Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SHOCK ANAFILAKSIS AKIBAT ANESTESI LOKAL MENGGUNAKAN


LIDOCAINE

Kelompok 2

Anggota:

1. Intan Nur Fajri (09513)


2. Dara Pangestika Dwi A (09514)
3. Delsa Rosana Bella (09515)
4. Dimas Putranugraha (09516)
5. Irine Paskhawati W (09517)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas dan menyusun makalah ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan
kepada nabi besar Muhammad SAW. Allahumma Shalli alaa Muhammad Waalaa Alii Muhammad.

Makalah yang berjudul Shock Anafilaksis Akibat Anestesi Lokal Menggunakan


Lidocaine, dibuat sebagai tugas kelompok yang merupakan salah satu syarat pemenuhan nilai mata
kuliah Asuhan Keperawatan Gawat Darurat I di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.
Dengan segenap usaha maksimal yang penulis curahkan, semoga dapat memberi berkah dan manfaat,
bukan hanya kepada diri pribadi penulis tetapi juga dapat berguna bagi siapa saja yang membacanya.

Masih banyak kekurangan dalam penyusunan, dan penyusun memohon maaf atas segala
kekhilafan dan keterbatasan yang ada selama penyusunan makalah ini. Kritik dan saran senantiasa
penulis harapkan dari semua pihak demi kesempurnaan pengetahuan penulis selanjutnya. Semoga
Allah SWT membalas segala budi baik yang telah kalian berikan dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Yogyakarta, Oktober 2015

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Masalah 2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Penggunaan Lidocaine sebagai Obat Anestesi Lokal 3

2.2 Reaksi Anafilaksis pada Penggunaan Lidocaine sebagai Obat Anestesi Lokal 3

2.3 Contoh Kasus dan Etika yang Dilanggar 4

2.3 Penatalaksanaan Pasien dengan Shock Anafilaksis akibat Penggunaan Lidocaine 5

2.4 Pencegahan Terjadinya Shock Anafilaksis pada Penggunaan Lidocaine 6

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan 7

DAFTAR PUSTAKA 8

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat adalah senyawa atau produk yang digunakan untuk diagnostik, terapi, maupun
profilaksis dengan tujuan mendatangkan keuntungan bagi si pemakai obat. Konsekuensi
penggunaan obat salah satunya munculnya reaksi simpang obat (adverse drug reaction)
yang dapat menambah morbiditas bahkan mortalitas. Reaksi simpang obat didefinisikan
oleh WHO sebagai respons yang tidak diharapkan dan sangat membahayakan yang terjadi
pada dosis terapi pada penggunaan obat sebagai profilaksis, diagnostik maupun terapi
penyakit. (Putra, I.B., 2008)
Reaksi alergi obat (reaksi hipersensitivitas oleh karena penggunaan obat) adalah salah
satu bentuk reaksi simpang obat yang dihasilkan dari respon imunologik terhadap obat
atau metabolitnya dan merupakan masalah utama yang dapat timbul akibat pemberian
obat. Reaksi alergi obat terjadi pada 6-10% kasus reaksi simpang obat. Reaksi yang
terjadi dapat ringan sampai berat hingga mengancam jiwa. Reaksi alergi obat dapat terjadi
selama atau setelah pemakaian obat dan yang sering muncul adalah reaksi
hipersensitivitas tipe I (reaksi anafilaksis) dan IV (reaksi tipe lambat). Jenis obat
penyebab alergi sangat bervariasi, diantara bebebrapa obat yang paling sering
menimbulkan reaksi alergi alergi salah satunya lidocaine. (Putra, I.B., 2008)
Lidocaine adalah obat anestesi lokal yang diberikan secara lokal (topikal maupun
parenteral) dalam kadar cukup dapat menghambat hantaran impuls pada saraf yang
dikenai. Obat anestesi dari golongan ester dapat menimbulkan efek samping berupa
dermatitis alergi, serangan asma atau reaksi anafilkatik yang fatal. Reaaksi alergi ini di
duga terjadi karena hasil hidrolisis golongan ester menjadi Para Amino Benzoic Acid
(PABA) yang dapat menimbulkan reaksi hipersensittivitas. Sedangkan golongan amide
jarang menimbulkan reaksi hipersensivitas, namun bahan preservative yang terkandung di
dalamnya yaitu methylparaben daan propylparaben yang mempunyai struktur kimia
menyerupai PABA yang memungkinkan menimbulkan reaksi hipersensitivitas. (Sunaryo,
2004)
.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang hendak dibahas dalam penyusunan makalah ini adalah
sebagai berikut:

1
1. Bagaimana penggunaan lidocaine sebagai obat anestesi lokal?
2. Bagaimana reaksi anafilaksis pada penggunaan lidocaine sebagai obat anestesi
lokal?
3. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan shock anafilaksis akibat
penggunaan lidocaine?
4. Bagaimana pencegahan terjadinya shock anafilaksis pada penggunaan
lidocaine?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui penggunaan lidocaine sebagai obat anestesi lokal.
2. Untuk mengetahui reaksi anafilaksis pada penggunaan lidocaine sebagai obat
anestesi lokal.
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan shock anafilaksis akibat
penggunaan lidocaine.
4. Untuk mengetahui pencegahan terjadinya shock anafilaksis pada penggunaan
lidocaine.

BAB II

2
PEMBAHASAN

2.1 Penggunaan Lidocaine sebagai Obat Anestesi Lokal


Lidocaine HCL adalah anestesi lokal golongan amino amide dengan rumus kimia
C14H22N2O.HCL dan nama kimia 2-(Diethylamino)-2 -6-acetoxylidide
monohydrochloride dengan berat molekul 234,34 mol/g. Lidocaine adalah anestesi lokal
kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian parenteral (injeksi) atau topikal. Cara
kerja lidocaine sebagai obat anestesi lokal ialah bergabung dengan reseptor spesifik yang
terdapat pada kanal natrium menyebabkan terjadinya blokade pada kanal tersebut dan
mengakibatkan hambatan gerakan ion melalui membrane sehingga konduksi impuls saraf
terhambat. Lidocaine diabsorbsi secara komplit segera setelah diberikan secara parenteral,
dimetabolisme dengan cepat di hati, mengalami dealkilasi oleh enzim pseudokolin
esterase membentuk monoethyleglicyn xylidide dan glycinexylidide yang kemudian dapat
dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoethyle glycine dan xylidide. Kurang lebih 90%
dari dosis lidocaine yang disuntikkan ke dalam tubuh di eksresikan melalui urine dalam
berbagai bentuk yang tidak berubah. (Sunaryo, 2004)
Lidocaine digunakan secara parenteral untuk anestesi infiltrasi, blokade saraf, anestesi
epidural ataupun anestesi kaudal dan secara setempat untuk anestesi selaput lendir. Untuk
penggunaan secara topikal pada tindakan-tindakan kateterisasi uretra, sistoskopi dan
pemasangan pipa endotrakeal sebelum bronskopi, mengurangi nyeri yang menyerupai
wasir, prutirus di daerah anogenital. Indikasi lain adalah digunakan untuk menurunkan
iritabilitas jantung sehingga digunakan obat antiaritmia. (Sunaryo, 2004)

2.2 Reaksi Anafilaksis pada Penggunaan Lidocaine sebagai Obat Anestesi Lokal

Anafilaksis adalah suatu respon klinis hipersensitivitas yang akut dan berat yang
dapat menerang berbagai macam organ. Reaksi hipersensitivitas merupakan suatu reaksi
hipersensitivitas tipe cepat antara antigen dan antibodi spesifik (IgE) yang terikat pada sel
mast. Sel mast dan basofil akan mengeluarkan mediator mempunyai efel farmakologik
terhadap berbagai macam organ. Sistem organ yang terlibat selain sistem kardiovaskuler
adalah kulit, mukosa, sistem pernafasan dan sistem pencernan. (Kapitanyan, R.,dkk.
2010)

Pada umumnya penggunaan lidocaine sebagai anestesi lokal jarang menimbulkan


alergi. Namun, bahan preservative yang terkandung didalamnya yaitu methyl paraben dan

3
propyl paraben yang mempunyai struktur kimia mirip dengan PABA, sehingga dapat
menimbulkan reaksi alergi. Sediaan lidocaine baik dalam bentuk larutan ataupun jelly
biasanya mengandung bahan pengawet methyl paraben 0.061% dan propyl paraben
0,027%. (Kapitanyan, R.,dkk. 2010)

Mekanisme terjadinya reaksi anafilaksis pada penggunaan lidocaine dimulai dari


metyl paraben dan propyl paraben dianggap sebagai antigen, sehingga individu yang
rentan dan terpajan dengan antigen tersebut akan mengalami reaksi anafilaksis. Antigen
yang masuk ke dalam tubuh pada penggunaan lidocaine sebagai anestesi lokal, mula-mula
berikatan dengan zat makromolekul dalam jaringan membentuk hapten-carrier complex
secara ikatan kovalen. Hapten-carrier complex dari lidocaine imunogenik merangsang sel
B dengan bantuan sel Th2 untuk membentuk IgE. IgE diikat oleh sel mast dan basofil
melalui reseptor Fc. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama maka
antigen akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofl. Akibat
ikatan antigen-IgE, sel mast/basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator
(histamin, leukotrin dan prostaglandin). Respon fisiologis terhadap mediator tersebut
spase otot polos pada traktus respiratorius dan gastrointestinal, vasodilatasi, peningkatan
permebilitas vaskular. Hal tersebut menimbulkan gejala klasik anifilaksis seperti flushing
(kemerahan), urtikaria, pruritus, spase otot bronkus dan kram pada abdomen dengan
nausea, vomitus dan diare. (Kapitanyan, R.,dkk. 2010)

2.3 Contoh Kasus dan Etika yang Dilanggar


Kasus
Seorang laki-laki berusia 40 tahun mengeluhkan sakit gigi pada gigi premolar
pertama atas. Dokter gigi dan perawat gigi melakukan pemeriksaan fisik (tidak
termasuk penyakit jantung, pernafasan atau hati), dan memutuskan untuk melakukan
ekstraksi pada gigi tersebut. Dokter gigi menyuntikkan 2% lidocaine (injeksi 3 ml)
tanpa vasokonstriktor, yang menganastesi gigi yang akan di ekstraksi dengan teknik
infiltrasi. Setiap ml obat tersebut mengandung lignokain hidroklorida 21,3 mg,
natrium klorida 6 mg dan metil paraben sebagai pengawet 1 mg. Setelah injeksi
pasien merasa pusing, flushing (kemerahan), urtikaria, otot berdenyut dan kram di
kaki, tekanan darahnya turun, dan sakit kepala. Setelah itu, pasien di tanggani
dengan menyuntikkan adrenalin (1mg/ml inj). Berdasarkan tanda dan gejala,
diagnosa sementara pasien mengalami shock anafilaksis.
Etika yang Dilanggar

4
Dari kasus diatas, etika yang dilanggar oleh dokter gigi/perawat gigi adalah
non-maleficence, karena pasien mengalami shock anafilaksis setelah diinjeksi
anestesi lokal lidocaine. Hal tersebut dikarenakan dokter gigi/perawat gigi tidak
melakukan pemeriksaan / anamesa secara lengkap sebelum tindakan perawatan
dilakukan, seperti menanyakan kepada pasien tentang riwayat alegi obat/ antibiotik
sebelumnya sehingga dapat membatasi kemungkinan pasien bereaksi terhadap
antibiotik yang digunakan dalam anastesi.

