pada waktu percikan dahak yang
mengandung kuman tuberkulosis paru dibatukkan keluar, dihirup oleh
orang sehat melalui jalan napas dan selanjutnya berkembangbiak melalui
paru-paru. Cara lain adalah dahak yang dibatukkan mengandung kuman
tuberkulosis jatuh dulu ke tanah, mengering dan debu yang mengandung

12
kuman beterbangan kemudian dihirup oleh orang sehat dan masuk ke
dalam paru-paru. Cara penularan ini disebut sebagai airborne disease.
Daya penularan ditentukan oleh banyaknya kuman Bakteri Tahan Asam
(BTA) yang terdapat dalam paru-paru penderita serta penyebarannya. Pada
perjalanan kuman ini banyak mengalami hambatan, antara lain di hidung
(bulu hidung) dan lapisan lendir yang melapisi seluruh saluran pernafasan
dari atas sampai ke kantong alveoli. Sebagian besar manusia yang
terinfeksi (80 90 %) belum tentu menjadi sakit tuberkulosis , disebabkan
adanya kekebalan tubuh. Untuk menjadi sakit, dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain keadaan sosial ekonomi, kemiskinan, kekurangan gizi,
rendahnya tingkat pendidikan dan kepadatan penduduk.(1)

iv. Gejala Klinis


Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis bervariasi atau dapat
tanpa keluhan sama sekali. Keluhan dan gejala utama yang dijumpai pada
penderita tuberkulosis paru, adalah: Gejala utama berupa berat batuk terus
menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih sedangkan gejala
tambahannya yang sering dijumpai berupa dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan
menurun, berat badan turun, rasa badan kurang enak (malaise), berkeringat
malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.(17)
Gejala-gejala tersebut diatas, dijumpai pula pada penyakit paru selain
tuberkulosis, oleh sebab itu setiap orang yang datang ke Unit Pelaksanaan
Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut diatas, harus dianggap sebagai
seorang suspek tuberkulosis atau tersangka penderita tuberkulosis paru
dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.(3)(7)

v. Diagnosis Tuberkulosis Paru


1. Definisi pasien TB
Tersangka pasien TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan
atau gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai suspek
TB).3
o Pasien TB berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan
bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang hasil pemeriksaan sediaan
biologinya positif dengan pemeriksaan mikroskopis, biakan atau
diagnostik cepat yang diakui oleh WHO (misal : GeneXpert ).
Semua pasien yang memenuhi definisi ini harus dicatat tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.
Termasuk dalam tipe pasien tersebut adalah pasien TB paru BTA

13
positif yaitu pasien TB yang hasil pemeriksaan sediaan dahaknya
positif dengan cara pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau
tes diagnostik cepat (misalnya GeneXpert).
o Pasien TB berdasarkan diagnosis klinis :
Adalah seseorang yang memulai pengobatan sebagai pasien TB
namun tidak memenuhi definisi dasar diagnosis berdasarkan
konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis. Termasuk dalam tipe
pasien ini adalah :
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil foto toraks sangat
mendukung gambaran TB.
b. Pasien TB ekstra paru tanpa hasil konfirmasi pemeriksaan
laboratorium
Catatan :
Pasien TB dengan diagnosis klinis apabila kemudian terbukti hasil
pemeriksaan laboratorium BTA positif (sebelum atau setelah menjalani
pengobatan) harus diklasifikasikan kembali sebagai pasien TB dengan konfirmasi
hasil pemeriksaan bakteriologis sebagaimana definisi pasien tersebut diatas. Guna
menghindari terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan pasien,
pemberian pengobatan TB berdasarkan diagnosis klinis hanya dianjurkan pada
pasien dengan dengan pertimbangan sebagai berikut :
Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung TB
Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal : pada TB
meningen, TB milier, pasien dengan HIV positif dsb.
Tindakan pengobatan untuk kepentingan pasien dan sebaiknya diberikan
atas persetujuan tertulis dari pasien atau yang diberi kuasa.
Apabila fasilitas memungkinkan, segera diupayakan pemeriksaan
penunjang yang sesuai misal : pemeriksaan biakan, pemeriksaan
diagnostik cepat dsb. untuk memastikan diagnosis.
2. Definisi Kasus TB Paru
1. Suspek TB (Tuberculosis suspect)
Setiap orang yang datang dengan gejala atau tanda TB. Gejala paling
sering adalah dahak produktif > 2 minggu, bisa disertai gejala lain
(sesak napas, nyeri dada, batuk darah) atau gejala konstitutional
(penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, berkeringat
malam, badan lemas).(1)(3)
2. Kasus TB (Case of tuberculosis)
Kasus pasti TB atau seseorang yang sudah didiagnosa menderita TB
oleh dokter dan diputuskan untuk mendapat pengobatan lengkap TB.
(1)(3)

3. Kasus Pasti TB (Definite case of Tuberculosis)

14
Seorang pasien dengan positif Mycobacterium tuberculosis
berdasarkan pemeriksaan spesimen ataupun pemeriksaan lainnya
yang dapat mengidentifikasi M.tuberculosis.(1)(3)
3. Klasifikasi Diagnosis TB
Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat
diklasifikasikan berdasarkan:
Lokasi anatomi penyakit;
Riwayat pengobatan sebelumnya;
Hasil bakteriologis dan uji resistensi OAT; (pada revisi guideline
WHO tahun 2013 hanya tercantum resisten obat)
Status HIV.(1)(3)
a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi:
TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial.
TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di
paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstraparu harus
diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar
parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen,
saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus
TB ekstraparu dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah
diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.(3)

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan:


Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT
sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.
Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang
pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini
diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir
sebagai berikut:
1) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis
TB episode rekuren (baik untuk kasus yang benar-benar kambuh
atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
2) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
3) Kasus setelah putus obat adalah pasien yang pernah menelan
OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih

15
dari 2 bulan berturut-turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak
pada akhir pengobatan. (Pada revisi guideline WHO tahun 2013
klasifikasi ini direvisi menjadi pasien dengan perjalanan
pengobatan tidak dapat dilacak (loss to follow up) yaitu pasien
yang pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan tidak dapat
dilacak pada akhir pengobatan).
4) Klasifikasi berikut ini baru ditambahkan pada revisi guideline
WHO tahun 2013 yaitu: kasus dengan riwayat pengobatan
lainnya adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
5) Pasien pindah adalah pasien yang dipindah dari register TB (TB
03) lain untuk melanjutkan pengobatan. (Klasifikasi ini tidak
lagi terdapat dalam revisi guideline WHO tahun 2013).
6) Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya
adalah pasien yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu
kategori di atas.(3)
Penting diidentifikasi riwayat pengobatan sebelumnya karena
terdapatnya risiko resisten obat.Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan pemeriksaan biakan spesimen dan uji resistensi obat atau metode
diagnostik cepat yang telah disetujui WHO (Xpert MTB/RIF) untuk semua
pasien dengan riwayat pemakaian OAT.(3)
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis dan uji resistensi obat
Semua pasien suspek / presumtif TB harus dilakukan pemeriksaan
bakteriologis untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis
merujuk pada pemeriksaan apusan dahak atau spesimen lain atau identifikasi
M. tuberculosis berdasarkan biakan atau metode diagnostik cepat yang telah
mendapat rekomendasi WHO (Xpert MTB/RIF). Pada wilayah dengan
laboratorium jaminan mutu eksternal, kasus TB paru dikatakan apusan dahak
positif berdasarkan terdapatnya paling sedikit hasil pemeriksaan apusan
dahak BTA positif pada satu spesimen pada saat mulai pengobatan.Pada
daerah tanpa laboratorium dengan jaminan mutu eksternal maka definisi
kasus TB apusan dahak positif bila paling sedikit terdapat dua spesimen pada
pemeriksaan apusan dahak adalah BTA positif.(3)
Kasus TB paru apusan negatif adalah:
Hasil pemeriksaan apusan dahak BTA negatif tetapi biakan positif untuk
M.tuberculosis
Memenuhi kriteria diagnostik berikut ini:
1. Keputusan oleh klinisi untuk mengobati dengan terapi antiTB
lengkap; DAN

16
2. Temuan radiologis sesuai dengan TB paru aktif DAN:
3. Terdapat bukti kuat berdasarkan laboratorium atau manifestasi klinis;
ATAU
4. Bila HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui tetapi tinggal di
daerah dengan prevalens HIV rendah), tidak respons dengan
antibiotik spektrum luas (di luar OAT dan fluorokuinolon dan
aminoglikosida).
Kasus TB paru tanpa pemeriksaan apusan dahak tidak diklasifikasikan apusan
negatiftetapi dituliskan sebagai apusan tidak dilakukan.(3)
d. Klasifikasi berdasarkan status HIV
Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis
atau klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang
dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti
dokumentasi bahwa pasien telah terdaftar di register HIV atau obat
antiretroviral (ARV) atau praterapi ARV.
Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis
atau klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada
saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di
kemudian hari harus disesuaikan klasifikasinya.
Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfirmasi
bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak
memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien
ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan klasifikasinya.
(1)(3)

4. Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit
satu spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran
histologi TB atau bukti klinis sesuai TB. WHO merekomendasi
pemeriksaan uji resistensi rifampisin dan / atau isoniazid terhadap
kelompok pasien berikut ini pada saat mulai pengobatan:
Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak
didapatkan pada pasien dengan riwayat gagal terapi
Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya
mereka yang tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi
TB resisten obat.
Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten
obat.
Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer
>3%.

17
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapat paling sedikit satu
spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran
histologi TB atau bukti klinis dan radiologis sesuai TB.(1)(3)

Gambar 2. Alur Diagnosis TB Paru


vi. Pengobatan Tuberkulosis Paru
Tujuan pengobatan TB adalah:
- Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien
- Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
- Mencegah kekambuhan TB
- Mengurangi penularan TB kepada orang lain
- Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat.
World Health Organization merekomendasikan obat kombinasi dosis tetap
(KDT) untuk mengurangi risiko terjadinya TB resisten obat akibat monoterapi.
Dengan KDT pasien tidak dapat memilih obat yang diminum, jumlah butir obat
yang harus diminum lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan ketaatan pasien
dan kesalahan resep oleh dokter juga diperkecil karena berdasarkan berat badan.
Dosis harian KDT di Indonesia distandarisasi menjadi empat kelompok berat
badan 30-37 kg BB, 38-54 kg BB, 55-70 kg BB dan lebih dari 70 kg BB.(2)
Obat Dosis yang direkomendasikan

Harian 3 kali seminggu

18
Rentang Maksimum Rentang Maksimum
dosis dosis
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampicin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pyrazinamid 25 (20-30) 35 (30-40)
Etambutol 15 (15-20) 30 (25-35)
Streptomicyn 12 (12-18) 15 (12-18) 1000

Tabel 2. Dosis OAT I Dewasa


*Pasien berusia di atas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700
mg per hari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB
pada pasien kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg
tidak dapat mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg per hari.
Paduan 2RHZE/6HE didapatkan lebih banyak menyebabkan kasus kambuh
dan kematian dibandingkan paduan 2RHZE/4RH. Berdasarkan hasil penelitian
metaanalisis ini maka WHO merekomendasikan paduan 2RHZE/4RH.(1)
Pasien yang menerima OAT tiga kali seminggu memiliki angka resistensi
obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang menerima pengobatan harian.
Oleh sebab itu WHO merekomendasikan pengobatan dengan paduan harian
sepanjang periode pengobatan OAT (2RHZE/4RH) pada pasien dengan TB paru
kasus baru dengan alternatif paduan 2RHZE/4R3H3 yang harus disertai
pengawasan ketat secara langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). Obat
program yang berasal dari pemerintah Indonesia memilih menggunakan paduan
2RHZE/4R3H3 dengan pengawasan ketat secara langsung oleh PMO.(1)

TB PARU

TB PARU KASUS TB PARU KASUS PENGOBATAN


ULANG

OAT KATEGORI I OAT Kategori II, bila terdapat hasil


biakan sputum M.Tb dan uji kepekaan
obat maka terapi disesuaikan

Gambar 3. Algoritme Pengobatan TB Paru pada Dewasa

vii. Pengobatan TB pada keadaan khusus


1. Kehamilan

19
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir
semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin.
Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat
permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan
ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan
lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan
tertular TB.(6)(11)
2. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda
dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk
ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus
mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB
kepada bayinya. (6)
Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus
disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.(6; 11)
3. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas
kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan
kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung
estrogen dosis tinggi (50 mcg).(6; 11)
4. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi
HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada
pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak
disertai HIV/AIDS.(6)
Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan
mendahulukan pengobatan TB.Pengobatan ARV(antiretroviral)
dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar
WHO.Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan
prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal)
Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi
dalam satu sarana pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan
pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap

20
infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary
Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).(6)

5. Pasien TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau
klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat
diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E)
maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.(6)
6. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan
faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT
meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang
dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan
pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z)
tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE.(6)
7. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang
tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar
pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan
Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari
penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila
fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan
Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal
ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal
ginjal adalah 2HRZ/4HR.(6)
8. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat
mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea)
sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan.Insulin dapat
digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan
TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes
Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh
karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut.(6)

21
9. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per
hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian
disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.(5; 8)

viii. Pemantauan Respons Pengobatan


Semua pasien harus dipantau untuk menilai respons terapi. Pemantauan
yang regular akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata laksana
reaksi obat tidak diinginkan. Semua pasien, PMO dan tenaga kesehatan sebaiknya
diminta untuk melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala
efek samping OAT atau terhentinya pengobatan.(3; 8)
Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT
disesuaikan dengan perubahan berat badan. Respons pengobatan TB paru
dipantau dengan apusan dahak BTA. Perlu dibuat rekam medis tertulis yang berisi
seluruh obat yang diberikan, respons bakteriologis, resistensi obat dan reaksi tidak
diinginkan untuk setiap pasien pada Kartu Berobat TB.(3; 8)
WHO merekomendasi pemeriksaan apusan dahak BTA pada akhir fase
intensif pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik
kasus baru dan pengobatan ulang. Apusan dahak BTA dilakukan pada akhir bulan
kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan akhir bulan ketiga
(2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang. Rekomendasi ini juga
berlaku untuk pasien dengan apusan dahak BTA negatif.(3)(12)
Apusan dahak BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan
beberapa halberikut ini:
Supervisi kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang buruk;
Kualitas OAT yang buruk;
Dosis OAT di bawah kisaran yang direkomendasikan;
Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman
yang banyak;
Terdapatnya komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons
terapi;
Pasien memiliki M. tuberculosis resisten obat yang tidak memberikan
respons terhadap terapi OAT lini pertama;

22
Bakteri mati yang terlihat oleh mikroskop.
Foto toraks untuk memantau respons pengobatan tidak diperlukan, tidak dapat
diandalkan.(3)

