Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan suatu kondisi dimana thrombus


terbentuk pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding
pembuluh darah dan jaringan disekitar vena. DVT merupakan penyakit yang sulit
didiagnosa, kesalahan diagnosis dengan diagnosa klinis saja mencapai 50%. DVT
dapat berlanjut menjadi emboli paru, separuh dari penyakit ini tidak menimbulkan
gejala sehingga menyebabkan penderita menuju kematian bila tidak dikenali dan
diterapi secara efektif. Insiden DVT di Amerika Serikat adalah 159 per 100.000 atau
sekitar 398.000 pertahun, sedangkan insiden DVT pada pasien tanpa profilaksis
adalah: stroke (56%), elective hip replacement (51%), trauma multipel (50%), total
knee replacemet (47%), fraktur panggul (45%), cidera medulla spinalis (35%),
operasi umum (25%), infark miokard (22%), operasi bedah saraf (22%), operasi
ginekologi (14-22%), dan kondisi medis umum (17%). Insiden DVT pasca operasi
orthopedi tanpa profilaksis pada pasien Asia adalah: pada total knee replacement
(76,5%), total hip replacement (64,3%) dan fiksasi fraktur femur proksimal (50%).1,2,3

Insiden DVT dimulai saat operasi namun pada umumnya thrombus terbentuk
pada tiga hingga tujuh hari pasca operasi. Tatalaksan profilaksis DVT dibagi menjadi
dua yaitu dengan cara inaktifasi koagulasi darah (profilaksis farmakologis) atau
pencegahan stasis vena (profilaksis mekanis). Profilaksis farmakologis (Low
Molecular Weight Heparin/ LMWH) secara nyata menurunkan insiden DVT pada
bedah ortopedi sebesar 71%. Diagnosa DVT dapat ditegakkan baik secara klinis
maupun radiologis dengan menggunakan doppler ultrasound atau Venografi. Dengan
diberikan terapi LMWH, gejala-gejala DVT sebagian besar akan berkurang sejak hari
ke 4 dan bebas gejala sama sekali pada hari ke 10. Untuk meminimalkan resiko fatal
terjadinya emboli paru diagnosis dan penatalaksanaan profilasis yang tepat sangat
diperlukan. 3,4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulkus
2.1.1 Definisi
Ulkus adalah ekskavasi yang berbentuk lingkaran maupun ireguler akibat dari
hilangnya epidermis dan sebagian atau seluruh dermis.12
2.1.2 Proses Terjadinya Ulkus
Komposisi jaringan lunak bervariasi pada satu anggota tubuh dengan anggota
tubuh lainnya sehingga pada aktivitas normal dapat melakukan adaptasi pada
tekanan yang beragam tanpa terjadi kerusakan. Kolagen dan elastin merupakan
dua komponen yang memperkuat jaringan lunak. Secara fisiologis, jaringan
mengalami tekanan yang berlebihan maka akan memicu sel saraf untuk
mengirimkan impuls ke otak. Tekanan yang berlebihan akan diartikan sebagai
nyeri sehingga tubuh akan berespon untuk mengistirahatkan daerah tersebut.7
Respon lokal yang terjadi di jaringan tersebut berupa pelepasan fibrin,
neutrofil, platelet, dan plasma beserta peningkatan aliran darah yang
menyebabkan edema. Edema ternyata dapat menekan pembuluh kapiler yang
menyuplai nutrisi sehingga jaringan dapat mengalami kematian. Kematian
jaringan ini justru akan semakin meningkatkan pelepasan mediator inflamasi.
Kulit memberikan tekanan internal untuk mengeluarkan akumulasi sel-sel debris
dan radang tersebut. 12
2.1.3 Proses Penyembuhan Ulkus
Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Fase aktif ( 1 minggu)
Leukosit secara aktif akan memutus kematian jaringan, khususnya
monosit akan memutus pembentukan kolagen dan protein lainnya. Proses
ini berlangsung hingga mencapai jaringan yang masih bagus. Penyebaran
proses ini ke dalam jaringan menyebabkan ulkus menjadi semakin dalam.
Undermined edge dianggap sebagai tanda khas ulkus yang masih aktif. 13