2.4 Penatalaksanaan Pasien dengan Shock Anafilaksis akibat Penggunaan Lidocaine


Saat penatalaksanaan pasien dengan lidocaine atau allergen lain alangkah baiknya jika
dilakukan tindakan umum untuk memulihkan perfusi jaringan dan oksigenasi sel. Dalam
melakukan perfusi jaringan, dibutuhkan tekanan darah minimal 70-80 mmHg agar
kebutuhan metabolit dan zat asam jaringan dapat terpenuhi. Beberapa tindakan yang
dilakukan sebagai berikut :
a. Penderita langsung dibaringkan dengan posisi Trandelenberg (posisi kaki lebih tinggi
dari kepala) dengan alas yang keras.
b. Pemberian oksigen melalui hidung atau mulut sebanyak 5-10 liter per menit. Jika,
terjadi obstruksi dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi endotracheal.
c. Pemasangan catheter intra vena (infuse) dengan cairan elektrolit seimbang (ringer
laktat atau NaCl 0,9%) ditambahb dextrose 5% sebagai tambahan nutrisi.
d. Medikamentosa :
Adrenalin 1:1000, sebanyak 0,3-0,5 ml secara intra muscular pada lengan atas
atau paha dan dapat diulang 2-3 kali dengan selang waktu 5-10 menit untuk
keadaan parah sampai tekanan darah systole mencapai 100 mmHg
Diphenhidrane diberikan secara perlahan secara intravena atau intramuscular.
Pemberian dengan dosis 1-2 mg/kgBB sampai 50 mg dosis tunggal. Dapat
diberikan tiap 6 jam selama 48 jam.
Aminophilin dapat diberikan saat terjadi spasme bronkus dengan dosis 4-6 mg/kg
BB dilarutkan dengan 10 ml garam faali secara intravena.
Korticosteroid atau hidrocortison engan dosis 100-200 mg untuk mencegah
relaps.
e. Monitoring : dengan observasi ketat selama 24 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Pemeriksaan klinis yang dilakukan adalah : keadaan umum pasien, kesadaran, vital
sign, produksi urine dan keluhan lain (Judarwanto, 2011)

2.5 Pencegahan Terjadinya Shock Anafilaksis pada Penggunaan Lidocaine


Ada beberapa yang dapat dilakukan adalah :
1. Pemberian obat harus benar benar atas indikasi yang kuat dan tepat
2. Malakukan anamnesa penyakit alergi dengan cermat

5
3. Individu dengan riwayat asma dan alergi mempunyai resiko lebih besar terkena shock
anafilaksis
4. Tersedia obat penawar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaksis dan adanya alat bantu resusitasi saat keadaan darurat (Judarwanto, 2011).

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Anestesi lokal lidocaine memiliki mekanisme kerja yang menghambat transmisi
implus saraf (blokade konduksi). Pada umumnya penggunaan lidocaine sebagai anestesi
lokal jarang menimbulkan alergi. Namun, bahan preservative yang terkandung
didalamnya yaitu methyl paraben dan propyl paraben yang mempunyai struktur kimia
mirip dengan PABA sehingga dapat menimbulkan reaksi alergi. Penatalaksanaan pasien
dengan shock anafilaksis yang terpenting adalah tidakan segera untuk membantu fungsi
vital, melawan pengaruh mediator dan mencegah lepasnya mediator lebih lanjut serta
melakukan monitoring.

6
DAFTAR PUSTAKA

Judarwanto, W., 2011. Anafilaksis. Childrens Allergy Clinic: Jakarta

Kapitanyan, R.,dkk. 2010. Toxicity, Local Anesthetics. Diakses : 25 Oktober 2015 dari
http://emedicine.medscape.com/article/1844551-overview

Keshri, Umashanker Pd. Khan, Rashid Haider. 2014. Anaphylactic Reaction to Local
Administration of Lidocaine : A case Report Vol 3 Issue 12. World Journal Of
Pharmacy And Pharmaceutical Sciences. From :
file:///C:/Users/empirol/Downloads /article_wjpps_1417840974.pdf (diakses Jumat
23 Oktober 2015 pukul 19. 32 WIB)

Putra, I.B., 2008. Erupsi Obat Alergik. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, RSUP H. Adam Malik : Medan

Sunaryo, 2004. Anestetik Lokal. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Gaya Baru : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai