Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-empat tercantum

cita-cita Negara Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Untuk mencapai cita-cita tersebut, tentu saja dilakukan pembangunan

nasional. Hakikat pembangunan nasional ialah pengembangan manusia

Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia. Sesuai hal

tersebut, pendidikan disekolah merupakan salah satu sektor penting dalam

pencapaian cita-cita Indonesia.


Tentu saja dalam mencapai cita-cita tersebut, sasaran utama di sekolah

yaitu siswa sebagai calon manusia pembangunan yang diharapkan mampu

membangun dirinya sendiri dan sama-sama bertanggung jawab dalam

pembangunan bangsa. Sekolah sebagai tempat siswa mengoptimalkan potensi

yang dimilikinya, lembaga pendidikan pada dasarnya membina tiga usaha

pokok yaitu; (1) Pengelolaan administrasi sekolah; (2) Pengembangan

pemahaman dan pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan melalui

program kegiatan intrakurikuler dan kokurikuler; (3) Pelayanan khusus

kepada siswa dalam berbagai bidang yang membulatkan pendidikan siswa

dan/atau menunjang kesejahteraan siswa, seperti pengelolaan kegiatan

ekstrakurikuler, pengadaan koperasi sekolah, pengadaan kantin sekolah,

1
pelayanan kesehatan, pelayanan perumahan, pengadaan perpustakaan

sekolah, pelayanan kerohanian, pembinaan OSIS, dan pelayanan bimbingan.


Sesuai dengan tiga usaha pokok tersebut, dibedakan tiga bidang dalam

pendidikan sekolah, yang memiliki tugasnya masing-masing namun sama-

sama bertujuan untuk perkembangan optimal bagi siswa yaitu; (1) Bidang

administrasi dan supervisi yang membawahi; (2) bidang pengajaran; (3)

bidang pembinaan siswa.


Guru Bimbingan dan Konseling menempati bidang pembinaan siswa.

Dengan diadakannya bimbingan dan konseling ini diharapkan siswa mampu;

(1) mengembangkan pengertian dan pemahaman dirinya selama proses

kemajuannya disekolah; (2) mempertemukan pengetahuan tentang dirinya

sendiri dengan informasi tentang kesempatan kerja yang ada secara tepat dan

bertanggung jawab, yang akhirnya diwujudkan dalam membuat pilihan-

pilihan; (3) mewujudkan penghargaan terhadap pribadi orang lain; (4)

mengatasi kesulitan dalam memahami dirinya; (5) memahami lingkungan

sekolah, keluarga dan masyarakat; (6) mengidentifikasi dan memecahkan

masalah yang dihadapinya; (7) menyalurkan dirinya, baik dalam bidang

pendidikan maupun dalam bidang-bidang kehidupan lainnya (Winkel &

Hastuti, 2004)
Sejalan dengan hal tersebut masih banyak tugas guru Bimbingan dan

Konseling untuk mewujudkan pengoptimalan siswa. Pada kenyataannya

siswa yang merupakan masa remaja, masa peralihan dimana perubahan secara

fisik dan psikologis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Hurlock, 2003).

Perubahan psikologis yang terjadi pada remaja meliputi intelektual,

kehidupan emosi, dan kehidupan sosial. Perubahan fisik mencakup organ

2
seksual yaitu alat alat reproduksi sudah mencapai kematangan dan mulai

berfungsi dengan baik (Sarwono, 2004). Masa remaja ini sering disebut

dengan masa badai dan penuh tekanan dimana masa ini remaja akan mudah

emosi dikarenakan perubahan dari fisik dan psikis yang membuatnya

cenderung berpikir pendek dan ingin menyelesaikan masalah dengan cara

yang cepat.
Karena hal tersebut, remaja sering sekali melakukan prilaku menyimpang

yang merugikan dirinya dan orang lain. Prilaku yang paling sering terjadi

tersebut yaitu kurang mampunya remaja dalam mengontrol emosinya yang

cenderung meledak-ledak sehingga remaja sering melakukan hal-hal yang

tidak baik seperti mengeluarkan kata-kata kasar yang dapat menyakiti

perasaan orang lain. Hal ini disebut dengan agresi verbal. Apabila dibiarkan

terus berlanjut, tentu saja dapat berujung pada perkelahian atau serangan fisik

atau bahkan pembullyan, hilangnya kepercayaan diri pada korban, perasaan

tidak berdaya, munculnya kecemasan pada anak, sulit bergaul, bahkan

depresi.
Sesuai dengan hasil perhitungan dari instrumen non-tes DCM (Daftar Cek

Masalah) yang telah disebar pada kelas VIII.8 SMPN Negeri 4 Kendari pada

tanggal 18 Mei 2016 ditemukan data bahwa dari 30 lembar DCM yang

disebar dan diproses sebanyak 28 lembar ditemukan 27 orang mencentang

pada masalah kehidupan sosial mengenai merasa hal yang dikatakan sering

tidak sesuai dengan norma. Dari hasil tersebut dilakukan wawancara bebas

terhadap salah satu guru yang bekerja di SMPN 4 Kendari berinisial JJ

3
memang banyak didapati siswa yang sering berkata kasar seperti memaki

teman atau mengganggu teman dengan kata-kata yang kasar.


Dari hal tersebut, dibuatlah penelitian mengenai agresi verbal pada siswa

kelas VIII.8 SMPN 4 Kendari. Adapun peneliti akan melakukan penelitian

eksperimen dimana akan diberikan treatment kepada siswa yang mengalami

masalah tersebut. Treatment yang akan diberikan apabila dilihat dari jumlah

siswa yang mengalami hal tersebut yaitu konseling kelompok. Sementara

untuk model penerapannya apabila dilihat dari sifat masalah yang merupakan

salah persepsi atau cara pandang siswa yang salah terhadap suatu hal yang

mempengaruhi prilakunya maka diambil konseling kelompok dengan model

kognitif behavioristik (Cognitive-Behavioral Approach). Maka treatment

yang akan diberikan yaitu berupa konseling kelompok dengan model kognitif

behavioristik.
Dari uraian diatas maka peneliti menarik judul untuk penelitian ini yaitu

Penerapan Konseling Kelompok dengan Model Kognitif Behavioristik

Terhadap Prilaku Agresi Verbal Siswa Kelas VIII.8 SMPN 4 Kendari


B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut ditemukan masalah berupa:
Bagaimana pengaruh Penerapan Konseling Kelompok dengan Model

Kognitif Behavioristik Terhadap Prilaku Agresi Verbal Siswa Kelas VIII.8

SMPN 4 Kendari?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan proposal ini yaitu:
Untuk mengetahui pengaruh Penerapan Konseling Kelompok dengan Model

Kognitif Behavioristik Terhadap Prilaku Agresi Verbal Siswa Kelas VIII.8

SMPN 4 Kendari.
D. Manfaat Penelitian

4
Adapun manfaat dari penelitian ini berupa sumbangsih ilmu pengetahuan

khususnya dibidang pelaksanaan kegiatan layanan konseling kelompok oleh

konselor model kognitif behavioristik dalam masalah agresi verbal. Dan

manfaat bagi praktisi yaitu agar konselor dapat meningkatkan

profesionalisme dalam membantu dan memberikan layanan bagi siswa serta

penggunaan praktek konseling kelompok model kognitif behavioristik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Agresi
1. Pengertian Agresi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agresi adalah perasaan

marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam

mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang atau

benda.
Menurut Buss (dalam Morgan, 1989), perilaku agresi adalah suatu

perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau

5
membahayakan individu-individu atau objek-objek yang menjadi sasaran

perilaku tersebut baik (secara fisik atau verbal) dan langsung atau tidak

langsung.

Murray dan Fine (dalam Sarwono, 1988) mendefinisikan agresi

sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal

terhadap individu lain atau terhadap objek-objek.


Dari beberapa definisi diatas menunjukkan bahwa agresi adalah

sebuah bentuk tindak kekerasan melalui verbal atau non-verbal yang bisa

melukai fisik dan perasaan orang lain.

2. Faktor Penyebab Agresi


Beberapa faktor penyebab perilaku agresi menurut Davidoff (1991), yaitu:
a. Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem

saraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang

sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang

mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak dan saat marah

ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau

melempar sesuatu dan timbul pikiran yang kejam.


b. Faktor Biologis, bahwa ada tiga faktor biologis yang mempengaruhi

perilaku agresi, yaitu:


1) Gen berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang

mengatur perilaku agresi.


2) Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat

memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan

agresi. Orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit

melakukan agresi dibandingkan dengan orang yang tidak pernah

mengalami kesenangan dan kegembiraan.

6
3) Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan

faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Wanita

yang sedang mengalami masa haid, kadar hormon kewanitaan

yaitu estrogen dan progesterone menurun jumlahnya akibatnya

banyak wanita mudah tersinggung, gelisah, tegang dan

bermusuhan.
c. Kesenjangan generasi.
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara remaja dengan

orangtuanya, dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang

semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan

komunikasi orangtua dan remaja diyakini sebagai penyebab timbulnya

perilaku agresi pada remaja.


d. Lingkungan, bahwa ada tiga faktor lingkungan yang mempengaruhi

perilaku agresi yaitu:


1) Kemiskinan, bila seorang remaja dibesarkan dalam lingkungan

kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami

penguatan.
2) Anonimitas, bahwa terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif

membuat dunia menjadi sangat impersonal. Setiap individu

cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri) dan

bila seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya

sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma

masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain.


3) Suhu udara yang panas, tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali

terjadi pada siang hari diterik panas matahari, tapi bila musim

hujan relative tidak ada peristiwa tersebut. Aksi-aksi demonstrasi

7
yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang

biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur

hujan aksi tersebut juga menjadi sepi. Hal ini sesuai dengan

pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki

dampak terhadap perilaku sosial berupa peningkatan perilaku

agresi.
e. Peran belajar model kekerasan
Anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan

kekerasan melalui televisi dan juga games, ataupun mainan yang

bertema kekerasan.
f. Frustrasi
Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang

berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang

pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi

sulit sekali tercapai sehingga mereka menjadi mudah marah dan

berperilaku agresi.
g. Proses pendisiplinan yang keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras

terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat

menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja. Pendidikan

disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut,

tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi

hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya

melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain.

Menurut Kartini (1988) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

agresi pada remaja meliputi:

8
a. Kondisi pribadi remaja yaitu kelainan yang dibawa sejak lahir baik

fisik maupun psikis, lemahnya kontrol diri terhadap pengaruh

lingkungan, kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan

kurangnya dasar keagamaan.


b. Lingkungan rumah dan keluarga yang kurang memberikan kasih

sayang dan perhatian orang tua sehingga remaja mencarinya dalam

kelompok sebayanya, kurangnya komunikasi sesama anggota

keluarga, status ekonomi keluarga yang rendah, ada penolakan dari

ayah maupun ibu, serta keluarga yang kurang harmonis.


c. Lingkungan masyarakat yang kurang sehat, keterbelakangan

pendidikan pada masyarakat, kurangnya pengawasan terhadap remaja

serta pengaruh norma-norma baru yang ada diluar.


d. Lingkungan sekolah, seperti kurangnya fasilitas pendidikan sebagai

tempat penyaluran bakat dan minat remaja, kurangnya perhatian guru,

tata cara disiplin yang terlalu kaku atau norma-norma pendidikan yang

kurang diterapkan.
3. Jenis-Jenis Agresi
Myers (dalam Sarwono, 2002) membagi agresi dalam dua jenis,

yaitu agresi rasa benci atau agresi marah (hostile aggression) dan agresi

sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (instrumental aggression).

Agresi rasa benci atau agresi marah (hostile aggression) adalah ungkapan

kemarahan dan ditandai dengan emosi yang tinggi dimana perilaku agresi

ini adalah tujuan agresi itu sendiri. Akibat dari agresi ini tidak dipikirkan

oleh pelaku dan pelaku memang tidak peduli jika akibat perbuatannya

lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat.

9
Agresi instrumental (instrumental aggression) pada umumnya

tidak disertai emosi, bahkan antara pelaku dan korban kadang-kadang

tidak ada hubungan pribadi. Agresi disini hanya merupakan sarana untuk

mencapai tujuan lain, misalnya: seorang preman yang memukuli pemilik

toko untuk memungut uang paksa bagi organisasinya.


Menurut Atkinson (1999) ada beberapa jenis perilaku agresi yaitu:
a. Agresi instrumental, yaitu: agresi yang ditujukan untuk membuat

penderitaan kepada korbannya dengan menggunakan alat-alat baik

benda ataupun orang atau ide yang dapat menjadi alat untuk

mewujudkan rasa agresinya, misalnya: orang melakukan

penyerangan atau melukai orang lain dengan menggunakan suatu

benda atau alat untuk melukai lawannya.


b. Agresi verbal, yaitu: agresi yang dilakukan terhadap sumber agresi

secara verbal. Agresi verbal ini dapat berupa kata-kata kotor atau

kata-kata yang dianggap mampu menyakiti atau menyakitkan,

melukai, menyinggung perasaan atau membuat orang lain menderita.


c. Agresi fisik, yaitu: agresi yang dilakukan dengan fisik sebagai

pelampiasan marah oleh individu yang mengalami agresi tersebut,

misalnya: agresi yang pada perkelahian, respon menyerang muncul

terhadap stimulus yang luas baik berupa objek hidup maupun objek

yang mati.
d. Agresi emosional, yaitu: agresi yang dilakukan semata-mata sebagai

pelampiasan marah dan agresi ini sering dialami orang yang tidak

memiliki kemampuan untuk melakukan agresi secara terbuka,

misalnya: karena keterbatasan kemampuan, kelemahan dan

ketidakberdayaan. Agresi ini dibangkitkan oleh perasaan tersinggung

10
atau kemarahan, tetapi agresi ini hanya sebagai keinginan-keinginan

(bersifat terpendam), misalnya: individu akan merasa terluka jika

individu lain tidak menghargai dirinya secara langsung, seperti orang

yang memegang kepala orang lain, orang yang dipegang kepalanya

akan merasa tersinggung.


e. Agresi konseptual, yaitu: agresi yang juga bersifat penyaluran agresi

yang disebabkan oleh ketidakberdayaan untuk melawan baik verbal

maupun fisik. Individu yang marah menyalurkan agresinya secara

konsep atau saran-saran yang membuat orang lain menjadi ikut

menyalurkan agresi, misalnya: bentuk hasutan, ide-ide yang

menyesatkan atau isu-isu yang membuat orang lain menjadi marah,

terpukul, kecewa ataupun menderita.


4. Dimensi Prilaku Agresi
Buss (dalam Morgan, 1989) menyatakan bahwa perilaku agresi

dapat digolongkan menjadi tiga dimensi, yaitu: fisik-verbal, aktif-pasif

dan secara langsung-tidak langsung. Perbedaan dimensi fisik-verbal

terletak pada perbedaan antara menyakiti fisik (tubuh) orang lain dan

menyerang dengan kata-kata. Perbedaan dimensi aktif-pasif adalah pada

perbedaan antara tindakan nyata dan kegagalan untuk bertindak,

sedangkan agresi langsung berarti kontak face to face dengan orang yang

diserang dan agresi tidak langsung terjadi tanpa kontak dengan orang

yang diserang
Kombinasi dari ketiga dimensi ini menghasilkan suatu framework

untuk mengkategorikan berbagai bentuk perilaku agresi, yaitu:


a. Perilaku Agresi Fisik Aktif Langsung

11
Tindakan agresi fisik yang dilakukan individu/kelompok dengan

cara berhadapan secara langsung dengan individu/kelompok lain yang

menjadi targetnya dan terjadi kontak fisik secara langsung.


b. Perilaku Agresi Fisik Aktif Tak Langsung
Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok

dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan

individu/kelompok lain yang menjadi targetnya


c. Perilaku Agresi Fisik Pasif Langsung
Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain

dengan cara berhadapan dengan individu/kelompok lain yang menjadi

targetnya namun tidak terjadi kontak fisik secara langsung


d. Perilaku Agresi Fisik Pasif Tak Langsung
Tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu/kelompok lain

dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang

menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung


e. Perilaku Agresi Verbal Aktif Langsung
Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok

lain dengan cara berhadapan secara langsung dengan

individu/kelompok lain
f. Perilaku Agresi Verbal Aktif Tak Langsung
Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok

lain dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan

individu/kelompok lain yang menjadi targetnya


g. Perilaku Agresi Verbal Pasif Langsung
Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok

dengan cara berhadapan langsung dengan individu/kelompok lain

namun tidak terjadi kontak verbal secara langsung


h. Perilaku Agresi Verbal Pasif Tak Langsung

12
Tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu/kelompok

dengan cara tidak berhadapan dengan individu/kelompok lain yang

menjadi targetnya dan tidak terjadi kontak verbal secara langsung


5. Teori-Teori Agresi
Teori tentang agresi terbagi dalam beberapa kelompok (dalam

Sarwono, 2002) yaitu:


a. Teori Bawaan
Teori Bawaan atau bakat ini terdiri atas teori Psikoanalisa dan teori

Biologi
1) Teori Naluri
Freud dalam teori Psikoanalisis klasiknya mengemukakan

bahwa agresi adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Naluri

agresi atau tanatos ini merupakan pasangan dari naluri seksual atau

eros. Naluri seks berfungsi untuk melanjutkan keturunan

sedangkan naluri agresi berfungsi mempertahankan jenis. Kedua

naluri tersebut berada dalam alam ketidaksadaran, khususnya pada

bagian dari kepribadian yang disebut Id yang pada prinsipnya

selalu ingin agar kemauannya dituruti (prinsip kesenangan atau

Pleasure Principle) dan terletak pada bagian lain dari kepribadian

yang dinamakan Super Ego yang mewakili norma-norma yang ada

dalam masyarakat dan Ego yang berhadapan dengan kenyataan.


2) Teori Biologi
Teori biologi ini menjelaskan perilaku agresi, baik dari

proses faal maupun teori genetika (illmu keturunan). Proses faal

adalah proses tertentu yang terjadi otak dan susunan saraf pusat.

Menurut tim American Psychological Association (1993),

kenakalan remaja lebih banyak terdapat pada remaja pria, karena

13
jumlah testosteron meningkat sejak usia 25 tahun. Produksi

testosteron yang lebih besar ditemukan pada remaja dan dewasa

yang nakal, terlibat kejahatan, peminum, dan penyalah guna obat

dibanding pada remaja dan dewasa biasa.


b. Teori Lingkungan
Inti dari teori lingkungan adalah perilaku agresi merupakan reaksi

terhadap peristiwa atau stimulus yang terjadi di lingkungan.


1) Teori Frustasi-Agresi Klasik
Teori Frustrasi-Agresi Klasik, yaitu agresi dipicu oleh

frustrasi. Frustrasi artinya adalah hambatan terhadap pencapaian

suatu tujuan. Berdasarkan teori tersebut, agresi merupakan

pelampiasan dari perasaan frustrasi.


2) Teori Frustasi-Agresi Baru
Teori Frustrasi-Agresi Baru, yaitu frustrasi menimbulkan

kemarahan dan emosi, kondisi marah tersebut memicu agresi.

Marah timbul jika sumber frustrasi dinilai mempunyai alternatif

perilaku lain daripada yang menimbulkan frustrasi itu.


3) Teori Belajar Sosial
Teori Belajar Sosial, yaitu lebih memperhatikan faktor tarikan dari

luar. Bandura menekankan kenyataan bahwa perilaku agresi,

perbuatan yang berbahaya, perbuatan yang tidak pasti dapat

dikatakan sebagai hasil bentuk dari pelajaran perilaku sosial.

Bandura menerangkan agresi dapat dipelajari dan terbentuk pada

individu-individu hanya dengan meniru atau mencontoh agresi

yang dilakukan oleh orang lain atau model yang diamatinya,

walaupun hanya sepintas dan tanpa penguatan.


c. Teori Kognitif

14
Teori kognitif ini memusatkan proses yang terjadi pada kesadaran

dalam membuat penggolongan (kategorisasi), pemberian sifat-sifat

(atribusi), penilaian, dan pembuatan keputusan.


B. Agresi Verbal
1. Pengertian Agresi Verbal
Menurut Atkinson (1999) agresi verbal yaitu agresi yang dilakukan

terhadap sumber agresi secara verbal. Agresi verbal ini dapat berupa kata-

kata kotor atau kata-kata yang dianggap mampu menyakiti atau

menyakitkan, melukai, menyinggung perasaan atau membuat orang lain

menderita.
Berkowitz (2003 dalam Kurniawati 2014) mendefinisikan perilaku

agresif verbal sebagai bentuk perilaku atau aksi agresif yang diungkapkan untuk

menyakiti orang lain, perilaku agresif verbal dapat berbentuk umpatan, celaan,

atau makian, ejekan, fitnahan, dan ancaman melalui kata-kata.


Krahe (2005 dalam Kurniawati 2014) memberi pengertian perilaku

agresif verbal adalah berbohong, mengumpat, atau memperburuk-burukkan

orang lain, memberi nama julukan, memperolok-olok, bergunjing, mengejek,

menghina atau menyindir, mencaci, mencela, dan mendamprat.


Dari beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa agresi verbal

adalah sebuah tindakan menyerang orang lain melalui kata-kata atau

verbal yang dapat menyakiti hati orang lain.


2. Bentuk Agresi Verbal
Agresi verbal bisa dikategorikan sebagai kekerasan verbal dimana

korbannya akan dirugikan. Adapun beberapa contoh kekerasan verbal itu

sendiri antara lain:


a. Memanggil dengan nama panggilan yang diskriminatif (warna kulit,

ras, kecerdasan, bentuk badan, kebiasaan, kelemahan, jenis hewan,

dll)

15
b. Terus menerus memberi komentar menghina tentang pakaian,

penampilan, teman, pekerjaan, dll


c. Memaki, membentak, mengejek
d. Menggunakan nada suara tertentu yang terkesan merendahkan /

mencemooh
e. Membesar-besarkan atau terus-menerus mengingatkan akan

kelemahan, kekurangan, kegagalan di masa lalu, dll


f. Mengucapkan hal-hal yang bisa memanipulasi, menekan, atau

memaksa untuk merasa bersalah, tersakiti, dan bahkan trauma


Dari semua poin diatas, tentu saja segalanya yang merujuk pada

perkataan yang bisa atau berpotensi menimbulkan rasa sakit hati terhadap

orang lain.

Selain itu, ada juga bentuk-bentuk lain kekerasan verbal yaitu:

a. Membuat segala sesuatu seolah menjadi tidak berharga / tidak

penting. Terkadang ini akan membingungkan pasangannya, apakah

pasangannya sudah menyampaikan dengan jelas mengenai beberapa

hal yang penting bagi dia.

b. Meremehkan. Menjatuhkan mental dengan komentar-komentar

yang meremehkan.

c. Mengancam. Ini adalah bentuk klasik kekerasan verbal yang

dilakukan dengan memanipulasi lawan berbicara dengan membawa

ketakutan terbesarnya. Ini termasuk mengancam untuk

meninggalkan atau akan meningkatkan perilaku kekerasannya.

d. Memanggil dengan nama-panggilan yang diskriminatif (warna

kulit, ras, kecerdasan, bentuk badan, kebiasaan, kelemahan, jenis

hewan, dll) yang berdampak pada kepercayaan diri pasangannya.

16
e. Melupakan. Orang sewajarnya sesekali lupa, tapi pelaku kekerasan

secara konsisten selalu lupa. Ia seringkali lupa akan insiden

kekerasan yang telah dilakukannya dan juga sering melupakan

janji-janji yang telah dibuat yang mempunyai arti besar bagi

pasangannya.

f. Memerintah / menyuruh-nyuruh adalah satu lagi tipe klasik

kekerasan verbal. Hal ini adalah bentuk ketidaksetaraan atau

dominasi yang berlebihan.

g. Penyangkalan. Meskipun tiap bentuk kekerasan verbal memiliki

dampak yang berbahaya, penyangkalan adalah yang paling

berbahaya karena dampaknya dapat bertahap dan menyangkal

realita pasangannya. Bahkan, pelaku kekerasan verbal bisa

menyebutkan banyak alasan dan tetap bersikeras bahwa ia tidak

melakukan kekerasan verbal.

Adapun ciri-ciri kekerasan verbal yaitu:

a. Tidak meninggalkan bukti secara fisik.

b. Biasanya hanya terjadi dalam lingkup privat, misalkan hanya saat

berduaan, sehingga tidak ada saksi.

c. Pada saat dalam lingkup publik pelaku menunjukkan perilaku yang

baik, sopan dan wajar sehingga orang tidak menyangka ada

kecenderungan melakukan kekerasan verbal.

17
d. Persepsi yang salah akibat kurang informasi yang menganggap bahwa

perilaku pelaku merupakan watak bawaan dan seharusnya dimengerti /

diterima apa adanya.

e. Kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai verbal abuse

sehingga dianggap permasalahan biasa / sepele dalam hubungan.

f. Kurang terbuka terhadap hubungan yang dijalani / menutup-nutupi dari

sahabat maupun orang lain.

g. Seringkali mengatasnamakan konteks humor.

C. Konseling Kelompok
1. Pengertian Konseling Kelompok
Menurut Aqib (2013) Konseling kelompok (group counseling)

merupakan salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok

untuk membantu, memberi umpan balik (feedback) dan pengalaman

belajar. Konseling kelompok merupakan kelompok terapeutik yang

dilaksanakan untuk membantu klien mengatasi masalah yang

berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling kelompok

mengatasi klien dalam keadaan normal, yaitu sedang tidak mengalami

gangguan fungsi-fungsi kepribadian.


Gazda dalam Winkel menjelaskan konseling kelompok adalah

suatu proses antar pribadi yang dinamis, yang terpusat pada pemikiran

dan prilaku yang disadari. Proses itu mengandung ciri-ciri terapeutik

seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi pada

kenyataan, pembukaan diri mengenai seluruh perasaan mendalam yang

dialami, saling percaya, saling perhatian, saling pengertian, dan saling

18
mendukung. Semua ciri terapeutik itu diciptakan dan dibina dalam suatu

kelompok kecil dengan cara mengemukakan kesulitan dan keprihatinan

pribadi kepada sesama anggota kelompok dan konselor. Konseli-konseli

atau para klien adalah orang yang pada dasarnya tergolong orang normal,

yang meghadapi berbagai masalah yang tidak memerlukan perubahan

struktur kepribadian untuk diatasi. Para konseli dapat memanfaatkan

suasana komunikasi antarpribadi dalam kelompok untuk meningkatkan

pemahaman dan penerimaan terhadap nilai-nilai kehidupan dan segala

tujuan hidup, serta untuk belajar dan/atau menghilangkan suatu sikap dan

prilaku tertentu.

2. Syarat Konseling Kelompok di pihak Konselor


Konselor di institusi pendidikan tidak dapat berikap lepas tangan

dan menyerahkan tanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan

kelompok sepenuhnya kepada para konseli sendiri. Sehingga seharusnya

konselor baik di bidang teori maupun praktiknya dan berperan sebagai

ketua kelompok diskusi dan sebagai pengatur wawancara konseling

bersama.
Konselor harus memenuhi sejumlah syarat yang menyangkut:
a. Pendidikan akademik yaitu konselor merupakan lulusan strata S1

program studi Bimbingan dan Konseling, lulusan strata S2 (Magister

Pendidikan) dan strata S3 (Doktor Pendidikan).


b. Kepribadiannya. Belkin dalam Winkel menyajikan sebuah kualitas

konselor mengenai kepribadiannya yaitu; (1) Mengenal diri sendiri;

19
(2) Memahami orang lain; dan (3) kemampuan berkomunikasi dengan

orang lain.
c. Keterampilan berkomunikasi dengan orang. Dalam Winkel (2004),

menjelaskan bahwa tanggapan verbal konselor dapat dituangkan

dalam bentuk pernyataan atau dalam bentuk kalimat tanya atau dalam

bentuk kombinasi dari pernyataan dan kalimat tanya. Konselor yang

berkomunikasi dengan konseli harus memerhatikan beberapa fase

dalam konseling itu sendiri yaitu: fase pembukaan; fase konseli

mengemukakan masalahnya; fase konselor bersama klien menggali

latar belakang masalah dan berusaha memperoleh gambaran yang

lengkap serta cukup dalam; fase memikirkan bersama bentuk

penyelesaian masalah yang paling tepat, dengan membuat pilihan

diantara beberapa alternatif dan meninjau kembali sikap dan

pandangan demi penyesuaian diri yang lebih baik; dan fase penutup.

Adapun teknik yang dapat digunakan dalam komunikasi verbal ini

yaitu: (1) Ajakan untuk mulai; (2) Penerimaan/Menunjukkan

pengertian; (3) Perumusan kembali pikiran-gagasan/refleksi pikiran;

(4) Perumusan kembali perasaan; (5) Penjelasan pikiran-

gagasan/klarifikasi pikiran; (6) Penjelasan perasaan/klarifikasi

perasaan; (7) Permintaan untuk melanjutkan; (8) Pengulangan satu-

dua kata; (9) ringkasan/rangkuman; (10) Pertanyaan mengenai hal

tertentu; (11) Pemberian umpan balik; (12) Pemberian informasi; (13)

Penyajian alternatif; (14) Penyelidikan; (15) Pemberian Struktur; (16)

20
Interpretasi; (17) Konfrontasi; (18) Diagnosis; (19) Dukungan; (20)

Usul/saran; dan (21) Penolakan.


d. Penggunaan teknik-teknik konseling. Dalam konseling, konselor tidak

hanya dituntut menguasai teknik verbal maupun non-verbal, ada

beberapa teknik tambahan yang perlu dikuasai oleh konselor yaitu: (1)

Memberikan umpan balik konstruktif kepada salah seorang anggota

tentang dampak perhatiannya atau prilakunya terhadap

anggota/peserta lain dalam kelompok; (2) Memberikan perlindungan

kepada seorang anggota yang ternyata merasa terancam oleh kritikan

dari pihak teman dan menampakkan gejala menjadi terlalu gelisah; (3)

memberikan umpan balik terhadap apa yang terjadi dalam kelompok,

baik yang menyangkut kebersamaan maupun yang menyangkut

kemajuan dalam proses; (4) Menangani saat-saat diam secara

konstruktif.
3. Syarat Konseling Kelompok di pihak Konseli
Keberhasilan konseling juga bergantung pada peran konseli yang

terletak pada kadar motivasi yang dimiliki konseli dan kesediaannya

untuk mengikuti konseling. Peranan yang menunjang kebersamaan dalam

kelompok yaitu antara lain mendorong seseorang untuk berbicara,

menerima gagasan orang lain, meringankan ketegangan dengan mengajak

tertawa (asal wajar), memberikan sanjungan kepada teman, dan

menyatakan rasa puas dalam berpartisipasi di dalam kelompok. Peranan

yang menunjang kemajuan kelompok adalah meringkas, memberikan

sumbangan pikiran, menghubungkan ungkapan yang satu dengan

21
ungkapan yang lain, minta penjelasan atas suatu pernyataan, dan

menunjukkan kelebihan dan kekurangan dalam pembicaraan.

4. Proses Konseling dalam Kelompok


Dalam konseling ada fase-fase yang dilalui (Winkel, 2006) yaitu:
a. Pembukaan
Bila saling bertemu untuk pertama kali, para konseli disambut oleh

konselor. Kemudian seluruh anggota kelompok saling

memperkenalkan diri, dengan menyebutkan nama, umur, alamat, kelas

dan program studinya, serta menceritakan sedikit tentang asal-

usulnya. Bila kelompok bertemu kembali untuk melanjutkan

pembicaraan terdahulu, konselor menyambut kedatangan para konseli

dan kemudian mengajak untuk melanjutkan diskusi bersama, setelah

memberikan ringkasan tentang kemajuan kelompok sampai pada saat

tertentu dalam keseluruha proses konseling.


b. Penjelasan masalah
Masing-masing konseli mengutarakan masalah yang dihadapi

berkaitan dengan materi diskusi, sambil mengungkapkan pikiran dan

perasaannya secara bebas. Selama seseorang konseli mengungkapkan

apa yang dipandangnya melalui dikemukakan, konseli

lainnyamendengarkan dengan sungguh-sungguh dan berusaha ikut

menghayati ungkapan pikiran dan perasaan temannya.


c. Penggalian latar belakang masalah
Para konseli mendengarkan ungkapan yang diberikan oleh teman

tertentu dan menanggapi ungkapan tersebut dengan memberikan

komentar singkat, yang menunjukkan pemahamannya atau mohon

penjelasan lebih lanjut dengan bertanya.


d. Penyelesaian masalah

22
Kelompok konseli dalam fase ini harus ikut berpikir, memandang,

dan mempertimbangkan namun peranan konselor di institusi

pendidikan dalam mencari bersama penyelesaian permasalahan pada

umumnya lebih besar.


e. Penutup
Bila proses konseling sudah akan selesai, para konseli

mendengarkan ringkasan yang diberikan oleh konselor tentang

jalannya proses konseling dan melengkapinya kalau dianggap perlu.

Bila proses konseling belum selesai dan waktu untuk pertemuan kali

ini sudah habis, konselor meringkas apa yang sudah dibahas bersama,

menunjukkan kemajuan yang telah dicapai, dan memberikan satu-dua

pertanyaan untuk dipikirkan selama hari-hari sebelum pertemuan

berikutnya.

5. Mekanisme Konseling Kelompok


a. Jumlah Anggota Kelompok
Konseling kelompok umumnya beranggota berkisar antara 4

samapi 12 orang. Berdasarkan hasil berbagai penelitian, jumlah

anggota kelompok yang kurang dari 4 orang tidak efektif karena

dinamika kelompok menjadi kurang hidup. Sebaliknya jika jumlah

klien melebihi 12 orang adalah terlalu besar untuk konseling karena

terlalu berat dalam mengelola kelompok (Yalom, 1985)


b. Intensitas Pertemuan Kelompok

Secara umum konseling kelompok yang bersifat jangka pendek

membutuhkan waktu pertemuan antara 8 sampai 20 pertemuan,

dengan frekuensi pertemuan antara satu sampai tiga kali dalam

23
seminggunya, dan durasinya antara 60 sampai 90 menit setiap

pertemuan.

Menurut Yalom (1985) durasi konseling yang terlalu lama yaitu

dua jam menjadi tidak kondusif, karena beberapa alasan, yaitu: (1)

Anggota telah mencapai tingkat kelelahan; (2) Pembicaraan

cenderung diulang-ulang.

D. Konseling Model Kognitif Behavioral


1. Pandangan Tentang Manusia
Tokoh/pakar seperti Bandura (1977), Kamfer dan Philips (1970),

Cautela, dan Baron (1977), dan Ellis (1977) menekankan peranan dari

persepsi, pikiran, dan keyakinan, yang semuanya bersifat kognitif, sebagai

komponen yang sangat menentukan dalam rangkaian S-r-R. Manusia

dapat mengatur perilakunya sendiri, dengan mengubah tanggapan

kognitifnya terhadap Antecedent dan menentukan sendiri Reinforcement

yang diberikan kepada dirinya sendiri.

2. Peran dan Fungsi Konselor


Padapendekatankognitifbehavioral,seorangkonselorbersifat

lebihmenjadipendengaryangsensitifdanempatikketikamendengarkan

masalahkonseli.Hubunganyangdemikianakanmemudahkankonselor

mencari informasi dari konseli. Dengan menggunakan teori behavioral

dankonselingsebagaipetunjuk,konselormencarisecaradetailinformasi

mengenai masalah yang dialami oleh konseli, sehingga konselor dapat

mengetahuibagaimana,kapan,dansituasiketikamasalahituterjadi.

24
Pada saat konseling, seorang konselor yang menggunakan

pendekatankognitifbehavioralsangatjarangmenggunakankatakenapa

sepertikenapakamucemassebelumujian?ataukenapakamumerasa

stressaatbekerja?.Biasanyaseorangkonselorlebihsukamenggunakan

kata bagaimana, kapan, dimana, dan apa ketika mereka

memahamifaktoryangmenjadiintidarimasalahkonseli.
Tugas konselor kognitifbehavioral adalah membantu konseli

untukbertindakbakilmuwandalammenemukanvaliditaspetaataumodel

pribadinya,danmembuatpilihanberkenaandenganelemenmanayang

dipertahankan dan mana yang diubah. Konselor kognitifbehavioral

biasanya akan menggunakan berbagai teknik intervensi untuk

mendapatkankesepakatanperilakusasarandengankonseli.Teknikyang

biasadigunakanadalah:
a. Menantangkeyakinanirasional
b. Membingkai kembali isu; misalnya menerima kondisi emosional

internal sebagai sesuatu yang menarik ketimbang sesuatu yang

menakutkan
c. Mengulangkembalipenggunaanberagampernyataandiridalamrole

playdengankonselor
d. Mencobapenggunaanberbagaipernyataandiriyangberbedadalam

situasiriil
e. Mengukurperasaan;misalnyadenganmenempatkanperasaancemas

yangadasaatinidalamskala0100
f. Menghentikan pikiran. Ketimbang membiarkan pikiran cemas atau

obsesional mengambil alih, lebih baik konseli belajar untuk

25
menghentikan mereka dengan cara seperti menyaber karet ke

pergelangantangan.

3. Teknik Treatment
a. Operant Conditioning
Terdapat2prinsipdalamOperantConditioningyaitubagaimana

kebiasaan itu dipelajari dan teknik yang digunakan untuk

memodifikasitingkahlaku.Penggunaanteknikoperankondisidapat

digunakan oleh konselor jika tempat konselor sebaik dengan

lingungantempatmasalahkonseliterjadi.
Jika konseli merasakan adanya koneksi yang positif dengan

konselor,makadiaakanmenerimaapayangdiarahkanolehkonselor.