A. Menilai Respons Pengobatan pada Pasien TB Kasus Baru


Pemeriksaan dahak tambahan (pada akhir bulan ketiga fase intensif
sisipan) diperlukan untuk pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA
positif pada akhir fase intensif. Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji
resistensi obat sebaiknya dilakukan pada pasien TB kasus baru dengan apusan
dahak BTA masih positif pada akhir bulan ketiga.(2)(3)
Tujuan utamanya adalah mendeteksi kuman resisten obat tanpa harus
menunggu bulan kelima untuk mendapatkan terapi yang tepat. Pada daerah
yang tidak memiliki kapasitas laboratorium untuk biakan dan uji resistensi
obat maka pemantauan tambahan dengan apusan dahak BTA positif pada
bulan ketiga adalah pemeriksaan apusan dahak BTA pada satu bulan sebelum
akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan (bulan keenam). Bila hasil
apusan dahak BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir pengobatan
berarti pengobatan gagal dan Kartu Berobat TB ditutup dengan hasil gagal
dan Kartu Berobat TB yang baru dibuka dengan tipe pasien pengobatan
setelah gagal. Bila seorang pasien didapatkan TB dengan strain resisten obat
maka pengobatan dinyatakan gagal kapanpun waktunya.(2)(3)
Pada pasien dengan apusan dahak BTA negatif (atau tidak dilakukan)
pada awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir bulan kedua pengobatan
maka tidak diperlukan lagi pemantauan dahak lebih lanjut. Pemantauan
dilakukan secara klinis dan berat badan merupakan indikator yang sangat
berguna.(2)
Tabel 3. Definisi Hasil Pengobatan
HASIL DEFINISI
Pasien TB paru dengan konfirmasi bakteriologis pada
awal pengobatan dan apusan dahak BTA negatif atau
Sembuh biakan negatif pada akhir pengobatan dan / atau
sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi
Pengobatan Lengkap tidak memiliki bukti gagal TETAPI tidak memiliki
rekam medis yang menunjukkan apusan dahak BTA
atau biakan negatif pada akhir pengobatan dan satu
kesempatan sebelumnya, baik karena tidak dilakukan
atau karena hasilnya tidak ada.
Pasien TB dengan apusan dahak atau biakan positif
pada bulan kelima atau setelahnya selama pengobatan.

23
Pengobatan Gagal Termasuk juga dalam definisi ini adalah pasien dengan
strain kuman resisten obat yang didapatkan selama
pengobatan baik apusan dahak BTA negatif atau positif.
Meninggal Pasien TB yang meninggal dengan alasan apapun
sebelum dan selama pengobatan.
Putus obat Pasien TB yang tidak memulai pengobatan atau
(tidak dapat dilacak) menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-turut
Revisi WHO 2013 atau lebih.
Dipindahkan Pasien yang dipindahkan ke rekam medis atau
(Tidak dievaluasi) pelaporan lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui
Revisi WHO 2013
Pengobatan Sukses Jumlah pasien TB dengan status hasil pengobatan
sembuh dan lengkap

Evaluasi penderita yang telah sembuh


Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya
kekambuhan.Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto
toraks.Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan
sembuh.Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. (6; 13;
14)

B. Efek Samping OAT


Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping.Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena
itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting
dilakukann selama pengobatan.Efek samping yang terjadi dapat ringan atau
berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik
maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.(1)
Tabel 4. EFEK SAMPING OBAT(6)
Efek samping Jenis obat penyebab Penanganan
Mayor
Skin rash dengan/tanpa Streptomycin,Isoniazid, Stop OAT
rasa gatal Rifampicin,Pyrazinamide

Tuli Streptomycin Stop Streptomycin


Pusing ( Vertigo dan Streptomycin Stop Streptomycin
Nistagmus )

24
Jaundice/kuning Isoniazid, Stop Isoniazid,
(penyebab lain di Rifampicin,Pyrazinamide Rifampicin,Pyrazinamide
ekslusikan)

Bingung Kebanyakan OAT Stop OAT


Kelainan penglihatan Etambutol Stop Etambutol
Purpura Rifampicin Stop Rifampicin
Penurunan volume urin Streptomycin Stop Streptomycin

Minor Lanjutkan pemberian OAT


Anorexia,mual, dan nyeri Pirazinamid,rifampicin, Berikan dalam dosis kecil
abdomen isoniazid atau sebelum tidur dan
berikan nasehat kepada
pasien untuk menelan obat
dengan air yang sedikit
Nyeri sendi Pirazinamide Berikan aspirion,NSAID
atau paracetamol
Sensasi terbakar atau Isoniazid Piridoksin 50-75 mg/hari
kesemutan

Mengantuk Isoniazid Ubah pola konsumsi obat


sebelum tidur
Urin coklat atau jingga Rifampicin Pastikan pasien paham
bahwa kejadian ini dapat
terjadi saat sebelm
pengobatan

Sindrom flu Dosis Intermittent Perubahan dari dosis


Rifampicin intermitten rifampicin ke
dosis harian

b. Pendekatan Diagnosa Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga


di Layanan Primer
Pengertian holistik adalah memandang manusia sebagai mahluk
biopsikososio-kultural pada ekosistemnya. Sebagai mahluk biologis
manusia adalah merupakan sistem organ, terbentuk dari jaringan serta sel-
sel yang kompleks fungsionalnya.(15)

25
Diagnosis holistik adalah kegiatan untuk mengidentifikasi dan
menentukan dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta
kegawatan yang diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal,
riwayat penyakit pasien, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang,
penilaian risiko internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien
serta keluarganya. Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem
Kesehatan Nasional 2004, maka dokter keluarga secara bertahap akan
diperankan sebagai pelaku pelayanan pertama (layanan primer).(15; 6)
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
a. Comprehensive care and holistic approach
b. Continuous care
c. Prevention first
d. Coordinative and collaborative care
e. Personal care as the integral part of his/her family
f. Family, community, and environment consideration
g. Ethics and law awareness
h. Cost effective care and quality assurance
i. Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa
pasien adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental,
sosial dan spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan
sosialnya.(15)

Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita


melihat dari beberapa aspek yaitu:
I. Aspek Personal : Keluhan utama, harapan dan kekhawatiran.
II. Aspek Klinis : Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup
dengan diagnosis kerja dan diagnosis banding.
III. Aspek Internal : Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku.
Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur, etnis, dan lingkungan.
IV. Aspek Eksternal : Psikososial dan ekonomi keluarga.
V. Derajat Fungsi Sosial :
o Derajat 1: Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
o Derajat 2: Pasien mengalami sedikit kesulitan.
o Derajat 3: Ada beberapa kesulitan, perawatan diri masih bisa
dilakukan, hanya dapat melakukan kerja ringan.
o Derajat 4: Banyak kesulitan. Tak melakukan aktifitas kerja,
tergantung pada keluarga.
o Derajat 5: Tak dapat melakukan kegiatan

26
Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran
keluarga di layanan primer antara lain :
1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan
upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai
bagian dari keluarga dan lingkungan komunitasnya
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan
secara terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu(15)
Pelayanan komprehensif yaitu pelayanan yang memasukkan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan
penyakit dan proteksi khusus (preventive & spesific protection), pemulihan
kesehatan (curative), pencegahan kecacatan (disability limitation) dan
rehabilitasi setelah sakit (rehabilitation) dengan memperhatikan
kemampuan sosial serta sesuai dengan mediko legal etika kedokteran.(15)
Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang
disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang
melaksanakan pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus
menerus demi kesehatan pasien.(15)
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan
dokter keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter
dengan pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan
kemitraan lintas program dengan berbagai institusi yang menunjang
pelayanan kedokteran, baik dari formal maupun informal.(15)

Gambar 4.Hubungan Pelayanan Kedokteran Holistik dan Kedokteran


Keluarga

27
BAB III
PROFIL PUSKESMAS

A. Gambaran Umum Puskesmas Batua


1. Keadaan Geografis
Puskesmas Batua terletak sekitar 10 km sebelah kanan kota
makassar, tepatnya di Kelurahan Batua Kecamatan Manggala yang
dapat dicapai dengan keadaan umum. Wilayah kerja puskesmas
meliputi dua kecamatan dan empat kelurahan dengan luas kerja
1017,01 km
Wilayah kerja puskesmas batua yang meliputi kccamatan
manggala dan panakkukang. Kecamatan manggala meliputi kelurahan
batua dan kelurahan borong, sedangkan kecamatan panakkukang
meliputi kelurahan paropo dan tello baru, dengan jumlah RW dan RT
sebagai berikut
1. Kel. Batua terdapat 11 RW dan 53 RT
2. Kel. Borong terdapat 11 RW dan 58 RT
3. Kel. Paropo terdapat 10 RW dan 49 RT
4. Kel. Tello baru terdapat 11 RW dan 48 RT
Adapun batas-batas wilayah yaitu :
1. Sebelah utara berbatasan dengan kelurahan panaikang
2. Sebelah timur berbatasan dengan kelurahan antang
3. Sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan tamalate
4. Sebelah barat berbatasan dengan kelurahan pandang dan
kelurahan karapuang

28
2. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk di wilayah Puskesmas Batua berjumlah 12.548
jiwa dimana penduduk laki-laki sebesar 6234 jiwa dan jumlah
penduduk perempuan sebesar 6314 jiwa. Penyebaran penduduk pada
wilayah kelurahan tidak sama. Disamping itu, adanya kebijakan
pemerintah tentang penetapan lokasi pembangunan rumah
pemukiman penduduk serta lokasi untuk membangun industri,
perdagangan, sarana transportasi, pertanian dan lain-lain.

B. Visi dan Misi


Visi Puskesmas Batua :
Menjadi puskesmas dengan pelayanan terbaik di Kota Makassar

Misi Puskesmas Batua :


1. Meningkatkan sarana dan prasarana
2. Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan secara berkelanjutan
3. Mengembangkan jenis layanan dan mutu pelayanan kesehatan
4. Meningkatkan system informasi dan manajemen Puskesmas
5. Mengembangkan kemitraan
6. Meningkatkan upaya kemandirian masyarakat

Motto Puskesmas Batua SEGAR


Senyum : merupakan modal dalam member pelayanan
Efektif : dengan pelayanan tepat guna, berdaya guna, berhasil guna
Gerakan : adalah upaya cepat tindakan dalam pemberian layanan
kesehatan masyarakat
Amal : merupakan bentuk kerelaan hati petugas dalam member
pelayanan
Ramah : adalah sikap yang tertanam dalam jiwa petugas kesehatan

1. UPAYA PENCEGAHAN
Puskesmas Batua sebagai unit teknis Dinas Kesehatan Kota Makassar
yang bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah
kerjanya. Puskesmas Batua berperan menyelenggarakan upaya kesehatan
untuk miningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap penduduk agar memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Dengan demikian Puskesmas berfungsi sebagai pusat penggerakan

29
pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan keluarga dan
masyarakat serta pusat pelayanan kesehatan strata pertama.
Dengan fungsi tersebut maka Upaya Kesehatan di Puskesmas Batua
terbagi atas 2 (dua) Upaya Kesehatan yaitu:
1. Upaya kesehatan wajib, meliputi:
a. Upaya Promosi Kesehatan (promkes)
b. Upaya Kesehatan Lingkungan ( Kesling)
c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Keluarga Berencana (KB)
d. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat
e. Upaya Pencegahan Penyakit Menular (P2M)
f. Upaya Pengobatan

2. Upaya kesehahatan pengembangan, meliputi:


a. Upaya Ksehatan Sekolah
b. Upaya Kesehatan Olahraga
c. Upaya Kesehatan Kerja
d. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
e. Upaya Kesehatan Jiwa
f. Upaya kesehatan Mata
g. Upaya kesehatan usia lanjut
h. Pembinaan pengobatan tradisional
i. Perawatan kesehatan masyarakat

30
BAB IV
PRESENTASI KASUS

4.1. HASIL STUDI KASUS


A. PASIEN 1
Nama : Tn. N
Umur : 45 th
Pekerjaan : Buruh harian lepas
Alamat : Jl. Borong Raya No. 82
No.hp : 085395974049
Anamnesis :
Pasien laki-laki berusia 45 tahun datang ke puskesmas Batua dengan
keluhan batuk yang dirasakan sejak bulan Juni 2016, memberat 1
minggu terakhir sebelum datang ke puskesmas. Batuk disertai dahak,
berwarna kehijauan disertai darah. Demam sekarang tidak ada, riwayat
demam ada bulan Juni yang lalu. Pasien juga mengeluh sering keluar
keringat pada malam hari. Nafsu makan menurun dan disertai
penurunan berat badan. Riwayat pengobatan sebelumnya tidak ada.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis yang dilakukan, dokter
melakukan pemeriksaan sputum BTA 3x. Setelah pemeriksaan dahak
pagi dan sewaktu, reaksi dari pemeriksaan dahak tersebut hasilnya
positif, sehingga dokter mendiagnosa pasien menderita TB. Dokter
menjelaskan dan menganjurkan pasien untuk mendapat pengobatan
selama 6 bulan dan harus kontrol setiap bulan untuk melihat
perkembangan pengobatannya.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien mengaku belum pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat DM dan hipertensi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat keluarga yang menderita batuk lama disangkal
- Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit asma
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien berada di tingkatan sosial ekonomi menengah ke bawah.
Pasien adalah seorang buruh harian lepas. Pasien tinggal bersama istri
dan anak kandung.
Riwayat imunisasi :
Pasien tidak pernah di imunisasi
Riwayat obat-obatan :

31
Pasien tidak pernah menggunakan narkoba
Pemeriksaan Fisik
1 Keadaan Umum : Sakit sedang
2 Vital sign

Kesadaran : Compos Mentis


GCS : 15
Tek. Darah : 110/70 mmHg
Frek. Nadi : 74x/menit
Frek Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7 C
BB : 55 kg
Tinggi Badan : 158 cm
3 Status Generalis :
- Kepala : Normocephal
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik
(-/-), Pupil bulat, isokor
- THT : Dalam Batas Normal
- Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-)
- Paru-paru

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan


dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan
dan kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : bunyi pernapasan vesikuler pada paru
kanan dan kiri, rhonki basah (+/-),wheezing
(-/-)
- Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat


Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra
Perkusi : batas jantung kanan ICS IV linea sternalis
dextra batas jantung kiri ICS V linea
midklavikula sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, murmur(-)
- Abdomen

Inspeksi : simetris, datar, kelainan kulit (-),


pelebaran vena (-)

32
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : nyeri lepas (-), nyeri ketuk
(-),hepatomegali(-), spleenomegali (-)
Perkusi : timpani di semua lapang abdomen, nyeri
ketuk (-)



- Ekstremitas : akral hangat, edema
4 Status Lokalis : -

Informasi hasil pemeriksaan tambahan:


Batuk berdahak sudah sekitar 2 bulan yang lalu. Batuk berdahak berwarna
hijau
TD 110/70 mmHg.
Demam sub febril (-)
Keringat di malam hari (-)
Kurang pengetahuan tentang TB paru

