Anda di halaman 1dari 15

DEFINISI

Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi
sistem urat saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein
yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya
punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.

Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman
klostridium tetani, yang bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti
kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak paroksimal dan diikuti
kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masester dan otot
rangka.

KLASIFIKASI TETANUS

Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi 3 yaitu :

1. Tetanus local : biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan
spasme pada bagian paroksimal luar.
2. Tetanus general : pada menifestasi awal biasanya timbul mendadak dengan kaku
kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala. Dalam waktu singkat
kontraksi otot somatic meluas. Timbul aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian
bawah. Pada mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan
terpisah oleh periode relaksasi.
3. Tetanus segal : varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi
saraf III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.
ETIOLOGI

Klostrisium tetani adalah kuman yang mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik
(tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat.
Tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. Selain di
luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah. Juga terdapat ditempat yang kotor, besi berkarat
sampai pada tusuk sate bekas. Jika kondisi basil baik (di dalam tubuh manusia) akan
mengeluarkan toksin. Toksin ini akan menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan
merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot.

Faktor predisposisi

1. Umur tua atau anak-anak


2. Luka yang dalam dan kotor

3. Belum terimunisasi
Patofisiologi

Suasana yang memungkinkan organisme anaerob Clostridium tetani berpoliferasi disebabkan


keadaan antara lain: luka tusuk dalam dan kotor serta belum terimunisasi, luka karena lalu-lintas,
luka bakar, luka tembak, gigitan hewan / manusia, gigi berlubang, lesi pada mata, infeksi telinga,
tonsil, perawatan luka / tali pusat yang tidak baik.

Clostridium tetani mengeluarkan toksin, toksin diabsorpsi pada ujung saraf motorik dan melalui
sumbuk silindrik ke SSP

Dari susunan limfatik ke sirkulasi darah arteri dan masuk ke SSP

Toksin bersifat neurotoksik / tetanospasmin, tetanulisin, menghancurkan sel darah merah,


merusak leukosit

Perubahan fisiologis intrakranial

Penekanan area fokal Kejang tonik umum, kejang Peningkatan


kranial rangsang (terhadap visual, suara permeabilitas darah /
dan taktil) kejang spontan, otak
kejang pada abdomen, dan
rentensi urine
Kesulitan membuka
mulut (trismus), kaku- Proses inflamasi di
kuduk (epistotonus), jaringan otak
Perubahan Perubahan Penurunan (peningkatan suhu
kaku dinding perut
eliminasi mobilitas kemampuan tubuh), perubahan
(perut papan), dan kaku
urin dan fisik batuk tingkat kesadaran,
tulang belakang
alvi perubahan frekuensi
nadi

Sulit menelan / 8. Gangguan 6. gangguan 1. Bersihan


menyusu pemenuhan mobilitas jalan napas Peningkatan sekret
eliminasi fisik (B6) tidak efektif dan penurunan
urin dan alvi (B1) kemampuan batuk
Intake nutrisi tidak 7. gangguan
(B5)
adekuat ADL (B6)
2. Hipertermi (B2)

3. Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan Penurunan tingkat
(B5) kesadaran, penurunan
perfusi jaringan otak
5. Risiko tinggi
trauma / cedera
(B6)
4. Risiko 9. Koping tidak Koma Penurunan tingkat
tinggi kejang efektif kesadaran, penurunan
berulang (B2) perfusi jaringan otak
10. Kecemasan
Gambaran Umum yang Khas pada Tetanus

1. Badan kaku dengan epistotonus.


2. Tungkai dalam ekstensi.
3. Lengan kaku dan tangan mengepal.
4. Biasanya keasadaran tetap baik.
5. Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
a. Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan.
b. Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine,
fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir.
Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis,
takikardia dan sulit menelan.

ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS

A. Pengkajian

- Anamnesis

Anamnesis pada tetanus meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji
dampak hospitalisasi).

Keluhan utama

Sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat
kesadaran.