2
Di samping itu juga, terdapat transudat yang creamy, kotor, dengan
aroma tersendiri. Kemudian saat terikut pula debris dalam cairan tersebut,
maka disebut eksudat. Pada fase aktif, eksudat bersifat steril. Selanjutnya,
sel dan partikel plasma berikatan membentuk necrotix coagulum yang jika
mengeras dinamakan eschar. 13
2. Fase proliferasi
Fase ini ditandai dengan adanya granulasi dan reepitelisasi. Jaringan
granulasi merupakan kumpulan vaskular (nutrisi untuk makrofag dan
fibroblast) dan saluran getah bening (mencegah edema dan sebagai
drainase) yang membentuk matriks granulasi yang turut menjadi lini
pertahanan terhadap infeksi. Jaringan granulasi terus diproduksi sampai
kavitas ulkus terisi kembali. Pada fase ini tampak epitelisasi di mana
terbentuk tepi luka yang semakin landai. 13
3. Fase maturasi atau remodelling
Saat inilah jaringan ikat (skar) mulai terbentuk. 13

(a) (b) (c)

Gambar 2.1 Tahap Penyembuhan Ulkus


a. Fase aktif b. Fase prolifersi c. Fase maturasi atau remodelling

3
2.1.4 Menilai Luas Ulkus

Di samping itu, tiga hal yang perlu dinilai untuk menentukan


intervensi yang akan diberikan pada ulkus tersebut adalah tepi ulkus, dasar
ulkus dan jenis discharge.
Berikut Interpretasi dari ketiganya :

4
2.1.5 Jenis Ulkus14
Yang termasuk dalam golongan ulkus kulit ini adalah:
1. Ulkus neurotropik
2. Ulkus varikosus
3. Ulkus arterial
4. Ulkus bakteriil
5. Ulkus mikotik
6. Ulkus karsinogenik

2.2 DVT

2.2.1 Definisi DVT

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan suatu kondisi dimana thrombus terbentuk
pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh
darah dan jaringan disekitar vena. DVT terjadi terutama di tungkai bawah dan
inguinal. Bekuan darah dapat menghambat darah dari tungkai bawah kembali ke
jantung. Thrombus adalah bekuan abnormal didalam pembuluh darah yang terbentuk
walaupun tidak ada kebocoran, proses pembentukan thrombus dinamakan
thrombosis. Thrombus vena merupakan deposit intra vaskuler yang tersusun dari
fibrin dan sel darah merah disertai berbagai komponen trombosit dan leukosit. 1,4,5

2.2.2 Patogenesis DVT

DVT biasanya terbentuk pada daerah dengan aliran darah lambat atau terganggu di
sinus vena besar dan kantung ujung katup di vena dalam tungkai bawah atau segmen
vena yang terpapar oleh trauma langsung. Pembentukkan dan perkembangan
thrombus vena menggambarkan keseimbangan antara efek rangsangan trombogenik
dan berbagai mekanisme protektif. Faktor yang mempengaruhi keseimbangan dan
berimplikasi pada patogenesis thrombosis vena, dikenal dengan Trias Virchows,

5
yaitu: 1). Cedera Vaskuler (kerusakan endothelial); 2). Stasis Vena; 3). Aktivasi
koagulasi darah (hiperkoagulabilitas).1,5

