Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi
sistem urat saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein
yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya
punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman
klostridium tetani, yang bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti
kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak paroksimal dan diikuti
kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masester dan otot
rangka.
KLASIFIKASI TETANUS
1. Tetanus local : biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan
spasme pada bagian paroksimal luar.
2. Tetanus general : pada menifestasi awal biasanya timbul mendadak dengan kaku
kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala. Dalam waktu singkat
kontraksi otot somatic meluas. Timbul aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian
bawah. Pada mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan
terpisah oleh periode relaksasi.
3. Tetanus segal : varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi
saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.
ETIOLOGI
Klostrisium tetani adalah kuman yang mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik
(tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat.
Tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. Selain di
luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah. Juga terdapat ditempat yang kotor, besi berkarat
sampai pada tusuk sate bekas. Jika kondisi basil baik (di dalam tubuh manusia) akan
mengeluarkan toksin. Toksin ini akan menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan
merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot.
Faktor predisposisi
3. Belum terimunisasi
Patofisiologi
Clostridium tetani mengeluarkan toksin, toksin diabsorpsi pada ujung saraf motorik dan melalui
sumbuk silindrik ke SSP
3. Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan Penurunan tingkat
(B5) kesadaran, penurunan
perfusi jaringan otak
5. Risiko tinggi
trauma / cedera
(B6)
4. Risiko 9. Koping tidak Koma Penurunan tingkat
tinggi kejang efektif kesadaran, penurunan
berulang (B2) perfusi jaringan otak
10. Kecemasan
Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus
A. Pengkajian
- Anamnesis
Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat
kesadaran.
Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian pada klien anak perlu diperhatikan dampak hospitalisasi pada anak
dan family center. Anak dengan tetanus sangat rentan terhadap tindakan invasive yang
sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini memberi dampak pada stress anak
dan menyebabkan anak kurang koperatif terhadap tindakan keperawatan dan medis.
Pengkajian psikososial yang terbaik dilaksanakan saat observasi anak-anak bermain
atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak mampu untuk
mengekpresikan permrasaan mereka dan cenderung untuk memperlihatkan masalah
mereka melalui tingkah laku.
- Pemeriksaan fisik
Pada klien tetanus biasannya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari
normal 38-40C. keadaan ini biasannya dihubungkan dengan proses inflamasi dan
toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengaturan suhu tubuh. Penurunan
denyut nadi terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan otak. Apabila disertai
peningkatan frekuensi pernapasan sering berhubungan dengan peningkatan laju
metabolism umum. Tekanan darah biasanya normal.
B1 (breating)
Inspeksi : apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien
tetanus yang disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas.
B2 (blood)
B3 (brain)
Pengkajian saraf cranial. Pemeriksaan saraf cranial meliputi pemeriksaan saraf cranial
I-XI.
Saraf I. biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan pada sistem penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman dalam kondisi normal.
Saraf III,IV, dan VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus
mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya. Respons
kejang umumnya akibat stimulus rangsan cahaya perlu diperhatikan perawat
guna memberikan intervensi untuk menurunkan stimulus cahaya tersebut.
Saraf V. reflex maseter meningkat. Mulut condong kedepan seperti mulut ikan
(ini adalah gejala khas dari tetatus)
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli peresepsi.
Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk, ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak).
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecap normal.
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
pengkajian pada anak sedikit berbeda dengan klien dewasa, hal ini disebabkan pengkajian
anamnesis lebih banyak pada orang tua dan pemeriksaan fisik berbeda karena belum
sempurnanya organ pertumbuhan terutama pada neonatus. Untuk memudahkan penilaian
klinis, gejala pada tetanus pada anak dibagi menjadi dua, meliputi: anak dan bayi.
Anak
Manifestasi klinis timbulnya sakit secara tiba-tiba dengan masa inkubasi 5-14 hari, dimulai
dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang leher. Setelah 48 jam
pemeriksaan fisik yang mungkin didapatkan adalah sebagai berikut :
Bayi
Terutama pada neonatus (sering disebut tetanus neonaturum). Tetanus neonaturum merupakan
penyebab kejang yang sering dijumpai pada berat bayi lahir rendah yang bukan karena
trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang
antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatanya yang tidak aseptik.
Kebanyakan tetanus neonaturum ini terdapat pada bayi baru lahir setelah mendapa banuan
persalinan dari dukun beranak yang belum pernah mendapat pelatihan persalinan dari
program Depkes.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi tidak mau menetek secara tiba-tiba meskipun
sebelumnya bisa. Suhu tubuh dapat naik sampai 39 C. mulut mencucu seperti mulut ikan
(gejala khas) kemudian timbul kejang disertai sianosis, kaku duduk, tubuh opistotonus.
