Anda di halaman 1dari 4

Definisi Bid'ah

Bidah adalah sesuatu yang jelas dilarang dalam agama islam, banyak hadis yang membahas tentang
bidah, antara lain di bawah ini:

Rasulullah Shalallahualaihiwasallam bersabda:

Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa
yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-
benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Quran), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang
baru diada-adakan adalah bidah, setiap bidah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di
dalam neraka. (HR Nasai)

Rasulullah Shalallahualaihiwasallam bersabda:

Amma bad, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bidah
adalah sesat. (HR Muslim)

Rasulullah Shalallahualaihiwasallam bersabda:

Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak. (HR
Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shalallahualaihiwasallam bersabda:

Jauhilah oleh kalian semua dari mengada-adakan hal-hal yang baru, karena sesungguhnya
mengadakan hal yang baru itu adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat. (HR Abu Dawud)

Secara bahasa, bidah berasal dari kata badaa- yabdau-badan wa bidat[an] yang artinya adalah
mencipta sesuatu yang belum pernah ada, memulai, dan mendirikan. Badaa asy-syaya,artinya, Dia
menciptakan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada (Kamus al-Munawir, hlm. 65). Bisa disimpulkan
bahwa bidah secara bahasa artinya menciptakan hal yang baru atau melakukan inovasi baru.

Sudah jelas bahwa Rasulullah Shalallahualaihiwasallam melarang bidah. Semua bidah adalah sesat.
Apakah berarti Rasulullah melarang menciptakan sesuatu yang baru?

Perlu dibedakan antara istilah bahasa dan istilah syari. Contohnya, taqwa secara bahasa artinya
memelihara, iman secara bahasa artinya percaya, kafir secara bahasa artinya menolak/mengingkari.
Apakah kalau ada non muslim yang percaya dengan artikel ini dia bisa disebut mukmin secara syar'i?
tentu tidak. Apakah kalau ada orang islam yang menolak/mengingkari artikel ini bisa disebut kafir? tentu
tidak. Karena ada arti secara bahasa dan secara syari. Perlu dibedakan antara taqwa, iman, kafir,
tawakal, dan bidah secara bahasa dan secara syari.

Perlu dipahami antara perkara-perkara ubudiah (ritual peribadatan) dengan perkara-perkara muamalah
(urusan dunia). Misalnya, shalat adalah perkara ubudiah, sedangkan saat shalat memakai pakaian model
dan jenis tertentu itu adalah perkara muamalah. Rasulullah menyuruh sahabatnya untuk mencontoh
shalatnya, tetapi Rasulullah tidak pernah melarang sahabat yang tidak memakai baju persis sama
dengan Rasulullah.

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR Bukhari dan Muslim)

Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa bidah secara syari artinya menciptakan sesuatu yang
baru yang berhubungan dengan syar'i, yaitu menciptakan sesuatu yang menyerupai atau seolah-olah jadi
syariat, lebih jelasnya adalah menciptakan ritual peribadatan (ubudiah) baru yang tidak dicontohkan
Rasulullah atau melakukan inovasi ritual peribadatan (ubudiah).

Perlu diperhatikan bahwa setiap ritual ibadah apapun pasti bersinggungan dengan perkara muamalah.
Missal dalam shalat tentu supaya sah shalatnya harus menutupi aurat (memakai baju, sedangkan
memakai baju adalah perkara muamalah).

Di atas sudah banyak disebutkan hadis-hadis tentang prinsip hukum ubudiah, di bawah ini salah satu
hadis untuk dasar hukum muamalah:

Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian. (HR Muslim)

Prinsip hukum untuk perkara ubudiah adalah semua dilarang kecuali yang diperintahkan" sedang prinsip
hukum muamalah adalah "semua boleh kecuali yang dilarang.

Tidak semua yang berhubungan dengan agama adalah perkara ubudiah (ritual peribadatan), contohnya,
meskipun agama memerintahkan semua muslim untuk menuntut ilmu, dan menuntut ilmu dijanjikan
pahala yang besar melebihi shalat sunnah 1000 rakaat, tapi menuntut ilmu bukanlah ritual peribadatan.
Begitu juga tidak semua yang melanggar hukum syari disebut bidah. Contohnya, meskipun zina adalah
dosa besar dan dilarang syari serta Nabi tidak pernah zina, tetapi orang yang berzina tidak disebut
melakukan bidah. Karena bidah hanya menyangkut pelanggaran-pelanggaran yang menyangkut ritual
peribadatan yang sifatnya menciptakan ritual peribadatan baru.