1.Cedera Vaskular

Kerusakan vaskular memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan thrombosis vena


melalui trauma langsung atau aktivasi sel endotel melalui sitokinin (interleukin-1 dan
tumor necrosis factor) yang dilepaskan dari hasil cidera jaringan dan inflamasi.
Koagulasi darah dapat diaktifkan melalui rangsangan intravaskuler yang dilepaskan
dari tempat jauh (misal kerusakan vena femoralis saat operasi panggul) atau oleh
sitokin yang terinduksi rangsangan endotel yang utuh. Sitokinin ini merangsang sel
endotel untuk mensintesis tissue factor dan plasminogen activator inhibitor-1 dan
mengakibatkan reduksi trombodulin, sehingga membalikkan kemampuan protektif
endotel yang normal. Trombodulin (TM) adalah reseptor membran sel endotel untuk
thrombin. Bila thrombin terikat pada TM maka kemampuan memecah fibrinogen
menurun. Sebaliknya kemampuan mengaktifasi antikoagulan, protein C meningkat.
Protein C dengan kofaktornya protein S menginaktifasi bentuk aktif kofaktor
prokoagulan, faktor Va dan VIIIa. Protein C aktif juga meningkatkan fibrinolisis. 1,5

Endotel vena mengandung activator yang mengkonversi plasminogen ke plasmin


kemudian plasmin melisis fibrin. Setelah pembedahan dan cedera, sistem fibrinolisis
akan dihambat kemudian aktivitas vena ekstemitas bawah lebih berkurang dibanding
dengan ekstremitas atas. 1,5

2. Stasis Vena

Statis vena sering pada usia tua, tirah baring lebih dari tiga hari dan operasi yang
memakan waktu lama. Stasis vena memberikan predisposisi thrombosis lokal. Stasis
menggangu pembersihan faktor koagulasi aktif dan membatasi aksesbilitas thrombin
di vena kemudian menempel ke trombomodulin. Protein ini terdapat dalam densitas
terbesar di pembuluh darah kapiler. 1,5

6
Penelitian ultrastruktural menunjukkan bahwa setelah trauma ditempat jauh, leukosit
melekat diantara intercellular junction endotel pada daerah statis vena. Hal ini
menjadi nidus untuk pembentukkan thrombus. Bila nidus thrombus mulai terdapat di
daerah statis, maka substansi yang dapat meningkatkan agregasi trombosit, yaitu
factor X teraktivasi, thrombin, fibrin dan katekolamin tetap dalam konsentrasi tinggi
di daerah tersebut. Stasis juga memberikan kontribusi tambahan, yaitu membentuk
thrombin dengan cara merusak katup vena yang avaskuler. Sebaliknya katup
tergantung pada darah lumen untuk oksigenasi dan nutrisi, sedangkan aliran darah
stasis. Mekanisme thrombosis adalah aktivitas faktor koagulasi aktif melalui darah
yang mengalir, inhibisi trombomodulin pada aktivitas koagulan dari thrombin,
pengaruh trombomodulin aktivitas antikoagulan dari thrombin melalui aktivasi
protein C dan disolusi fibrin oleh sistem fibrinolitik. 1,5

3. Hiperkoagulabilitas

Keadaan hirepkoagulabilitas adalah suatu perubahan keadaan darah membantu


pembentukan thrombus vena. Perubahannya meliputi peningkatan konsentrasi faktor
koagulasi normal maupun teraktivasi, penurunan kadar inhibitors dalam sirkulasi,
gangguan fungsi sistem fibrinolitik, adanya trombosit hiperaktif, faktor
hiperkoagulabilitas dan statis bekerjasama membentuk thrombus vena. Dari ketiga
factor penyebab DVT yang terpenting adalah faktor statis dan hirepkoagulabilitas. 1,5

Faktor risiko penyakit DVT digolongkan faktor patogenesis pembentukan DVT (Trias
Virchows) dan faktor umum yang mendukung, berhubungan dengan pembentukan
DVT atau kombinasi dari faktor trias Virchows. 1,5

7
Gambar 2.1 Trias Virchows

2.2.3 Epidemiologi DVT

DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit


jantung koroner dan stroke. DVT terjadi pada kurang lebih 0,1% orang/tahun.
Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. DVT di Amerika
Serikat adalah 159 per 100.000 atau sekitar 398.000 pertahun, sedangkan insiden
DVT pada pasien tanpa profilaksis adalah: stroke (56%), elective hip replacement
(51%), trauma multipel (50%), total knee replacemet (47%), hip fracture (45%),
cidera medulla spinalis (35%), operasi umum (25%), infark miokard (22%), operasi
bedah saraf (22%), operasi ginekologi (14-22%), kondisi medis umum (17%). Insiden
DVT pasca operasi orthopedi tanpa profilaksis pada pasien Asia adalah: pada total
knee replacement (76,5%), total hip replacement (64,3%) dan fiksasi fraktur femur
proksimal (50%).1,2,3,4

2.2.4 Faktor Resiko DVT

Berdasarkan konferensi ketujuh American College of Chest Physicians (ACCP),


pasien yang melakukan operasi diklasifikasikan menjadi 4 tingkat menjadi resiko
rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Klasifikasi dibuat berdasarkan umur, jenis
operasi, durasi operasi, durasi immobilisasi dan faktor resiko lainnya. 6,7

8
Resiko rendah: Durasi operasi kurang dari 30 menit, umur lebih dari 40 tahun,
perbaikan dari fraktur kecil.

Resiko sedang: Umur 40 60 tahun, arthroscopy atau perbaikan fraktur tunkai bagian
bawah, penggunaan plaster cast post-operasi.

Resiko tinggi: Umur lebih dari 60 tahun, atau umur 40 60 tahun dengan adanya
faktor resiko tambahan, immobilisasi lebih dari 4 hari

Resiko sangat tinggi: Operasi arthroplasty lutut dan panggul, operasi fraktur panggul,
operasi open fracture pada tungkai bawah, trauma pada spinal cord, berbagai resiko
tambahan (umur lebih dari 40 tahun, sebelumnya ada riwayat mengalami DVT,
kanker, dan hypercoagulable state).

2.2.5 Diagnosis DVT

Gejala dan tanda klinis DVT mungkin asimtomatis atau pasien mengeluh nyeri,
bengkak, rasa berat, gatal atau varises vena yang timbul mendadak. Bengkak dan
nyeri merupakan gejala utama dan tergantung pada lokasi. Sifat nyeri biasanya terus
menerus dan tiba-tiba. Nyeri dapat bertambah dengan meningkatnya aktivitas atau
jika berdiri dalam jangka waktu lama. Karakteristik manifestasi DVT dapat berupa
tungkai bengkak unilateral, gambaran eritrosianotik, dilatasi vena superficial, suhu
kulit meningkat atau nyeri tekan pada paha atau betis. Tanda klinis ini hanya
ditemukan pada 23-50% pasien DVT. Tanda klinis yang negatif belum dapat
menyingkirkan diagnosis DVT. Tungkai bawah yang bengkak, lunak disertai dengan
cord vena yang dapat dipalpasi mengarahkan pada DVT popliteal. Perbedaan ukuran
lingkaran tungkai yang bermakna mendukung diagnosis DVT. Namun sebagian besar
pasien tidak menunjukkan bengkak yang jelas. Kepastian diagnosis DVT secara klinis
hanya 50%, sehingga tes diagnosik diharuskan bila ada kecurigaan DVT. Kematian
dapat terjadi bila thrombus vena pecah dan membentuk emboli pulmoner yang akan
mengobstruksi arteri pada paru. 1,3,4

9
Pemeriksaan klinis tanda Homans dengan cara lutut dalam posisi fleksi, pergelangan
kaki didorsofleksikan dengan kuat. Bila pasien merasa nyeri pada daerah betis atau
poplitea, maka tanda Homans positif. Tanda ini tidak dapat di percaya, tanda ini dapat
negative walaupun DVT positif, dan dapat positif meskipun seluruh vena bebas dari
bekuan darah. Berbagai gangguan otot betis dapat berhubungan dengan tanda
Homans yang positif.3,4

Kecurigaan trombosis vena secara klinis harus dikonfirmasi dengan tes yang terdiri
dari pemeriksaan laboratories dan radiologis. Tes laboratories adalah Simplie-red D-
dimer. Konsentrasi plasma D-dimer merupakan hasil pencernaan fibrin oleh plasmin.
Kadarnya meningkat pada pasien thrombosis vena atau emboli pulmoner. Pengukuran
dilakukan dengan cara pengambilan darah dari jari tangan pasien diperiksa secara
ELISA atau dengan Simpli RED agent. Tes ini hasil sensitifitas 97%. Tes D-dimer
sering menghasilkan positif semu pada pasien pasca bedah atau trauma. Pemeriksaan
radiologis menggunakan Venous compression duplex ultrasonography, merupakan
teknik noninvasif yang memiliki sensitifitas 95% untuk mendiagnosis DVT.3,4

2.2.6 Komplikasi DVT

Komplikasi utama dari DVT adalah Pulmonary Embolism (PE). PE muncul ditandai
dengan dispnea, nyeri dada pleuritik, batuk, takikardi, takipnea, ronki, sinkop dan
hipoksia. PE merupakan kondisi yang dapat mengancam nyawa pasien. Post-phlebitic
syndrome dapat terjadi setelah deep vein thrombosis. Kaki yang terpengaruh dapat
menjadi bengkak dan nyeri secara kronis dengan perubahan-perubahan warna kulit
dan pembentukan borok-borok (ulkus) disekitar kaki dan pergelangan kaki. Untuk
meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan
profilasis yang tepat sangat diperlukan.3,4,5

2.2.7 Tatalaksana Profilaksis DVT

Profilaksis dapat dilakukan dengan cara aktivasi koagulasi darah (profilaksis


farmakologis) dan pencegahan statis vena (profilaksis mekanis). Konferensi ketujuh

10
ACCP telah membuat rekomendasi yang dibagi menjadi beberapa grade tentang
tatalaksan profilaksis DVT berdasarkan faktor resiko yang berpengaruh menyebabkan
DVT. Rekomendasi profilaksis berdasarkan faktor resiko dapat dilihat pada tabel
2.1.7,8,9

Tabel 2.1 Rekomendasi profilaksis DVT berdasarkan faktor resiko.7

11
RISK GROUP Rekomendasi Profilkasis

Resiko Rendah Profilasis Mobilisasi Persisten

Operasi minor usia < 40 tahun; tidak


ada tambahan faktor resiko lainnya

Resiko Sedang LDUH (5,000 U bid)

Tidak ada operasi mayor pada pasien atau


usia 40 sampai 60 tahun, adanya
LMWH ( 3,400 U/qd)
tambahan faktor resiko

Operasi mayor pada pasien usia < 40


tahun; tidak ada tambahan faktor
resiko lainnya

Resiko Lebih Tinggi LDUH (5,000 U tid) atau LMWH (>


3,400 U/d)
Tidak ada operasi mayor pada usia >
60 tahun atau adanya tambahan
faktor resiko

Operasi mayor pada pasien usia > 40


tahun, atau dengan tambahan faktor
resiko lainnya

Resiko Tinggi dan Faktor Resiko LDUH tid atau LMWH > 3,400 U/d,
Multipel dengan GCS dan atau alat IPC

Resiko Perdarahan Tinggi GCS dan atau alat IPC di awal, sampai
resiko perdarahan berkurang

Pasien Resiko Tinggi Pilihan Setelah LMWH 12

Contohnya, setelah operasi kanker


2.2.7.1 Profilaksis Farmakologis

1.Heparin.

Heparin adalah antikoagulan yang diberikan secara parental, mekanisme kerjanya


adalah meningkatkan efek antitrombin III dalam menetralkan thrombin dan protease
serum lainnya. Heparin dosis rendah di berikan subkutan dengan dosis 5000 U.
diberikan sebelum operasi dan setelah operasi (setiap 8-12 jam). Cara ini merupakan
pilihan bagi pasien sedang terhadap DVT. Dapat menurunkan resiko DVT 50-70%.
Cara ini tidak memerlukan pemantauan dengan laboratorium, sederhana, tidak mahal,
aman. Cara ini kurang efektif bagi penderita yang memerlukan bedah orthopedic
mayor. Heparin menginduksi terjadinya trombositopenia karena ikatan antara Heparin
dengan faktor IV trombosit dapat menyebabkan terbentuknya antibodi IgG yang
nantinya menginduksi terjadinya trombositopenia.3,5,6

2.Warfarin

Warfarin dosis sedang, efektif untuk mencegah DVT pada semua kategori resiko.
Dapat mulai diberikan 5 atau 10 mg malam sebelum operasi atau malam setelah
operasi, efek antikoagulan terukur baru dapat dicapai pada 3-4 hari pasca operasi,
namum bila terapi dimulai saat operasi atau sesaat setelah operasi maka warfarin
masih efektif bagi penderita resiko tinggi DVT, termasuk pasien fraktur tulang
panggul. Lama profilaksis menurut rekomendasi ACPP adalah minimal 7-10 hari.
Regimen ini kurang menyenangkan karena memerlukan monitoring laboratorium.3,5

3.Low-dose Unfractionated Heparin (UFH)

Diberikan secara subkutan 3 kali 3500 U sehari, dimulai sejak dua hari sebelum
operasi. Lebih efektif dari heparin dosis rendah bila diberikan pada pasien operasi
panggul elektif. Bila dibanding LMWH efektifnya lebih rendah dalam mencegah
thrombosis vena proksimal setelah operasi panggul. Membutuhkan monitoring
laboratorium yang teliti.5,6

13
4. Low Molecular Weight heparin (LMWH)

LMWH lebih efektif dibanding yang lainnya, sediaan ini juga lebih efektif mencegah
thrombosis vena proksimal setelah operasi panggul. Mekanisme kerjanya adalah
meningkatkan aktivitas efek antitrombin III, anti factor Xa dan anti factor IIa. Secara
subkutan, LMWH/enoxaparin diberikan sehingga profilaksi dengan dosis 40 mg satu
kali sehari, pada pasien yang menjalani pembedahan berisiko tinggi DVT. Dosis
pertama diberika 12 jam sebelum pebedahan dan dilanjutkan sehari sekali selama
tujuh hari. Selain tidak memerlukan pemantauan komplikasi pendarahan kecil terjadi.
Pada operasi orthopedic mayor, terapi LMWH/enoxaparin menurut adalah injeksi 40
mg secara sub kutan 12 jam sebelum pembedahan dan dilanjutkan sehari sekali
selama 12-14 hari. Sebaliknya Turpie memberika 30 mg LMWH/enoxaparin sub
kutab 12-14 jam sesudah pembedahan dan dilanjutkan 30 mg dua kali sehari 10-15
hari.3,6

5.Obat antiplatelet

Aspirin telah diteliti sebagai profilaksi terhadap DVT (dosis >100 mh/hari) dapat
menurunkan DVT proksimal dan distal sebesar 30-40% pada pasien pembedahan
general, orthopedi. Tetapi proteksinya lebih rendah dibandingkan antikoagulan.
Dextran yang merupakan polisakarida meningkatkan aliran mikrosirkulasi melalui
berbagai mekanisme dan mampu mencegah DVR. Reaksi alergi termasuk anafilaksi
(pada intra vena) dan mahal membatasi penggunaanya. Rekombinasi herudin, hirugol
dan argatroban adalah inhibitor thrombin langsung.3,6

2.2.7.2 Profilaksis Mekanis

Bentuk profilaksi mekanis dalah mobilisasi dini, mesin continous passive moyion,
pressure vascular stocking, dan alat kompresi pneumatik bergradasi secara elevasi
tungkai 15-22 cm. Statis vena, proses patologi yang mendasari terjadinya thrombosis,
dicegah dengan kontraksi atau kompresi otot betis yang dapat menghindari
penumpukan darah vena di ekstremitas bawah. Stoking elastis dapat digunakan untuk

14
tujuan di atas. Pemakaian stoking elastis meningkatkan aliran dara vena hingga 1,5
kali aliran basalnya sehingga memacu sirkulasi darah, mencegah statis darah pada
aneurisma (pelebaran vena dan dilatasi sakuler) yang sering pada usia lanjut dan
penderita DVT. Tekanan pada mata kaki 18mmHg, 14mmHg pada betis, 10mmHg
pada lutut dan 8mmHg pertengahan paha. Penggunaannya merupakan pilihan
pertama untuk mencegah DVT pada pasien yang dirawat. Alat kompresi pneumatik
merangsang pengosongan vena ekstremitas bawah dengan cara menurunkan statis dan
menstimuli sistem fibrinolik.3,8,9

15
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama :MR

CM : 147993

Umur : 56 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Hindu

Suku : Bali

Pendidikan terakhir : SD

Pekerjaan : Pedagang

Status : Sudah menikah

MRS : 13 Desember 2016

Diagnosa : Ulkus dd DVT regio maleolus lateral dextra + selulitis

16
Anamnesis

Keluhan utama: Demam dari 2 hari yang lalu

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang dalam keadaan sadar mengeluhkan demam dari 2 hari yang lalu dan
tidak membaik. Pasien juga mengeluh luk di bagian kaki kanan sejak 5 hari yang lalu.
Awalnya luka seperti bubul kemudian luka menjadi seperti sekarang. Pasien pernah
mengobati lukanya dengan menggunakan salep yang di dapatkannya dr puskesmas.
Pasien memiliki riwayat dengan duduk bersila dalam waktu yang lama. Pasien juga
mengeluh nyeri pada ulu hati dan bpernah BAB hitam sekitar 1 minggu yang lalu.
Mual (+), muntah(+), riwayat makan dan minum kurang.

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien mengatakan baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. Sebelumnya
pasein sempat berobat ke puskesmas untuk mengobati luka pada kakinya, riwayat
hipertensi di sangkal, kencing manis disangkal, astma (+).

Riwayat penyakit keluarga:

Pasien menyangkal ada anggota keluarga yang memiliki penyakit diabetes mellitus,
jantung, hipertensi, asma.

Riwayat sosial:

Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan Fisik Saat di UGD (12 Desember 2016)

Status Generalis

Keadaan umum : Lemah

17
Kesadaran : CM (E5V5M6)

Vital Sign

Tekanan darah : 90/60 mmHg

Nadi : 100 x/menit

Respiratorius : 22 x/menit

Temperatur axila : 380c

Status General

Mata : CM, anemia -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor

Pulmo : RR = 22x / menit, vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Cor : S1-S2 tunggal reguler murmur (-)

Abdomen : BU (+) Normal, Distensi (-) Nt: epigastrium

UG : BAK (+) spontan

Ext : Akral hangat (+), Ulkus + selulitis

Status lokalis : regio maleolus dextra terdapat ulkus ukuran diameter 4 cm dan
selulitis

Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap

Tgl 12/12/16

WBC 15,43

RBC

18
HGB 13,0

HCT 35,50

PLT 359

GDS 102

Kimia Darah

Tgl 12/12/16
SGOT 57
SGPT 84
Creatinin 00,85
Albumin 2,7

Diagnosis

Ulkus dd DVT regio maleolus lateral dextra + selulitis

Penatalaksanaan

IVFD RL loading 1 fl >>> TD : 110/70 mmHg, N: 88x/m


Inj. Cefotaxime 3 x 1gr
Metrodinazol 3 x 1 fl
Paracetamol 3 x 1 fl
Ranitidine 3 x 1 amp
Elevasi tungkai
Diit biasa
Rencana Debridement

19
BAB V

PENUTUP

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan suatu kondisi dimana thrombus terbentuk
pada vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh
darah dan jaringan disekitar vena. DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering
nomor tiga setelah penyakit jantung koroner dan stroke. DVT terjadi pada kurang
lebih 0,1% orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang
lalu. Gejala dan tanda klinis DVT mungkin asimtomatis atau pasien mengeluh nyeri,
bengkak, rasa berat, gatal atau varises vena yang timbul mendadak. Bengkak dan
nyeri merupakan gejala utama dan tergantung pada lokasi. Sifat nyeri biasanya terus
menerus dan tiba-tiba. Nyeri dapat bertambah dengan meningkatnya aktivitas atau
jika berdiri dalam jangka waktu lama. Karakteristik manifestasi DVT dapat berupa
tungkai bengkak unilateral, gambaran eritrosianotik, dilatasi vena superficial, suhu
kulit meningkat atau nyeri tekan pada paha atau betis. Kecurigaan trombosis vena
secara klinis harus dikonfirmasi dengan tes yang terdiri dari pemeriksaan laboratories
dan radiologis. Tes laboratories adalah Simplie-red D-dimer. Pemeriksaan radiologis
menggunakan Venous compression duplex ultrasonography. Profilaksis dapat
dilakukan dengan cara aktivasi koagulasi darah (profilaksis farmakologis) dan
pencegahan statis vena (profilaksis mekanis).1,3,4,5

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Patel, Kaushal et al. deep Venous Thrombosis. Avalible in: www.medscape.com.


( Accessed 15 April 2012 ).
2. Hetcher, John et al. Prevention of Venous Thromboembolism.Australia.2008
3. Ennis,Robert et al. deep venous Thrombosis Propylaxis in Orthopedic Surgery.
Avalaible in : www.medscape.com ( Accessed 15 April 2012 )
4. Lilly, Leonard. Pathopysiology of Hearth Disease 5th Edition. London: Lippincott;
2011
5. Baksa, I Made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2006
6. Deitelzweig, Steven et al. prevention of venous Thromboembolism in The
Orthopedic Surgery Patient. Cleveland clinic journal of Medicine. 2008; 75 (3) :
27-36
7. Kearon, Clive et al. antithrombotic Therapy for Venous Thromboemboli Disease :
American College of Chest Physicians Evidence-Based Practice Guidline ( 8th
Edition). Journal of American Colleg of Chest Physicians. 2008; 133 (10) : 475-
510
8. Tosadak, Uddin et al. aetiology and Prevention of Venous Thromboembolism.
National Journal Medicine. 2007; 331 (24): 70-81
9. David, Samam. Management of Prevention of Deep Vein Thrombosis in General
Practice.2006; 25 (3): 1-19
10. Proven Outcome in Acutely III Medical Patient from Landmark MENDENOX
Trial. Avalaible in : www.lovenox.com. ( Accessed 16 Desember 2016 )
11. Ketz, Jelf. Enoxaparin Clinical Pearl. Avalaible in:
www.clevelandclinicmeded.com. (Accessed 16 Desember 2016)

21
12. James WD, Timothy GB & Dirk ME. Cutaneous Signs and Diagnosis. In:
AndrewsDisease of The Skin, Clinical Dermatology 10 th edition. Philadelpia: WB
Saunders Company, 2000; 18.
13. South H. Wound Care for People Affected by Leprosy: A Guide for Low Resource
Situation. Greenville: American Leprosy Missions, 2001.
14. Sudirman U. Ulkus kulit dalam Harahap M (ed.) Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta:
Hipokrates, 2000; 280.

22
23

Anda mungkin juga menyukai