Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan
istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qathu yang berarti
memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh,
karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.Sedangkan
secara terminologis (istilah syari), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang)
sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia
akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. Atau dengan
kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi
pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian
dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta
juga.
siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya
dengan lipat ganda yang banyak. (QS. al-Baqarah: 245)
Pemberi pinjaman tidak dibolehkan mengungkit masalah hutang dan tidak menyakiti
perasaan pihak yang piutang (yang meminjam).
Pihak yang piutang (peminjam) niatnya adalah untuk mencukupi keperluannya dan
mendapat ridho Allah dengan mempergunakan yang dihutangkan secara benar.
Harta yang dihutangkan tidak membuat atua memberi kelebihan atau keuntungan
pada pihak yang mempiutangkan.)
Qardh adalah pinjaman uang. Pinjaman qardh biasanya diberikan oleh bank kepada
nasabahnya sebagai fasilitas pinjaman talangan pada saat nasabah mengalami overdraft.
Fasilitas ini dapat merupakan bagian dari satu paket pembiayaan lain, untuk memudahkan
nasabah bertransaksi. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal:[6]
1. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman
talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan
melunasinya sebelum keberangkatan haji.
2. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana
nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM.
Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.
3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan Bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-beli Ijarah atau
bagi hasil.
4. Sebagai pinjman kepada pengurus Bank, dimana Bank menyediakan fasilitas ini
untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus Bank. Pengurus Bank akan
mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
Berdasarkan definisi di atas kita dapat menyimpulakan bahwa qardh dipandang dalam
berbagai perspektif, mulai dari istilah secara bahasa sampai pada hukum syaranya adalah
kontradiksi dengan Bank yang notabenenya bergerak dibidang jasa yang senantiasa
menginginkan laba atau secara implisit dapat dikatakan bergerak dibidang komersialisasi
jasa.
Dalam perihal tersebut Bank diperkenankan mengenakan biaya administrasi, sesuai dengan
Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Al-Qardh yang
memperbolehkan untuk pemberi pinjaman agar membebankan biaya administrasi kepada
nasabah. Dalam penetapan besarnya biaya administrasi sehubungan dengan pemberian qardh,
tidak boleh berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah dana qardh yang diberikan.[7]
Manfaat Al-Qardh
2. Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri syariah dan bank
konvensional yang didalamnya terkandung pembeda antara bank misi social,
disamping misi komersial.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Murdawaih dari Ibnu Umar ketika
turunnya ayat 261 surah Al-Baqarah yang menerangkan bahwa orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah nafkahnya itu adalah seperti sebutir benih yang
menumbuhkan 7 tangkai; pada tiap-tiap tangkai seratus biji, maka Rasulullah saw.
memohon,"Ya Tuhanku, tambahlah balasan itu bagi umatku (lebih dari 700 kali)."
Setelah Allah swt. mengisahkan tentang umat yang binasa disebabkan karena ketakutan dan
kelemahan keyakinan, maka dalam ayat ini Allah menganjurkan supaya umat rela berkorban
menafkahkan hartanya di jalan Allah dan nafkah itu dinamakan pinjaman kepada-Nya.
Sebabnya Allah swt. menamakannya pinjaman padahal Allah swt. sendiri maha kaya ialah
karena Allah swt. mengetahui bahwa dorongan untuk mengeluarkan harta bagi kemaslahatan
umat itu sangat lemah pada sebagian besar manusia. Hal ini dapat dirasakan bahwa seorang
hartawan kadang-kadang mudah saja mengeluarkan kelebihan hartanya untuk menolong
kawan-kawannya, mungkin dengan niat untuk menjaga diri dari kejahatan atau untuk
memelihara kedudukan yang tinggi, terutama jika yang ditolong itu kerabatnya sendiri.
Akan tetapi jika pengeluaran harta itu untuk mempertahankan agama dan memelihara
keluhurannya, dan meninggikan kalimat Allah yang di dalamnya tidak terdapat hal-hal yang
menguntungkan bagi dirinya sendiri, maka tidak mudah baginya untuk melepaskan harta
yang dicintainya itu, kecuali jika secara terang-terangan atau melalui saluran resmi. Oleh
karena itu ungkapan yang dipergunakan untuk menafkahkan harta benda di jalan Allah itu
sangat menarik, yaitu "siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah suatu pinjaman
yang baik".
Pinjaman yang baik itu yang sesuai dengan bidang dan kemanfaatannya dan dikeluarkan
dengan penuh keikhlasan semata-mata untuk mencapai keridaan Allah swt. Dan Allah
menjanjikan akan memberi balasan yang berlipat ganda. Allah memberikan perumpamaan
tentang balasan Allah yang berlipat ganda itu, seperti sebutir benih padi yang ditanam dapat
menghasilkan tujuh tangkai padi. Setiap tangkai berisi 100 butir sehingga menghasilkan 700
butir bahkan Allah membalasi itu tanpa batas sesuai dengan yang dimohonkan Rasulullah
bagi umatnya dan sesuai dengan keikhlasan orang yang memberikan nafkah.
Allah swt. menyempitkan rezeki kepada orang yang tidak mengetahui sunnatullah dalam
soal-soal pencarian harta benda dan karena mereka tidak giat membangun di pelbagai bidang
yang telah ditunjukkan Allah. Dan Allah melapangkan rezeki kepada manusia yang lain yang
pandai menyesuaikan diri dengan sunnatullah dan menggarap berbagai bidang usaha
sehingga merasakan hasil manfaatnya. Bila Allah menjadikan seorang miskin jadi kaya atau
sebaliknya, maka yang demikian itu adalah sepenuhnya di tangan kekuasaan Allah. Maka
anjuran Allah menafkahkan sebagian harta ke jalan Allah, semata-mata untuk kemanfaatan
manusia sendiri dan memberi petunjuk kepadanya supaya mensyukuri nikmat pemberian itu
karena dengan mensyukuri itu akan bertambah banyaklah berkahnya.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa sekalian makhluk akan dikembalikan kepada-Nya pada
hari kiamat untuk menerima balasan amalnya masing-masing