Logika sederhananya, orang yang korupsi itu melanggar hukum, tetapi orang yang melanggar hukum
belum tentu korupsi, dan tidak boleh semua orang yang melanggar hukum disebut koruptor. Perlu
dipahami antara perbedaan ritual peribadatan dengan perbuatan yang bisa bernilai ibadah. Ritual
peribadatan pasti bernilai ibadah, tapi yang bernilai ibadah tidak hanya ritual peribadatan.

Apakah pembukuan Al-Quran, pemberian titik, maupun penulisan dalam kertas-kertas dan media modern
adalah bidah? Jawabannya tidak, Karena Al-Quran bukan ritual peribadatan, meskipun dalam ritual
peribadatan ada bacaan Al-Quran. Masjid bukanlah ritual peribadatan meskipun di masjid digunakan
sebagai ritual peribadatan. Para tukang bangunan yang sedang membangun masjid tidak disebut sedang
melakukan ritual peribadatan, tetapi para tukang itu sedang melakukan pekerjaan yang bisa bernilai
ibadah, begitu juga orang yang sedang menulis ayat-ayat Al-Quran menjadi buku tidak disebut sedang
melakukan ritual peribadatan melainkan sedang melakukan amalan kebaikan yang bisa bernilai ibadah.
Di atas sudah dijelaskan bahwa dalam shalat harus memakai baju, tetapi baju bukan ritual peribadatan.
Orang yang cuma memakai baju menutupi aurat tidak bisa dikatakan sedang melakukan ritual
peribadatan, tetapi orang yang memakai baju menutupi aurat bisa dikatakan orang yang sedang
menjalankan perintah agama.

Sekali lagi, tidak semua yang berhubungan dengan agama dan yang diperintahkan agama masuk dalam
ranah ritual peribadatan (ubudiah), dan bukan hanya ritual peribadatan saja yang bisa bernilai ibadah,
amalan-amalan muamalah juga bisa bernilai ibadah jika niatnya ikhlas karena Allah, dan bidah hanya
menyangkut perkara peribadatan yang baru atau inovasi dalam ritual peribadatan.
Beda masalah dengan orang yang menggunakan Al-Quran untuk menciptakan ritual ibadah tertentu.
Misalnya orang berkumpul melakukan ritual sujud syukur berjamaah 10 kali sambil membaca Al-Quran 10
kali untuk syukuran panen. Sujud sukur maupun membaca Al-Quran hukumnya boleh bahkan
disunnahkan, tetapi melakukan inovasi menjadi kesatuan ritual tertentu, yaitu dilakukan berjamaah dan
dengan hitungan-hitungan tertentu dan tata cara serta niat tertentu yang seolah menjadi ritual sendiri
yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah, itu yang membuat jadi bidah. Jadi di sini yang bid'ah
bukan sujud syukur dan Al-Qurannya, tapi ritualnya.

Contoh lain, misalnya kita melakukan shalat pelangi ataupun shalat untuk kejadian alam lainnya, seperti
shalat gerhana yang dicontohkan Rasulullah. Yang bid'ah bukan gerakan dan bacaan shalatnya, tapi niat
untuk ritual tertentu yang tidak dicontohkan Rasulullah yang membuat bid'ah, karena Rasulullah hanya
mencontohkan shalat gerhana. (semua ulama madzhab 4 tentunya sepakat, hal semacam itu tidak
dibenarkan, artinya hal tersebut adalah bid'ah). Jadi, Niat dalam ritual peribadatan bisa menjadikan
bid"ah, kalau niatnya menyelisihi yang dicontohkan Rasulullah. ( #niat )

Contoh lain, Shalat Tahiyatul masjid dilakukan dengan cara berjamaah (semua ulama madzhab 4
tentunya sepakat, hal tersebut adalah bid'ah). Jadi, cara/metode bisa membuat suatu ritual peribadatan
menjadi bid'ah. Padahal kalau kita cari dalil tentang perintah supaya berjamaah tentunya banyak sekali,
tetapi karena Rasulullah mencontohkan shalat tahiyatul masjid sendiri-sendiri, artinya kalau dilakukan
dengan cara berjamaah adalah bid'ah. ( #cara / #metode )

Kalau hanya karena faktor niat dan cara/metode saja bisa menyebabkan sebuah ritual peribadatan
menjadi bid'ah, apakah masih akan menganggap ritual peribadatan macam dzikir bersama (tahlilan,
mujahadah, dzikrulqhafilin, ratib, dsb) itu bukan bid'ah? Rasulullah tidak pernah melakukan dzikir
berjamaah, bahkan ulama madzhab 4 (Imam Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali) sekalipun juga tidak
pernah melakukan ritual-ritual tersebut.

