Anda di halaman 1dari 4

Penatalaksanaan Medis

Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan


memuasakan pasien, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal, penggantian cairan dan elektrolit
yang hilang yang dilakukan secara intravena, pembuangan fokus septik (apendiks)
atau penyebab radang lainnya, bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar
dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. Prinsip umum dalam menangani
infeksi intraabdominal antara lain kontrol infeksi yang terjadi, membersihkan
bakteri dan racun, memperbaiki fungsi organ, dan mengontrol proses inflamasi.
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit,
kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
a. Penanganan Preoperatif
1) Resusitasi Cairan
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik
dan status hemodinamik tubuh. Larutan kristaloid dan koloid harus
diberikan untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan koloid lebih efektif
untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih
mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi
membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan
lewat ginjal. Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi
dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty,
2006).
2) Antibiotik
Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian
antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob
yang menginfeksi peritoneum. Pemberian antibiotik secara empiris
dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan
hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika
penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan
menurunnya sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan
hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti besar kecilnya kontaminasi bakteri, penyebab dari peritonitis
trauma atau nontrauma, ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida.
Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih
dulu, selama dan setelah operasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang
kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Pemberian antibiotik
diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel
darah putih yang normal (Doherty, 2006).
3) Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada
peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan
dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada
ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi
seperti ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat
ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi,
hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, adanya
nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al,2000).
4) Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik.
Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi
jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari
kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan
darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi
biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah,
bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 2000).
b. Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini
berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau
dengan exteriorasi. Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah
untuk menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada
peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang
terbaik. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan
selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan
membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen
(Schwartz et al, 2000).
1) Kontrol Sepsis
Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik
atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang
rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak
meningkatkan tingkat bertahan hidup. Memerlukan tindakan reseksi
(ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau
drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang
terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki
kavum peritoneum (Doherty, 2006).
2) Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3
liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan
fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan
irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi
(misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Lavage dengan menggunakan
aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi
karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction.
Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus
diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan
melarutkan dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan
bakteri (Doherty, 2006).

3) Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase berguna pada
infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase
diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak
dapat direseksi (Doherty, 2006).
c. Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang
tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik
untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik
disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari,
bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai
dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus
menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi
tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial,
CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder
(Doherty, 2006).

Schwartz.dkk. 2000. Peritonitis dan Abces Intraabdomen dalam Intisari Prinsip-


Prinsip Ilmu Bedah, Ed.6. Alih bahasa dr. Laniyati. Jakarta: EGC.

Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &


Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai