Anda di halaman 1dari 5

A.

PENGERTIAN HUTANG PIUTANG

Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan
istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qathu yang berarti
memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh,
karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.Sedangkan
secara terminologis (istilah syari), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang)
sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia
akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. Atau dengan
kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi
pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian
dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta
juga.

siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. (QS. al-Baqarah: 245)

Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas


dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang
membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan
manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya
hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak
dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan
terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang
dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman. Dalam ajaran
Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan
untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa
mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga
menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.
Syarat Hutang Piutang dalam Islam
Harta yang dihutangkan jelas dan dari harta yang halal.

Pemberi pinjaman tidak dibolehkan mengungkit masalah hutang dan tidak menyakiti
perasaan pihak yang piutang (yang meminjam).

Pihak yang piutang (peminjam) niatnya adalah untuk mencukupi keperluannya dan
mendapat ridho Allah dengan mempergunakan yang dihutangkan secara benar.

Harta yang dihutangkan tidak membuat atua memberi kelebihan atau keuntungan
pada pihak yang mempiutangkan.)

Aplikasi dalam Perbankan

Qardh adalah pinjaman uang. Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada
nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami overdraft.
Fasilitas ini dapat merupakan bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan
nasabah bertransaksi. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal:[6]

1. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman
talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan
melunasinya sebelum keberangkatan haji.

2. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana
nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM.
Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.

3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan Bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-beli Ijarah atau
bagi hasil.

4. Sebagai pinjman kepada pengurus Bank, dimana Bank menyediakan fasilitas ini
untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus Bank. Pengurus Bank akan
mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.

Berdasarkan definisi di atas kita dapat menyimpulakan bahwa qardh dipandang dalam
berbagai perspektif, mulai dari istilah secara bahasa sampai pada hukum syaranya adalah
kontradiksi dengan Bank yang notabenenya bergerak dibidang jasa yang senantiasa
menginginkan laba atau secara implisit dapat dikatakan bergerak dibidang komersialisasi
jasa.

Dalam perihal tersebut Bank diperkenankan mengenakan biaya administrasi, sesuai dengan
Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Al-Qardh yang
memperbolehkan untuk pemberi pinjaman agar membebankan biaya administrasi kepada
nasabah. Dalam penetapan besarnya biaya administrasi sehubungan dengan pemberian qardh,
tidak boleh berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah dana qardh yang diberikan.[7]
Manfaat Al-Qardh

1. Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk


mendapat talangan jangka pendek.

2. Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri syariah dan bank
konvensional yang didalamnya terkandung pembeda antara bank misi social,
disamping misi komersial.

3. Adanya misi kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan


meningkatkan loyalitasmasyarakatkepadabanksyariah.

4. Risiko al-qardh terhitung tinggi karena ia di anggap pembiayaan yang tidak


ditutup dengan jaminan

Tafsiran Surat Al-Baqarah: 245


Dalam menafsirkan QS. al-Baqarah: 245, Ibn Katsir (1/664) mengatakan bahwa
dalam ayat tersebut Allah SWT memotivasi hamba-hamba-Nya untuk berinfak di jalan-
Nya. Ibn al-Arabi dalam tafsirnya yang terkenal dibidang hukum yaitu, Ahkam Al-Quran
(1:307) mengatakan orang-orang ketika mendengar ayat QS. Al-Baqarah: 245 terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu:
1) Kelompok pertama, yang menolak atau menghina. Mereka mengatakan bahwa
Tuhan dan Muhammad fakir Ia membutuhkan kita. Allah swt. membalas mereka dengan
firman-Nya yang termaktub dalam QS. Ali Imran:181
2) Kelompok kedua, mendahulukan kebakhilan, tidak mau berinfak di jalan Allah, tidak
mau menolong orang lain.
3) Kelompok ketiga, ketika mendengar ayat ini langsung cepat bertindak memenuhi
perintah-Nya, yang pertama dari mereka adalah Abu ad-Dahda yang langsung
menginfakkan tanahnya.
Imam Al-Qurtubi (al-Jami li Ahkam al-Qura, 3:240) dalam menafsirkan ayat tersebut beliau
mengatakan panggilan qardh (pinjaman) dalam ayat ini adalah untuk pendekatan kepada
orang-orang dengan apa yang mereka pahami yaitu Allah SWT, maha kaya lagi terpuji. Ia
menyamakan pemberian orang mumin di dunia dengan apa yang ia harapkan balasannya di
akherat, sebagaimana ia menyamakan memberikan jiwa dan harta untuk mengambil surga
dengan jual beli
3. Hadist Hutang piutang
a) Mati dalam keadaan masih membawa hutang, kebaikannya sebagai
gantinya
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahualaihi wa salam bersabda: Barang siapa yang
mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang
tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (dihari kiamat nanti) karena disana
(diakhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham(HR. Ibnu Majah)
Itulah keadaan orang yang sudah meninggal dalam keadaan masih membawa hutang dan
belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya.
Itulah yang terjadi ketika kiamat karena disana tidak ada lagi dinar dan dirham atau
alatpembayaran untuk melunasi hutang tersebut selain amal kebaikan yang dimiliki oleh
manusia itu sendiri.
b) Masih ada hutang, enggan di sholati
Dari Salamah bin Al Akwa radhiyallahu anhu, beliau berkata: Kami duduk di sisi Nabi
shallallahualaihi wa salam., lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, Apakah dia
memiliki hutang? Mereka (para sahabat) menjawab,Tidak ada. Lalu beliau mengatakan,
Apakah dia meninggalkan sesuatu? Lantas mereka (para sahabat) menjawab, Tidak. Lalu beliau
shallallahu alaihi wa salam menyolati jenazah tersebut. kemudian didatangkanlah jenazah yang
lainnya. Lalu para sahabat berkata, Wahai Rasullullah shalatkanlah dia! Lalu beliau bertanya,
Apakah dia memiliki hutang? Mereka (para sahabat) menjawab, Iya. Lalu beliau mengatakan,
Apakah dia meninggalkan sesuatu? Lantas mereka (para sahabat) menjawab, Ada, sebanyak 3
dinar. Lalu beliau menshalati jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu
para sahabat berkata,Shalatkanlah dia! Beliau bertanya, Apakah dia meninggalkan sesuatu?
mereka (para sahabat) menjawab, Tidak ada. Lalu beliau bertanya, Apakah dia memiliki
hutang? Mereka menjawab, Ada tiga dinar. Beliau berkata, Shalatkanlah sahabat kalian ini.
Lantas Abu Qotadah berkata, Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku yang menaggung
hutangnya. Kemudian beliau pun menyalatinya. (HR. Bukhari)

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih dari Ibnu Umar ketika
turunnya ayat 261 surah Al-Baqarah yang menerangkan bahwa orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah nafkahnya itu adalah seperti sebutir benih yang
menumbuhkan 7 tangkai; pada tiap-tiap tangkai seratus biji, maka Rasulullah saw.
memohon,"Ya Tuhanku, tambahlah balasan itu bagi umatku (lebih dari 700 kali)."
Setelah Allah swt. mengisahkan tentang umat yang binasa disebabkan karena ketakutan dan
kelemahan keyakinan, maka dalam ayat ini Allah menganjurkan supaya umat rela berkorban
menafkahkan hartanya di jalan Allah dan nafkah itu dinamakan pinjaman kepada-Nya.
Sebabnya Allah swt. menamakannya pinjaman padahal Allah swt. sendiri maha kaya ialah
karena Allah swt. mengetahui bahwa dorongan untuk mengeluarkan harta bagi kemaslahatan
umat itu sangat lemah pada sebagian besar manusia. Hal ini dapat dirasakan bahwa seorang
hartawan kadang-kadang mudah saja mengeluarkan kelebihan hartanya untuk menolong
kawan-kawannya, mungkin dengan niat untuk menjaga diri dari kejahatan atau untuk
memelihara kedudukan yang tinggi, terutama jika yang ditolong itu kerabatnya sendiri.
Akan tetapi jika pengeluaran harta itu untuk mempertahankan agama dan memelihara
keluhurannya, dan meninggikan kalimat Allah yang di dalamnya tidak terdapat hal-hal yang
menguntungkan bagi dirinya sendiri, maka tidak mudah baginya untuk melepaskan harta
yang dicintainya itu, kecuali jika secara terang-terangan atau melalui saluran resmi. Oleh
karena itu ungkapan yang dipergunakan untuk menafkahkan harta benda di jalan Allah itu
sangat menarik, yaitu "siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah suatu pinjaman
yang baik".
Pinjaman yang baik itu yang sesuai dengan bidang dan kemanfaatannya dan dikeluarkan
dengan penuh keikhlasan semata-mata untuk mencapai keridaan Allah swt. Dan Allah
menjanjikan akan memberi balasan yang berlipat ganda. Allah memberikan perumpamaan
tentang balasan Allah yang berlipat ganda itu, seperti sebutir benih padi yang ditanam dapat
menghasilkan tujuh tangkai padi. Setiap tangkai berisi 100 butir sehingga menghasilkan 700
butir bahkan Allah membalasi itu tanpa batas sesuai dengan yang dimohonkan Rasulullah
bagi umatnya dan sesuai dengan keikhlasan orang yang memberikan nafkah.
Allah swt. menyempitkan rezeki kepada orang yang tidak mengetahui sunnatullah dalam
soal-soal pencarian harta benda dan karena mereka tidak giat membangun di pelbagai bidang
yang telah ditunjukkan Allah. Dan Allah melapangkan rezeki kepada manusia yang lain yang
pandai menyesuaikan diri dengan sunnatullah dan menggarap berbagai bidang usaha
sehingga merasakan hasil manfaatnya. Bila Allah menjadikan seorang miskin jadi kaya atau
sebaliknya, maka yang demikian itu adalah sepenuhnya di tangan kekuasaan Allah. Maka
anjuran Allah menafkahkan sebagian harta ke jalan Allah, semata-mata untuk kemanfaatan
manusia sendiri dan memberi petunjuk kepadanya supaya mensyukuri nikmat pemberian itu
karena dengan mensyukuri itu akan bertambah banyaklah berkahnya.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa sekalian makhluk akan dikembalikan kepada-Nya pada
hari kiamat untuk menerima balasan amalnya masing-masing

Anda mungkin juga menyukai