Pertanyaan :
Putusan Perkara Perdata sebagai Alat Bukti
Saya memenangkan kasus perdata atas sebidang tanah terhadap (sebut saja) si A dan telah
memiliki keputusan pengadilan dan sudah eksekusi. Namun ada pihak lain (sebut saja si B)
yang menyerobot tanah saya tersebut. Apakah keputusan perdata yang saya peroleh terhadap
si A juga berlaku terhadap si B, sehingga si B tidak bisa seenaknya menyerobot tanah saya
dengan menggunakan bukti bukti lain? Apakah keputusan perdata yang saya peroleh dari si A
dapat saya gunakan untuk mempidanakan si B yang kemudian menyerobot tanah saya
tersebut? Terima kasih.
Jawaban :
Sebelum kami menjawab pertanyaan Saudara, akan kami jabarkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
putusan hakim. Lebih lanjut, apabila kita mengacu kepada Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, tidak diketemukan mengenai pengertian atau batasan terhadap putusan hakim,
ketentuan-ketentuan tersebut di atas pada dasarnya hanya menentukan hal-hal yang harus ada dan dimuat oleh
putusan hakim, namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa doktrin dan pandangan dari para ahli terhadap
pengertian putusan hakim, sebagai berikut:
I. Rubini dan Chaidir Ali, dalam buku Pengantar Hukum Acara Perdata (hal 105) merumuskan bahwa:
Keputusan hakim itu merupakan suatu akta penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu
disebut Vonnis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum dari hakim serta
memuat pula akibat-akibatnya.
II. Sudikno Mertokusumo, dalam buku Hukum Acara Perdata (hal. 174) merumuskan bahwa:
Suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di
persidangan, dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak.
Berdasarkan pendapat dan doktrin dari para ahli di atas, disebutkan pula dalam Bab I Pasal 1 angka 5
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata Tahun 2006, yaitu :
Putusan pengadilan adalah putusan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan di
persidangan yang terbuka untuk umum serta bertujuan untuk menyelesaikan dan/atau mengakhiri
gugatan
Terhadap permasalahan yang telah menimpa Saudara sebagaimana tertuang di dalam pertanyaan Saudara, maka
kami mengasumsikan bahwa putusan perdata tentang sengketa kepemilikan tanah yang Saudara menangkan
telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).Apabila merujuk pada penjelasan Pasal 195 Reglemen
Indonesia yang Diperbaharui (HIR) sebagai ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, maka putusan
dapat dikatakan telah memiliki kekuatan hukum yang tetap setelah:
Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang
menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-
undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah
selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan
akan tidak ada gunanya.
Dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu
dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut, akan tetapi putusan itu harus benar-
benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti, artinya semua jalan hukum untuk
melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali
kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding
atau kasasi.
Dengan adanya putusan pengadilan maka ada kepastian hak dan kepastian hukum tentang sesuatu persoalan
dalam perkara yang telah diputuskan itu. Putusan pengadilan yang tertuang dalam bentuk tertulis ini merupakan
akta otentik, yang dapat digunakan sebagai alat bukti oleh pihak-pihak yang berperkara, baik dalam pelaksanaan
upaya hukum (Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali), ataupun dalam pelaksanaannya.
Lebih lanjut lagi, terhadap siapakah putusan yang telah berkekuatan hukum mempunyai daya mengikat?
Berdasarkan ketentuan Pasal 1917 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), daya
kekuatan mengikat dari putusan a quo hampir tidak berbeda dengan yang terdapat dalam Pasal 1340 KUHPer,
tentang asas kontrak partai (party-contract), yaitu perikatan hanya berlaku kepada pihak-pihak yang
membuatnya. Dengan demikian daya kekuatan mengikat tersebut mengikat kepada para pihak yang terlibat
dalam perkara, meliputi ahli waris dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, sepanjang mengenai
hubungan hukum yang ditentukan di dalamnya, serta TIDAK MEMPUNYAI DAYA MENGIKAT KEPADA
PIHAK KETIGA. Terhadap pihak ketiga sendiri daya kekuatan hukum pembuktiannya bersifat bebas (vrij
beweijsgkracht) atau dapat membuktikan dengan bukti yang dimilikinya melalui proses peradilan perdata
TANPA MENGGANGGU HAK ATAUPUN PUTUSAN DARI PIHAK PERTAMA SEBELUM
MENDAPATKAN KEPUTUSAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP YANG MEMUTUSKAN
SEBALIKNYA.
Apabila Saudara sudah memiliki putusan berkekuatan hukum tetap, terhadap sengketa kepemilikan tanah
terdahulu yang telah menjadi hak Saudara, maka sebaiknya Saudara segera meningkatkan putusan tersebut
menjadi bukti kepemilikan tanah yang sah dan berlaku, yaitu SERTIFIKAT HAK MILIK (SHM) pada Badan
Pertanahan Nasional.Terhadap bukti kepemilikan tersebut apabila terjadi penyerobotan terhadap aset maupun
tanah yang Saudara miliki, maka Saudara dapat melaporkan yang bersangkutan kepada aparat kepolisian untuk
dapat diproses lebih lanjut.
Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan Saudara apakah bisa putusan perdata atas perkara yang lain digunakan
sebagai dasar untuk mempidanakan perkara penyerobotan tanah. Putusan dari perkara terdahulu yang telah
inkracht tentu saja dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti dalam mengajukan laporan pidana
Saudara. Namun tentu saja pembuktian apakah seorang bersalah atau tidak harus melalui proses persidangan
terlebih dahulu sampai dengan akhirnya memperoleh putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap juga
nantinya.
Demikian yang bisa saya jelaskan, semoga menjawab pertanyaan Saudara. Terima kasih.
Dasar Hukum:
Mencermati pertanyaan yang Anda ajukan, sejauh ini saya berasumsi bahwa pertanyaan Anda tersebut adalah
dalam konteks hubungan keperdataan. Dalam membuktikan suatu perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran
formil, yaitu kebenaran yang didasarkan (sebatas) pada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang
berperkara. Oleh karena itu, umumnya suatu bukti tertulis (surat) atau dokumen memang sengaja dibuat oleh
para pihak untuk kepentingan pembuktian nanti (jika ada sengketa).
Dalam pembuktian suatu perkara perdata, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) atau Pasal 164 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB/HIR) telah mengatur jenis alat-alat
bukti dalam hukum acara perdata, yaitu:
1. Bukti Surat
2. Bukti Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Menjawab pertanyaan Anda mengenai fungsi saksi dalam fotocopy (fotokopi) perjanjian di bawah tangan, maka
Pasal 1888 KUH Perdata sudah memberikan pengaturan mengenai salinan/fotocopy dari sebuah
surat/dokumen, yaitu:
Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada,
maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan
serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan
mempertunjukkannya
Dalam praktik, Mahkamah Agung juga telah memberikan penegasan atas bukti berupa fotocopy dari
surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
Surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus
dikesampingkan sebagai surat bukti. (Putusan MA No.: 3609 K/Pdt/1985)
Sesuai dengan pendapat dari Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 tersebut, maka
fotocopy dari sebuah surat/dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan aslinya, tidak dapat dipertimbangkan
sebagai alat bukti surat menurut Hukum Acara Perdata (Vide: Pasal 1888 KUH Perdata).
Jadi, dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli dari fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, saksi
sebagai salah satu alat bukti dapat berfungsi untuk memberikan keterangan kepada hakim, bahwa benar pernah
ada suatu kesepakatan yang dibuat secara bawah tangan oleh para pihak yang namanya tercantum dalam
fotocopy perjanjian bawah tangan tersebut, untuk memperjanjikan suatu hal tertentu (Vide Pasal 1320 Jo. 1338
KUH Perdata).
