Anda di halaman 1dari 17

TINJAUAN TEORI NYERI

A. Defenisi Nyeri
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) tahun 1979,
yang diajukan oleh Merskey, seorang psikiater sebagai berikut: Painis the unpleasant
sensory and emotional experience,associated with actual or potensial tissue damage or
described in term of such damage (Nyeri adalah rasa inderawi dan pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi
rusak atau sesuatu yang tergambarkan seperti itu).
Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian antara lain:

1. Nyeri adalah perasaan inderawi yang tidak menyenangkan, artinya unsur utama yang
harus ada untuk disebut nyeri, adalah rasa tidak menyenangkan.

2. Nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan, artinya persepsi


nyeri seseorang ditentukan oleh pengalamannya dan status emosionalnya. Persepsi nyeri sangat
bersifat pribadi dan subjektif. Oleh karena itulah maka, suatu rangsang yang sama dapat
dirasakan berbeda oleh dua orang yang berbeda, bahkan suatu rangsang yang sama dapat
dirasakan berbeda oleh satu orang karena keadaan emosionalnya yang berbeda.

3. Nyeri terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain associated with actual
tissue damage). Nyeri ini disebut sebagai nyeri akut (acute pain) yang diharapkan menghilang
seiraima dengan proses penyembuhannya.

4. Nyeri dapat juga terjadi oleh suatu rangsang yang cukup kuat (rangsang noksius), yang
berpotensi merusak jaringan. Nyeri ini disebut nyeri fisiologik (physiological pain), fungsinya
untuk membangkitkan refleks proteksi guna mencegah terjadinya kerusakan jaringan lebih
lanjut.

5. Nyeri dapat juga terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan, tetapi tergambarkan seolah-
olah terdapat kerusakan jaringan yang hebat (pain described in term such damage). Nyeri yang
terakhir ini justru timbul setelah penyembuhan usai, dan jika berlangsung lebih dari 3 bulan
digolongkan sebagai nyeri kronik (chronic pain).
B. Mekanisme Nyeri
Antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsang nyeri, sampai dirasakan sebagai
persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektro fisiologik yang secara kolektif disebut
nosisepsi (nociception). Ada empat proses yang jelas yang terjadi pada suatu nosisepsi, yakni:

1. Proses Transduksi (transduction), merupakan proses di mana suatu rangsang nyeri


(noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktifitas listrik, yang akan diterima oleh ujung-
ujung saraf (nerve endings). Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik, suhu, ataupun
kimia.

2. Proses Transmisi (transmission), dimaksudkan sebagai perambatan rangsang melalui


saraf sensoris menyusul proses transduksi.

3. Proses Modulasi (modulation), adalah proses di mana terjadi interaksi antara sistem
analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan
proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang. Analgesik endogen ini meliputi
endorfin, serotonin, dan noradrenalin yang memiliki kemampuan menekan asupan nyeri
pada kornu posterior. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbang yang
dapat tertutup atau terbuka dalam menyalurkan asupan nyeri. Peristiwa terbuka dan
tertutupnya pintu gerbang tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen di atas.
Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat pribadi dan
subjektif pada setiap orang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang
budaya,pendidikan, atensi, serta makna atau arti dari suatu rangsang.

4. Persepsi (perception), adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik
yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat).
Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki perbedaan
baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di kornu posterior.
Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal,
sedangkan serabut C, peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan
kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebgai polymodal nociceptors.
Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam
glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin)
yang merupakan polipeptida. Hal ini menjadi penting sehubungan dengan mekanisme nyeri
pascabedah. Selama pembedahan trauma pembedahan merupakan stimulus noksius yang akan
diterima dan dihantar oleh kedua saraf tersebut, sedangkan pascabedah (proses inflamasi)
merupakan rangsang noksius yang hanya diterima dan dihantar oleh serabut C. Dengan kata
lain nyeri pascabedah akan didominasi oleh serabut C.

a. Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu pembedahan selain akan menyebabkan terlepasnya zat-
zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag
dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator
kimia yang berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
terjadi ekstravasasi protein plasma.
Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya suatu soup yang mengandung mediator
inflamasi seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan
produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang
menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua
nosiseptor tersebut di atas

Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri
sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang ditandai dengan
meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah jaringan yang rusak.
Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan neurohumoral pada
daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi
perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian
merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan
anti enzim siklooksigenase.
b. Sensitisasi Sentral
Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan/inflamasi,
akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis
akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan
sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu
dorsalis terdiri atas first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan
second-order neuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah
yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus
noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis yakni pertama,
nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut
A dan serabut C. Keduanya disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif
terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya
respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal
transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri. Perubahan-perubahan ini
diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan
jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. Wind-up
ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain
dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak
bisa diibaratkan sebagai hard wired yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat berubah
sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.

Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah
diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari serabut
aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu dorsalis yang
sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang sulit disembuhkan
Perubahan lain yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan sensitisasi sentral adalah:

Pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron spinalis akan berespon
terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus nosiseptif.
Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang lebih dari
potensial ambang.

Ketiga, terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak
bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif.

Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan
perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai hyperalgesia,
allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada kornu
dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung terminal aferen
yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu dorsalis. Ini berarti
bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang
superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri. Jika secara fungsional dilakukan
hubungan antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious
dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan terbentuk
suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada
kerusakan saraf.
Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri. Reseptor-
reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer. Beberapa dari
reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif pengobatan baru. Reseptor
N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor
non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat
menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme
wind-up dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan
perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian antagonis NMDA tentunya dapat
menekan respon ini. Ketamin, penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi
kebutuhan opioid bila diberikan sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk,
dapat menjadi alternatif lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekstrometorfan juga
merupakan penyekat reseptor NMDA.
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam proses
biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif. Produksi NO
terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca intraseluler akan
bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi
enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan
NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal sel.
Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan merusak sel
saraf itu sendiri.
Perubahan yang digambarkan diatas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor NMDA
yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat produksi dari NO
akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.
Fenomena wind-up merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana memberikan
analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut sedini mungkin,
analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya
wind-up. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari hasil
penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri. Percobaan
difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan yang pada tingkat
spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian
ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia
pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam
mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri pascabedah
adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar
pengelolaan nyeri pascabedah adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi
perifer dengan pemberian obat-obat NSAID (COX 1 atau COX2), sedangkan untuk menekan
atau mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau
anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.

C. Klasifikasi Nyeri
1. Nyeri Akut
Menurut Federation of State Medical Boards of the United States; acute pain is the
normal, predicted physiological response to an adverse chemical, thermal or mechanical
stimulus, associated with surgery trauma and acute illness. (Nyeri akut adalah respon
fisiologik normal yang diramalkan terhadap rangsang kimiawi, panas atau mekanik
menyusul suatu pembedahan, trauma, dan penyakit akut). Ciri khas suatu nyeri akut
adalah nyeri yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan yang nyata dan akan
hilang seirama dengan proses penyembuhannya.1
Dikenal 3 macam nyeri akut yaitu :

a. Nyeri somatik luar / cutaneus/ superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit, subkutis,
mukosa. Biasanya bersifat burning (seperti terbakar), contoh : terkena ujung pisau atau
gunting

b. Nyeri somatik dalam / deep somatic/ nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari otot
rangka,tulang, sendi, jaringan ikat, pembuluh darah, tendon dan syaraf. Nyeri menyebar
dan lebih lama dari pada nyeri somatik luar, contoh : sprain sendi

c. Nyeri visceral, yaitu nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam, stimulasi reseptor
nyeri dalam rongga abdomen, cranium dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot,
iskemia, regangan jaringan.

Prototipe dari nyeri akut adalah nyeri pascabedah. Analgesia balans merupakan teknik
penaganan nyeri pasca bedah yang sangat ideal dan efektif sebab dapat menghasilkan pain
free dan stress free. Analgesia balans adalah suatu teknik pengelolaan nyeri pascabedah yang
menggunakan pendekatan multimodal di mana, mekanisme nyeri dihambat atau ditekan pada
setiap tahap pada proses nosisepsi (transduksi, transmisi dan modulasi). Jadi nyeri dihambat
pada tiga tempat secara bersamaan, sehingga terjadi hambatan yang bersifat sinergik.

