Anda di halaman 1dari 30

BAKTERIAL VAGINOSIS

I. PENDAHULUAN

Bakterial vaginosis adalah keadaan abnormal pada ekosistem vagina yang


disebabkan bertambahnya pertumbuhan flora vagina bakteri anaerob menggantikan
Lactobacillus yang mempunyai konsentrasi tinggi sebagai flora normal vagina. 1

Penyakit ini sebenarnya merupakan suatu keadaan dimana terjadi alterasi


(perubahan) flora normal vagina, yaitu menurunnya jumlah Lactobacilli dan
pertumbuhan berlebih dari bakteri anaerob. 2 Awalnya infeksi pada vagina hanya disebut
dengan istilah vaginitis, di dalamnya termasuk vaginitis akibat Trichomonas vaginalis
dan akibat bakteri anaerob lain berupa Peptococcus dan Bacteroides, sehingga disebut
vaginitis nonspesifik.2 Setelah Gardner menemukan adanya spesies baru yang akhirnya
disebut Gardnerella vaginalis, istilah vaginitis nonspesifik pun mulai ditinggalkan.
Berbagai penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa Gardnerella melakukan
simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob sehingga menyebabkan manifestasi klinis
vaginitis, di antaranya termasuk dari golongan Mobiluncus, Bacteroides, Fusobacterium,
Veilonella, dan golongan Eubacterium, misalnya Mycoplasma hominis, Ureaplasma
urealyticum, dan Streptococcus viridans. 1,2

Data prevalensi sangat bervariasi karena perbedaan kriteria diagnosis dan


perbedaan populasi. Penelitian di AS pada 13747 wanita hamil yang dievaluasi bakterial
vaginosis; 16,3% wanita menderita bakterial vaginosis terlihat prevalensi yang bervariasi
berdasarkan etnis yaitu 6,1% wanita Asia, 8,8% wanita kaukasian, 15,9% wanita
Hispanik, dan 22,7% wanita Afrika-Amerika. 3

Gejala utama bakterial vaginosis adalah keputihan homogen yang abnormal


(terutama pasca sanggama) dengan bau tidak sedap. 2,3 Cairan keputihan berada di
dinding vagina dan tidak disertai iritasi, nyeri atau eritema. 2,3 Tak seperti halnya dengan
keputihan vagina normal, keputihan pada bakterial vaginosis jumlahnya bervariasi dan
umumnya menghilang sekitar 2 minggu sebelum haid. 4

1
Saat ini belum ada bukti bahwa penyakit ini ditularkan secara seksual antara
pasangan heteroseksual. Namun, bakterial vaginosis disebabkan oleh berganti-ganti
pasangan seksual dan kuman penyebabnya pernah dibiak dari uretra laki-laki yang
menjadi pasangan seksual perempuan yang terinfeksi. 2,3 Pasangan lesbian dilaporkan
dapat mengalami sekresi vagina (keputihan) yang serupa, dan pada kasus bakterial
vaginosis, hal ini mungkin mencerminkan penularan seksual dalam kelompok ini. 2,3

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap wanita dengan bakteriologis vagina


normal dan wanita dengan bakterial vaginosis, ditemukan bakteri aerob dan bakteri
anaerob pada semua perempuan. Lactobacillus adalah organisme dominan pada wanita
dengan sekret vagina normal dan tanpa vaginitis. Lactobacillus biasanya ditemukan 80-
95 % pada wanita dengan sekret vagina normal. Sebaliknya, Lactobacillus ditemukan
25-65 % pada bakterial vaginosis.2,3,4

Sekitar 1 dari 4 wanita akan sembuh dengan sendirinya, hal ini diakibatkan
karena organisme Lactobacillus vagina kembali meningkat ke level normal, dan bakteri
lain mengalami penurunan jumlah. 1,2,3 Namun pada beberapa wanita, bila bakterial
vaginosis tidak diberi pengobatan, akan menimbulkan keadaan yang lebih parah. Oleh
karena itu perlu mendapatkan pengobatan, dimana jenis obat yang digunakan
hendaknya tidak membahayakan dan sedikit efek sampingnya. Ahli medis biasanya
menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial
vaginosis.4,5

Bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita walaupun tidak
menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama dapat dipakai.
Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat disembuhkan.
Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3 kasus. 4 Dengan pengobatan
metronidazol dan klindamisin memberi angka kesembuhan yang tinggi (84-96%). 5

II. EPIDEMIOLOGI

2
Vaginosis bakterialis merupakan penyebab flour albus yang umum ditemukan
pada wanita usia subur. Menentukan prevalensi vaginosis bakterial sulit oleh karena 1/3
- 3/4 perempuan yang terinfeksi adalah asimtomatik, serta paling sering pada kelompok
wanita yang aktif melakukan seksual. 2,3,6 Angka prevalensi dan penyebab vaginitis tidak
diketahui pasti, sebagian besar karena kondisi-kondisi ini sering didiagnosis sendiri dan
diobati sendiri oleh penderita. 4,6 Sebelum tahun 1955, penyakit ini dikenal dengan nama
nonspecific vaginitis, Haemophilus vaginitis, Gardnerella vaginitis, Corynebacterium
vaginitis , nonspecific vaginosis atau anaerobic vaginosis.4,6

Di Indonesia, prevalensi vaginosis mencapai 10%. 6 Bakterial vaginosis ditemukan


pada 15-19% pasien-pasien rawat inap bagian kandungan, 10-30% ibu hamil dan 24-
40% pada klinik kelamin. 6 Di Amerika Serikat, bakterial vaginosis merupakan penyebab
vaginitis yang terbanyak, mencapai sekitar 40 sampai 50% dari kasus pada perempuan
usia reproduksi.3

Walaupun angka prevalensi bakterial vaginosis lebih tinggi pada klinik-klinik


kelamin dan pada perempuan yang memiliki pasangan seks lebih dari satu, peran dari
penularan secara seksual masih belum jelas. Berbagai penelitian membuktikan bahwa
mengobati pasangan dari perempuan yang menderita bakterial vaginosis tidak memberi
keuntungan apapun dan bahkan perempuan yang belum seksual aktif juga dapat
terkena infeksi ini. Faktor risiko tambahan untuk terjadinya bakterial vaginosis termasuk
pemakaian IUD, douching dan kehamilan.2,3,4

Pada umumnya bakterial vaginosis ditemukan pada wanita usia reproduktif


dengan aktifitas seksual yang tinggi dan promiskuitas. Penggunaan alat kontrasepsi
dalam rahim, usia menopause, vaginal douching, sosial ekonomi rendah, dan wanita
hamil juga merupakan faktor resiko terjadinya bakterial vaginosis.2,3,4

Bakterial vaginosis yang rekuren dapat meningkat pada wanita yang mulai
aktivitas seksualnya sejak umur muda, lebih sering juga terjadi pada wanita berkulit
hitam yang menggunakan kontrasepsi dan merokok.2,3,4 Bakterial vaginosis yang
rekuren prevalensinya juga tinggi pada pasangan-pasangan lesbi, yang mungkin
berkembang karena wanita tersebut berganti-ganti pasangan seksualnya. 2,3

3
Hampir 90% laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi Gardnerella
vaginosis, mengandung Gardnerella vaginosis dengan biotipe yang sama dalam uretra,
tetapi tidak menyebabkan uretritis.2,3

III. ETIOLOGI

Ekosistem vagina normal sangat kompleks, flora bakterial yang predominan


adalah Laktobasili (95%), disamping itu terdapat pula sejumlah kecil (5%) variasi yang
luas dari bakteri erobik maupun anerobik. 2,3

Genus Laktobasilus merupakan kuman yang mampu memproduksi sejumlah


asam laktat dari karbohidrat sederhana, dengan demikian menciptakan suasana asam
yang mampu mematikan kuman lain yang tidak berspora. 2,3,4 Secara morfologik, kuman
ini berbentuk batang positif gram dan tidak bergerak. Pada isolasi primer bersifat
mikroaerofilik atau anaerob (tumbuh baik pada keadaan sedikit sekali oksigen atau
tanpa oksigen). Bakteri ini pada dasarnya bersifat non patogen (tidak berbahaya). 2-6

Pada saat bakterial vaginosis muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan dari


beberapa spesies bakteri yang ditemukan, dimana dalam keadaan normal ada dalam
konsentrasi rendah.4,6 Bakterial vaginosis disebabkan oleh ketidakseimbangan flora
alami bakteri (bakteri yang biasa ditemukan dalam vagina wanita). Bakterial vaginosis
tidak sama dengan kandidiasis (infeksi jamur) atau Trichomonas vaginalis
2,3,4
(trikomoniasis) yang tidak disebabkan oleh bakteri.

Bakterial vaginosis umumnya terjadi karena pengurangan jumlah hidrogen


peroksida normal yang memproduksi lactobacilli dalam vagina. Salah satu penyebab
bakterial vaginosis adalah organisme Gardnerella vaginitis, namun organisme tersebut
bukan satu-satunya penyebab bakterial vaginosis. Bila beberapa jenis bakteri menjadi
tidak seimbang, seorang wanita dapat mengalami bakterial vaginosis. Meskipun tidak
berbahaya, tetapi kondisi ini dapat mengganggu.

4
Gambar 1. Mikroflora vagina

Gambar a, b; Lactobacillus. c, d; non- Lactobacillus jenis sel crispatus. e, f; campuran L.


crispatus dan non- Lactobacillus. g, h; batang Gram positif, bentuk tidak teratur. i, j;
campuran jenis sel Lactobacillus dan bakteri vaginosis terkait bakteri (Gardnerella,
Bacteroides-Prevotella dan jenis sel Mobiluncus). k, l; vaginosis bakteri.

Sumber : BMC Microbiology 2005. Diakses dari http://www.biomedcentral.com/1471-


2180/5/61.

Pada suatu analisis dari data flora vagina memperlihatkan bahwa ada 4 kategori
dari bakteri vagina yang berhubungan dengan bakterial vaginosis, yaitu :

1. Gardnerella vaginalis

Gardnerella vaginalis sangat erat hubungannya dengan bacterial vaginosis.


Organisme ini mulamula dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah menjadi genus
Gardnerella atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam dioksi-ribonukleat.
5
Tidak mempunyai kapsul, tidak bergerak dan berbentuk batang gram negative atau
variabel gram. Tes katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole, dan urease semuanya
negative. Kuman ini bersifat anaerob vakultatif, dengan produksi akhir utama pada
fermentasi berupa asam asetat, banyak jalur yang juga menghasilkan asam laktat dan
asam format. Ditemukan juga galur anaerob obligat. Untuk pertumbuhannya
membutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin, purin dan pirimidin.2,3,8

Gambar 2. Clue Cells

Sel epitel ditutupi oleh bakteri Gardnerella vaginalis (juga dikenal sebagai

vaginitis non-spesifik atau bacterial vaginosis) yang melekat pada preparat

basah. Diakses dari http://atlas-emergency-medicine.org.ua/ch.21.htm.

2. Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bakteriodes Spp

Bakteriodes Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus sebanyak 36%


pada wanita dengan bacterial vaginosis. 2,310 Pada wanita normal kedua tipe anerob ini
lebih jarang ditemukan. Penemuan spesies anaerob dihubungkan dengan penurunan
laktat dan peningkatan suksinat dan asetat pada cairan vagina. Setelah terapi dengan

6
metronidazole, Bakterioides dan Peptostreptococcus tidak ditemukan lagi dan laktat
kembali menjadi asam organic yang predominan dalam cairan vagina.2,3,10

Bakteri anaerob berinteraksi dengan G. vaginalis untuk menimbulkan vaginosis.


Mobilincus Spp hampir tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85% wanita dengan
bacterial vaginosis mengandung organisme ini. 2,3 Peneliti lain memperkuat hubungan
antara bakteri anaerob dengan vaginosis bakterial. Mikroorganisme anaerob lain yaitu
Mobiluncus Spp, merupakan batang anaerob lengkung yang juga ditemukan pada
vagina bersama-sama dengan organisme lain yang dihubungkan dengan bakterial
vaginosis.2,3 Mobiluncus Spp hampir tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85%
wanita dengan bakterial vaginosis mengandung organisme ini. 2,3,10

Gambar 3. Bacteroides biacutis

Sumber : Obtained from the CDC.

Diaskes dari http://phil.cdc.gov/phil/home.asp Public Health.

3. Mycoplasma hominis

Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis juga harus


dipertimbangkan sebagai agen etiologic untuk bacterial vaginosis, bersamasama
dengan G. vaginalis dan bakteri anaerob lainnya. 2,3,10 Prevalensi tiap mikroorganisme ini
meningkat pada wanita dengan bacterial vaginosis. Organisme ini terdapat dengan

7
konsentrasi 100 1000 kali lebih besar pada wanita yang mengalami bacterial vaginosis
dibandingkan dengan wanita normal. 2,3,10

Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine, satu dari


amin yang konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis. Konsentrasi normal
bakteri dalam vagina biasanya 105 organisme/ml cairan vagina dan meningkat menjadi
108-9 organisme/ml pada bakterial vaginosis. Terjadi peningkatan konsentrasi
Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob termasuk Bacteroides, Leptostreptococcus,
dan Mobilincus Spp sebesar 100-1000 kali lipat. 2,3,10

Gambar 4. Mycoplasma hominis

Sumber : Diagnostic Mycoplasma Laboratory University of Alabama at Birmingham

Diakses dari www.mycoplasma.uab.edu

IV. PATOGENESIS

Bacterial vaginosis disebabkan oleh faktor faktor yang mengubah lingkungan


asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong pertumbuhan
berlebihan bakteri bakteri penghasil basa. 12 Lactobacillus adalah bakteri predominan
di vagina dan membantu mempertahankan sekresi vagina yang bersifat asam.2,3

8
Faktorfaktor yang dapat mengubah pH melalui efek alkalinisasi antara lain adalah
mucus serviks, semen, darah haid, mencuci vagina (douching), pemakaian antibiotic
dan perubahan hormone saat hamil dan menopause.2,3,12 Faktorfaktor ini
memungkinkan meningkatnya pertumbuhan Gardnerella vaginalis, Mycoplasma
hominis, dan bakteri anaerob. Metabolisme bakteri anaerob menyebabkan lingkungan
menjadi basa yang menghambat pertumbuhan bakteri lain. Mencuci vagina (douching)
sering dikaitkan dengan keluhan disuria, keputihan, dan gatal pada vagina. 12 Pada
wanita yang beberapa kali melakukan pencucian vagina (douching), dilaporkan terjadi
perubahan pH vagina dan berkurangnya konsentrasi mikroflora normal sehingga
memungkinkan terjadinya pertumbuhan bakteri pathogen yang oportunistik. 12

Secret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia produktif.
Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang
keluar, bercampur dengan bakteri, sel sel vagina yang terlepas dan sekesi kelenjar
bartolini.13 Pada wanita, secret vagina ini merupakan suatu hal yang alami dari tubuh
untuk membersihkan diri, sebagai pelicin, dan pertahanan diri dari berbagai infeksi.
Dalam kondisi normal, secret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh atau bewarna
kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5, terdiri dari sel sel
epitel yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur, Tricomonas, dan tanpa clue
sel.13

Sekret vagina pada bakterial vaginosis berisi beberapa senyawa amin termasuk
di dalamnya putresin, kada verin, metilamin, isobutilamin, feniletilamin, histamin, dan
tiramin.13 Setelah pengobatan berhasil sekret akan menghilang. Basil anaerob mungkin
mempunyai peranan penting pada patogenesis bakterial vaginosis karena setelah
dilakukan isolasi, analisis biokimia sekret vagina dan efek pengobatan dengan
metronidazol ternyata efektif untuk G. vaginalis sebagai kuman anaerob.12,13

Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara Gardnerella vaginalis


sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam
vagina yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH secret
vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan Gardnerella vaginalis.12,13
Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel
9
dan menyebabkan bau tidak sedap keluar dari vagina. Basilbasil anaerob yang
menyertai bacterial vaginosis diantaranya Bakteriodes bivins, B. Capilosus, dan B.
disiens yang dapat diisolasikan dari infeksi genitalia. 12,13

Gardnerella vaginalis melekat pada selsel epitel vagina invitro, kemudian


menambahkan deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh
pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasive dan respon inflamasi local yang
terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam secret vagina dan
dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya bacterial vaginosis dan hubungannya
dengan aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi trichomonas. 12,13

Rekurensi pada Bacterial vaginosis belum sepenuhnya dipahami namun ada 4


kemungkinan, yaitu : 13
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab bacterial
vaginosis. Lakilaki yang mitra seksualnya wanita terinfeksi G. vaginalis
mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra tetapi tidak
menyebabkan uretritis pada laki laki (asimptomatik) sehingga wanita yang telah
mengalami pengobatan bacterial vaginosis cenderung untuk kambuh lagi akibat
kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.
2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bacterial vaginosis yang hanya
dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora
normal yang berfungsi sebagai protector dalam vagina.
4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum teridentifikasi faktor hostnya pada
penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.

V. GEJALA KLINIS

Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling sering
pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama setelah
melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau
amis/bau ikan (fishy odor).13,14 Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang
13,14
menguap bila cairan vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2)
10
menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya pada protein dan amin yang
menguap menimbulkan bau yang khas13,14. Walaupun beberapa wanita mempunyai
gejala yang khas, namun pada sebagian besar wanita dapat asimptomatik.

Gambar 5. Gambaran klinis vaginosis bakterialis.

Tampak gambaran klasik dari vaginosis bakteri : keputihan yang berwarna putih keabuan,

terdapat bau amis yang menyengat

Sumber : STD/HIV Prevention Training Center at the University of Washington.

Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (berupa gatal dan rasa terbakar), bila
ditemukan relative lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis
atau Candidiasis albicans. Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar,
sementara yang lain mengeluhkan kemerahan dan edema pada vulva. Jarang
ditemukan keluhan lain, misalnya nyeri abdomen, dispareunia, atau nyeri waktu
berkemih dan bila ada, biasanya diakibatkan oleh penyakit lain. 13

Pada pemeriksaan sangat khas didapatkan sekret vagina yang tipis dan sering
berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang
berbusa.12,13,14 Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan
tipis atau kelainan yang difus dengan pH vagina berkisar 4,5 - 5,5. Sebaliknya sekret
vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang memberikan
gambaran bergerombol.13,14

Bagan Management sindrom keputihan

11
Untuk situasi dimana mikroskop tidak tersedia, Organisasi Kesehatan Dunia telah

mengembangkan sebuah algoritma untuk pengelolaan keputihan.

Sumber : World Health Organization. Guidelines for the management of sexually transmitted

infections. Geneva; World Health Organization: 2003.

Gejala peradangan umum tidak ada. Terdapat eritema pada vagina atau vulva
atau petekiae pada dinding vagina. Pada pemeriksaan kolposkopi tidak terlihat dilatasi
pembuluh darah dan tidak ditemukan penambahan densitas pembuluh darah pada
dinding vagina.13,14 Gambaran serviks pun akan terlihat normal. Bakterial vaginosis
dapat timbul bersama infeksi traktus genital bawah seperti trikomoniasis dan servisitis
sehingga menimbulkan gejala genital yang tidak spesifik. 13,14

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


12
1. Pemeriksaan preparat basah

Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada sekret
vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue
cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama
2,3,4
Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas 60%
dan spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis. 17 Clue cells adalah penanda
bakterial vaginosis.2,3,4

Gambar 6. Bacterial vaginosis (Gardnerella vaginalis).

Pertumbuhan berlebih dari beberapa anaerob menghasilkan bentuk vaginosis. A, Salah


satu gejala utama adanya keputihan homogen yang berbau busuk. B, Karakteristik "clue
cell" yang terdiri dari sel-sel epitel vagina ditutupi dengan bakteri refractile. Karena
organisme noninvasif, leukosit tidak meningkat.

Sumber : Atlas of Pediatric Physical Diagnosis/Infectious Vulvovaginitis.

2. Whiff test

Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi dengan
penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul sebagai akibat
pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff test positif
menunjukkan bakterial vaginosis.2,3,4
13
Gambar 7. Tes Whiff

Pada vagina yang sehat tidak ada bau yang timbul pada pemeriksaan diatas. Adanya
bau amis ( amine odor ) mengarahkan dugaan pada infeksi trichomonas atau vaginosis
bacterial.
Sumber : http://quizlet.com/

3. Tes lakmus untuk pH

Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas


dibandingkan dengan warna standar pH vagina normal (3,8 - 4,2). Pada 80-90%
bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5. 17

4. Pemarnaan gram sekret vagina

Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan


Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella vaginalis
dan atau Mobilincus Spp dan bakteri anaerob lainnya.17

5. Kultur vagina

Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial


vaginosis. Gardnerella vaginalis dapat ditemukan pada hampir seluruh penderita
bakterial vaginosis, tapi juga dapat ditemukan lebih dari 58% pada perempuan tanpa
bakterial vaginosis.17

6. Deteksi hasil metabolik :

- Tes proline aminopeptidase : G.vaginalis dan Mobilincus Spp menghasilkan Proline


aminopeptidase, dimana Laktobasilus tidak menghasilkan enzim tersebut.17

- Permainan Suksinat atau Laktat : batang gram negatif anaerob menghasilkan


suksinat sebagai hasil metabolik. Perbandingan suksinat terhadap laktat dalam
14
sekret vagina ditunjukkan dengan analisa kromotografik cairan-gas meningkat pada
bakterial vaginosis dan digunakan sebagai tes skrining untuk bakterial vaginosis
dalam penelitian epidemiologik klinik. 17

VII. DIAGNOSIS

Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa setiap wanita dengan aktivitas
ovum normal mengeluarkan cairan vagina berwarna abu-abu, homogen, berbau dengan
pH 5 - 5,5 dan tidak ditemukan T. vaginalis, kemungkinan besar menderita bakterial
vaginosis. WHO (1980) menjelaskan bahwa diagnosis dibuat atas dasar ditemukannya
clue cells, pH vagina lebih besar dari 4,5, tes amin positif dan adanya G. vaginalis
sebagai flora vagina utama menggantikan Lactobacillus. Balckwell (1982) menegakkan
diagnosis berdasarkan adanya cairan vagina yang berbau amis dan ditemukannya clue
cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif serta pH vagina yang tinggi akan
memperkuat diagnosis.

Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis,
oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang sering disebut
sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat gejala,
yaitu : 17,18
1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding vagina dan
abnormal
2. Ph vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis sebelum atau
setelah penambahan koh 10% (whiff test).
4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)
Ditemukan 3 dari 4 kriteria diagnosis ini sudah cukup menegakkan diagnosis
vaginosis bacterial. Duh tubuh yang ditemukan biasanya lengket, menempel ke vagina,
homogen, tipis, dan yang khas ialah warnanya yang keabu-abuan. Kadang-kadang
dapat dilihat gelembung kecil di dalamnya.

A. Anamnesis

Wanita dengan vaginosis bakterialis akan mengeluh adanya duh tubuh dari
vagina yang ringan atau sedang dan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis atau
15
bau ikan (fishy odor). Bau lebih menusuk setelah sanggama dan mengakibatkan darah
menstruasi berbau abnormal. Iritasi daerah vagina atau sekitarnya (berupa gatal dan
rasa terbakar) relatif lebih ringan dari trikomoniasis. 4,6,18 Sepertiga penderita mengeluh
gatal dan rasa terbakar, sementara yang lain mengeluhkan kemerahan dan edema pada
vulva. Jarang ditemukan keluhan lain, misalnya nyeri abdomen, dispareunia, atau nyeri
waktu kencing.6 Kalaupun ada, biasanya akibat penyakit lain. Di samping itu, penderita
vaginosis bakterialis bersifat asimptomatik. 4,6,18

B. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Pada pemeriksaan sangat khas didapatkan duh tubuh vagina bertambah, warna
abu-abu homogen, viskositas rendah atau normal, berbau, dan jarang berbusa. Duh
tubuh melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis atau kilauan yang
difus dengan pH vagina berkisar 4,5-5,5. Tidak ditemukan pula gejala peradangan
umum. Terdapat eritema pada vagina atau vulva atau petekiae pada dinding vagina.
Pada pemeriksaan kolposkopi tidak terlihat dilatasi pembuluh darah dan tidak ditemukan
penambahan densitas pembuluh darah pada dinding vagina. Gambaran serviks pun
akan terlihat normal.

Gambar 8. Serviks terinfeksi vaginosis bakterialis

Sumber : http://quizlet.com/

VIII. DIAGNOSIS BANDING

16
Table Diagnostic features and laboratory diagnosis
Bacterial vaginosis Candidiasis Trichomoniasis
IUD

intrauterine device
PMN
polymorphonuclear leukocytes
Table 1 - Footnote *
Clue cells are vaginal epithelial cells covered with numerous coccobacilli.
Table 1 - Footnote
Culture is more sensitive than microscopy for T. vaginalis.
Not usually Not usually Sexually
Sexual considered considered transmitted
transmission sexually sexually
transmitted transmitted
Often absent Often absent Multiple
partners
More common if More common
sexually active if sexually active
New sexual Current or
partner recent antibiotic
use
Predisposing IUD use
Pregnancy
factors
Corticosteroids
Poorly
controlled
diabetes
Immuno-
compromised
Symptoms Vaginal Vaginal Vaginal
discharge discharge discharge
Fishy odour Itch Itch
50% External Dysuria
asymptomatic dysuria
17
Table Diagnostic features and laboratory diagnosis
Bacterial vaginosis Candidiasis Trichomoniasis

Superficial 1050%
dyspareunia asymptomatic
Up to 20%
asymptomatic
White or grey, White, clumpy, Off-white or
thin, copious curdy discharge yellow, frothy
discharge discharge
Erythema and
Signs edema of vagina Erythema of
and vulva vulva and cervix
(strawberry
cervix)
Vaginal pH >4.5 <4.5 >4.5
PMNs Budding yeast Motile
flagellated
Wet mount Clue cells Pseudohyphae
protozoa (38
82% sensitivity)
Clue PMNs PMNs
cellsDecreased
Budding yeast Trichomonads
normal flora
Gram stain Pseudohyphae
Predominant
Gram-negative
curved bacilli and
coccobacilli
Whiff test Positive Negative Negative

Preferred Metronidazole Antifungals Metronidazole


treatment Clindamycin Treat partner

Sumber : Anderson MR, Klink K, Cohrssen A. Evaluation of vaginal complaints. JAMA


2004;291:13681379.

18
A. Diagnosis Banding : Kandidiasis

Kandidiasis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh jenis mikroorganisme


yaitu jamur Candida, terutama Candida albicans. Kandidosis vulvovaginalis adalah
infeksi mukosa vagina dan vulva (epitel tidak berkeratin) yang disebabkan oleh spesies
Candida.19,20 Penyebab terbanyak (80-90%) adalah Candida albicans, sedangkan
penyebab terbanyak kedua dan ketiga adalah Candida glabrata (Torulopsisglabrata) dan
Candida tropicalis.19,20

Merupakan infeksi jamur oportunistik yang dapat terjadi secara primer atau
sekunder dan dapat bersifat akut, subakut maupun kronis episodik. Infeksi kronis bila
berlangsung lebih dari 3 tahun.19,20

Kandidosis vulvovaginalis rekuren didefinisikan sebagai infeksi yang mengalami


kekambuhan 4 kali atau lebih dalam setahun. Pada umumnya infeksi disebabkan
adanya kolonisasi yang berlebihan dari spesies Candida yang sebelumnya bersifat
saprofit pada vulva dan vagina, dan jarang disebabkan karena mendapat sumber infeksi
dari luar(sumber infeksi dari tanaman, lingkungan, udara dan tanah). 19,20

Keluhan yang paling sering pada kandidosis vulvovaginalis adalah rasa gatal
pada daerah vulva dan adanya duh tubuh. Sifat duh tubuh bervariasi dari yang cair
seperti air sampai tebal dan homogen dengan noda seperti keju. Kadang-kadang sekret
tampak seperti susu yang disertai gumpalan-gumpalan putih sehingga tampak seperti
susu basi/pecah dan tidak berbau.19,20 Akan tetapi lebih sering sekret hanya minimal
saja. Keluhan klasik yang lainnya adalah rasa kering pada liang vagina, rasa terbakar
pada vulva, dispareunia dan disuria. Jadi sebenarnya, tidak ada keluhan yang benar-
benar spesifik untuk kandidosis vulvovaginalis.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan eritema dan pembengkakan pada labia dan
vulva, juga dapat ditemukan lesi papulopustular di sekitarnya. Servik tampak normal
sedangkan mukosa vagina tampak kemerahan. Bila ditemukan keluhan dan tanda-
tanda vaginitis serta pH vagina <4,5 dapat diduga adanya infeksi kandida, sedangkan

19
bila pH vagina >5 kemungkinana dalah vaginitis karena bakterial vaginosis, trikhomonas
vaginitis atau ada infeksi campuran. 19,20

Gambar 9. Vulvovaginal candidiasis gambaran klinis pada vagina

Sumber : www.medscape.com

Diagnosis klinis kandidosis vulvovaginalis dibuat berdasarkan keluhan penderita,


pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium berupa sediaan basah maupun gram dan
pemeriksaan biakan jamur, selain itu juga pemeriksaan pH cairan vagina.
Biakan jamur dari cairan vagina mempunyai nilai konfirmasi terhadap hasil pemeriksaan
mikroskopik yang negatif (false negative cases) yang sering ditemukan pada kandidosis
vulvovaginalis kronik dan untuk mengidentifikasi spesies non-candida albicans. 19,20 Sejak
spesies ini sering ditemukan pada sejumlah kandidosis vulvovaginalis kronik dan sering timbul
resistensi terhadap flukonazol, maka identifikasi jamur dengan kultur menjadi lebih penting.

Gambar 10. Biakan jamur pada corn meal agar

Pemeriksaan ditanam dalam agar dekstrosa glukosa Sabouraud,


Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37 C,
koloni tumbuh setelah 24-48 jam, berupa yeast like coloni.

Sumber : http://64.203.71.11/kesehatan/news/0403/17/065452.htm

20
Biakan jamur mempunyai nilai kepekaan yang tinggi sampai 90% sedangkan
pemeriksaan sediaan basah dengan KOH 10% kepekaannya hanya 40%. 19,20 Swab sebaiknya
diambil dari sekret vagina dan dari dinding lateral vagina. Pemeriksaan gram tidak terlalu sensitif
tetapi bisa sangat menolong untuk pemeriksaan yang cepat. Pseudohifa ragi dan miselia
memberi reaksi gram positif. 19,20 Akan tetapi pemeriksaan gram dan KOH yang negatif tidaklah
menyingkirkan kemungkinan kandidosis vulvovaginalis dan perlu dikonfirmasi dengan kultur.
Kultur dilakukan pada media sabouraud dextrose agar (SDA) dengan antibiotika,candida spp
tidak terpengaruh oleh sikloheksimid yang ditambahkan pada mediaselektif jamur patogen,
kecuali beberapa galur C. tropicalis, C. krusei dan C. parapsilosis yang tidak tumbuh karena
sensitif terhadap sikloheksimid. Kultur tumbuh dalam waktu 24-72 jam.

Gambar 11. Candida albicans

Candida albicans merupakan jamur sel tunggal, berbentuk bulat sampai oval,
memperbanyak diri dengan membentuk blastospora (budding cell) yang bertambah panjang
sehingga membentuk pseudohifa. Bentuk pseudohifa lebih virulen dan invasif dari pada spora.

Sumber : Kuswadji. Kandidosis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Balai Penerbit
FKUI: Jakarta. 2011. h.106-9.

21
Identifikasi C. albicans dapat dengan melihat fenomena Reynolds-Braude, yaitu
memasukkan jamur yang tumbuh pada kultur ke dalam serum/koloid (albumin telur) dan
diinkubasi selama 2 jam, dengan suhi 370 C. Di bawah mikroskop akan tampak germtube
(bentuk seperti kecambah) yang khas pada C. albicans. Pada infeksi KVV pH vagina normal
berkisar antara 4,0 - 4,5 bila ditemukan pH vagina lebih tinggi dari 4,5 menunjukkan
adanya bakterial vaginosis, trikhomoniasis atau adanya infeksi campuran. Perubahan
prevalensi spesies jamur mungkin disebabkan tipe obat anti jamur yang ada dan efek
penghambatan selektifnya yang menyebabkan resistensi beberapa spesies terhadap
suatu obat anti jamur dan terhadap regimen terapi jangka pendek.

B. Diagnosis Banding : Trikomoniasis

Trikomoniasis adalah penyakit menular seksual yang ditandai dengan sejumlah


besar sekret vagina yang bau yang disertai oleh rasa gatal di daerah genital dan nyeri
saat berkemih pada wanita.21 Pria yang menderita penyakit ini biasanya tidak
memperlihatkan gejala apapun. Namun ketika timbul gejala, mereka biasanya hanya
menderita nyeri sewaktu berkemih dan ejakulasi.

Penyebabnya adalah Trichomonas vaginalis, organisme oval berflagella yang


berukuran setara dengan sebuah leukosit. 21,22,23 T.vaginalis berbentuk oval atau fusiform
dengan panjang 15 m. Bakteri ini akan hidup optimal pada lingkungan lembab
dengan suhu 35-37oC dan pH 4,9-7,5. Kadar pH menjadi faktor penting dalam
pertumbuhan T.vaginalis; vagina yang sudah terinfeksi akan memiliki pH basa yaitu 5,5-
6. Dengan demikian, keadaankeadaan yang meningkatkan pH vagina misalnya haid,
kehamilan, pemakaian kotrasepsi oral, dan tindakan sering mencuci vagina merupakan
predisposisi timbulnya trikomoniasis.22

22
Gambar 12. Trichomonas vaginalis

Sumber : http://www.cdc.gov/std/trichomonas/STDFact-Trichomoniasis.htm.

Trichomonas vaginalis sering menyebabkan penyakit menular seksual pada


vagina wanita dan juga saluran kencing pria dan wanita. Gejala-gejalanya lebih sering
ditemukan pada wanita. Sekitar 20% wanita pernah mengalami trikomoniasis vagina
saat masa reproduktifnya.22 Pada pria, organisme ini menginfeksi uretra, prostat dan
kandung kemih, tetapi kasusnya jarang menimbulkan gejala. 22

Pada wanita, penyakit ini biasanya dimulai dengan keluarnya cairan dari vagina
yang berwarna kuning kehijauan, berbusa, dan berbau amis. 22,23 Vulva (alat kelamin
wanita bagian luar) bisa teriritasi dan luka. Saat melakukan hubungan intim bisa terasa
nyeri. Pada kasus yang berat, vulva dan kulit di sekitarnya bisa meradang dan bibir
kemaluan (labia) membengkak. 22,23 Frekuensi berkemih menjadi lebih sering dan timbul
rasa nyeri saat berkemih, menyerupai gejala-gejala infeksi kandung kemih. 22,23

Kebanyakan penderita pria hanya memiliki sedikit atau tidak bergejala. Meskipun
demikian, penderita masih tetap bisa menginfeksi mitra seksualnya. Beberapa
diantaranya mengeluarkan cairan berbusa atau cairan seperti nanah dari penis. Selain
itu, penderita juga dapat mengalami rasa nyeri saat berkemih dan urgensi untuk lebih
sering berkemih. 22,23

23
Gambar --. Gambaran klinis Trikomoniasis

Sumber : http://www2a.cdc.gov/stdtraining/self-study/images/vaginitis/vag-s5.gif

Gejala-gejala ini biasanya timbul di pagi hari. Pada kasus yang jarang, epididimis
dan kelenjar prostat juga dapat terinfeksi. Infeksi pada epididimis menimbulkan rasa
nyeri pada buah zakar. 22,23

Dugaan trikomoniasis pada wanita didasarkan dari adanya infeksi vagina,


sedangkan pada pria adanya infeksi di uretra. 21 Organisme penyebab trikomoniasis
lebih sulit untuk dideteksi pada pria dibandingkan pada wanita. Diagnosa trikomoniasis
pada wanita biasanya dapat dibuat dengan cepat dengan memeriksa contoh cairan
vagina secara mikroskopik untuk mengidentifikasi organisme penyebabnya. 22 Jika
hasilnya belum jelas, maka dapat dilakukan biakan (kultur) organisme. Pada pria
dilakukan pemeriksaan mikroskopik terhadap sekret dari ujung penis yang diambil pada
pagi hari sebelum penderita berkemih dan sebagian dilakukan biakan (kultur) di
laboratorium. Adakalanya, pemeriksaan air kemih secara mikroskopik dapat mendeteksi
Trichomonas, tetapi identifikasi organisme lebih mungkin jika lebih dulu dilakukan biakan
(kultur) air kemih.

Pada perempuan, meningkatnya pH vagina, adanya bau amina, dan sekret


vagina hijau-kuning yang berbusa merupakan indikasi kuat infeksi T. vaginalis.21,22,23
Namun, diagnosis yang hanya didasarkan pada gejala kurang dapat diandalkan karena
beragamnya gejala dan adanya infeksi asimtomatik. Pada lakilaki, gejala tidak banyak
24
berbeda dari uretritis yang disebabkan oleh organisme lain. Pemeriksaan trikomonad
dalam sediaan basah saline pada pemeriksaan mikroskopik sekret dapat menegakkan
21,22,23
diagnosis tapi tidak dapat menyingkirkan diagnosis. Demikian juga, T.vaginalis
yang terdeteksi pada pap smear tidak dapat diandalkan karena tingginya angka positif-
palsu dan negatif-palsu. Ph vagina pada infeksi T. vaginalis mengalami peningkatan,
tapi whiff test memberikan hasil negatif. Pada pemeriksaan sediaan basah dapat
ditemukan jumlah sel PMN yang meningkat dan protozoa motil yang ukurannya sama
dengan sel PMN, gambarn seperti ini ditemukan pada 2/3 kasus. 22 Biakan adalah baku
emas untuk diagnosis; namun terapi biasanya sudah dapat diberikan hanya
berdasarkan gejala klinis.22

IX. PENATALAKSANAAN

Karena penyakit bakterial vaginosis merupakan vaginitis yang cukup banyak


ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi, jenis obat yang digunakan
hendaknya tidak membahayakan, dan sedikit efek sampingnya. 24,25

Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan pengobatan,


termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial vaginosis dengan
wanita hamil dengan prematuritas atau endometritis pasca partus, maka penting untuk
mencari obat-obat yang efektif yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis
biasanya menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati
bakterial vaginosis.5,24,25

a. Terapi sistemik24,25

1.
Metronidazol 400-500 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Dilaporkan efektif dengan
kesembuhan 84-96%. Metronidasol dapat menyebabkan mual dan urin menjadi
gelap. Konsumsi alkohol seharusnya dihindari selama pengobatan dan 48 jam
setelah terapi oleh karena dapat terjadi reaksi disulfiram. Metronidasol 200-250
mg, 3x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil. Metronidazol 2 gram dosis
tunggal kurang efektif daripada terapi 7 hari untuk pengobatan vaginosis bakterial
oleh karena angka rekurensi lebih tinggi.

25
2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka kesembuhan
94%.
3.
Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari selama 7
hari.
4.
Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari
5.
Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari
6.
Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari
7.
Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari

b. Terapi Topikal 11

1.
Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
2.
Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3.
Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.
4.
Triple sulfonamide cream.(3,6) (Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7% dan
Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan angka
penyembuhannya hanya 15 45 %.

c. Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan

Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat muncul
masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama kehamilan karena
mempunyai efek samping terhadap fetus. 24,25 Dosis yang lebih rendah dianjurkan
selama kehamilan untuk mengurangi efek samping (Metronidazol 200-250 mg, 3 x
sehari selama 7 hari untuk wanita hamil). Penisilin aman digunakan selama kehamilan,
tetapi ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada
wanita tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan yang
rendah.24,25

Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena klindamisin


tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II dan III dapat digunakan
metronidazol oral walaupun mungkin lebih disukai gel metronidazol vaginal atau
klindamisin krim. Selain itu, amoklav cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi
terhadap metronidazol. 24,25
d. Pengobatan vaginosis bakterial rekuren

26
Vaginosis bakterial yang rekuren dapat diobati ulang dengan :

- Rejimen terapi
Metronidazol 500 mg 2x sehari selama 7 hari.
Merupakan obat yang paling efektif saat ini dengan kesembuhan 95%. Penderita
dinasehatkan untuk menghindari alkohol selama terapi dan 24 jam sesudahnya.
Metronidazol oral 2 gram dosis tunggal.
Kurang efektif bila dibandingkan rejimen 7 hari; kesembuhan 84%.
Mempunyai aktivitas sedang terhadap Gardnerella vaginalis, tetapi sangat
aktif terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi
anaerob.
Metronidazol gel 0,75% intravaginal, aplikator penuh (5gr), 2 kali sehari untuk 5
hari.
Klindamisi krim 2% intravaginal, aplikator penuh (5gr), dipakai saat akan tidur
untuk 7 hari atau dua kali sehari untuk lima hari
Klindamisi 300mg 2 kali sehari untuk 7 hari
Augmentin oral (500mg amoksilin + 125 mg asam clavulanat) 3 kali sehari selama
7 hari.
Sefaleksin 500mg 4 kali sehari semala 7 hari

Jika cara ini tidak berhasil untuk vaginosis bakterial rekuren, maka dilakukan
pengobatan selama seminggu sebelum permulaan menstruasi dan begitupun pada
menstruasi berikutnya, dengan pengobatan selama 3-5 hari dengan metronidazol oral
dan anti jamur yaitu clotrimazol intravaginal atau flukonazol.

X. PROGNOSIS

Prognosis bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita


walaupun tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama
27
dapat dipakai. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat
disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3 kasus. Dengan
pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka kesembuhan yang tinggi (84-
96%).

XI. KESIMPULAN

Bakterial vaginosis adalah suatu keadaan yang abnormal pada vagina yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (Bacteroides
Spp, Mobilincus Spp, Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis) menggantikan flora
normal vagina (Lactobacillus Spp) yang menghasilkan hidrogen peroksida sehingga
vagina yang tadinya bersifat asam (pH normal vagina 3,8 4,2) berubah menjadi
bersifat basa.

Menurut Amsel, untuk menegakkan diagnosa dengan ditemukannya tiga dari


empat gejala, yakni : sekret vagina yang homogen, tipis, putih dan melekat, pH vagina >
4,5, tes amin yang positif; adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20% dari
seluruh epitel) yang merupakan penanda bakterial vaginosis.

Pengobatan bakterial vaginosis biasanya menggunakan antibiotik seperti


metronidazol dan klindamisin. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan
seksual terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak
berhubungan selama masih dalam pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Judanarso, Jubianto. Vaginosis Bakterial. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6.
Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2011. h.385-91.
28
2. Schwebke, J.R. New Concepts in The Etiology of Bacterial Vaginosis. Current
Infectious Disease Reports. Vol. 11. No. 2. Philadelphia. 2009. p.143-147.
3. Amsel R., Totten P.A., Spiegel C.A., Chen K.C., et al. "Nonspecific vaginitis.
Diagnostic criteria and microbial and epidemiologic associations". Am. J. Med. 74
(1): p.1422.
4. Rahma S.N., Adriani A., Tabri F. Vaginosis bacterial. Penyakit menular seksual.
Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin; 2004. p. 147-60.
5. Hanson J.M., McGregor J.A., Hillier S.L., et al. Metronidazole For Bacterial
Vaginosis. A Comparison of Vaginal Gel Vs. Oral Therapy. J Reprod Med 2000.
p.889896.
6. Ocviyanti D., Yeva R., Shanty O., et al. Risk Factors For Bacterial Vaginosis Among
Indonesian Women. In: Medical Journal Indonesia: Jakarta. 2010. p.130-5.
7. Anonymous. Mikroflora vagina. BMC Microbiology. 2005.
Available from: http://www.biomedcentral.com/1471-2180/5/61.
8. Verhelst R., Hans V., Piet C., et al. Gardnerella. In: Molecular Detection of Human
Bacterial Pathogens. Taylor and Francis Group, LLC. 2011. p.81-91.
9. Anonymous. Clue Cell. The McGraw-Hill Companies,Inc. 2006.
Available from: http://atlas-emergency-medicine.org.ua/ch.21.htm.
10. Stoppler M. Bacterial vaginosis.
Available from: URL: http://www.medicinenet.com/bacterialvaginosis/article.htm.
11. Anonymous. Mycoplasma hominis. Diagnostic Mycoplasma Laboratory University of
Alabama at Birmingham. 2008. Available from: http:// www.mycoplasma.uab.edu.
12. William J.L., Steven S. Bacterial Vaginosis. In: Vulvovaginal Infections. Manson
Publishing: London. 2007. p.35-42.
13. Davey, Patrick. Editor: Amalia Safitri. Duh tubuh vagina dan uretritis. In: At a Glance
Medicine. Jakarta: Erlangga. 2006. h.74-5.
14. Rubins A. Bacterial Vaginosis. In: Sexually Transmitted Infections and Sexually
Transmitted Diseases. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 2011. p.203-6.
15. Anonymous. Gambaran klinis vaginosis bakterialis. STD/HIV Prevention Training
Center at the University of Washington. 2008.
16. World Health Organization. Guidelines for the management of sexually transmitted
infections. Geneva; World Health Organization: 2003.
17. Ugwumadu A. Bacterial Vaginosis. In: Oxford Desk Reference Obstetrics and
Gynaecology. Oxford University Press : Oxford. 2011. p.184-5.
18. Goldsmith, Lowel A.,Stephen I., Barbara A., et al. Bacterial vaginosis. In: Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8th edition. Vol 2. 2012. p. 2524-25.

29
19. Wong, Tom. Vaginal Discharge (Bacterial Vaginosis, Vulvovaginal Candidiasis,
Trichomoniasis). Canadian Guidelines on Sexually Transmitted Infections. 2010.
20. Kuswadji. Kandidosis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Balai Penerbit FKUI:
Jakarta. 2011. h.106-9.
21. Goldsmith, Lowel A.,Stephen I., Barbara A., et al. Tricomonas Vaginalis. In:
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th edition. Vol 2. 2012. p. 2523-24.
22. Fahmi, Sjaiful. Trikomoniasis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Balai Penerbit
FKUI: Jakarta. 2011. h.383-4.
23. Schwebke, J.R. Trichomoniasis. Current Diagnosis and Treatment of Sexually
Transmitted Diseases. McGraw-Hill Companies: USA. 2007. p. 116-8.
24. Schwebke, J.R. Bacterial Vaginosis. Current Diagnosis and Treatment of Sexually
Transmitted Diseases. McGraw-Hill Companies: USA. 2007. p. 66-8.
25. British Association for sexual health and HIV. National guideline for the management
of bacterial vaginosis (2006) clinical effectiveness group. 2006. p.1-14.

30

Anda mungkin juga menyukai