B. Pasien 2
Nama : Tn. S
Umur : 49 th
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Batua Raya IX No.4
No.hp : 085395582221
Anamnesis :
Pasien laki-laki umur 49 tahun datang ke puskesmas Batua dengan
keluhan batuk yang dirasakan 5 bulan yang lalu. Batuk disertai
berdahak berwarna hijau disertai bercak darah. Demam sekarang tidak
ada. Riwayat demam 4 bulan yang lalu. Pasien juga mengeluh saat itu
sering keluar keringat pada malam hari. Nafsu makan menurun disertai
penurunan berat badan sebnayak 3 kg. Pasien juga merokok 1 bungkus
perhari sejak 3 tahun yang lalu. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis
yang dilakukan, dokter melakukan pemeriksaan sputum BTA 3x.
Setelah pemeriksaan dahak pagi dan sewaktu, reaksi dari pemeriksaan
dahak tersebut hasilnya positif, sehingga dokter mendiagnosa pasien
menderita TB. Dokter menjelaskan dan menganjurkan pasien untuk
mendapat pengobatan selama 6 bulan dan harus kontrol setiap bulan
untuk melihat perkembangan pengobatannya.
Riwayat Penyakit Dahulu :

33
- Pasien mengaku belum pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya
- Riwayat asma disangkal
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat Hipertensi disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat keluarga yang menderita batuk lama disangkal
- Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit asma
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien berada di tingkatan sosial ekonomi menengah. Pasien
tinggal bersama istri dan kedua anaknya
Riwayat imunisasi :
Pasien pernah di imunisasi
Riwayat obat-obatan :
Pasien tidak pernah menggunakan narkoba
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : sakit sedang
2. Vital sign

Kesadaran : Compos Mentis


GCS : 15
Tek. Darah : 120/70 mmHg
Frek. Nadi : 88x/menit
Frek Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,6 C
BB : 50 kg
Tinggi Badan : 165 cm
3. Status Generalis :
- Kepala : Normocephal
- Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-
/-), Pupil bulat, isokor
- THT : Dalam Batas Normal
- Leher : Pembesaran KGB dan tiroid (-)
- Paru-paru

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan


dan kiri
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan
dan kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru

34
Auskultasi : bunyi pernapasan vesikuler pada paru
kanan dan kiri, rhonki basah (-/+),wheezing
(-/-)
- Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat


Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra
Perkusi : batas jantung kanan ICS IV linea sternalis
dextra batas jantung kiri ICS V linea
midklavikula sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, murmur(-)
- Abdomen

Inspeksi : simetris, datar, kelainan kulit (-),


pelebaran vena (-)
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : nyeri lepas (-), nyeri ketuk
(-),hepatomegali(-), spleenomegali (-)
Perkusi : timpani di semua lapang abdomen, nyeri
ketuk (-)



- Ekstremitas : akral hangat, edema
5 Status Lokalis : -

Informasi hasil pemeriksaan tambahan:


Batuk berdahak sekitar 6 bulan yang lalu. Batuk berdahak berwarna hijau
disertai bercak darah pada saat itu.
TD 110/70 mmHg.
Demam sub febril (+)
Keringat di malam hari (+)
Kurang pengetahuan tentang TB paru

B. KELUARGA
Profil Keluarga
1 Karakteristik Keluarga Pasien 1

Tabel 6.1 Anggota keluarga yang tinggal serumah

35
Kedudukan
N Nam Gend Pendidik Pekerjaa
dalam Umur
o a er an n
keluarga
Buruh
1. Tn. N Pasien L 45 th SMA
harian
Ibu Rumah
2. Ny. M Istri P 44 th SMA
Tangga

3. K Anak L 26 th SMA Karyawan

Tidak
4. Ny. F Ibu pasien P 65 th SD
bekerja

2. Karakteristik Keluarga Pasien 2

Tabel 6.2 Anggota keluarga yang tinggal serumah


Kedudukan
N Nam Gend Pendidik Pekerjaa
dalam Umur
o a er an n
keluarga

1. Tn. S Pasien L 49 th SMA Swasta

Ibu Rumah
2. Ny.S Istri P 47 th SMA
Tangga
Mahasisw Belum
3. R Anak L 21 th
a bekerja
Belum
4. V Anak P 18 th SMA
bekerja

1. Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup


a Lingkungan tempat tinggal
Tabel Lingkungan tempat tinggal pasien 1
Status kepemilikan rumah : milik sendiri
Daerah perumahan : padat penduduk
Kesimpulan
Karakteristik Rumah dan Lingkungan
Luas rumah : Keluarga Tn. N tinggal di
6 x 11 meter rumah dengan kepemilikian

36
milik sendiri. Tn. N tinggal
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 4 orang
dalam rumah yang cukup
Luas halaman rumah : 6 x 3 m2 bersih dan ventilasi yang
memadai yang dihuni oleh 4
Lantai rumah dari : semen dan tegel anggota keluarga. Dengan
penerangan listrik 900 watt.
Dinding rumah dari : batu dan kayu Air PAM umum sebagai sarana
air bersih keluarga.
Jamban keluarga : ada

Tempat bermain : tidak ada

Penerangan listrik : 900 watt

Ketersediaan air bersih : ada

Tempat pembuangan sampah : ada

Tabel Lingkungan tempat tinggal pasien 2


Status kepemilikan rumah : milik sendiri
Daerah perumahan : padat penduduk
Kesimpulan
Karakteristik Rumah dan Lingkungan
Luas rumah : Keluarga Tn. S tinggal di
6 x 15 meter rumah dengan kepemilikian
milik sendiri. Tn. N tinggal
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 4 orang
dalam rumah yang cukup
Luas halaman rumah : 6 x 3 m2 bersih dan ventilasi yang
memadai yang dihuni oleh 4
Lantai rumah dari : semen dan tegel anggota keluarga. Dengan
penerangan listrik 900 watt.
Dinding rumah dari : batu dan kayu Air PAM umum sebagai sarana
air bersih keluarga.
Jamban keluarga : ada

Tempat bermain : tidak ada

Penerangan listrik : 900 watt


Ketersediaan air bersih : ada

37
Tempat pembuangan sampah : ada

b Kepemilikan barang barang berharga


- Tn. N memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya antara lain
yaitu, satu buah televisi berwarna, dua buah kipas angin, satu buah
kulkas dan satu buah kompor gas yang terletak di dapur.

- Tn. S memiliki barang elektronik di rumahnya antara lain yaitu satu


buah televisi, tiga buah kipas angin, satu buah kulkas dan satu buah
kompor gas yang terletak di dapur.

2. Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga


a Tempat berobat
- Apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit, Tn. N selalu
berobat ke puskesmas untuk mendapatkan terapi yang lebih baik untuk
kesembuhan penyakit mereka.
- Apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit, Tn. S selalu
berobat ke puskesmas untuk mendapatkan terapi yang lebih baik untuk
kesembuhan penyakit mereka.
b Balita : KMS
- Anggota keluarga Tn.N tidak ada yang berusia balita sehingga tidak
memiliki KMS.
- Anggota keluarga Tn.S tidak ada yang berusia balita sehingga tidak
memiliki KMS.
c Asuransi / Jaminan Kesehatan
- Keluarga Tn. N tergolong keluarga dengan status ekonomi menengah
ke bawah, namun keluarga ini sudah memiliki asuransi jaminan
kesehatan.
- Keluarga Tn. S tergolong keluarga dengan status ekonomi menengah
ke bawah, namun keluarga ini sudah memiliki asuransi jaminan
kesehatan.

3. Sarana Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)

Tabel Pelayanan Kesehatan Pasien 1

Faktor Keterangan Kesimpulan

38
Tn. N berobat ke
Cara mencapai pusat Sepeda motor Puskesmas dengan
pelayanan kesehatan mengendarai sepeda
motor. Menurutnya
kualitas pelayanannya
dinilai memuaskan
Tarif pelayanan Murah sehingga pasien mau
kesehatan datang kembali untuk
berobat.

Kualitas pelayanan
Memuaskan
kesehatan

Tabel Pelayanan Kesehatan Pasien 2


Faktor Keterangan Kesimpulan
Tn. S berobat ke
Cara mencapai pusat Sepeda motor Puskesmas dengan
pelayanan kesehatan mengendarai sepeda
motor. Menurutnya
kualitas pelayanannya
dinilai memuaskan
Tarif pelayanan Murah sehingga pasien mau
kesehatan datang kembali untuk
berobat.

Kualitas pelayanan
Memuaskan
kesehatan

4. Pola Konsumsi Makanan Keluarga


a Kebiasaan makan :
- Keluarga Tn. N makan sebanyak 2 kali sehari. Menu makanan yang
diterapkan dalam waktu makan mereka tidak pernah menentu. Menu
makanan mereka paling sering makan nasi dengan lauk tahu atau
tempe, ikan beserta sayuran, dan kadang-kadang makan ayam dan
daging. Adapun makanan yang dimakan oleh keluarga Ny. M dimasak
sendiri.
- Keluarga Tn. S makan sebanyak 2 kali sehari. Menu makanan yang
diterapkan dalam waktu makan mereka tidak pernah menentu. Menu
makanan mereka paling sering makan nasi dengan lauk pauk, ikan

39
beserta sayuran, tahu dam tempe, ikan beserta sayuran, ayam dan
daging. Adapun makanan yang dimakan oleh keluarga Tn.R dimasak
sendiri.

b Menerapkan pola gizi seimbang :


- Keluarga Tn. N sudah menerapkan pola gizi seimbang kepada seluruh
anggota keluarga.
- Keluarga Tn. S sudah menerapkan pola gizi seimbang kepada seluruh
anggota keluarga.

5. Pola Dukungan Keluarga


1 Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga

- Mayoritas anggota keluarga Tn.N sudah cukup peduli terhadap


kesehatan. Untuk Tn.N sendiri selama mengalami keluhan kesehatan
dan telah didiagnosis terjangkit penyakit TB, secara rutin selalu
kontrol di Puskesmas Batua dan minum obat secara teratur. Seluruh
anggota keluarga senantiasa memberikan dukungan kepada Tn.N agar
dapat sembuh dari penyakitnya dengan cara
selalu mengingatkan pasien untuk minum obat secara rutin agar tidak
terjadi putus obat dan kontrol untuk mengambil obat di Puskesmas
Batua tiap bulan. Tn.N memiliki kesadaran yang besar akan
penyakitnya, sehingga Tn.N membatasi diri dengan anggota keluarga
yang sehat karena Tn.N khawatir anggota keluarganya atau teman-
teman di tempatnya tertular. Oleh karena itu, Tn. N selalu
menggunakan masker saat di luar rumah, ataupun kadang di dalam
rumah dan tidak membuang dahak sembarangan.
- Mayoritas anggota keluarga Tn. S cukup peduli terhadap kesehatan.
Untuk Tn. S sendiri selama mengalami keluhan kesehatan dan telah
mengonsumsi obat yang dianjurkan selama 6 bulan, secara rutin selalu
kontrol di Puskesmas Batua dan minum obat secara teratur. Seluruh
anggota keluarga senantiasa memberikan dukungan kepada Tn. S agar
dapat sembuh dari penyakitnya dengan cara
selalu mengingatkan pasien untuk minum obat secara rutin agar tidak
terjadi putus obat dan kontrol untuk mengambil obat di Puskesmas
Batua tiap bulan. Tn. S memiliki kesadaran yang besar akan
penyakitnya, sehingga Tn. S membatasi diri dengan anggota keluarga
yang sehat karena Tn. S khawatir anggota keluarganya atau teman-
teman di tempatnya tertular. Oleh karena itu, Tn. S selalu

40
menggunakan masker saat di luar rumah, ataupun kadang di dalam
rumah dan tidak membuang dahak sembarangan.

Genogram
1 Bentuk keluarga 1:

Bentuk keluarga ini merupakan keluarga inti.

Gambar 8. Genogram Pasien Penderita TB


Keterangan :
: Kepala keluarga / Suami (Pasien)

: Istri

: Anak
:

2. Bentuk keluarga 2
Bentuk keluarga ini merupakan keluarga inti.

Gambar 8. Genogram Pasien Penderita TB


Keterangan :
: Kepala keluarga / Suami (Pasien)

41
: Istri

: Anak ke-1

: Anak ke-2

4.2. PEMBAHASAN

4.2.1. INTERVENSI, DIAGNOSTIK HOLISTIK, DAN


PENATALAKSANAAN SELANJUTNYA
Pertemuan ke 1 : 25 Oktober 2016
Saat kedatangan yang pertama dilakukan beberapa hal yaitu :
1. Memperkenalkan diri dengan pasien.
2. Menjalin hubungan yang baik dengan pasien.
3. Menjelaskan maksud kedatangan dan meminta persetujuan pasien
4. Menganamnesa pasien, mulai dari identitas sampai riwayat psiko-
sosio-ekonomi dan melakukan pemeriksaan fisik.
5. Menjelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan dan
mempersiapkan alat yang akan dipergunakan.
6. Memastikan pasien telah mengerti tujuan prosedur pemeriksaan.
7. Meminta persetujuan pemeriksaan kepada pihak pasien.
8. Membuat diagnostik holistik pada pasien.
9. Mengevaluasi pemberian penatalaksanaan farmakologis. .

4.2.2. Anamnesa
Identifikasi permasalahan yang didapatkan dalam keluarga
Masalah lingkungan
- Lingkungan tempat tinggal Tn. N merupakan lingkungan yang padat
penduduk dan letak rumah yang satu dengan rumah yang lainnya saling
menempel. Ventilasi rumah baik.
- Lingkungan tempat tinggal Tn. S merupakan lingkungan yang kurang
padat penduduk dan letak rumah yang satu dengan rumah yang lainnya
tidak saling menempel. Ventilasi rumah baik.

Diagnosis Holistik

42
Untuk melakukan diagnostik holistik yang komprehensif maka diperlukan
tinjauan dari beberapa aspek antara lain :
1 Aspek personal

Pasien datang atas kemauan sendiri dan berobat di Puskesmas


Batua. Pasien khawatir bahwa batuk yang diderita akan semakin
memburuk dan anggota keluarga lainnya tertular. Dengan berobat ke
puskesmas pasien berharap penyakitnya dapat cepat sembuh.
2 Aspek klinik

- Tn. N berdasarkan hasil anamnesa yang didapatkan pasien datang


dengan keluhan batuk yang dirasakan sudah kurang lebih sekitar 4
bulan, dan dari pemeriksaan fisis didapatkan adanya ronkhi pada apex
paru kanan, dan dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil sputum
BTA 3 kali positif. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, pasien di diagnosis TB Paru sejak beberapa
hari terakhir dan sementara dalam terapi DOTS.
- Tn. S berdasarkan hasil anamnesa yang didapatkan pasien datang
dengan keluhan batuk yang dirasakan sudah kurang lebih sekitar 5
bulan, dan dari pemeriksaan fisis didapatkan adanya ronkhi pada apex
paru kanan, dan dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil sputum
BTA 3 kali positif . Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang, pasien dianjurkan untuk mengonsumsi
obat selama 6 bulan dan sementara dalam terapi DOTS.
3 Aspek risiko internal
Penyakit TB Paru dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor internal
antara lain jenis kelamin, usia, kebiasaan pasien, dan keadaan sosial
ekonomi.
Pada faktor jenis kelamin TB paru memang lebih sering dialami
oleh pria dibandingkan wanita. Hal ini dikarenakan laki-laki sebagian
besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB Paru, begitu pula dengan kebiasaan pasien. Di
tambah lagi, TB paru lebih sering ditemukan pada usia muda atau usia
produktif.
Dilihat dari tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan
terhadap seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi
syarat kesehatan.
4 Aspek psikososial keluarga
Di dalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat
dan mendukung kesembuhan pasien. Di antara faktor-faktor yang
dapat menghambat kesembuhan pasien yaitu, kurangnya pengetahuan