2. Nyeri Kronik
The International Association for Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri kronik
sebagai pain that persists beyond normal tissue healing time, which is assumed to be three
months (nyeri kronik adalah nyeri yang menetap melampaui waktu penyembuhan normal
yakni 3 bulan).
Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nyeri kronik adalah
nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai atau nyeri yang berlangsung lebih dari tiga
bulan tanpa adanya malignitas. Oleh karena itu nyeri kronik biasa disebut sebagai chronic
non malignant pain. Dikenal tiga macam bentuk nyeri kronik yakni:

a. Nyeri yang timbul setelah penyembuhan usai, misalnya complex regional pain syndrom
yang dahulu dikenal sebagai reflex symphathetic dystrophy, post herpetic neuralgia,
phantom pain,neurophatic pain, dan lain-lain.

b. Nyeri yang timbul tanpa penyebab yang jelas, misalnya nyeri pinggang bawah (low back
pain), sakit kepala, dan lain-lain.

c. Nyeri yang didasari atas kondisi kronik, misalnya osteoartheritis atau reumathoid
arthritis, dan lainlain. Sangat subjektif dan dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan dan
lain-lain.

3. Nyeri Kanker
Dibandingkan dengan nyeri akut atau nyeri kronik, maka masalah nyeri kanker jauh lebih
rumit. Hal itu disebabkan karena nyeri kanker tidak saja bersumber dari faktor fisik akibat
adanya kerusakan jaringan, tetapi juga diperberat oleh faktor nonfisik berupa faktor
psikologis, sosial budaya dan spiritual, yang secara keseluruhan disebut NYERI TOTAL.
Dengan kata lain, NYERI TOTAL dibentuk oleh berbagai unsur yakni, biopsikososio-
kulturo-spiritual. Oleh karena itu, pengelolaan nyeri kanker yang baik membutuhkan
pendekatan multidisplin yang melibatkan sernua disiplin ilmu yang terkait. Bahkan lebih
dari itu, anggota keluarga penderita pun harus dilibatkan utamanya dalam perawatan yang
tidak kurang pentingnya.
Nyeri kanker dapat dibagi atas 2 kategori :
a. Nyeri Organik:

Nyeri nosiseptif : Nyeri somatik (kulit, otot, tulang dan jaringan lunak) dan Nyeri
visceral (organ thoraks dan abdomen)
Nyeri non nosiseptif : Nyeri neuropatik (deafferentiation pain) akibat adanya penekanan
dan kerusakan jaringan saraf.

b. Nyeri Pysikologik
Menurut WHO, dikenal sebagai three step ladder, yang pemberiannya harus : by the
mouth, by the clock, by the ladder. Dimulai dari step ladder I, diikuti step II dan III

D. Nyeri Neropati / Nyeri Kronik


Klasifikasi
Berdasarkan Letak Nyeri

1. Nyeri Neuropatik Perifer. Pada nyeri neuropatik perifer Letak lesi di sistem perifer,
mulai dari saraf tepi, ganglion radiks dorsalis sampai ke radiks dorsalis. Contoh:
Diabetik Periferal Neuropati (DPN), Post Herpetik Neuralgia (PHN), Trigeminal
neuralgia, CRPS tipe I, CRPS tipe II.

2. Nyeri Neuropatik Sentral. Letak lesi dari medula spinalis sampai ke korteks Contoh:
Nyeri post stroke, Multiple Sclerosis, Nyeri post trauma medula spinalis

Berdasarkan waktu terjadinya

1. Nyeri Neuropatik Akut. Nyeri yang dialami kurang dari 3 bulan. Contoh Neuralgia
herpetika, Acute Inflammatory Demyelinating Neurophaty.

2. Nyeri Neuropatik Kronik. Nyeri yang dialami lebih dari 3 bulan.Nyeri neuropatik kronis
juga dibedakan menjadi:

a. Malignan (nyeri keganasan, post operasi, post radioterapi, post chemoterapi )


b. Non Malignan (neuropati diabetika, Carpal Tunnel Syndrome, neuropati toksis, avulsi
pleksus, trauma medula spinalis, neuralgia post herpes)
Berdasarkan Etiologi
1. Saraf Perifer
Trauma: neuropati jebakan, kausalgia, nyeri perut, nyeri post torakotomi
Mononeuropati: Diabetes, invasi saraf/ pleksus oleh keganasan, Iradiasi pleksus, penyakit
jaringan ikat (Systemic Lupus Erytematosus, poliartritis nodusa)
Polineuropati: Diabetes, alkohol, nutrisi, amiloid, penyakit Fabry, isoniasid, idiopatik.
2. Radiks dan ganglion : Diskus (prolaps) arakhnoiditis, avulsi radiks, rizotomi operatif, neuralgia
post herpes, trigeminal neuralgia, kompresi tumor.
3. Medula Spinalis : Transeksi total, hemiseksi, kontusio atau kompresio, hematomieli,
pembedahan, syringomieli, multiple sclerosis, Arteri-Vena Malformasi, Defisiensi Vit B12,
mielitis sifilik.
4. Batang Otak : Sindroma Wallenberg, Tumor, Syringobulbi, Multiple Sclerosis, Tuberkuloma.
5. Talamus Infark : hemoragik, tumor, lesi bedah pada nukleus sensorik utama.
6. Korteks / Sub korteks Infark : Arteri-Vena Malformasi, Truma dan tumor.

Berdasarkan asalnya:
1. Nyeri nosiseptif (nociceptive pain)
Nyeri perifer. Asal : kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dll nyeri akut, letaknya lebih
terlokalisasi.
Nyeri visceral / central. Lebih dalam, lebih sulit dilokalisasikan letaknya.
2. Nyeri neuropatik

Etiologi
Penyebab nyeri neuropatik yang paling sering : 4
Nyeri neuropatik perifer

Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut dan kronik

Polineuropati alkoholik

Polineuropati oleh karena kemoterapi


Sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome)

Neuropati jebakan (misalnya, carpal tunnel syndrome)

Neuropati sensoris oleh karena HIV

Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri post thorakotomi)

Neuropati sensoris idiopatik

Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor

Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional

Neuropati diabetik

Phnatom limb pain

Neuralgia post herpetik

Pleksopati post radiasi

Radikulopati (servikal, thorakal, atau lumbosakral)

Neuropati oleh karena paparan toksik

Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)

Neuralgia post traumatik

Nyeri neuropatik sentral

Mielopati kompresif dengan stenosis spinalis


Mielopati HIV

Multiple sclerosis

Penyakit Parkinson

Mielopati post iskemik

Mielopati post radiasi

Nyeri post stroke

Nyeri post trauma korda spinalis

Siringomielia

Penatalaksanaan 6
Hampir sebagian besar nyeri neuropatik tidak berespon terhadap NSAID dan analgesik opioid.
Terapi utamanya adalah the tricyclic antidepressants (TCA's), antikonvulsan dan systemic local
anesthetics. Agen farmakologi yang lain: corticosteroids, topical therapy dengan substance P
depletors, autonomic drugs dan NMDA receptor antagonist. Obat-obatan yang banyak
digunakan sebagai terapi nyeri neuropati adalah anti depresan trisiklik dan anti konvulsan
karbamasepin.
Terapi Farmaka
1. Anti depresan
Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk terapi nyeri neuropati
adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin, maprotilin, desipramin. Mekanisme
kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu memodulasi transmisi dari serotonin dan
norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT)
dan noradrenalin oleh reseptor presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga
menurunkan jumlah reseptor 5-HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu
meningkatkan konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga
meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi norepinefrin
dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi
aktivitas adenilsiklasi. Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik adenosum
monofosfat dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang membuka berarti
depolarisasi menurun dan nyeri berkurang.
2. Anti konvulsan
Seperti diketahui nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf dan
antikonvulsan mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan abnormal dari neuron-neuron
di sistem saraf sentral. Nyeri neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang
dapat menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor NMDA dalam influks Ca2+ sangat
berperan dalam proses kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip pengobatan adalah
penghentian proses hiperaktivitas terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi sentral
dan peningkatan inhibisi.
Karbamasepin dan Okskarbasepin
Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels (VSSC). Efek ini
mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari neuron.
Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui VSCC, merubah atau
mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron presinaptik, meningkatkan
konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri neuropati penderita HIV, digunakan lamotrigin
sampai dosis 300 mg perhari. Efek samping utama adalah skin rash, terutama bila dosis
ditingkatkan dengan cepat.
Gabapentin
Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup populer mengingat efek
yang cukup baik dengan efek samping minimal. Khusus mengenai gabapentin, telah banyak
publikasi mengenai obat ini diantaranya untuk nyeri neuropati diabetika, nyeri pasca herpes,
nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi HIV, nyeri neuropati sehubungan dengan kanker dan
nyeri neuropati deafferentasi. Gabapentin mempunyai kemampuan untuk masuk kedalam sel
untuk berinteraksi dengan reseptor 2 yang merupakan subunit dari Ca2+-channel.