Riwayat penyakit sekarang

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui


predisposisi penyebab sumber luka. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul
seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu
mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat
timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa
yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus
yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi.
Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya


hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami luka dan luka tususk yang dalam misalnya tertususk paku, pecahan kaca,
terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh ditempat yang kotor dan
terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu / kotoran. Juga luka bakar
dan patah tulang terbuka. Adakah porte d`entree lainnya seperti luka gores yang
ringan kemudian menjadi bernanah; gigi berlubang dikorek dengan benda yang kotor
atau OMP yang dibersihkan dengan kain yang kotor.

Pengkajian psikososiospiritual

Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk


menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).

Pengkajian pada klien anak perlu diperhatikan dampak hospitalisasi pada anak
dan family center. Anak dengan tetanus sangat rentan terhadap tindakan invasive yang
sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini memberi dampak pada stress anak
dan menyebabkan anak kurang koperatif terhadap tindakan keperawatan dan medis.
Pengkajian psikososial yang terbaik dilaksanakan saat observasi anak-anak bermain
atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak mampu untuk
mengekpresikan permrasaan mereka dan cenderung untuk memperlihatkan masalah
mereka melalui tingkah laku.

- Pemeriksaan fisik

Pada klien tetanus biasannya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari
normal 38-40C. keadaan ini biasannya dihubungkan dengan proses inflamasi dan
toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengaturan suhu tubuh. Penurunan
denyut nadi terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan otak. Apabila disertai
peningkatan frekuensi pernapasan sering berhubungan dengan peningkatan laju
metabolism umum. Tekanan darah biasanya normal.

B1 (breating)

Inspeksi : apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien
tetanus yang disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas.

Palpasi : toraks didapatkan traktil premitus seimbang kanan dan kiri.

Auskultasi : bunyi napas tambahan seperti ronki pada klien dengan


peningkatan produksi secret dan kemapmpuanbatuk yang menurun.

B2 (blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok


hipovolemik) yang sering terjadi pada klien tetanus, tekanan darah biasannya normal,
peningkatan denyut jantung, adanya anemis karena hancurnya eritrosit.

B3 (brain)

Pengkajian brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap


dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.

Pengkajian tingkat kesadaran. Kesadaran klien biasannya compos mentis, pada


keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat
letergi, spoor, dan semikomatosa. Jika klien suadh mengalami koma maka penilaian
GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
memantau pemberian asuhan.

Pengkajian fungsi serebral. Setatus mental : observasi penampilan, tingkah


laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien tetanus
tahap lanjut biasanya status mental mengalami perubahan.

Pengkajian saraf cranial. Pemeriksaan saraf cranial meliputi pemeriksaan saraf cranial
I-XI.

Saraf I. biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan pada sistem penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman dalam kondisi normal.

Saraf III,IV, dan VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus
mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap cahaya. Respons
kejang umumnya akibat stimulus rangsan cahaya perlu diperhatikan perawat
guna memberikan intervensi untuk menurunkan stimulus cahaya tersebut.

Saraf V. reflex maseter meningkat. Mulut condong kedepan seperti mulut ikan
(ini adalah gejala khas dari tetatus)

Saraf VII. Presepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.

Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli peresepsi.

Saraf IX dan X. kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka mulut


(trismus).

Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk, ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak).

Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecap normal.

Pengkajian sistem motorik. Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan


kordinasi pada tetanus pada tahap lanjut mengalami perubahan.

Pengkajian reflex. Pemeriksaan saraf profundal, pengetukan pada tendon,


ligamentum atau poriesteum derajat reflex pada respons normal.

Gerakan involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, tic, dan distonia.


Pada keadaan tertentu, klien biasanya mengalami kejang umum, terutama
pada anak dengan tetanus disertai dengan peningkatan suhu tubuh yang
tinggi kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.

Pengkajian sistem sensorik. Pemeriksaan pada tetanus biasanya perasaan raba


normal, perasaan nyeri normal, perasaan suhu tubuh normal, tidak ada perasaan
abnormal di permukaan tubuh, perasaan propriosefsi normal dan perasaan
diskriminatif normal.
B4 (Bladder).

Penurunan volume urine output berhubungan dengan penurunan perfusi dan


penurunan curah jantun ke ginjal. Adanya retensi urine karena kejang umum. Pada
klien yang sering kejang sebaiknya urine dikeluarkan dengan menggunakan kateter.