Argumentasi mengenai hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya No.: 112
K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan oleh Keterangan saksi
dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam Persidangan
Pengadilan (Perdata)
Mengenai pertanyaan jumlah minimum saksi untuk membuktikan fotocopy perjanjian di bawah tangan, ada
baiknya kita memperhatikan ketentuan Pasal 1905 KUH Perdata, yang berbunyi:
Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka pengadilan tidak boleh
dipercaya.
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal tidak adanya bukti lain, selain saksi yang
dapat diajukan oleh seseorang untuk menguatkan dalilnya, maka jumlah saksi yang harus diajukan orang
tersebut adalah minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis).
Namun demikian, dalam praktik, ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara perdata tersebut dapat
berkembang dan bermanuver. Misalnya dalam hal keberadaan fotocopy dari perjanjian bawah tangan ini ternyata
diakui dan tidak disangkal oleh pihak lawan, tentunya hal ini dapat dikualifisir sebagai pengakuan di muka
hakim, yang merupakan bukti yang sempurna (Vide: Pasal 176 HIR), atau apakah ada persangkaan
(kesimpulan) yang ditarik oleh hakim (Vide: Pasal 173 HIR) dari bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak
serta fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.
Dasar hukum:
Putusan:
1. Putusan Mahkamah Agung No.: 3609 K/Pdt/1985
2. Putusan Mahkamah Agung No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996
SISTEM PEMBUKTIAN
1.Di dalam teori dikenal 4 (empat) sistem pembuktian yaitu :
a.Conviction In Time
Ajaran pembuktian conviction in time adalah suatu ajaran pembuktian yang menyandarkan
pada keyakinan hakim semata. Hakim di dalam menetukan putusan tidak terikat dengan alat
bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya
boleh menymmpulkan dan alat bukti yang ada di dalam persidangan atau mengabaikan alat
bukti yang ada di persidangan. Akibatnya dalam memutuskan perkara menjadi subyektif
sekali, hakim tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya.
Seseorang bisa dinyatakan bersalah dengan tanpa bukti yang mendukungnya. Demikian
sebaliknya hakim bisa membebaskan terdakwa dan tindak pidana yang dilakukan, meskipun
bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
Sistem pembuktian conviction in time dipergunakan dalam sistem peradilan juri (Jury
rechtspraak) misalnya di lnggris dan Amerika Serikat.
b.Conviction In Raisone
Ajaran pembuktian ini juga masih menyandarkan pula kepada keyakinan hakim. Hakim tetap
tidak terikat pada alat-alat yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Meskipun alat-alat
bukti telah ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim bisa mempergunakan alat-alat bukti
di luar yang ditentukan oleh undang-undang. Namun demikian di dalam mengambil
keputusan tentang salah atau tidaknya seorang terdakwa haruslah didasarkan alasan-alasan
yang jelas. Jadi hakim harus mendasarkan putusan-putusannya terhadap seorang terdakwa
berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu putusan tersebut juga berdasarkan alasan
yang dapat diterima oleh akal (reasonable). Keyakinan hakim haruslah didasari dengan alasan
yang logis dan dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan
yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.
c.Sistem Pembuktian Positif
Sistem pembuktian positif (positief wetelijk) adalah sistem pembuktian yang menyandarkan
diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seorang
terdakwa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat bukti
yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim
sama sekali diabaikan. Pada pokoknya apabila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara
pembuktian dan alat bukti yang sah yakni yang ditentukan oleh undang-undang maka
terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Seorang hakim laksana robot
yang menjalankan undang-undang. Namun demikian ada kebaikan dalam sistem pembuktian
ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh
nunaninya sehingga benar-benar obyektif. Yaitu menurut cara-cara dan alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran
formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perdata.
d.Sistem Pembuktian Negatif
Sistem pembuktian negatif (negatief wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian
conviction in raisone. Hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya
seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan
(nurani) hakim sendiri. Jadi di dalam sistem negatif ada 2 (dua) hal yang merupakan syarat
untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni :
WETTELIJK : Adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
NEGATIEF : Adanya keyakinan (nurani) dan hakim, yakni berdasarkan bukti-bukti tersebut
hakim meyakini kesalahan terdakwa.
Alat bukti yang telah ditentukan undang-undang tidak bisa ditambah dengan alat bukti lain,
serta berdasarkan alat bukti yang diajukan di persidangan seperti yang ditentukan oleh
undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah
melakukan tindak pidana yang didakwakan.
2.Setelah dipelajari beberapa sistem pembuktian, dapatlah dicari sistem pembuktian apa yang
dianut oleh KUHAP.
Dalam KUHAP sistem pembuktian diatur dalam Pasal 183 yang berbunyi :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar tenjadi dan bahwa tendakwalah yang bersalah melakukannya. dan Pasal tersebut
di atas, putusan hakim haruslah didasarkan pada 2 (dua) syarat, yaitu :
a.Minimum 2 (dua) alat bukti ;
b.Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana.
Jadi meskipun di dalam persidangan telah diajukan dua atau lebih alat bukti, namun bila
hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa tersebut akan dibebaskan. Dari
yang diuraikan di atas jelaslah bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian negatif
wettelijk. Minimun pembuktian yakni 2 (dua) alat bukti yang bisa disimpangi dengan 1 (satu)
alat bukti untuk pemeriksaan perkara cepat (diatur dalam Pasal 205 sampai Pasal 216
KUHAP). Jadi jelasnya menurut penjelasan Pasal 184 KUHAP, pemeriksaan perkara cepat
cukup dibuktikan dengan 1 (satu) alat bukti dan keyakinan hakim.
b.Jadi apabila disimpulkan, apa yang harus diterangkan oleh saksi adalah fakta yang
menyangkut perbuatan yang dilakukan oleh seorang terdakwa. Bukan pengambilan
kesimpulan atau pendapat dan fakta yang menyangkut perbuatan yang dilakukan oleh
seorang tendakwa. Ringkasnya seorang saksi tidak boleh menyimpulkan atau memberi
pendapat terhadap apa yang ia lihat, ia dengar atau yang ia alami.
c.Di dalam KUHAP, keharusan tersebut terdapat dalam ketentuan yang diatur dalam Pasal
185 ayat (5) KUHAP yang berbunyi:
Baik pendapat maupun rekan, yang diperoleh dan pemikiran saja bukan merupakan
keterangan saksi.
6.Penilaian Dari Keterangan Saksi
a.Penilaian terhadap keterangan yang diberikan oleh seorang saksi adalah bebas, artinya
seorang hakim bebas untuk menerima atau menolak isi keterangan seonang saksi yang
diberikan di persidangan
b.Keadaan tersebut ada benarnya, karena seringkali seorang saksi di dalam menerangkan
dilandasi suatu motivasi tertentu.
c.Ada ketentuan yang harus diperhatikan oleh hakim di dalam menilai keterangan seorang
saksi. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk mengingatkan hakim agar memperhatikan
keterangan saksi secara bebas, jujur dan obyektif.
Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP. Dalam menilai kebenaran
ketenangan seorang saksi, hakim harus bersungguh-sungguh memperhatikan :
pensesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
pensesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu.
cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
7.Saksi Tanpa Sumpah
a.Agar keterangan saksi mempunyai kekuatan pembuktian, pada prinsipnya harus memenuhi
syarat :
saksi hadir dalam persidangan;
saksi harus bersumpah;
saksi tersebut menerangkan apa yang ia lihat, apa yang ia dengar dan apa yang ia alami
dengan menyebutkan dasar pengetahuannya.
b.Dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP disebutkan, bahwa keterangan dan saksi yang tidak
disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila
keterangan itu sesuai dengan keterangan dan saksi yang disumpah, dapat dipergunakan
sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
c.Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 85 ayat (7) KUHAP, dapatlah ia ditarik
kesimpulan bahwa keterangan saksi dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1.Keterangan saksi yang disumpah;
2.Keterangan saksi yang tidak disumpah.
d.Keterangan saksi, baru mempunyai kekuatan sebagai alat bukti apahila dinyatakan saksi
yang sebelumnya disumpah/berjanji atau dikuatkan oleh sumpah/janji.
e.Keterangan saksi yang tidak disumpah, bisa terjadi karena:
saksi menotak untuk bersumpah atau benjanji dan dalam waktu penyanderaan telah lampau,
saksi tersebut tetap tidak mau bersumpah (Pasal 161 KU HAP).
berita acara pemeriksaan saksi yang dibacakan di sidang, karena saksi tersebut tidak bisa
dihadirkan dan waktu pemeriksaan penyidikan tidak disumpah (Pasat 162 KUHAP)
Saksi yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan yang memberikan keterangan tanpa
sumpah (Pasal 169 ayat (2) KUHAP).
Anak yang umumnya belum cukup lima belas tahun dan bltum pernah kawin atau sakit jiwa
meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali (Pasal 171 KUHAP).
f.Keterangan saksi tanpa sumpah tersebut, dapat di pergunakan sebagai:
keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 ayat (2) KUHAP);
dapat dipakai sebagai petunjuk (penjelasan Pasal 171 KUHAP).
g.Bila ketentuan tersebut dikaitkan dengan Pasal 185 ayat (7) KUHAP dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
tidak merupakan alat bukti, meskipun sesuai satu dengan yang lain ;
jika keterangan tersebut sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah, dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sudah ada, yakni :
menguatkan keyakinan hakim;
dapat dipakai sebagai petunjuk.
Kanena kata dapat maka hakim tidak terikat untuk mempergunakannya. jadi sifatnya bisa
dipakai atau dikesampingkan jika bertentangan dengan keyakinan hakim.
RINGKASAN Hal 48
Agar suatu kesaksian mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat
sebagai berikut
1.Syarat obyektif :
a.tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa;
b.tidak boleh ada hubungan keluarga;
c.mampu bertangggung jawab, yakni sudah berumun 1 5 (lima belas) tahun atau sudah
pernah kawin dan tidak sakit ingatan.
2.Syarat formal
a.kesaksian harus diucapkan dalam sidang;
b.kesaksian tersebut harus diucapkan di bawah sumpah;
c.tidak dikenal asas unus testis nullus testis.
3.Syarat subyektif/material:
a.saksi menerangkan apa yang ia lihat, ia dengar dan ia alami sendiri;
b.dasar-dasar atau alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar dan mengalami sesuatu
yang diterangkan tersebut.
SAKSI MAHKOTA
Dalam praktek, antara seorang terdakwa dengan tendakwa lain yang bersama-sama
melakukan indak pidana, bisa dijadikan saksi antara yang satu dengan yang lain.
Saksi yang diajukan seperti tersebut di atas, disebut saksi mahkota (kroongetuige), pada saat
yang lain ia dijadikan terdakwa.
Berkas pemeriksaan terhadap para tersangka dipisah, atau disebut pemisahan berkas perkara
(splitsing). Splitsing dilakukan karena kurangnya saksi untuk menguatkan dakwaan penuntut
umum, sehingga ditempuh cara mengajukan sesama tersangka sebagai saksi atas tersangka
yang lain.
Pemeriksaan seperti ini dibenarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan
putusan Nomor 66 K/Kr11967, tanggal 25 Oktober 1967.
Namun demikian kelemahan dan pemeriksaan seperti ini sering mengakibatkan terjadinya
keterangan saksi palsu, sehingga ada kemungkinan saksi tersebut diancam atau dikenakan
pasal 224 KUHP.
Kemungkinan yang timbul, para terdakwa yang diperiksa seperti ini akan saling
memberatkan atau saling meringankan.
Salah satu penyebab bebasnya para terdakwa dalam kasus Marsinah yang menggemparkan
adalah praktek splitsing.
Doktrin hukum yang menyatakan prinsip saksi mahkota itu, tidak boleh digunakan, karena
melanggar hak asasi manusia. Terdakwa tidak bisa menggunakan hak mungkir, karena terikat
sumpahnya ketika menjadi saksi. Penggunaan saksi mahkota di pengadilan menurut Adi
Andojo Soetjipto (Kompas, 20 Mei 1995) sudah salah kaprah. Mahkamah Agung bermaksud
meluruskan hal ini.
Di dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 11 74 K/Pid/1 994 tanggal 29 April 1995 dengan
terdakwa Ny. Mutiari, SH dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1952 K/Pid!1994 tanggal
29 April 1995 dengan terdakwa Bambang Wuryangtoyo, Widayat don Ahrnad Sutiyono
Prayogi dengan Ketua Majelis Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto, SH telah memberi
pertimbangan sebagai berikut : Oleh karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum
pembuktian, di mana saksi adalah para terdakwa dalam perkara dengan dakwaan yang sama
yang dipecah-pecah adalah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia, lagi pula para terdakwa telah mencabut keterangannya di depan penyidik
dan pencabutan tersebut beralasan karena adanya tekanan phisik maupun psikis dapat
dibuktikan secara nyata, di samping itu keterangan saksi-saksi lain yang diajukan ada
persesuaian satu sama lain. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka terdakwa dibebaskan.
Dengan adanya yurisprudensi Nomor 1174 K/Pid/1 994 dan Nomor 1592 K/Pid/1994
tersebut, praktek saksi mahkota seharusnya diakhiri.
Menurut penulis, seharusnya penyidik sebelum melakukan penyidikan hendaknya
mengfungsikan secara maksimal penyelidikan sehingga mendapatkan saksi yang cukup dan
tidak perlu menggunakan saksi mahkota.
KETERANGAN AHLI
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang. yang dimiliki keahlian
khuus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan (pasal 1 butir 28 KUHP)
Dari keterangan di atas, maka lebih jelas lagi bahwa keterangan ahli tidak dituntut sesuatu
pendidikan formal, tertentu, tetapi juga meliputi seorang yang ahli dan berpengalaman dalam
suatu bidang tanpa pendidikan khusus.
Ahli mempunyai 2 (dua) kemungkinan bisa sebagai alat bukti keterangan ahli atau alat bukti
surat.
Apabila diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang
dituangkan dalam suatu bentuk laporan, dan dibuat dengan mengingat sumpah sewaktu ia
menerima jabatan atau pekerjaan (penjelasan pasal 186 KUHAP), maka keterangan ahli
tersebut sebagai alat bukti surat.
MACAM-MACAM SURAT
1.Bunyi pasal 1 87 KUHAP, secara lengkap adalah sebagai berikut :
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 1 87 ayat (1) huruf c, dibuat atas jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a.Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b.Surat yang dibuat menunut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat
oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c.Sunat keterangan dan sernang ahli yang memuat pendapat bendasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secana resmi dan padanya.
d.Surat lain yang hanya dapat berbaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian
yang lain.