Perjalanan penyakit lebih cepat tidak melalui 3 stadium seperti pada tetanus anak besar. Bayi
tidak mau menetek dan mulut mencucu (sebenarnya adalah karena trismus pada otot otot
mulut).
Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium : leukositosis ringan , peningkatan tekanan cairan otak, dan deteksi kuman
sulit.
1. Pencegahan
Bersihkan port dentre, dengan larutan H2O23%.
Anti tetanus serum (ATS) 1.500 U/IM.
Toksoid Tetanus (TT), dengan memerhatikan status imunisasi.
Antimikroba pada keadaan yang beresiko proliferasi kuman klostridium tetani,
seperti pada patah tulang terbuka, dan lainnya.
2. Pengobatan
Anti Tetanus Serum ( ATS).
i. Dewasa 50.000 U/hari, selama 2 hari berturut-turut, (hari I) diberikan
dalam infus glukosa 5 % 100 ml, (hari ke II) diberikan IM lakukan uji
kulit sebelum pemberian.
ii. Anak 20.000 U/hari,selama 2 hari. Pemberian secara drif infuse 40.000
U bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
iii. Bayi 10.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drif infuse 20.000
U bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
Fenobarbital: dosis awal 50 mg ( umur < 1 tahun):75 mg, (umur>1 tahun)
dilanjutkan 5 mg/kg BB/hari dibagi 6 dosis.
Diazepam dosis 4 mg/kg BB/hari dibagi dalam 6 dosis.
Largactil : dosis 4 mg/kg BB/hari.
Antimikroba .
Diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP) bila trismus diberi diet cair melalui
NGT.
Isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat
kejang, kolaborasi pemberian obat penenang.
4. Oksigen 2 liter/menit.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan akumulasi sekret di
dalam trakea, kemampuan batuk menurun.
2. Hipertermi yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di jaringan
otak.
3. Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang (terhadap
visual, suara, dan taktil).
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan asupan nutrisi
tidak adekuat.
5. Risiko trauma/cedera yang berhubungan dengan kejang umum.
6. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kejang umum.
7. Gangguan ADL yang berhubungan dengan adanya kejang umum dan kelemahan fisik.
8. Gangguan pemenuhan eliminasi urine yang berhubungan dengan spasme abdomen.
9. Koping individu yang berhubungan dengan tidak efektif prognosis penyakit yang
tidak jelas.
10. Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang
berulang.
C. Perencanaan/ Intervensi Keperawatan
Hipertermi yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di jaringan
otak.
Intervensi Rasional
Beri kompres dingin di kepala dan aksila. Memberikan respons dingin pada pusat
pengatur panas dan pada pembuluh darah
besar.
Kolaborasi pemberian terapi; ATS dan ATS dapat mengurangi dampak toksin
antimikroba. tetanus di jaringan otak dan antimikroba
dapat mengurangi inflamasi sekunder dari
toksin.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan risiko kejang berulang tidak terjadi.
Intervensi Rasional
Pertahankan bedrest total selama fase akut. Mengurangi risiko jatuh/terluka jika
vertigo, sinkop, dan ataksia terjadi.
Risiko cedera yang berhubungan dengan kejang, perubahan status mental, dan
penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan klien bebas dari cedera yang disebabkan
oleh kejang dan penurunan kesadaran.
Intervensi Rasional
Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut, Gambaran tribalitas sistem persarafan pusat
dan otot-otot muka lainnya. memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang aman seperti Melindungi klien bila kejang terjadi.
batasan ranjang, papan pengaman, dan alat
suction selalu berada dekat klien.
Pertahankan bedrest total selama fase akut. Mengurangi risiko jatuh/terluka jika
vertigo, sinkop, dan ataksia terjadi.
Intervensi Rasional
Berikan perubahan posisi yang teratur pada Perubahan posisi teratur dapat
klien. mendistribusikan berat badan secara
menyeluruh dan memfasilitasi peredaran
darah serta mencegah dekubitus.
Berikan perawatan mata, bersihkan mata, Melindungi mata dari kerusakan akibat
dan tutup dengan kapas yang basah terbukanya mata terus-menerus.
sesekali.
Kaji adanya nyeri, kemerahan, dan bengkak Indikasi adanya kerusakan kulit dan deteksi
pada area kulit. dini adanya dekubitus pada area lokal yang
tertekan.
Intervensi Rasional
Berikan privasi untuk klien dan orang Memberikan waktu untuk mengekspresikan
terdekat. perasaan, menghilangkan ansietas dan
perilaku adaptasi.
D. Implementasi Keperawatan
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi semua tindakan yang telah diberikan pada pasien. Jika dengan tindakan
yang diberikan pasien mengalami perubahan menjadi lebih baik, maka tindakan dapat
dihentikan. Namun, jika sebaliknya keadaan pasien menjadi lebih buruk, kemungkinan
besar tindakan harus mengalami perubahan atau perbaikan.