43
keluarga tentang penyakit yang diderita pasien, serta kurangnya
kesadaran keluarga untuk hidup sehat. Sedangkan faktor yang dapat
mendukung kesembuhan pasien yaitu, adanya dukungan dan motivasi
dari anggota keluarga baik secara moral dan materi untuk Tn. N dan
Tn. S.
5 Aspek fungsional

Secara aspek fungsional, pasien tidak ada kesulitan dan masih


merasa mampu dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas
di dalam maupun di luar rumah.
Diagnosa klinis : TB paru
Diagnosis psikososial : pasien merasa khawatir terhadap penyakitnya,
lingkungan rumah yang kurang terawat dan kebiasaan merokok.
Nilai Apgar Keluarga.
Apgar keluarga adalah suatu penentu sehat / tidaknya keluarga
dikembangkan oleh Rosen, Geymon, dan Leyton dengan menilai 5 fungsi
pokok keluarga / tingkat kesehatan keluarga yaitu :

TABEL NILAI APGAR


Respons
Hampir
KRITERIA PERTANYAAN Hampir
Kadang tidak
selalu
pernah
Apakah pasien puas dengan
keluarga karena masing-masing
Adaptasi anggota keluarga sudah
menjalankan kewajiban sesuai
dengan seharusnya
Apakah pasien puas dengan
keluarga karena dapat
Kemitraan membantu memberikan solusi
terhadap permasalahan yang
dihadapi
Apakah pasien puas dengan
kebebasan yang diberikan
Pertumbuhan
keluarga untuk mengembangkan
kemampuan yang pasien miliki
Apakah pasien puas dengan
Kasih Sayang kehangatan / kasih sayang yang
diberikan keluarga

44
Apakah pasien puas dengan
Kebersamaan waktu yang disediakan keluarga
untuk menjalin kebersamaan
TOTAL
Skoring : Hampir selalu=2 , kadang-kadang=1 , hampir tidak pernah=0
Total skor
8-10 = fungsi keluarga sehat
4-7 = fungsi keluarga kurang sehat
0-3 = fungsi keluarga sakit
Dari tabel APGAR keluarga diatas total nilai skoringnya adalah 8, ini menunjukan
fungsi keluarga sehat.

SCREEM Keluarga

FUNGSI PATOLOGIS KELUARGA DENGAN ALAT SCREEM


Fungsi patologis dari keluarga dinilai dengan menggunakan alat S.C.R.E.E.M
sebagai berikut.
SCREEM adalah alat yang digunakan untuk menilai sumber daya dalam
keluarga.

Sumber Patologis
Social Ikut berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungannya -
Menggunakan adat istiadat daerah asal dalam kehidupan sehari- -
Culture
hari
Pemahaman terhadap ajaran agama cukup, demikian juga -
Religious
ketaatannya dalam beribadah.
Economic Penghasilan keluarga relative cukup -
Tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga tentang kesehatan
Educational
cukup akan tetapi kesadaran akan kesehatan masih kurang +
Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga pergi ke
Medical Puskesmas -

Identifikasi Fungsi Keluarga


1. Fungsi Biologis
Pasien menderita TB. Saudara dan kemenakan pasien tidak
mempunyai faktor risiko untuk menderita TB.
2. Fungsi Afektif
- Hubungan antara pasien dengan saudara : baik
- Hubungan antara pasien dengan anak-anaknya : baik

45
- Hubungan antara pasien dengan cucu : baik

3. Fungsi Sosial dan Budaya


Kedudukan pasien di lingkungan tempat tinggalnya biasa saja, pasien
ramah dan selalu menyapa bila bertemu dengan tetangga, dan respon
tetanggapun sangat baik. Pasien tidak sungkan-sungkan untuk berbincang-
bincang dengan tetangga. Pasien tidak percaya terhadap mitos yang ada di
masyarakat.
4. Fungsi Pendidikan
- Tn. N Pendidikan terakhir pasien adalah SMA
- Tn. S Pendidikan terakhir pasien adalah SMA
5. Fungsi Ekonomi
- Tn. N penghasilan yang didapatkan oleh keluarga berasal dari
penghasilan suami (pasien sendiri) sebagai kepala keluarga.
Penghasilan mereka cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari.
- Tn. S penghasilan yang didapatkan oleh keluarga berasal dari
penghasilan suami (pasien sendiri) sebagai kepala keluarga.
Penghasilan mereka cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari.

6. Fungsi Religius
Fungsi religius pasien dan keluarganya cukup baik. Pasien dan
keluarganya sering ke masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah.

Identifikasi PSP (Pengetahuan, Sikap dan Perilaku)


ii. PSP keluarga tentang kesehatan dasar
o Pencegahan penyakit
Pasien dan keluarga pasien rajin membersihkan rumah dan kadang-
kadang menguras bak mandi.
o Gizi keluarga
Untuk pola konsumsi gizi pasien, frekuensi makan rata-rata 3
kalisehari dengan menu nasi, lauk pauk (telur, daging, tempe, tahu),
sayuran, buah-buahan.Status gizi pasien obesitas.
o Higiene dan sanitasi lingkungan
- Halaman rumah dan jalan cukup bersih karena sering disapu
- Lingkungan dalam rumah cukup bersih
- Kondisi pencahayaan di rumah cukup.
iii. PSP keluarga tentang kesehatan lain
o Penggunaan pelayanan kesehatan
Bila sakit, pasien segera dibawa ke puskesmas.

46
o Perencanaan dan pemanfaatan fasilitas pembiayaan kesehatan
Pasien menggunakan BPJS
o Hal-hal lain yang berhubungan dengan keadaan kesehatan keluarga
dan anggota keluarga
Pasien terdiagnosis TB pertama kali saat kontrol ke dokter.

Pedoman Umum Gizi Seimbang


NO PUGS Ya Tidak
1 Keluarga makan beraneka ragam makanan Ya
2 Keluarga makan makanan untuk memenuhi
Ya
kecukupan energi
3 Keluarga makan makanan karbohidrat
Ya
setengah dari kebutuhan energi sehari
4 Keluarga membatasi konsumsi lemak dam
minyak seperempat dari kebutuhan energi Tidak
sehari
5 Keluarga menggunakan garam beryodium Ya
6 Keluarga makan makanan sumber zat besi Ya
7 Ibu memberikan ASI sampai bayi umur 6
Tidak
bulan
8 Keluarga membiasakan makan pagi Tidak
9 Keluarga minum air bersih dan aman yang
Ya
cukup
10 Keluarga melakukan aktivitas fisik dan
Tidak
olahraga secara teratur
11 Keluarga menghindari minum minuman
Ya
beralkohol
12 Keluarga makan makanan yang aman bagi
Tidak
kesehatan
13 Keluarga terbiasa membaca label pada
Tidak
makanan yang dikemas
Kesimpulan
1. Nilai PUGS keluarga <60%
2. Keluarga tidak menerapkan pedoman umum gizi seimbang

4.2.3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara holistik pada pasien ini meliputi
pencegahan primer, pencegahan sekunder ( terapi untuk pasien dan
keluarga pasien ).

47
A. Pencegahan primer diperlukan agar orang sehat tidak terinfeksi
penyakit TB melalui 2 cara yaitu :
1 Tindakan dari orang yang sehat dengan menghindari kontak
bicara dari jarak dekat dengan penderita TB, ada baiknya
penderita sehat memakai masker
Ada baiknya orang sehat di sekitar pasien menjaga daya tahan
tubuh dengan pola hidup sehat serta diberi penyuluhan oleh
tenaga kesehatan.
2 Pada penderita TB diusahakan untuk tidak membuang ludah
atau batuk di sembarang tempat.

B. Pencegahan sekunder
1 Terapi farmakologis :
Pada pasien ini diketahui menderita TB paru kasus baru
sehingga terapi yang diberikan adalah FDC (Fix-Dose
Combination) pada fase intensif berupa INH 75 mg, Rifampicin
150 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg. Tablet ini
digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam fase intensif.
Karena pemberian OAT kategori I diberikan berdasarkan berat
badan maka pasien diberikan 3 tablet 4FDC selama 56 hari.
2 Terapi non-farmakologis :
Penderita TB diharapkan untuk menjaga asupan makanan
yang bergizi dan sehat serta pola hidup teratur serta menghindari
stress yang berlebihan.

Terapi untuk keluarga


Terapi untuk keluarga hanya berupa terapi non - farmakologi
terutama yang berkaitan dengan emosi, psikis dan proses pengobatan
pasien. Dimana anggota keluarga diberikan pemahaman agar bisa
memberikan dukungan dan motivasi kepada pasien untuk berobat
secara teratur dan membantu memantau terapi pasien serta
menciptakan suasana yang sehat terhadap emosi dan psikis pasien.
Dikarenakan penyakit dari pasien menular sehingga dibutuhkan
perlindungan terhadap keluarga pasien berupa pemakaian masker serta
menjaga pola hidup sehat agar tidak mudah terinfeksi.

48
49
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus TB yang dilakukan di layanan primer
(PUSKESMAS) mengenai penatalaksanaan penderita TB dengan
pendekatan diagnose holistik, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosa menderita TB paru.
Diagnosis Holistik (multiaksial) :
a. Aspek personal : Pasien berharap dengan datang berobat ke
Puskesmas maka keluhan yang dideritanya akan sembuh.
b. Aspek klinik : TB paru
c. Aspek risiko internal :
Aspek risiko internal yang didapatkan pada pasien yaitu jenis
kelamin, usia, kebiasaan pasien, dan keadaan sosial.
d. Aspek psikososial keluarga :
Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit yang diderita
pasien, kurangnya kesadaran keluarga untuk hidup sehat, dan
keadaan rumah pasien yang kurang sehat.
e. Aspek Fungsional :
Derajat 1 ;Pasien tidak ada kesulitan dan masih merasa mampu
dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam
maupun di luar rumah.
Diagnosa klinis : TB paru
Diagnosis psikososial : pasien merasa khawatir terhadap
penyakitnya, lingkungan rumah yang kurang terawat dan kebiasaan
merokok.
2 Permasalahan yang didapat ditinjau dari beberapa fungsi diantaranya :
Lingkungan tempat tinggal Tn. N merupakan lingkungan yang padat
penduduk. Dan lingkungan tempat tinggal Tn. S merupakan
lingkungan yang kurang padat penduduk
3 Faktor risiko terjadinya tuberkulosis paru pada pasien termasuk faktor
sosial, usia, dan jenis kelamin.
4 Penatalaksanaan secara holistik pada pasien ini meliputi pencegahan
primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer dari orang yang
sehat dengan menghindari kontak jarak dekat dengan penderita TB,
menjaga daya tahan tubuh dengan pola hidup sehat serta diberi
penyuluhan oleh tenaga kesehatan. Pada penderita TB diusahakan
untuk tidak membuang ludah atau batuk di sembarang tempat.

50
Pencegahan sekunder ada terapi farmakologis dan non
farmakologi. Untuk terapi farmakologis diberikan FDC untuk kasus
baru.Terapi non-farmakologis berupa menjaga asupan makanan yang
bergizi serta pola hidup sehat.
Terapi untuk keluarga hanya berupa terapi non - farmakologi
terutama yang berkaitan dengan emosi, psikis dan proses pengobatan
pasien.Dikarenakan penyakit dari pasien menular sehingga dibutuhkan
perlindungan terhadap keluarga pasien berupa pemakaian masker serta
menjaga pola hidup sehat agar tidak mudah terinfeksi.
5.2. Saran
1 Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien dan keluarga pasien adalah
sebagai berikut :
a. Aspek personal :
Menganjurkan kepada pasien untuk rajin kontrol dan mengambil obat
ke Puskesmas apabila obat yang tersedia sudah mau habis.
Menjelaskan kepada pasien agar selalu rutin meminum obatnya dan
jangan sampai terjadi putus obat. Hasil yang diharapkan adalah pasien
rutin untuk kontrol ke Puskesmas dan minum obat secara teratur.
b. Aspek klinik :
Memberikan OAT kategori I kepada pasien. Hasil yang diharapkan
adalah menyembuhkan penyakit yang diderita pasien.
c. Aspek risiko internal :
Menganjurkan kepada pasien untuk rutin ke Puskesmas dan berusaha
untuk dapat berhenti merokok dan mengedukasi pasien tentang bahaya
merokok.
d. Aspek psikososial keluarga :
Menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang penyakit yang
diderita pasien, menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang
perilaku hidup sehat. Hasil yang diharapkan adalah pasien dan
keluarganya dapat memahami dengan baik tentang penyakit yang
sedang diderita pasien sehingga dapat mengupayakan pencegahan
untuk penyakit tersebut.Disarankan juga untuk memperbaiki ventilasi
rumah agar debu yang dihasilkan dari renovasi rumah dan bengkel las
tidak terlalu mengganggu sirkulasi udara. Penderita juga di anjurkan
untuk tidak terlalu sering terpapar debu dengan rajin memakai masker.
e. Aspek Fungsional :
Menganjurkan pasien untuk menjaga kondisi fisiknya dengan aktif
melakukan olah raga ringan seperti jalan santai selama 30 menit. Hasil
yang diharapkan adalah kondisi pasien lebih sehat dan prima dan dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.

51
2 Diperlukan kerja sama antara anggota keluarga dengan petugas
pelayanan kesehatan dalam menyelesaikan semua permasalahan yang
ditemukan. Pasien dan keluarganya agar lebih terbuka kepada pemberi
pelayanan kesehatan jika ingin mengetahui tentang penyakitnya.
3 Perlunya pelayanan kesehatan yang lebih menyeluruh, komprehensif,
terpadu dan kesinambungan. Diperlukan suatu rekam medis yang
benar dan teratur, serta terkomputerisasi untuk menunjang pelayanan.
Perlunya mengedukasi pasien TB paru untuk meminum obat teratur
hingga pengobatan tuntas dan kontrol secara rutin tiap bulan.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th. Jakarta : PAPDI


Publisher, 2007. pp. 988-995. Vol. 2.

2. Adhitama, Chandra Yoga.Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberculosis. 2nd. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006.

3. M. Yusuf, Wibisono.Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : FK-


UNAIR, 2011.

4. Danusantoso, Halim.Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. [ed.] Rachma


Lanny. Jakarta : Hipokrates, 2000.

5. Anonim.Keputusan Menteri Kesehatan No. 364 Tahun 2009 ttg Pedoman


penanggulangan TB. Jakarta : Departemen Kesehatan, 2009.

6. Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru.Pedoman Panatalaksanaan TB.


Jakarta : PDPI, 2009.

7. Alsagaff, Hood and Mukty, Abdul, [ed.].Dasar-dasar Ilmu Penyakit


Paru. Surabaya : Airlangga University Press, 2010. Vol. 7th.

8. Ward, Jeremy P.T,, Ward, Jane and Leach, Richard.At A Glance


Sistem Respirasi. Jakarta : Erlangga Medical Series, 2008.

9. Guyton, Arthur C.Fisiologi Kedokteran. 11st. Jakarta : EGC, 2008.

10. Budiman, Chandra.Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta


: EGC, 2010.

11. Sherwood, Laura.Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC, 2015

53

Anda mungkin juga menyukai