2.a. Seharusnya surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah yakni
surat-surat resmi hanyalah yang diatur dalam
Pasal 187 huruf a KUHAP;
Pasal 187 huruf b KUHAP;
Pasal 187 huruf c KUHAR
Sedangkan yang diatur dalam Pasal 187 huruf d KUHAP termasuk surat biasa, yang setiap
hari bisa dibuat oleh setiap orang.
b. Surat-surat yang dimaksud dalam pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP, memang sejak
semula diperuntukkan untuk membuktikan sesuatu.
3.a. Yang dimaksud dengan surat yang diatur didalam pasal 1 87 huruf a KUHAP adalah :
Berita acara, misalnya brnita acrna yang dibuat oleh seorang penyidik;
Sunat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendini, misalnya surat-sunat yang dibuat oleh seonang notaris.
b. Menunut SEMA nomon 1 Tahun 1985 tentang Kekuatan Pembuktian Berita Acara
Pemeriksaan Saksi dan Visum et Repertum Yang Dibuat di Luar Negeri Oleh Pejabat Asing
disebutkan bahwa berita acara pemeniksaan sakti yang dibuat oleh polisi dan negara asing
di luan negeri, brnu dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
Dalam berita acara tersebut kehadiran penyidik POLRI atau penyidik lainnya harus
dicantumkan dengan tegas;
Apabila kehadiran penyidik POLRI atau penyidik lainnya tidak dicantumkan, maka berita
acara tersebut harus disahkan oleh Kedutaan Besar Rl/Perwakilan RI di negara yang
bersangkutan;
Saksi yang bersangkutan harus didengar dibawah sumpah di hadapan penyidik POLRI/atau
penyidik Iainnya atau apabila tidak, di hadapan pejabat Kedutaan Besar perwakilan RI di
negara yang bersangkutan.
4.Yang dimaksud dengan surat yang diatur dalam pasal 87 hunuf b KUHAP adalah : Surat-
srnat yang dibuat oleh pejabat di lingkungan pemrnintahan (eksekutif) ; Srnat-surat yang
dikeluankan oleh suatu majelis misal nya hakim.
5.Yang dimaksud dengan surat yang diatur oleh pasal 1 87 hunuf c KUHAP adalah sama
dengan yang dimaksud dalam penjlbasan pasal 1 86 KUHAP. Jika dikaitkan dengan
penjelasan pasal 186 KUHAP, maka alat bukti surat dapat brnupa keterangan ahli yang
dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia
menrnima jabatan atau pekrnjaan. Laporan trnsebut itu mencakup didalamnya visum et
nepentum, yang sebenannya telah ditentukan sebagai abat bukti yang sah dalam Staatblad
1937-350. Menurut SEMA nomor 1 Tahun 1985, mengenai visum et nepentum yang dibuat
obeh pejabat dan negara asing, baru mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah apabila
visum et nepertum tensebut disahkan oleh Kedutaan Besar/Perwakilan RI di negara yang
bersangkutan. Ada Yurisprudensi dan Mahkamah Agung nomor 10 K/Kn/1969 tanggal 5
November 1969 bahwa jika visum et repentum tidak ada, bisa diganti dengan keterangan
saksi ahli.
6.Yang dimaksud dengan surat yang diatur dalam pasal 187 huruf d KUHAP adalah surat-
surat biasa yang baru berlaku jika ada hubungannya dengan isi abat bukti yang lain. Misalnya
: Surat ancaman dan terdakwa kepada korban dalam perkara pembunuhan ; Surat cinta antara
terdakwa dengan saksi dalam perkara membawakan seorang gadis di bawah umur.
7.Dari macam-macam surat resmi sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 huruf a, b dan c
KUHAP, maka dapat diglbongkan:
a.Acte ambtelijk, yaitu akte otentik yang dibuat oleh pejabat umum. Pembuatan akta otentik
tensebut sepenuhnya merupakan kehendak dan pejabat umum tersebut. Jadi isinya adalah
keterangan dan pejabat umum tentang yang ia lihat dan di lakukan. Misalnya : Berita acara
tentang keterangan saksi yang dibuat oleh penyidik.
b.Acte pantij, yaitu akta otentik yang dibuat para pihak di hadapan pejabat umum. Pembuat
akta otentik tersebut, sepenuhnya berdasarkan kehendak dan para pihak dengan bantuan
pejabat umum. Isi akta otentik trnsebut merupakan keterangan-keterangan yang berisi
kehendak pada pihak. Misalnya : Akta jual beli yang dibuat di hadapan notanis.
8.Macam-macam surat adalah :
Sunat biasa;
surat otentik ;
surat di bawah tangan,
Jika macam-macam surat tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 187 KUHAP, maka:
Pasal 187 hunuf a, b dan c KUHAP termasuk surat otentik.
Pasal 1 87 hunuf d termasuk surat biasa.
BAB IX
BARANG BUKTI
UMUM
1.Istilah
Barang bukti antara lain terdapat dalam pasal pasaf 21 ayat (1), 45 ayat (2), 46 ayat (2) dan
pasal 181 KUHAP.
lstilah barang bukti tersebut tidak terdapat dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 1
KUHAP yang berisi tafsir otentik.
2.Cara mendapatkan barang bukti
Di dalam KUHAP ditentukan cara-cara untuk memperoleh barang bukti
a.Penggeledahan (diatur dalam pasaf 32 sampai 37 KUHAP dan pasal 125 sampai pasal 127
KUHAP);
b.Penyitaan (diatur dalam pasal 38 sampai 46 KUHAP dan pasal 128 smpai pasal 130
KUHAP);
c.Pemeriksaan surat (diatur dalam pasal 47 sampai 49 KUHAP dan pasal 131 KUHAP).
Termasuk pengertian penggeledahan. adalah penggeledahan rumah, penggeledahan badan,
dan penggeledahan pakaian (pasal 32 KUHAP).
Penggeledahan badan di dalamnya termasuk pula pemeriksaan rongga badan (penjelasan
pasal 37 KUHAP).
Termasuk pengertian pemeriksaan surat adalah penyitaan surat, pemeriksaan buku atau kitab,
daftar dan sebagainya (pasal 131 KUHAP).
Apabila di dalam penggeledahan atau pemeriksaan surat, terdapat barang-barang yang
diperlukan untuk pembuktian suatu tindak pidana, maka terhadap barang-banang yang
diketemukan tersebut dilakukan penyitaan.
Barang-barang yang bisa dilakukan penyitaan, menurut pasal 39 KUHAP adalah :
a.Benda atau tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana;
b.Benda-benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;
c.Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d.Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e.Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
Ketentuan yang diatur dalam pasal 45 KUHAP menyatakan bahwa :
a.Apabila benda yang dapat lekas rusak atau membahayakan sehingga tidak mungkin untuk
disimpan terlalu lama, atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan
prnsetujuan tersangka atau kuasanya dapat dijual lelang;
b.Hasil pelelangan tersebut dipakai sebagai barang bukti ;
c.Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil benda tersebut
untuk pembuktian.
3.Pengertian barang bukti
Dari cara mendapatkan barang bukti tensebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pengertian
barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaan, dan atau
penggeledahan dan atau pemeriksaan sunat untuk mengambil alih dan atau menyimpan di
bawah penguasaannya benda bengerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian
dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap
peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum.
Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan
Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan
dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam Undang-undang ini.
Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:
1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus menuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim-hakim yang memutuskan dan panitera yang ikut serta bersidang.
3) Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua dan
panitera.
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan :
1) Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib
2) Putusan Bebas
3) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :
1) Hak segera menerima atau segera menolak putusan
2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah
putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana).
3) Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam
hal ia menerima putusan (Pasal 169 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Undang-Undang Grasi).
4) Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak
hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
5) Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidanayang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan
banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat
(3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).(Andi Hamzah, 2002: 279).
Syarat sahnya suatu putusan hakim sangat penting artinya karena akan dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Pasal 195
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum. Dari hal itu dapat dilihat bahwa syarat sahnya suatu putusan hakim adalah :
1) Memuat hal-hal yang diwajibkan
2) Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum
Pasal 18 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa,
kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.
Sejalan dengan ketentuan tersebut Pasal 196 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa:
(1) Pengadilan memutuskan perkara dengan hadirnya terdakwa, kecuali dalam hal Undang-undang ini menentukan lain.
(2) Dalam hal lebih dari seorang terdakwa dalam suatu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.
Dengan demikian pada saat hakim menjatuhkan putusan, terdakwa harus hadir dan mendengarkan secara langsung tentang isi putusan tersebut.
Apabila terdakwa tidak hadir, maka penjatuhan putusan tersebut harus ditunda, kecuali dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu
perkara, tidak harus dihadiri oleh seluruh terdakwa. Berdasarkan Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana putusan dapat
diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. Dan dalam penjelasan Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan
bahwa setelah diucapkan putusan tersebut berlaku baik bagi terdakwa yang hadir maupun yang tidak hadir.
b. Isi Putusan Pengadilan
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa peradilan dilakukan Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa dalam menjalankan tugasnya, Hakim tidak hanya bertanggung
jawab kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
(1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar-dasar putusan itu, memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
Dalam Pasal 197 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim, dan berdasarkan
ayat (2) pasal tersebut kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum. Adapun formalitas
yang diwajibkan untuk dipenuhi di dalam putusan hakim sebagaimana diatur dalam pasal 197 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana adalah :
(1) Surat putusan pemidanaan memuat :
a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi :
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhinya semua unsur dalam tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan
atau tindakan yang dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan drengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau letaknya dimana kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik yang dianggap palsu.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam pelaksanaan putusan pengadilan setelah selesai proses persidangan, maka hakim mengambil keputusan yang diucapkan di muka sidang yang
terbuka untuk umum, maka selesai pulalah tugas hakim dalam penyelesaian perkara pidana. Keputusan itu sekarang harus dilaksanakan dan hal itu
tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh hakim. Putusan hakim tersebut baru dapat dilaksanakan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan
hukum tetap( in kracht van gewijsde).
Tugas pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ini dibebankan kepada penuntut umum (Jaksa) sebagaimana diatur
dalam pasal-pasal berikut ini:
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan:
Pelaksanaan Putusan Pengadilan tersebut dilakukan oleh jaksa.
Penjabaran Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ini dilaksanakan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Pasal 270 sampai dengan 276.
Pasal 270 :
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa yang untuk itu panitera mengirim surat putusan
padanya.
Syarat untuk menjalankan keputusan hakim ialah bahwa keputusan itu telah menjadi tetap tidak boleh diubah lagi, dengan pengertian segera setelah
keputusan itu tidak lagi terbuka sesuatu jalan hukum pada hakim lain atau hakim itu juga untuk merubah putusan itu, seperti perlawan verstek, naik
banding, atau kasasi. Dengan demikian selama terhadap putusan itu masih dapat dilawan, dibanding atau dimintakan kasasi, maka selama itu
keputusan tersebut belum menjadi tetap dan tidak dapat dilaksanakan.
Suatu keputusan hakim menjadi tetap, jikalau semua jalan hukum biasa untuk merubah keputusan itu seperti perlawanan verstek, banding, dan kasasi
telah digunakan, tapi ditolak oleh instansi yang bersangkutan (tidak berhasil) atau putusan telah diterima oleh terpidana dan penuntut umum atau
waktu yang disediakan telah lewat tanpa digunakan oleh pemohon untuk banding, kasasinya dicabut oleh yang bersangkutan.
Setelah Jaksa menerima kutipan surat putusan yang telah menjadi tetap dari panitera pengadilan, maka telah saatnya jaksa melaksanakan putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tersebut.
Adapun keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap itu adalah :
1) Melaksanakan Pidana Pokok
a) Pelaksanaan Pidana Mati
Pelaksanaannya dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan Undang-undang (Pasal 271 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)
b) Pelaksanaan Hukuman Penjara
Pelaksanaan pidananya itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu. Jadi dilaksanakan secara
berkesinambungan diantara pidana yang satu dengan yang lain (Pasal 272 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana)
c) Pelaksanaan Hukuman Kurungan
d) Pelaksanaan Hukuman Denda
Kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus
seketika dilunasi (Pasal 273 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Jika ada alasan kuat, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang
untuk paling lama satu bulan (Pasal 273 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
2) Pelaksanaan Pidana Tambahan
Pelaksanaanya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan undang-undang (Pasal 276 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
a) Pencabutan beberapa hak tertentu
b) Perampasan barang-barang tertentu
c) Pengumuman putusan hakim
Dalam pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan, Undang-undang nomor 14 tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 36 ayat (2), memberikan tugas baru bagi para hakim, yang dalam
perundang-undangan sebelumnya tidak diatur.
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Dalam hal putusan
pengadilan tersebut berupa perampasan kemerdekaan, maka peranan hakim sebagai pejabat yang diharapkan juga bertanggung jawab atas putusan
yang dijatuhkannya, tidak terhenti pada saat menjatuhkan putusan tersebut. Dia harus mengetahui apakah putusan perampasan kemerdekaan yang
dijatuhkan itu dilaksanakan dengan baik yang didasarkan kepada asas-asas kemanusiaan serta peri keadilan, terutama dari petugas-petugas yang harus
melaksanakan putusan tersebut, sehingga tercapai sasarannya ialah mengembalikan terpidana menjadi anggota masyarakat yang baik yang patuh pada
hukum.
Dengan adanya pengawasan tersebut akan lebih mendekatkan pengadilan tidak saja dengan kejaksaan, tetapi juga dengan pemasyarakatan.
Pengawasan tersebut menempatkan pemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana dan memberi tugas pada hakim untuk tidak berakhir pada saat
putusan pengadilan dijatuhkan olehnya.
Demikian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut ditentukan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri dari para hakim yang ada,
ditunjuk beberapa hakim khusus untuk membantu ketua pengadilan negeri tersebut untuk melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
pelaksanaan putusan-putusan pengadilan yang berupa hukuman perampasan kemerdekaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hakim yang bertugas khusus tersebut melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap narapidana selama mereka menjalani pidana
penjara/kurungan dalam lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan sebagai pelaksanaan dari putusan hakim pengadilan negeri tersebut, tentang
kelakuan mereka masing-masing maupun tentang perlakuan para petugas pengasuh dari lembaga pemasyarakatan tersebut terhadap diri para
narapidana yang dimaksud.
Dengan ikut campurnya hakim dalam pengawasan yang dimaksud, maka selain hakim akan dapat mengetahui sampai dimana putusan pengadilan itu
tampak hasil baik buruknya pada diri narapidana masing-masing yang bersangkutan, juga penting bagi penelitian demi ketetapan yang bermanfaat
bagi pemidanaan pada umumnya.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pokok pengamatan dan pengawasan adalah sebagai berikut :
a. Jaksa mengirimkan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang ditanda tangani olehnya, kepala lembaga pemasyarakatan dan
terpidana kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama (Pasal 278 KUHAP).
b. Panitera mencatat dalam register pengawasan dan pengamatan. Register ini wajib dikerjakan, ditutup dan ditandatangani oleh panitera setiap hari
kerja dan untuk diketahui ditanda-tangani juga oleh hakim pengawas dan pengamat (Pasal 279 KUHAP).
c. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Pengamatan tersebut digunakan sebagai bahan penelitian demi ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku
para narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya. Pengamatan
tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidana (Pasal 280 KUHAP).
d. Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu
tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut (Pasal 281 KUHAP).
c. Jenis-jenis putusan hakim dalam perkara pidana
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, putusan pengadilan yang berkenaan dengan terdakwa ada tiga macam :
1) Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (Vrijspraak).
Dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
Dengan demikian jika menurut hakim, perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa sebagai mana tersebut dalam surat
dakwaan, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka berdasarkan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, terdakwa
harus dibebaskan dari dakwaan dan segala tuntutan hukum.
Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian
dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum secara pidana ini.
2) Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Ontslag van Rechtsvervolging)
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, didasarkan pada kriteria :
a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan.
b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Tetapi barangkali termasuk ruang
lingkup hukum perdata atau hukum adat.
Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukuman dapat pula terjadi terhadap terdakwa, karena ia melakukan tindak pidana dalam
keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat dipertanggung jawabkan atas putusannya itu. Tegasnya terdakwa dapat dijatuhi hukuman, meskipun
perbuatan yang didakwakan itu terbukti sah, apabila:
a) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
b) Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
c) Pembelaan darurat (Nood weer) (Pasal 49 Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
d) Melakukan perbuatan untuk menjalankan pertauran Undang-undang (Pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
e) Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana).
3) Putusan yang mengandung penghukuman terdakwa (veroordeling).
Kemungkinan ketiga, dari putusan yang dijatuhkan pengadilan adalah putusan yang mengandung penghukuman terdakwa.
Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dengan demikian hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu apabila dari hasil pemeriksaan disidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya adalah terbukti secara sah dan meyakinkan, yang telah ditentukan oleh Pasal 183 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana yaitu :
(1) Sekurang-kurang dua alat bukti yang sah.
(2) Dengan adanya minimum pembuktian tersebut hakim memperleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana yang terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Dalam praktek, hakim menjatuhkan putusan dengan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa.
Hal yang memberatkan antara lain, yaitu terdakwa pernah dihukum, dalam persidangan terdakwa tidak mengakui bersalah, memberikan keterangan
berbelit-belit, sehingga menyulitkan jalannya pemeriksaan. Sedangkan yang meringankan terdakwa antara lain, terdakwa masih muda mengakui terus
terang, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, atau belum menikmati hasil kejahatannya tersebut.
Barang Bukti & Alat Bukti Berdasarkan KUHAP
Salah satu ketentuan dalam sistem Hukum Acara Pidana di negara-negara modern
sekarang ini, termasuk juga Hukum Acara Pidana di Indonesia, adalah bahwa untuk
menghukum seseorang haruslah didasarkan pada adanya alat-alat bukti.
Berdasarkan alat-alat bukti tersebut, Hakim sebagai pemutus perkara pidana
dapat menyimpulkan tentang kesalahan terdakwa dan menjatuhkan hukuman
(pidana) terhadapnya.
Hukum Acara Pidana yang sekarang ini berlaku di Indonesia, dihimpun dalam suatu
undang-undang yang diundangkan di tahun 1981, yaitu Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang juga disebut sebagai Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana dan disingkat: KUHAP. Dalam Pasal 183
KUHAP ditentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal tersebut telah ditentukan dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat
menyatakan seseorang bersalah dan menjatuhkan pidana, yaitu:
1. Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
2. Adanya keyakinan Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang sah
tersebut.
Sebagai alat-alat bukti yang sah, menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP,
adalah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dalam KUHAP, selain istilah alat bukti, juga dikenal istilah barang bukti. Dari
daftar alat-alat bukti yang sah yang dikemukakan di atas, tampak bahwa barang
bukti tidak disebutkan sebagai termasuk ke dalam salah satu alat bukti yang sah.
Dengan kata lain, barang bukti bukanlah alat bukti.
Sehubungan dengan ini, dalam KUHAP juga sudah ditentukan hal-hal atau pokok-
pokok apa yang harus dimuat dalam suatu putusan yang berisi pemindanaan. Pasal
197 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat
(1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi
hukum. Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tercantum pada huruf d bahwa
sebagai salah satu hal yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan adalah
pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai:
- fakta dan keadaan, beserta,
- alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang, yang menjadi
dasar penentuan kesalahan terdakwa.
Istilah yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut adalah
kata-kata alat pembuktian. Dalam pasal ini tidak hanya disebut tentang alat
bukti saja, melainkan alat pembuktian. Dari sini dapat muncul pertanyaan-
pertanyaan berkenaan dengan kedudukan barang bukti sehubungan dengan
putusan Hakim, khususnya menyangkut penggunaan istilah alat pembuktian dalam
rumusan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP.
Pertanyaan lain yang berkaitan dengan ini adalah berkenaan dengan hubungan
antara barang bukti dengan alat bukti. Jika suatu barang bukti bukan termasuk
kategori alat bukti, bagaimana hubungan antara kedua barang bukti dengan alat
bukti tersebut.
Peristiwa yang dimaksud adalah sejarah Ken Arok, yang memesan pembuatan keris
kepada Empu Gandring dan membunuh Empu ini. Keris ini, oleh Ken Arok
dipinjamkan kepada Kebo Ijo yang dengan bangga menunjukkan keris kepada
orang-orang lain. Pada suatu waktu, Ken Arok secara diam-diam mengambil keris
itu dan membunuh Tunggul Ametung, Bupati Tumapel, sedangkan keris ditinggalkan
di tempat peristiwa. Orang-orang bersaksi bahwa keris itu milik Kebo Ijo sehingga
akhirnya Kebo Ijo dihukum mati. Ken Arok menjadi Bupati Tumapel dan kemudian
mendirikan kerajaan Singasari.
Dalam peristiwa sejarah ini, barang bukti (keris) menjadi satu-satunya bukti. Orang-
orang memberikan kesaksian, tetapi kesaksian itu bukan mengenai peristiwa
pembunuhan itu sendiri, melainkan mengenai kepemilikan atas keris.
Tulisan-tulisan mengenai hukum pidana, istilah barang bukti ini sering juga disebut
dalam bahasa asing, yaitu Bahasa Latin: corpus delicti. Dalam suatu kamus
elektronik, corpus delicti dijelaskan sebagai facts of crime: the body of facts that
show that a crime has been committed, including physical evidence such as a
corpse (fakta-fakta kejahatan: keseluruhan fakta yang menunjukkan bahwa suatu
kejahatan telah dilakukan, yang mencakup bukti fisik seperti sesosok mayat).
Dalam kamus yang lain, terlebih dahulu diberikan definisi tentang istilah corpus,
yaitu 1. A human or animal body. 2. A collection of writings, generally on one subject
or by one author. 3. The main part or mass of anything (1. Tubuh manusia atau
hewan. 2. Suatu himpunan tuoisan, umumnya atas satu pokok atau oleh seorang
penulis).
Kemudian terhadap istilah corpus delicti diberikan penjelasan the essential fact of
the commission of a crime, as, in a case murder, the finding of the body of the
victim (fakta penting tentang dilakukannya suatu kejahatan, misalnya dalam kasus
pembunuhan ditemukannya tubuh korban).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa corpus delicti merupakan fakta (fact) tentang
dilakukannya kejahatan, di mana fakta ini berupa bukti fisik (physical evidence).
Dalam Bahasa Indonesia, digunakannya istilah barang bukti sudah langsung
menunjukkan bahwa hal itu berupa suatu barang atau benda.
1. Barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, misalnya senjata api
atau senjata tajam yang digunakan untuk membunuh atau melukai korban.
2. Barang yang merupakan hasil suatu tindak pidana, misalnya surat palsu.
3. Benda yang menjadi obyek dalam tindak pidana, misalnya narkotika dan
psikotropika yang menjadi obyek dalam jual beli narkotika/prikotropika;
Dengan demikian, barang bukti merupakan bukti yang terkait amat erat berkenaan
dengan bersalahnya seorang terdakwa. Senjata api atau senjata tajam yang
digunakan untuk membunuh atau melukai korban, merupakan bukti kesalahan
terdakwa telah membunuh atau melukai korban dengan senjata api atau senjata
tajam tersebut.
1. Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 2: Salah satu wewenang Penyelidik adalah
mencari barang bukti;
2. Pasal 8 ayat (3) huruf b: Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai,
penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum;
3. Pasal 18 ayat (2): Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa
surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau
penyidik peinbantu yang terdekat;
4. Pasal 21 ayat (1): Salah satu alasan perlunya penahanan adalah dalam hal
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti;
5. Pasal 181 ayat (1): Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa
segala barang bukti dan menanyakan kepadaya apakah Ia mengenal benda
itu; yang dilanjutkan dengan Pasal 181 ayat (1): Jika perlu benda itu
diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi;
6. Pasal 194 ayat (1): Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti
yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali
yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut
ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan
negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan
lagi;
7. Pasal 203 ayat (2): Dalam Acara Pemeriksaan Singkat, penuntut umum
menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti
yang diperlukan;
Tetapi, walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal KUHAP, dan
dalam putusan pengadilan harus selalu ditetapkan dengan tegas tentang apa
yang akan dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP
tidak ada yang menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Berbeda halnya dengan alat bukti, yang secara tegas disebutkan dalam pasal
tentang sistem pembuktian, yaitu Pasal 183 KUHAP, di mana ditentukan bahwa
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Alat-alat bukti yang sah, oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP, hanya dibatasi pada:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dari sudut tidak adanya ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan
suatu barang bukti, dapat muncul kesan bahwa pembentuk KUHAP memandang
barang bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat bukti yang
sah. Dengan kata lain, barang bukti itu sendiri bukan merupakan suatu alat
bukti, melainkan merupakan bukti tambahan belaka terhadap alat-alat bukti yang
sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Selanjutnya dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tercantum pada huruf d bahwa sebagai salah
satu hal yang harus dimuat dalam putusan pemidanaan adalah pertimbangan
yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan terdakwa.
Menurut ketentuan dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP, pokok ini merupakan salah
satu pokok yang akan mengakibatkan putusan batal demi hukum jika tidak dimuat
dalam putusan pemidanaan yang bersangkutan.
Istilah yang digunakan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut adalah
istilah alat pembuktian. Dalam pasal ini tidak hanya disebut tentang alat bukti
saja, melainkan alat pembuktian.
Pasal lainnya di mana juga ada digunakan istilah alat pembuktian, yaitu Pasal
82 ayat (3) huruf d KUHAP yang mengatur mengenai Praperadilan. Pada Pasal 82
ayat (3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal putusan menetapkan
bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam
putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada
tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Dari rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa selain benda yang
disita tetapi yang tidak termasuk alat pembuktian, ada juga benda yang disita yang
termasuk alat pembuktian.
Jadi, dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan istilah alat
pembuktian mencakup juga benda yang disita. Sekalipun dalam pasal ini yang
digunakan adalah istilah benda yang disita, bukan istilah barang bukti, tetapi jelas
bahwa yang dimaksudkan dengan benda yang disita itu adalah apa yang dalam
hukum acara pidana dinamakan barang bukti.
Konsekuensinya, pengertian alat pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP,
juga mencakup semua yang dapat dijadikan bukti, yaitu meliputi baik alat bukti
maupun barang bukti.
Dengan demikian, digunakannya istilah alat pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1)
KUHAP, yang mencakup alat bukti dan barang bukti, menunjukkan barang bukti
memiliki kedudukan penting dalam sistem pembuktian. Walaupun demikian,
tidak disebutkannya istilah barang bukti dalam Pasal 183 KUHAP tentang sistem
pembuktian dan tidak adanya ketentuan dalam KUHAP untuk perlakuan khusus
terhadap barang bukti, menimbulkan kesan bahwa barang bukti hanya sekedar
bukti tambahan terhadap alat bukti.
Konsep mereka tentang corpus delicti sebagai fakta, yaitu fakta telah dilakukannya
suatu kejahatan, membawa konsekuensi bahwa fakta itu harus diperiksa terlebih
dahulu sebelum pemeriksaan berkenaan dengan soal siapa pelaku kejahatan.
Dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP ini dengan jelas dan tegas ditentukan bahwa jika
dalam suatu perkara pidana terdapat barang bukti, maka dalam putusan, baik
putusan pemidanaan, bebas maupun lepas dari segala tuntutan hukum, harus
ditetapkan tentang apa yang harus dilakukan terhadap barang bukti tersebut.
Tetapi, walaupun istilah barang bukti disebutkan dalam sejumlah pasal, dan juga
dalam putusan pengadilan harus selalu ditetapkan dengan tegas tentang apa yang
akan dilakukan terhadap barang bukti, namun dalam pasal-pasal KUHAP tidak ada
yang menegaskan tentang kedudukan dari suatu barang bukti.
Dari aspek tidak adanya ketentuan dalam pasal-pasal KUHAP tentang kedudukan
suatu barang bukti, dapat berarti bahwa pembentuk KUHAP memandang barang
bukti sebagai suatu tambahan semata-mata terhadap alat-alat bukti yang sah.
Dengan kata lain, barang bukti (corpus delicti) itu sendiri bukan merupakan suatu
alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan terhadap alat-alat bukti yang sah
menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Pasal 183 KUHAP ditentukan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dari ketentuan pasal di atas, maka untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap
seorang terdakwa harus dipenuhi dua syarat, yaitu:
1. Adanya dua alat bukti yang sah; dan,
2. Adanya keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa berdasarkan
sekurang-kurangnya dua alat bukti tersebut.
Mengenai alat-alat bukti yang sah, menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP,
yaitu:
f. keterangan saksi;
g. keterangan ahli;
h. surat;
i. petunjuk;
j. keterangan terdakwa.
Dengan melihat hubungan antara ketentuan dalam Pasal 183 dengan ketentuan
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal
184 ayat (1) KUHAP merupakan dasar untuk dapat menyatakan terdakwa
bersalah dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yang bersangkutan.
Jadi, terdapat kesejajaran antara ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP dengan
ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP sebagai berikut:
Pasal 183
Alat bukti yang sah dari mana Hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa
bersalah.
Pasal 197 ayat (1) huruf d alat pembuktian yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa. Dengan melihat kesejajaran antara kedua pasal tersebut dan
kemiripan antara istilah alat bukti dengan istilah alat pembuktian, maka
istilah dan pengertian alat bukti setidak-tidaknya tercakup di bawah istilah
dan pengertian alat pembuktian.
Sebelumnya sudah dikemukakan bahwa istilah alat pembuktian, yang digunakan
dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d dan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, mencakup
alat bukti dan barang bukti. Jadi, baik alat bukti maupun barang bukti
merupakan alat pembuktian.
Dapat menjadi pertanyaan, mengapa barang bukti tidak diklasifikasi sebagai alat
bukti? Dalam KUHAP tidak diberikan penjelasan mengenai hal ini.