Apakah maulid Nabi itu bid'ah? Peringatan kelahiran seseorang bukanlah ritual peribadatan, jadi maulid
Nabi bukanlah bid'ah. Bagaimana kalau misalnya peringatan maulid disertai sujud syukur berjamaah 10
kali sambil baca Al-Quran berjamaah 10 kali dengan diniatkan rasa syukur karena telah diutusnya
seorang Rasul. Dalam hal ini yang bid'ah bukan maulidnya tetapi yang bid'ah adalah ritual dalam maulid
tersebut. Selama di dalam maulid itu cuma diisi perkara muamalah yaitu pengajian maupun kajian
sejarah Nabi maka bukanlah bid'ah.

Dalam agama, yang berpahala dan bernilai ibadah bukan hanya perkara yang pada dasarnya adalah
perkara ubudiah, perkara yang pada dasarnya perkara muamalah yang diperintahkan dan perkara-
perkara yang niatnya baik juga berpahala dan bernilai ibadah, misalnya menuntut ilmu, bekerja untuk
menafkahi keluarga, dan lain sebagainya.

Dari beberapa riwayat diketahui, para sahabat dan ulama salaf belum membedakan
bidah secara bahasa dan secara syari dengan rinci dan jelas, sehingga muncul
istilah bidah hasanah dan bidah sayyiah. Misalnya Umar RA yang shalat tarawih
berjamaah lalu berkata sebagus bidah ialah ini, hal itu sebenarnya adalah bidah
secara bahasa karena Rasulullah pernah mencontohkan shalat tarawih berjamaah,
dan banyak hadis yang meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah memimpin shalat
tarawih berjamaah. Munculnya istilah bidah hasanah dan sayyiah menjadi
pembenaran perilaku bidah akhir-akhir ini. Padahal ritual-ritual yang dilakukan para
ahlul bidah akhir-akhir ini tidak pernah dilakukan oleh sahabat dan ulama salaf
(madzhab 4). Andai, sekali lagi andai perilaku bidah yang dilakukan para ahlul
bidah akhir-akhir ini dicontohkan oleh para sahabat dan ulama salaf sekalipun, hal
demikian tetap tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan hirarki hukum
yang lebih tinggi, yaitu hadis. Selain itu, kita tahu perilaku sahabat dan ulama salaf
juga cuma dari riwayat, sedang standar periwayatan perilaku sahabat dan ulama
salaf tidak seketat standar periwayatan hadis. Perlu diketahui juga, bahwa perilaku
sahabat tidak semua benar dan harus diikuti, karena para sahabat tidak maksum
seperti Nabi. Lihat sejarah perang jamal dimana para Sahabat Nabi berperang dan
saling bunuh sesama Sahabat Nabi.

Dari dalil-dalil dan pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa semua bidah adalah sesat. Tidak ada
definisi bidah hasanah dan bidah sayyi'ah, karena kalau ada bidah hasanah dan sayyiah maka akan
bertentangan dengan hadis "kullu bid'atin dholalah, wa kullu dholalatin finnar" semua bidah adalah
sesat, dan semua kesesatan (tempatnya) di neraka. Definisi yang paling sesuai adalah definisi bidah
secara bahasa dengan bidah secara istilah agama. Dengan melihat sejarah Nabi SAW dan sabda-sabda
beliau yang telah ditulis di atas, maka bidah secara istilah agama adalah sesuatu yang baru yang
menyangkut ritual peribadatan.

Perlu diperhatikan bahwa yang memberikan vonis sesat terhadap bidah bukanlah si A atau si B
melainkan Rasulullah.

Rasulullah Shalallahualaihiwasallam bersabda:

"Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bidah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya."
(HR Ahmad)

Wallahualam.

Anda mungkin juga menyukai