Terapi Cairan
Terapi Cairan
Oleh :
Pembimbing :
JAKARTA
2017
TINJAUAN PUSTAKA
Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk multiseluler yang memiliki
fungsi fisiologis tertentu.
Air adalah pelarut (solven) terpenting dalam komposisi cairan makhluk hidup. Persentase air
tubuh total (Total Body Water) terhadap berat badan berubah sesuai umur, menurun cepat
pada awal kehidupan. Pada saat lahir, TBW 78% berat badan. Pada beberapa bulan pertama
kehidupan, TBW turun cepat mendekati kadar dewasa 55-60 % berat badan pada saat usia 1
tahun. Pada masa pubertas, terjadi perubahan TBW selanjutnya. Karena lemak mempunyai
kadar air yang lebih rendah, persentase TBW terhadap berat badan lebih rendah pada wanita
dewasa yang mempunyai lebih banyak lemak tubuh (55%) daripada laki-laki, yang
mempunyai sedikit lemak. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen
intraselular dan kompartemen ekstraselular.
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.
Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik. Elektrolit
dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan anion
dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).
Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation utama
dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel
tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di dalam
mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter. Kadar natrium
dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi
natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter.
Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl). Natrium dapat bergerak cepat antara
ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak
mengeluarkan natrium (muntah,diare) sedangkan pemasukkan terbatas maka akan terjadi
keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma
akan diganti dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila kehilangan cairan terus
berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat
dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.
Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan penting di
dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar
53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah
adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel. Kadar kalium plasma 3,5-5,0
mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan kalium sangat berhubungan
dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72
mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.
Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan lewat
faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake, besarnya
tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar
paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan didalam gigi
dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.
Magnesium
Anion: Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-),
sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-).
Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil akhir daripada
metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali bikarbonat yang akan
dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat penting peranannya
dalam keseimbangan asam basa.
Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat lainya
termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.
1. Perubahan volume
a. Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling umum.
Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot
nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan pada
cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar.
Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada
susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi
sampai defisi volume cairan ekstraselular yang berat terjadi.
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium menjadi
isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150
mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan
dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.
Dehidrasi isotonis (isonatremik): terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan
konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama
dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan
natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar terjadi
kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium
serum rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular,
sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.
b. Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic (pemberian
cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian
cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat
insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif. Kelebihan
cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl tetap atau
berkurang.
2. Perubahan konsentrasi
Hiponatremia
Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L, sudah dapat dibilang
hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental,
letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan
timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH,
polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses,
diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan
(Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5
mg/kg.
Hipernatremia
Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia. Jika kadar natrium >
160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah.
Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes
insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan
ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x
0,6}: 140.
Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan
ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan
gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar,
ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa.
Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-
obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia ;>2 mEq/L)
atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk
hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).
Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang
membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan
gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa
intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10
menit, atau diuretik, hemodialisis.
A. Faktor-faktor preoperatif
1. Kondisi yang telah ada. Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat
diperburuk oleh stres akibat operasi.
3. Pemberian obat. Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi
air dan elektrolit
4. Preparasi bedah. Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan
elekrolit dari traktus gastrointestinal.
6. Restriksi cairan preoperative. Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang
sehat kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien
menderita demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya Harus dikoreksi sebelum operasi untuk
meminimalkan efek dari anestesi.
B. Faktor-faktor intraoperatif
1. Induksi anestesi. Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia
preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.
C. Faktor-faktor postoperatif
Terapi Cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas
fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara
intravena. Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan
sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan
yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh atau
ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada
keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian
infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg
selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Orang dewasa
rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Natrium 1-2
mmol/kgBB/hari dan kalium 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti
cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit)
dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses.
Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat atau
infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari
sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti sudah
dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang
berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke
luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi.
Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan
sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup
diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada
penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya
diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan
karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan
(hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti
dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk
penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari
pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium
dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress
pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air
dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium.
Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian
karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat
menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr
%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan
garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
Sekresi dari hormone ADH yang tidak sesuai (Syndrome Of Inapropriate ADH)
Penyebab SIADH pada intrakranial dapat berupa infeksi, stroke, tumor, trauma (terutama
kasus SAH). Sedangkan penyebab dari ekstrakranial dapat berpa :
d. HIV/AIDS
e. Idiopatik
SIADH
Keadaan ini terjadi akibat adanya retensi air yang terinduksi ADH sehingga akan
menyebabkan iponatremia akibat terjadinya hemodilusi. Lalu akan terjadi ekspansi volume
dan menghasilkan natriuresis sekunder. Terjadi pelepasan air, natrium, dan kalium. Pada
kondisi ini menyebabkan hiponatremia dengan kondisi yang euvolemia, osmolaritas serum
menurun, dan osmolaritas urin meningkat.
Pada kasus ringan retensi cairan dapat dikurangi dengan membatasi masukan cairan.
Pedoman umum penanganan SIADH adalah bahwa sampai konsenntrasi natrium serum dapat
dinormalkan dan gejala-gejala dapat diatasi. Pada kasus yang berat, pemberian cairan
hipertonik mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin.
Hiponatremi karena gangguan fungsi tubulus renal untuk menahan garam (natrium). Salt
wasting menyebabkan kehilangan volume cairan. Hal ini terjadi karena adanya gangguan
simpatis sehingga menyebabkan kegagalan pelepasan aldosteron dan terjadi resorpsi
natrium. Menurunnya resorbsi Natrium, menghambat pelepasan aldosteron, menurunkan
outflow otonom di level brainstem. Kondisi ini dapat terjadi pada kasus SAH, tumor
intracranial, infeksi intracranial, pasca tindakan Bedah Saraf.
Prinsip terapi dari keadaan ini adalah koreksi volume intravascular dan penanganan
hiponatremia. Terapi cairan pada keadaan ini biasanya menggunakan cairan hipertonis karena
banyaknya natrium yang keluar dari urin.
Diabetes insipidus
Merupakan penyebab tersering hipernatremi pada gangguan system saraf pusat. Terjadi
karena defisiensi dari ADH. Diabetes insipidus sentral terjadi akibat disfungsi aksis
hipotalamushipofisis. Sementara diabetes insipidus nefrogenik disebabkan oleh hilangnya
sensitivitas ginjal terhadap ADH. Kondisi ini umumnya euvolemik sampai hipovolemik.
Kelainan ini dapat terjadi pada keadaan pasca operasi bedah saraf, neoplasma
(kraniofaringioma, limfoma, meningioma), aneurisma otak, kondisi syok, pasca tindakan
CABG, dan pada henti nafas dan henti jantung. Pada penyakit infeksi sepeti meningitis. Pada
pasien dengan penyakit autoimun.
Prinsip terapi pada keadaan ini adalah mengganti cairan yang keluar dari tubuh. Pada pasien
yang dapat minum dapat menggantikan kehilangan urinnya. Pada pasien yang tidak dapat
minum digunakan cairan hipo-osmolar untuk mengganti kekurangan cairan. Desmopresin
merupakan obbat pilihan yang digunakan pada keadaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
2. Hoorn, E.J. and Zietse, R. (2009) Water balance disorders after neurosurgery: The
triphasic response revisited, Clinical Kidney Journal, 3(1), pp. 4244. doi:
10.1093/ndtplus/sfp117.
3. Nemergut EC, Zuo Z, Jane JA, Jr, Laws ER., Jr Predictors of diabetes insipidus after
transsphenoidal surgery: a review of 881 patients. J Neurosurg. 2005 Sep;103(3):448
454