Tetapi, kemungkinan besar menjadi pertimbangan adalah karena barang bukti tidak
dapat berdiri sendiri dalam pembuktian. Sebagai contohnya adalah barang bukti
berupa narkotika, psikotropika, senjata api dan senjata tajam (parang dan pisau).
Bisa kita berpendapat bahwa, sebenarnya barang bukti dapat diklasifikasi sebagai
alat bukti. Alasan untuk menentang barang bukti sebagai alat bukti, yaitu bahwa
barang bukti tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus diterangkan dengan suatu
alat bukti, merupakan alasan yang tidak sepenuhnya tepat. Ini karena alasan
menentang seperti ini, berlaku juga untuk alat bukti petunjuk.
Alat bukti petunjuk juga tidak dapat berdiri sendiri, melainkan pada hakekatnya
hanyalah kesimpulan hakim saja dari alat-alat bukti lain yang ada.
Jadi, sebenarnya alat bukti petunjuk juga tidak akan ada jika tidak ada alat-alat
bukti lainnya. Untuk adanya alat bukti petunjuk harus terlebih dahulu ada alat
bukti keterangan saksi, alat bukti surat atau alat bukti keterangan terdakwa.
Jadi pada hekekatnya alat bukti petunjuk ini pada hakekatnya bukan alat bukti yang
dapat berdiri sendiri dan bila dibandingkan dengan alat bukti petunjuk, maka barang
bukti justru yang memiliki kedudukan yang tersendiri dan lebih tepat untuk
ditempatkan sebagai alat bukti daripada alat bukti petunjuk.
Di atas telah disinggung mengenai istilah alat pembuktian yang digunakan dalam
Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP. Dalam kaitannya dengan istilah alat bukti,
sebenarnya ada dua kemungkinan mengenai hubungan antara istilah alat
pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP dengan istilah alat bukti
yang digunakan dalam KUHAP.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut, yaitu:
1. Istilah alat pembuktian Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP mempunyai arti
yang sama dengan istilah alat bukti dalam antara lain Pasal 183 dan 184
KUHAP; atau,
2. Istilah alat pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP memiliki
arti yang lebih luas daripada istilah alat bukti dalam antara lain Pasal 183
dan 184 KUHAP.
Jadi, digunakannya istilah alat pembuktian, dan bukannya hanya istilah alat bukti,
dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, merupakan hal yang disadari dan
disengaja oleh pembentuk KUHAP.
Ini karena dalam pemeriksaan suatu perkara pidana, yang diajukan ke depan
pengadilan bukanlah hanya alat-alat bukti semata-mata, melainkan juga apa
yang oleh pasal-pasal KUHAP disebut sebagai barang bukti. Penggunaan
istilah alat pembuktian dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP tersebut
dimaksudkan untuk juga mencakup barang bukti. Tetapi, dengan mempelajari Pasal
197 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l secara satu persatu, ternyata tidak ada
yang menyebutkan tentang istilah barang bukti secara tersendiri. Dengan
demikian, digunakannya istilah alat pembuktian, dan bukannya hanya alat bukti,
mengandung maksud bahwa di dalamnya tercakup juga mengenai barang bukti.
Pada Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal
putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat
pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera
dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Dari rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa selain benda yang
disita tetapi yang tidak termasuk alat pembuktian, ada juga benda yang disita yang
termasuk alat pembuktian.
Jadi, dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa penggfunaan istilah alat pembuktian
mencakup juga benda yang disita.
Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah benda yang disita, bukan
istilah barang bukti, tetapi jelas bahwa benda yang disita tersebut merupakan
barang bukti.
1. Dalam sistem KUHAP, barang bukti (corpus delicti) itu sendiri bukan
merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan terhadap
alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan
terhadap alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa.
2. Istilah alat pembuktian yang terdapat dalam rumusan Pasal 197 ayat (1)
huruf d KUHAP mencakup alat bukti dan barang bukti. Hubungan antara alat
bukti dengan barang bukti dalam sistem KUHAP, yaitu alat bukti merupakan
alat untuk menerangkan keterkaitan suatu barang bukti dalam suatu perkara
pidana. Dengan demikian barang bukti merupakan alat pembuktian yang
tidak dapat berdiri sendiri, melainkan perlu diterangkan mengenai
keterkaitannya dengan suatu perkara pidana oleh suatu alat bukti.
2. Istilah alat pembuktian yang terdapat dalam rumusan Pasal 197 ayat (1)
huruf d KUHAP perlu lebih dirinci, yaitu dengan secara tegas menyebut
tentang alat bukti dan barang bukti.
_____
Oleh: Richard Lokas
Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013
Dasar Hukum :
4. Pasal 1 KUHAP.
DAFTAR PUSTAKA
Evan, William M., Value Conflict in the Law of Evidence, 1990., Social
Structure and Law, Sage Publications, London.
Funk & Wagnalls Standard Desk Dictionary, 1984., Volume 1, Harper & Row
Publishers Inc.
Redaksi Bumi Aksara, 1990., KUHAP Lengkap, Bumi Aksara, Jakarta, cet.ke-
2
Ada tiga macam kekuatan yang terdapat pada putusan majelis hakim yaitu:
1. Kekuatan Mengikat (Bindende Kracht) Kekuatan mengikat ini adalah suatu kemestian
yang praktis berhubung dengan tujuan acara perdata, yaitu untuk menentukan bagaimana
pada akhirnya hubungan hukum antara kedua belah pihak untuk menentukan hukum
menguasai soal yang menjadi perkara itu. Untuk dapat melaksanakan atau merealisir suatu
hak secara paksa diperlukan suatu putusan pengadilan atau akta otentik yang menetapkan hak
itu. Suatu putusan pengadilan dimaksud untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa
dan menetapkan hak atau hukumnya. Kalau pihak yang bersangkutan menyerahkan dan
mempercayakan sengketanya pada pengadilan atau hakim untuk diperiksa atau di adili, hal
ini mengandung pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan patuh pada putusan yang
dijatuhkan. Putusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati kedua belah pihak.
2. Kekuatan Bukti (Bewijsende Kracht) Dituangkan putusan dalam bentuk tertulis yang
merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi
para pihak yang mungkin diperlukan untuk mengajukan banding, kasasi dan pelaksanaannya.
Pengaturan kekuatan pembuktian dalam putusan pidana (Pasal 1918 dan 1919 BW) mengatur
sebagai putusan pidana yang isinya menghukum dan telah memperoleh kekuatan hukum
dapat digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata mengenai peristiwa yang telah terjadi,
kecuali apabila ada bukti lawan kekuatan pembuktiannya mengikat (Pasal 1918 BW) dan
apabila seseorang dibebaskan dari segala tuduhan, maka putusan pembebasan itu tidak dapat
digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata untuk minta ganti kerugian (Pasal 1919 BW).
Kalau kekuatan pembuktian putusan pidana diatur dalam pasal 1918 dan 1919 BW, maka
kekuatan putusan pembuktian perdata tidak ada ketentuannya. Putusan perdata pun
mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana diserahkan kepada pertimbangan hakim.
3. Kekuatan Eksekutorial/Kekuatan untuk di Jalankan (Executoriale Kracht) Kekuatan
eksekutorial adalah putusan di maksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau
sengketa atau menetapkan hak atau hukumnya saja, melainkan juga realisasi atau
pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa.Untuk itu apa yang telah ditentukan majelis
hakim dalam putusannya harus dilaksanankan walaupun banyak orang membantahnya.
Kekuatan eksekutorial putusan hakim tidak dapat dilumpuhkan, kecuali apabila telah
dipenuhi dengan sukarela.