Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagian besar komponen utama yang terdapat dalam tubuh manusia adalah
air, di mana jumlahnya sekitar 60% dari total berat badan orang dewasa. Cairan yang
terdapat di dalam tubuh manusia tidak hanya berkumpul di satu tempat, melainkan
didistribusikan ke dalam ruangan utama yaitu cairan intraseluler (CIS) dan cairan
ekstraseluler (CES). Cairan ekstraseluler terbagi di dua bagian yaitu intravaskuler dan
interstisial. Cairan dan elektrolit sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar
dapat menjaga dan mempertahankan fungsinya sehingga dapat tercipta kondisi yang
sehat pada tubuh manusia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan suatu
hubungan yang erat dan bergantung satu dengan yang lainnya. Apabila terjadi
gangguan keseimbangan pada salah satunya, maka akan memberikan pengaruh pada
yang lainnya. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi pada
keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorpsi, ekskresi keringat yang berlebih
pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insensible water loss) secara
berlebihan oleh paru-paru, pendarahan, berkurangnya kemampuan pada ginjal dalam
mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam keadaan tersebut,
pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh yang hilang dengan
segera dapat digantikan. Terdapat tiga prinsip utama dalam pemberian terapi cairan
yaitu koreksi kehilangan elektrolit, koreksi kehilangan cairan dan koreksi terhadap
kebutuhan normal asupan cairan per harinya.

1.2 Rumusan Masalah


Apa saja jenis-jenis dan indikasi terapi cairan?
1.3 Tujuan
Mengetahui jenis-jenis terapi cairan dan indikasi pemberian terapi cairan.
1.4 Manfaat
Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu anestesi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Terapi cairan


A. Definisi terapi cairan6
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara ataupun mengganti cairan
tubuh dengan pemberian cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma
ekspander) secara intravena untuk mengatasi berbagai masalah gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, meliputi mengantikan volume cairan yang hilang
akibat perdarahan, dehidrasi atau syok.
Terapi cairan perioperative meliputi tindakan terapi yang dilakukan pada masa
pra-bedah, selama pembedahan, dan pasca bedah. Dalam pembedahan dengan
anestesia yang memerlukan puasa sebelum dan sesudah pembedahan, maka terapi
cairan berfungsi untuk mengganti cairan saat puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan
yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.

B. Komposisi cairan tubuh 1,2


Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan, pada bayi prematur
jumlahnya sebesar 80% dari berat badan, bayi normal sebesar 70-75% dariberat
badan, sebelum pubertas 65-70% dari berat badan, orang dewasa normal sekitar 50-
60% dari berat badan. Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dari pada
kandungan air di dalam sel otot, sehingga cairan total pada orang gemuk lebih rendah
dari pada mereka yang tidak gemuk.
Cairan dalam tubuh dibagi dalam dua kompartemen utama yaitu cairan
ekstrasel dan intrasel. Volume cairan intrasel sebesar 60% dari cairan tubuh total atau
sebesar 36% dari berat badan pada orang dewasa. Volume cairan ektrasel sebesar
40% dari cairan tubuh total atau sebesar 24% dari berat badan pada orang dewasa.
Cairan ekstrasel dibagi dalam dua subkompartemen yaitu cairan interstisium sebesar
30% dari cairan tubuh total atau 18% dari berat badan pada orang dewasa dan cairan
intravascular (plasma) sebesar 10% dari cairan tubuh total atau sebesar 6% dari berat
badan pada orang dewasa.
Kandungan air dalam tiap organ tidak seragam seperti terlihat pada tabel 1
dibawah ini:

2
Jaringan Presentase Air
Otak 84
Ginjal 83
Otot lurik 76
Kulit 72
Hati 68
Tulang 22
Lemak 10
Tabel 1 : kandungan air tiap anggota tubuh

Komponen Intraselular 5
Komponen intraseluler merupakan cadangan cairan tubuh yang terbesar, dan
berhubungan dengan cairan dalam sel. Komposisi ionnya berbeda dengan komponen
ekstraseluler karena mengandung ion kalium dalam konsentrasi tinggi (140-150
mmol/liter) dan ion natrium dalam konsentrasi rendah (8-10 mmol/liter) dan ion
klorida (3mmol/liter). Jadi jika air diberikan bersama natrium dan klorida, maka
cenderung mengisi komponen ekstraseluler. Air yang diperlukan dalam bentuk
larutan glukosa akan didistribusikan kesemua bagian tubuh dan glukosa akan
dimetabolisme. Air murni tidak pernah diberikan secara intravena karena dapat
menyebabkan hemolisis masif.
Komponen Ekstraselular
Komponen ekstraseluler dapat dibagi menjadi intravaskuler dan intertitial.
Komponen Intravaskuler
Volume darah normal kira-kira 70 ml/kgbb pada dewasa dan 85-90 ml/kgbb
pada neonatus. Selain darah, komponen intravskuler juga terdiri dari protein plasma
dan ion, terutama natrium (138-145 mmol/liter), klorida (97-105 mmol/liter) dan ion
bikrbonat. Hanya sebagian kecil kalium tubuh berada di dalam plasma (3,5-4,5
mmol/liter), tetapi konsentrasi kalium ini mempunyai pengaruh besar terhadap fungsi
jantung dan neuromuskuler.
Komponen Interstitial
Komponen interstitial lebih besar dari pada komponen intravaskuler.Jumlah
total cairan ekstraseluler (intravaskuler ditambah interstitial) bervariasi antara 20-
35% dari berat badan dewasa dan 40-45% pada neonatus. Air dan elektolit dapat
bergerak bebas di antara darah dan ruang interstitial, yang mempunyai komposisi ion
yang sama, tetapi protein plasma tidak dapat bergerak bebas keluar dari ruang
intravaskuler kecuali bila terdapat cedera kapiler misalnya pada luka bakar atau syok
septik. Jika terdapat kekurangan cairan dalam darah atau volume darah yang menurun
dengan cepat, maka air dan elektrolit akan ditarik dari komponen interstitial ke dalam
darah untuk mengatasi kekurangan volume intravaskuler, yang diprioritaskan secara
fisiologis. Pemberian cairan intravena yang terutama mengandung ion natrium dan

3
klorida, seperti NaCl fisiologis (9 g/liter atau 0,9%) atau larutan Hartman (larutan
ringer laktat), dapat bergerak bebas kedalam ruang intertitial sehingga efektif untuk
meningkatkan volume intervaskuler dalam waktu singkat.
Larutan yang mengandung molekur yang lebih besar, misalnya plasma, darah
lengkap, dekstran, poligelin, hidroksietil, gelatin, lebih efektif untuk mempertahankan
sirkulasi jika diberikan secara intravena karena komponen ini lebih lama berada
dalam komponen intravaskuler. Cairan ini biasanya disebut sebagai plasma ex-
panders.
Cairan transseluler 3
Merupakan cairan yang terkandung di dalam rongga khusus dari tubuh.
Contoh (CTS) meliputi cairan serebrospinal, perikardial, pleural, sinovial, dan cairan
intraokular serta sekresi lambung dengan jumlah hamper mendekati angka 1 L,
namun sejumlah besar cairan bergerak kedalam dan keluar ruang transelular setiap
harinya. Sebagai contoh, saluran gastro-intestinal (GI) secara normal mensekresi dan
mereabsorbsi sampai 6-8 L per-hari. Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini
terdapat solute berupa kation dan anion (elektrolit) yang penting dalam mengatur
keseimbangan cairan dan fungsi sel. Ada dua kation yang penting yaitu natrium dan
kalium. Keduanya mempengaruhi tekanan osmotik cairan ektrasel dan intrasel serta
langsung berhubungan dengan fungsi sel. Kation dalam cairan ekstrasel adalah
natrium (kation utama) dan kalium, kalsium, magnesium. Untuk menjaga netralitas
(elektronetral) didalam cairan ekstrasel terdapat anion-anion seperti klorida,
bikarbonat dan albumin. Kation utama dalam cairan intrasel adalah kalium dan anion
utama adalah fosfat.

C. Etiologi kehilangan cairan 1


Secara garis besar dikenal 3 macam kehilangan cairan tubuh, yaitu :
a) Kehilangan cairan sebagai akibat kehilangan air dari badan baik karena
kekurangan pemasukan air atau kehilangan air berlebihan melalui paru, kulit,
ginjal atau saluran cerna. Keadaan ini sering disebut dengan pure dehydration
atau dehydration hypertonic atau water deficit atau water deficiency atau
pure water depletion.Kehilangan cairan tipe ini biasa terjadi karena :
Pemasukan air tidak mencukupi (kehabisan air minum dipadang
pasir, disfagia, koma, rangsangan haus yang hilang pada penyakit
kerusakan otak seperti tumor, meningitis, poliomeilitis tipe bulbar)
Kehilangan cairan karena pengeluaran melalui ginjal berlebihan
(diabetes insipidus)
Kehilangan cairan karena sebab lain seperti terlalu lama terkena
sinar matahari tanpa minum, hiperventilasi, demam, luka bakar,
gastroenteritis akut)

4
b) Kehilangan cairan karena kelebihan elektrolit (solute loading
hypertonicity). Kehilagan cairan karena ekstresi urin yang mengandung
banyak elektrolit.
c) Kehilangan cairan karena hiperosmolaritas. Hal ini terjadi jika cairan
ekstraselular karena suatu sebab menjadi hiperosmoler, misalnya karena
hiperosmoler hiperglikemia.
Berikut tabel 2 memperlihatkan keadaan lain yang dapat menyebabkan kebutuhan
cairan bertambah dan berkurang : 6
Kebutuhan cairan meningkat Kebutuhan cairan menurun

Demam ( 12% tiap kenaikan suhu 1C ) Hipotermi (12% tiap penurunan suhu 1C )
Hiperventilasi Kelembaban sangat tinggi
Suhu lingkungan tinggi Oligouri atau anuria
Aktivitas ekstrim Aktivitas menurun
Retensi cairan ( ex: gagal jantung, gagal
ginjal, dll )

Dehidrasi
Dehidrasi merupakan keadaan dimana kurangnya cairan tubuh dari jumlah normal
akibat kehilangan cairan, asupan yang tidak mencukupi ataukombinasi keduanya.
Dengan manifestasi klinis seperti pada tabel 3 :

Klinis Dehidrasi Ringan(5%) Dehidrasi Sedang (5- Dehidrasi Berat


10%) (>10%)

Keadaan Umum Baik, ComposMentis Gelisah, rewel ,lesu Letargik, tak sadar
Mata cekung, kering Normal Cekung Sangat cekung
Airmata Ada Kering Kering sekali
Mulut atau lidah Lembab Kering Sangat kering, pecah-
pecah
Haus Minum normal Haus Tak bisa minum
Turgor Baik Jelek Sangat jelek
Nadi Normal Cepat Cepat sekali
Tekanandarah Normal Turun Turunsekali
Air kemih Normal Kurang Kurang sekali, oliguri

Pemeriksaan laboratorium pada keadaan dehidrasi yang menunjukakan


kelainan antara lain:
Hematokrit biasanya meningkat akibat hemokonsentrasi
Peningkatan berat jenis plasma

5
Peningkatan protein total
Kelainan pada analisis gas darah (asidosis metabolik)
Sel darah putih meningkat (karena hemokonsentrasi)
Fosfatase alkali meningkat
Natrium dan kalium masih normal, setelah reidrasi kalium ion dalam serum
rendah.

D. Homeostasis dan patofisiologi 1


Untuk keseimbangan cairan tubuh dan elektrolitnya, mekanisme homeostasis
diselenggarakan oleh:
Ginjal, dengan mekanisme renin-angiotensin, mempengaruhi tekanan
darah.
Kelenjar adrenal, dengan mekanisme aldosteronakan mempengaruhi
retensi natrium.
Kelenjar hipofisis, dengan mekanisme ADH, akan mempengaruhi
reabsorbsi air.
Paru-paru, dengan mekanisme asidosis-alkalosis untuk menjaga asam
basa.

E. Gangguan keseimbangan cairan pada pembedahan 6


Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang
umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif,
intraoperatif dan postoperatif, seperti pada tabel 4 :

Faktor -faktor Faktor -faktor Faktor -faktor


pr eoperatif intraoperatif postoperatif

Kondisi yang telah ada Kehilangan darah yang Stres akibat operasi dan
Prosedur diagnostik abnormal nyeri pasca operasi.
Pemberian obat .Induksi anestesi Peningkatan
Induksi anestesi Kehilangan abnormal cairan katabolisme jaringan.
Kehilangan darah yang ekstraselular ke third space Penurunan volume
abnormal. Kehilangan cairan akibat sirkulasi yang efektif.
Stres akibat operasi dan evaporasi dari luka operasi Risiko atau adanya ileus
nyeri pasca operasi. postoperatif.
Peningkatan
Preparasi bedah
Penanganan medis terhadap
kondisi yang telah ada
Restriksi cairan preoperatif
Defisit cairan yang telah

6
ada sebelumnya
F. Tujuan terapi cairan6
Terapi cairan berfungsi untuk tujuan:
1. Mengganti kekurangan air dan elektrolit.
2. Untuk mengatasi syok.
3. Untuk mengatasi kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan. Terapi
cairan preoperatif meliputi tindakan terapi yang dilakukan pada masa pra-bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah. Pada penderita yang menjalani operasi, baik
karena penyakitnya itu sendiri atau karena adanya trauma pembedahan, terjadi
perubahan-perubahan fisiologi.

G. Jenis-jenis cairan yang digunakan 4,6,7,13


Penggolongan jenis cairan berdasarkan sifat osmolaritasnya :
a) Cairan hipotonik
Cairan hipotonik osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam
serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan "ditarik" dari dalam
pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang
dituju. Digunakan pada keadaan sel "mengalami" dehidrasi, misalnya pada pasien
cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar
gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan
adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,
menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam
otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
b) Cairan Isotonik
Cairan Isotonik osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum
(bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh
darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload
(kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan
hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan
garam fisiologis (NaCl 0,9%).
c) Cairan hipertonik
Cairan hipertonik osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga
"menarik" cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.
Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi
edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya

7
Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5% + Ringer-Lactate, Dextrose 5%
+ NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.

Penggolongan jenis cairan berdasarkan kelompoknya :


a) Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler. Cairan kristaloid
bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama
efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume
intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30
menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak
digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang
hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan
tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid
lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih
dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis)
dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida. Karena
perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid
sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit
larutan kristaloid akan masuk ruang interstitial sehingga timbul edema perifer dan
paru serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9. Selain itu, pemberian cairan
kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya
tekanan intra kranial.

b) Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut "plasma
substitute" atau "plasma expander". Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk
resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau
pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar). Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
Koloid alami

8
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10 jam
untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.

Koloid sintetis
1. Dextran
Dextran 40 dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 dengan berat
molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B
yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume
expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40
mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat
menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain itu Dextran mempunyai efek
anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas
faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match,
waktu perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan
Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 - 1.000.000,
rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 mmHg.
Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat
urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Low molecullar
weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu
mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan
berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume
expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada
penderita gawat.
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat
molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Tabel 5 memperlihatkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing
golongan cairan :
Nama Kristaloid Koloid

Keuntungan - Tidak mahal - Mempertahankan cairan


- Aliran urin lancar - intravaskular lebih baik (1/3
- (meningkatkan volume cairan
- intravaskular)

9
- Pilihan cairan pertama - bertahan selama 24 jam)
untuk - Meningkatkan tekanan
- resusitasi perdarahan dan onkotik
- trauma - Plasma
- Membutuhkan volume yang
lebih
- Sedikit
- Mengurangi kejadian edema
perifer
- Dapatmenurunkan tekanan
- intrakranial

Kerugian - Mengencerkan tekanan - Mahal


- osmotik koloid - Menginduksi koagulopati
- Menginduksi edema (dextran &
perifer - helastarch)
- Insidensi terjadinya edema - Jika terdapat kerusakan
- pulmonal lebih tinggi kapiler,
- Membutuhkan volume yg - dapat berpotensi terjadi
- lebih besar - perpindahan cairan ke
- Efeknya sementara interstitial
- Mengencerkan faktor
pembekuan
- dan trombosit
- Berpotensi menghambat
tubulus
- renalis dan sel
retikuloendotelial di
- hepar
- Kemungkinan adanya reaksi
- anafilaksis (dextran)

H. Tatalaksana terapi cairan 4,6


Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan
tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi
jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi
dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat
(RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada
syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi.
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan

10
elektrolit utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan K+ = 1 mmol/kgBB/hari.
Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat
pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses.
Digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, Terapi rumatan dapat diberikan infus
cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat atau infus yang hanya
mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung
karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's
dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya
karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar
dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan
dalam hipovolemik. Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke
ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya
tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :
6-8 ml/kg untuk bedah besar.
4-6 ml/kg untuk bedah sedang.
2-4 ml/kg untuk bedah kecil.

I. Terapi Cairan Preoperatif 6


Defisit cairan dan elektrolit pra bedah dapat timbul akibat dipuasakannya
penderita terutama pada penderita bedah elektif (sekitar 6-12 jam), kehilangan cairan
abnormal yang seringkali menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare,
diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan
meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat
banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti dengan
rumus cairan rumatan sebelum dilakukan pembedahan.

J. Terapi Cairan Intraoperatif 6


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan
kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan,
translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan
tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.
a. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya
bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja
selama pembedahan.
b. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat
diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4
ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang

11
diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer
Laktat.
c. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk
pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.

K. Terapi Cairan Postoperatif 6


Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
a. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar
50 ml/kgBB/24 jam. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma
pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan
protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%.
Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu
larutan garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat
minum dan makan.
b. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 12% setiap
kenaikan 1C suhu tubuh.
Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau
muntah.
Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi
dan humidifikasi.
c. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%,
sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan
tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi
tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil,
jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.

L. Prognosis terapi cairan 1


Pada umumnya baik, terutama jika pendapat penanganan cepat dan adekuat.
Kematian terjadi jika mempunyai penyakit dasar yang berat dan penanganan yang
tidak adekuat.

2.2. Tranfusi darah


A. Definisi tranfusi darah 1,11

12
Tranfusi darah pada hakekatnya adalah pemberian darah atau komponen darah
dari satu individu (donor) ke individu lainnya (resipien), dimana dapat menjadi
penyelamat nyawa, tetapi dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang
akan terjadi sehingga tranfusi darah hendaklah dilakukan dengan indikasi yang jelas
dan tepat sehingga diperoleh manfaat yang jauh lebih besar dari pada risiko yang
mungkin terjadi.

B. Komponen darah 1,8


Komponen darah ialah bagian darah yang dipisahkan dengan cara fisik/mekanik
misalnya dengan cara sentrifugasi. Meliputi :
Selular
Darah utuh (whole blood)
Sel darah merah pekat (packed red blood cell)
o Sel darah merah pekat dengan sedikit leukosit (packed red blood cell
leukocytes reduced)
o Sel darah merah pekat cuci (packed red blood cell washed)
o Sel darah merah pekat beku (packed red blood cell washed)
Trombosit konsentrat (concentrate platelets)
Granulosit feresis (granulocytes pheresis)
Non selular
Plasma sangat beku (fresh frozen plasma)
Plasma donor tunggal (single donor plasma)
Kriopresipitat faktor anti hemophilia (cryoprecipitale AHF)

C. Indikasi tranfusi darah 1,9,11


Oleh karena tranfusi mempunyai risiko yang cukup besar, maka pertimbangan
risiko dan manfaat benar-benar harus dilakukan dengan cermat sebelum memutuskan
pemberian tranfusi. Secara umum dari beberapa panduan yang telah dipublikasikan,
tidak direkomendasikan untuk melakukan tranfusi profilaksis, dan ambang batas
untuk melakukan tranfusi adalah kadar hemoglobin dibawah 7,0 atau 8,0 g/dl, kecuali
untuk pasien dengan penyakit kritis. Walaupun sebuah studi dengan 383 pasien
dengan penyakit kritis melaporkan bahwa tidak ada perbedaan mortalitas pada
kelompok yang di tranfusi dengan batasan kadar hemoglobin dibawah 10,0 g/dl dan
7,0 g/dl, namun penelitian dengan jumlah pasien yang lebih besar masih perlu
dilakukan. Kadar hemoglobin 8,0 g/dl adalah ambang batas tranfusi untuk yang
dioperasi yang tidak memiliki faktor risiko iskemia, sementara untuk pasien dengan
risiko iskemia, ambang batasnya dapat dinaikkan sampao 10,0 g/dl, namun tranfusi
profilaksis tetap tidak dianjukan. Pada bayi dan anak dengan kadar hemoglobin
normal, kehilangan darah sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan

13
kompensasi tubuh maka cukup diberi cairan koloid atau kristaloid, sedangkan diatas
15% perlu tranfusi darah karena adanya gangguan pegangkutan oksigen. Sedangkan
untuk orang dewasa dengan kadar Hb normal angka patokannya ialah 20%.
Kehilangan darah sampai 20% dengan gangguan faktor pembekuan maka diberi
cairan kristaloid sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid
diberikan dengan jumlah sama. Tranfusi darah >50% diberikan pada saat perioperasi
dengan tujuan untuk menaikkan kapasitas pengangkut oksigen dan volume
intravascular. Kalau hanya kenaikan volume intravascular saja cukup dengan koloid
dan kristaloid.

D. Jenis tranfusi darah 1,8,12

E. Komplikasi yang dapat timbul 9.10


a) Reaksi Transfusi Hemolitik
Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi yang jarang terjadi tetapi serius
dan terdapat pada satu diantara dua puluh ribu penderita yang mendapat transfusi.
Lisis sel darah donor oleh antibodi resipien. Hal ini bisa terjadi dengan cara reaksi

14
transfusi hemolitik segera dan reaksi transfusi hemolitik lambat Reaksi ini sering
terjadi akibat kesalahan manusia sebagai pelaksana, misalnya salah memasang
label atau membaca label pada botol darah. Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah
menggigil, panas, kemerahan pada muka, bendungan vena leher , nyeri kepala,
nyeri dada, mual, muntah, nafas cepat dan dangkal, takhikardi, hipotensi,
hemoglobinuri, oliguri, perdarahan yang tidak bisa diterangkan asalnya, dan
ikterus.
Pada penderita yang teranestesi hal ini sukar untuk dideteksi dan memerlukan
perhatian khusus dari ahli anestesi, ahli bedah dan lain-lain. Tanda-tanda yang
dapat dikenal ialah takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi, perdarahan yang
tiba-tiba meningkat, selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri.
Terapi reaksi transfusi hemolitik : pemberian cairan intravena dan diuretika. Cairan
digunakan untuk mempertahankan jumlah urine yang keluar. Diuretika yang
digunakan ialah :
1. Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena kemudian diikuti
pemberian 40 mEq Natrium bikarbonat.
2. Furosemid
Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer laktat, albumin dan
darah yang cocok. Bila volume darah sudah mencapai normal penderita dapat
diberi vasopressor. Selain itu penderita perlu diberi oksigen. Bila terjadi
anuria yang menetap perlu tindakan dialysis.

b) Reaksi Transfusi Non Hemilitik


1. Reaksi transfusi "febrile"
Tanda-tandanya adalah sebagai berikut : Menggigil, panas, nyeri kepala, nyeri
otot, mual.
2. Reaksi alergi
o Anafilaksis : Keadaan ini terjadi bila terdapat protein asing pada darah
transfusi.
o Urtikaria, paling sering terjadi dan penderita merasa gatal-gatal.
Biasanya muka penderita sembab.
Terapi yang perlu diberikan ialah antihistamin, dan transfusi harus distop.

c) Reaksi Non Imunologi


1. Reaksi yang disebabkan oleh volume yang berlebihan
2. Reaksi karena darah transfusi terkontaminasi
3. Virus hepatitis, Malaria, sifilis, virus CMG dan virus Epstein-Barr parasit serta
bakteri
4. AIDS

15
Untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya reaksi selama transfusi,
dilakukan beberapa tindakan pencegahan. Setelah diperiksa ulang bahwa darah
yang akan diberikan memang ditujukan untuk resipien yang akan menerima darah
tersebut, petugas secara perlahan memberikan darah kepada resipien, biasanya
selama 2 jam atau lebih untuk setiap unit darah.
Karena sebagian besar reaksi ketidakcocokan terjadi dalam15 menit pertama,
maka pada awal prosedur, resipien harus diawasi secaraketat.Setelah itu, petugas
dapat memeriksa setiap 30- 45 menit dan jika terjadi reaksi ketidakcocokan, maka
transfusi harus dihentikan.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara ataupun mengganti cairan
tubuh dengan pemberian cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma
ekspander) secara intravena untuk mengatasi berbagai masalah gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, meliputi mengantikan volume cairan yang hilang
akibat perdarahan,dehidrasi atau syok. Terapi cairan perioperative meliputi tindakan
terapi yang dilakukan pada masa pra-bedah, selama pembedahan, dan pasca bedah.
Dalam pembedahan dengan anestesia yang memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, maka terapi cairanberfungsi untuk mengganti cairan saat puasa sebelum
dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti
perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan. Sedangkan Tranfusi darah pada
hakekatnya adalah pemberian darah atau komponen darah dari satu individu (donor)
ke individu lainnya (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat nyawa, tetapi dapat
pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang akan terjadi sehingga tranfusi darah
hendaklah dilakukan dengan indikasi yang jelas dan tepat sehingga diperoleh manfaat
yang jauh lebih besar dari pada risiko yang mungkin terjadi. Transfusi darah dapat
berupa darah lengkap atau hanya komponen-komponen darah yang dibutuhkan saja
misalkan preparat sel darah merah atau trombosit, tergantung indikasi resipien.

17
DAFTAR PUSTAKA

1.Sudoyo W. A., Setiyohadi.B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed.5.
Jilid 1. Internal Publishing: Jakarta

2.Guyton AC dan Hell JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.11. Jakarta :
EGC.

3.Sherwood L .2009. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi ke 6. Jakarta:EGC

4.Latief AS, dkk. 2001 petunjuk praktis anestesiologi : terapi cairan pada
pembedahan, ed.2 bagian anestesiologi dan terapi intensif, FK UI.

5.Dobson, Michel B. 2012. Penuntun praktis Anestesi. Prinsip terapi cairan dan
elektrolit. Jakarta : EGC.

6.Kaswiyan U. 2010. Terapi cairan perioperatif. Bagian Anestesiologi dan


Reanimasi. Fakultas Kedokteran Universitas padjajaran.

7.Mulyono, I. 2009. Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition


Therapy in Traumatic Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta.

8.Grethlein, Sara J. 2012. Blood Substitutes . journal of emedicinemedscape.

9.Kardon, Eric M . 2014. Transfusion Reactions In Emergency Medicine.journal of


emedicine medscape.

10.Adriansyah, Rizky dkk. 2009. Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi. Majalah


Kedokteran Indonesia, Vol: 59, No: 8. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

11.Hanafie, Achsanuddin. 2009. Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah pada Pasien
Kritis. Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 39, No. 3. SMF-Anestesi dan
Reanimasi FK-USU/RSUP Haj Adam Malik, Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan

12.WHO. 2013. the clinical use of blood in general medicine obstetric pediatrics
surgery & anaesthasia trauma and Bums.

13.Ario, Dewangga dkk. 2011. Kebutuhan Optimal Cairan Ringer Laktat untuk
Resusitasi Terbatas (Permissive Hypotension) pada Syok Perdarahan Berat yang

18
Menimbulkan Kenaikan Laktat Darah Paling Minimal. Journal of Emergency Vol.
1. No. 1. Departemen/SMF Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

19

Anda mungkin juga menyukai