B5 (Bowel)

Mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam lambung.


Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang,
kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spasme
otot menyebabkan kesulitan BAB.

B6 (Bone)

Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan


aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka yang
memungkinkan port de entre kuman klostridium tetani, sehingga memerlukan
perawatan luka yang optimal. Adanya kejang memberikan risiko pada fraktur vertebra
pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.

Pengkajian pada Anak dan Bayi

pengkajian pada anak sedikit berbeda dengan klien dewasa, hal ini disebabkan pengkajian
anamnesis lebih banyak pada orang tua dan pemeriksaan fisik berbeda karena belum
sempurnanya organ pertumbuhan terutama pada neonatus. Untuk memudahkan penilaian
klinis, gejala pada tetanus pada anak dibagi menjadi dua, meliputi: anak dan bayi.

Anak

Manifestasi klinis timbulnya sakit secara tiba-tiba dengan masa inkubasi 5-14 hari, dimulai
dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang leher. Setelah 48 jam
pemeriksaan fisik yang mungkin didapatkan adalah sebagai berikut :

Trimus spasme otot-otot mastikatorius yang berfungsi sebagai otot pengunyah.


Kaku kuduk sampai epistotonus ( karena ketegangan otot-otot erector trunki).
Ketegangan otot dinding perut ( perut seperti papan).
Kejang tonik (merupakan manifestasi toksin yang terdapat pada kornu anterior).
Risus sardonikus (karena spasme otot muka dimana alis keatas, susut mulut tertarik
keluar dan kebawah/mulut mencucu seperti mulut ikan serta bibir tertekan kuat pada
gigi).
Kesulitan menelan, gelisah, mudah terangsan. Nyeri kepala.
Asfiksia sampai sianosis (akibat serangan pada otot pernapasan dan laring).
Retensi urine ( karena spasme otot netral).
Risiko fraktur kolumna vertebralis ( karena kontraksi otot sangar yang kuat pada saat
serangan kejang).

Bayi

Terutama pada neonatus (sering disebut tetanus neonaturum). Tetanus neonaturum merupakan
penyebab kejang yang sering dijumpai pada berat bayi lahir rendah yang bukan karena
trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang
antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatanya yang tidak aseptik.
Kebanyakan tetanus neonaturum ini terdapat pada bayi baru lahir setelah mendapa banuan
persalinan dari dukun beranak yang belum pernah mendapat pelatihan persalinan dari
program Depkes.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi tidak mau menetek secara tiba-tiba meskipun
sebelumnya bisa. Suhu tubuh dapat naik sampai 39 C. mulut mencucu seperti mulut ikan
(gejala khas) kemudian timbul kejang disertai sianosis, kaku duduk, tubuh opistotonus.
Perjalanan penyakit lebih cepat tidak melalui 3 stadium seperti pada tetanus anak besar. Bayi
tidak mau menetek dan mulut mencucu (sebenarnya adalah karena trismus pada otot otot
mulut).

Pemeriksaan Diagnostik

Laboratorium : leukositosis ringan , peningkatan tekanan cairan otak, dan deteksi kuman
sulit.

Pengkajian Penatalaksanaan Medis

1. Pencegahan
Bersihkan port dentre, dengan larutan H2O23%.
Anti tetanus serum (ATS) 1.500 U/IM.
Toksoid Tetanus (TT), dengan memerhatikan status imunisasi.
Antimikroba pada keadaan yang beresiko proliferasi kuman klostridium tetani,
seperti pada patah tulang terbuka, dan lainnya.
2. Pengobatan
Anti Tetanus Serum ( ATS).
i. Dewasa 50.000 U/hari, selama 2 hari berturut-turut, (hari I) diberikan
dalam infus glukosa 5 % 100 ml, (hari ke II) diberikan IM lakukan uji
kulit sebelum pemberian.
ii. Anak 20.000 U/hari,selama 2 hari. Pemberian secara drif infuse 40.000
U bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
iii. Bayi 10.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drif infuse 20.000
U bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
Fenobarbital: dosis awal 50 mg ( umur < 1 tahun):75 mg, (umur>1 tahun)
dilanjutkan 5 mg/kg BB/hari dibagi 6 dosis.
Diazepam dosis 4 mg/kg BB/hari dibagi dalam 6 dosis.
Largactil : dosis 4 mg/kg BB/hari.
Antimikroba .
Diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP) bila trismus diberi diet cair melalui
NGT.
Isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat
kejang, kolaborasi pemberian obat penenang.

3. Debridemant luka, biarkan luka terbuka.

4. Oksigen 2 liter/menit.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan akumulasi sekret di
dalam trakea, kemampuan batuk menurun.
2. Hipertermi yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di jaringan
otak.
3. Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang (terhadap
visual, suara, dan taktil).
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan asupan nutrisi
tidak adekuat.
5. Risiko trauma/cedera yang berhubungan dengan kejang umum.
6. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kejang umum.
7. Gangguan ADL yang berhubungan dengan adanya kejang umum dan kelemahan fisik.
8. Gangguan pemenuhan eliminasi urine yang berhubungan dengan spasme abdomen.
9. Koping individu yang berhubungan dengan tidak efektif prognosis penyakit yang
tidak jelas.
10. Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang
berulang.
C. Perencanaan/ Intervensi Keperawatan

Hipertermi yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di jaringan
otak.

Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan suhu tubuh menurun.

Kriteria : suhu tubuh normal.

Intervensi Rasional

Monitor suhu tubuh klien. Peningkatan suhu tubuh menjadi stimulus


rangsang kejang pada klien tetanus.

Beri kompres dingin di kepala dan aksila. Memberikan respons dingin pada pusat
pengatur panas dan pada pembuluh darah
besar.

Pertahankan bedrest total selama fase akut. Mengurangi peningkatan proses


metabolisme umum yang terjadi pada klien
tetanus.

Kolaborasi pemberian terapi; ATS dan ATS dapat mengurangi dampak toksin
antimikroba. tetanus di jaringan otak dan antimikroba
dapat mengurangi inflamasi sekunder dari
toksin.

Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang


(terhadap visual, suara, dan taktil).

Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan risiko kejang berulang tidak terjadi.

Kriteria : klien tidak mengalami kejang.

Intervensi Rasional

Kaji stimulus kejang. Stimulus kejang pada tetanus adalah


rangsangan cahaya dan peningkatan suhu
tubuh.
Hindari stimulus cahaya, kalau perlu klien Penurunan rangsang cahaya dapat
ditempatkan pada ruangan dengan membantu menurunkan stimulus rangsang
pencahayaan yang kurang. kejang.

Pertahankan bedrest total selama fase akut. Mengurangi risiko jatuh/terluka jika
vertigo, sinkop, dan ataksia terjadi.

Kolaborasi pembrian terapi : dizepam, Untuk mencegah atau mengurangi kejang.


fenobarbital.
Catatan : fenobarbital dapat menyebabkan
respiratorius depresi dan sedasi.

Risiko cedera yang berhubungan dengan kejang, perubahan status mental, dan
penurunan tingkat kesadaran.

Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan klien bebas dari cedera yang disebabkan
oleh kejang dan penurunan kesadaran.

Kriteria : klien tidak mengalami cedera apabila kejang berulang terjadi.

Intervensi Rasional

Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut, Gambaran tribalitas sistem persarafan pusat
dan otot-otot muka lainnya. memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi.

Persiapkan lingkungan yang aman seperti Melindungi klien bila kejang terjadi.
batasan ranjang, papan pengaman, dan alat
suction selalu berada dekat klien.

Pertahankan bedrest total selama fase akut. Mengurangi risiko jatuh/terluka jika
vertigo, sinkop, dan ataksia terjadi.

Kolaborasi pembrian terapi : dizepam, Untuk mencegah atau mengurangi kejang.


fenobarbital.
Catatan : fenobarbital dapat menyebabkan
depresi dan sedasi pernapasan.

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kejang berulang.


Tujuan : tidak terjadi kontaktur, footdrop, gangguan integritas kulit, fungsi usus dan
kandung kemih optimal, serta peningkatan kemampuan fisik.

Kriteria : skala ketergantungan klien menurun menjadi bantuan minimal.

Intervensi Rasional

Tinjauan kemampuan fisik dan kerusakan Mengidentifikasi kerusakan fungsi dan


yang terjadi. menentukan pilihan intervensi.

Kaji tingkat mobilisasi, gunakan skala Tingka ketergantungan minimal care


tingkat ketergantungan. (hanya memerlukan bantuan minimal),
partial care (memerlukan bantuan
sebagian), dan total care (memerlukan
bantuan komplit karena risiko cedera yang
tinggi).

Berikan perubahan posisi yang teratur pada Perubahan posisi teratur dapat
klien. mendistribusikan berat badan secara
menyeluruh dan memfasilitasi peredaran
darah serta mencegah dekubitus.

Pertahankan body alignment adekuat, Mencegah terjadinya kontraktur atau foot


berikan latihan ROM pasif jika klien sudah drop serta dapat mempercepat
bebas panas dan kejang. pengembalian fungsi tubuh nantinya.

Berikan perawatan kulit secara adekuat, Memfasilitasi sirkulasi dan mencegah


lakukan masase, ganti pakaian klien dengan gangguan integritas kulit.
bahan linen, dan pertahankan tempat tidur
dalam keadaan kering.

Berikan perawatan mata, bersihkan mata, Melindungi mata dari kerusakan akibat
dan tutup dengan kapas yang basah terbukanya mata terus-menerus.
sesekali.

Kaji adanya nyeri, kemerahan, dan bengkak Indikasi adanya kerusakan kulit dan deteksi
pada area kulit. dini adanya dekubitus pada area lokal yang
tertekan.

Ansietas yang berhubungan dengan ancaman, prognosis penyakit, perubahan


kesehatan.

Tujuan : ansietas hilang atau berkurang.

Kriteria : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang


memengaruhinya dan menyatakan ansietas berkurang/hilang.

Intervensi Rasional

Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas, Reaksi verbal/nonverbal dapat


dampingi klien dan lakukan tindakan bila menunjukkan rasa agitasi, marah, dan
menunjukkan perilaku merusak. gelisah.

Jelaskan sebab terjadinya kejang. Memberikan dasar konsep agar klien


kooperatif terhadap tindakan untuk
mengurangi kejang.

Hindari konfrontasi. Konfrontasi dapat meningkatkan rasa


marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat pemyembuhan.

Mulai melakukan tindakan untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang


mengurangi kecemasan. Beri lingkungan tidak perlu.
yang tenang dan suasana penuh istirahat.

Tingkatkan kontrol sensasi klien. Kontrol sensasi klien (dan dalam


menurunkan ketakutan) dengan cara
memberikan informasi tentang keadaan
klien, menekankan pada penghargaan
terhadap sumber-sumber koping
(pertahanan diri) yang positif, membantu
latihan relaksasi, dan teknik-teknik
pengalihan dan memberikan respons balik
yang positif.

Orientasikan klien terhadap prosedur rutin Orientasi dapat menurunkan ansietas.


dan aktivitas yang diharapkan.

Beri kesempatan kepada klien untuk Dapat menghilangkan ketegangan terhadap


mengungkapkan ansietasnya. kekhawatiran yang tidak diekspresikan.

Berikan privasi untuk klien dan orang Memberikan waktu untuk mengekspresikan
terdekat. perasaan, menghilangkan ansietas dan
perilaku adaptasi.

Adanya keluarga dan teman-teman yang


dipilih klien melayani aktivitas dan
pengalihan (misalnya membaca) akan
menurunkan perasaan terisolasi.

D. Implementasi Keperawatan

Lakukan tindakan keperawatan sesuai dengan diagnosa dan intervensi keperawatan


yang telah ada atau tersusun. Lalu, perawat harus mencatat dan mendokumentasikan
tindakan apa yang telah dilakukan pada pasien.

E. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi semua tindakan yang telah diberikan pada pasien. Jika dengan tindakan
yang diberikan pasien mengalami perubahan menjadi lebih baik, maka tindakan dapat
dihentikan. Namun, jika sebaliknya keadaan pasien menjadi lebih buruk, kemungkinan
besar tindakan harus mengalami perubahan atau perbaikan.

Anda mungkin juga menyukai