Terapi Blok Transmisi


1. Irreversibel, yaitu operasi dan destruksi saraf.

2. Reversibel, yaitu injeksi anestesi lokal

Terapi Alternatif

1. Stimulator

2. Akupuntur

3. Hipnosis

4. Psikologi

ISTILAH-ISTILAH YANG BERKAITAN KHUSUS DENGAN NYERI

Nyeri Neuropatik : Nyeri yang disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer sistem saraf.

Nyeri Neuropati : Berbeda dari nyeri nosiseptif, Nyeri biasanya bertahan lebih lama dan
merupakan proses input sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer atau CNS. Biasanya
lebih sulit diobati. Mekanismenya mungkin karena dinamika alami pada sistem saraf. Pasien
mungkin akan mengalami: rasa terbakar, tingling, shock like, shooting, hyperalgesia atau
allodynia.

Nyeri Neurogenik : Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi , disfungsi atau
gangguan sementara primer pada sistem saraf pusat atau perifer.

Neuralgia : Nyeri pada daerah distribusi saraf.

Neuritis : Inflamasi pada sistem saraf.

Neuropati : Gangguan fungsi atau perubahan patologis pada saraf.

Jika mengenai 1 saraf disebut mononeuropati


Pada beberapa saraf disebut mononeuropati multipleks
Bersifat difus dan bilateral disebut polineuropati

Alodinia : Nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak menimbulkan
nyeri.

Hiperalgesia : Respon yang berlebihan terhadap stimulus yang secara normal


menimbulkan nyeri.

Hiperestesia : Meningkatnya sensitivitas terhadap stimulus, tidak termasuk didalamnya


sensasi khusus (indera lain).

Hiperpatia : Sindroma dengan nyeri bercirikan reaksi nyeri abnormal terhadap stimulus,
khususnya terhadap stimulus berulang, seperti pada peninggian nilai ambang.

Disestesia : Sensasi abnormal yang tidak menyenangkan, baik bersifat spontan maupun
dengan pencetus.

Parestesia : Sensasi abnormal, baik bersifats pontan maupun dengan pencetus.

Analgesia :Tidak adanya respon nyeri terhadap stimulus yang dalam keadaan normal
menimbulkan nyeri.

Hipoalgesia : Berkurangnya respon nyeri terhadap stimulus yang dalam keadaan normal
menimbulkan nyeri.

Anestesia : Hilangnya sensitivitas terhadap stimulus tidak termasuk sensasi khusus


(indera lain).

Hipoestesia :Menurunnya sensitivitas terhadap stimulus, kecuali sensasi khusus (indera


lain).

Anestesia Dolorosa : Nyeri pada area atau regio yang semestinya bersifat anestetik.
Kausalgia : Sindroma yang timbul pada lesi saraf pasca trauma yang ditandai nyeri
seperti terbakar, alodinia, hiperpatia yang menetap, seringkali bercampur dengan disfungsi
vasomotor serta sudomotor dan kemudian diikuti oleh gangguan trofik.

Nyeri Sentral : Nyeri yang didahului atau disebabkan atau disfungsi primer pada sistem
saraf pusat.

Nyeri Neuropatik Perifer : Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi
primer sistem saraf perifer.

Nosiseptor : Serabut syaraf yang mentransmisikan nyeri.

Non-nosiseptor : Serabut syaraf yang biasanya tidak mentransmisikan nyeri.

System nosiseptif : System yang teribat dalam transmisi dan persepsi terhadap nyeri.

Stimulus Noksius : Stimulus yang menimbulkan kerusakan terhadap jaringan tubuh


normal.

Nilai Ambang Nyeri : Intensitas stimulus terkecil yang dapat dirasakan sebagai nyeri.

Tingkat Toleransi Nyeri : Tingkat nyeri terbesar (intensitas maksimum) yang mampu
ditoleransi/ditahan subyek.

Trigger Point : Titik dalam satu area tertentu pada otot dan/ atau fasianya yang
menimbulkan pola nyeri menjalar yang khas, dapat berupa kesemutan atau baal sebagai reaksi
terhadap tekanan yang agak lama.

Tender Point : Nyeri lokal yang timbul pada otot, ligamentum, tendo atau jaringan
periosteum pada penekanan yang agak lama.

Anda mungkin juga menyukai