Konselor dapat menjadi seorang yang memberikan dukungan

potensial untuk mengubah perilaku seorang individu. Konselor

Behavioral memutuskan perilaku apa yang harus dirubah dan jika

teknik reinforcement sesuai dengan kondisi konseli maka konselor

akanmenggunakantekniktersebutbiasanyadalambentukverbal
b. Desentitazion
TerdapatempatlangkahdalammelaksanakanmetodeSystematic

Desensitization(SD),yaitu:
1) Memberikankepadakonselirasionalisasi
2) Relaksasitraining
3) Konselor dan konseli bekerjasama dalam membangun bayangan

tentanghierarkidarikecemasan
4) Desensitizationproper
SalahsatujenisdariSDadalah invivodesensitization.Jenisini

memiliki kesamaan prosedur dalam penanganan kecuali masalah

26
hierarkikecemasan.Pada invivodesensitization,konselormemegang

penuhdalampenangananhierarkikecemasankonseli.
c. Flooding
Flooding adalah kebalikan daripada Systematic Desensitization.

JikaSDmenekankankepadaminimalisasikecemasan,makaFlooding

menekankankepadapemaksimalisasiankecemasan.Salahsatubentuk

dariFloodingadalah invivoflooding yangmanasangatcocokjika

digunakanuntukmenghadapiAgoraphobics.
Flooding adalah salah satu metode yang potensial danmemiliki

tingkat resiko yang tinggi. Jika metode ini dilakukan oleh seorang

konselor yang tidak berpengalaman akan menyebabkan seorang

konselimengalamistres.
d. AssertivenessdanSocialSkillTraining
Ketika konselor sedang melakukan konseling kepada seorang

konselikadangkadangmerekaseganuntukmenunjukkanekspresinya

danmerekatidakmenjadidirimerekayangsebenarnya.Dalamhalini

keahlianseorangkonselorbehaviorkognitifdiuji.Salahsatustrategi

yangseringdigunakanadalahbehaviorrehearsal.Strategiiniberupa

upaya konselor membantu konseli dengan cara bermain peran.

Konselor pada strategi ini berperan sebagai seseorang yang

berpengaruhterhadapkonseli.
e. ParticipantModeling
Participant modeling efektif jika digunakan untuk menolong

seseorang yang mengalami kecemasan yang bersifat tidak menentu

dan sangat baik digunakan ketika menolong seseorang yang

mengalamiketakutansosial(socialphobia)

27
Terdapat beberapa langkah yang diperlukan untuk dapat

melakukan Participant Modeling secara baik yaitu yang pertama

mengajarkankepadakonseliteknikrelaksasisepertimengambilnafas

yangdalam.Langkahkeduakonselordanklienberjalanbersamadan

konseli sambil mengambil nafas dalam. Langkah terakhir, konseli

memperaktekan apa yang telah dia pelajari. Dalam setiap langkah

diataskonselorhendaknyamelakukandukunganyangpositifkepada

setiapperilakukonselidengancarapujian
f. SelfControlProcedures
Metode Selfcontrol bertujuan untuk membantu konseli

mengontroldirinyasendiri.Metodeselfcontrolmenegaskanbahwa

konseli adalah sebagai agen aktif yang dapat mengatasi dan

menggunakanpengendaliansecaraefektifdalamkondisimengalami

masalah. Metode ini paling tepat digunakan dalam kondisi dimana

lingkunganterdapatpenguatanjangkapanjangsecaranatural.
Terdapattigalangkahbagiandalamselfcontorlprocedures,yaitu:
1) Memintakonselisecaratelitimemerhatikankebiasaannya
2) Memintakejelasantarget/tujuanyangingindicapai
3) Melaksanakantreatment
g. ContingencyContracting
Contingencycontractingadalahbentukdarimanagemenbehavioral

dimana hadiah dan hukuman untuk perilaku yang diinginkan dan

perilakuyangtidakdapatdihindariterbentuk.Konselordankonseli

bekerjasamauntukmengidentifikasiperilakuyangperludirubah.Saat

penilaian,konselordankonselmemutuskansiapayangmemberikan

penguatandandanberupaapapenguatantersebut.

28
Treatmentdapatberlangsungdenganmenggunakankonselisendiri

atauoranglain.Penguatandapatdiberikansetiaptujuanperilakuyang

ingin dibentuk termanifestasi. Setelah hal itu terjadi, konseli bisa

mendapatkan hadiah atau hukuman. Hadiah akan diberikan jika

perilaku yang diinginkan tercapai, dan hukuman diberikan jika

perilakuyangtidakdiinginkanmuncul.
h. CognitiveRestructuring
Cognitiverestructuringberbedadenganmetodeyanglainkarena

metode ini menginginkan perubahan kognitif tidak seperti metode

yang lain yang berakhir ketika adanya perubahan perilaku.

MeichenbaumdanDeffenbachermenjelaskan cognitionsmaybein

theformofcognitiveevents,cognitiveprocesses,cognitivestructures,

orallthese.Peristiwakognitifdapatberupaapayangkonselikatakan

tentang dirinya sendiri, bayangan yang mereka miliki, apa yang

merekasadaridanrasakan.Proseskognitifberupaprosespemrosesan

informasi.Strukturkognitifberupaanggapandankepercayaantentang

dirinyasendiridanduniayangberhubungandengandirinya.

E. Penelitian Relevan
Penelitian oleh Thrisia Febrianti (2014) Pengaruh Layanan Konseling

Kelompok Terhadap Prilaku Agresif Siswa Kelas VII 1 di SMP Negeri 3 Kota

Bengkulu menunjukkan bahwa prilaku agresif berkurang setelah diberikan

layanan konseling kelompok.


Penelitian oleh Hanif Kurniawati (2014) Penerapan Konseling Kelompok

Kognitif Perilaku Untuk Mengurangi Perilaku Agresif Verbal Siswa Kelas

29
Vii-F Smpn 1 Ngunut Tulungagung menunjukkan bahwa konseling kognitif

prilaku dapat membantu menurunkan prilaku agresi verbal.

F. Kerangka Berpikir

Kerangka pikir:

Guru Bimbingan dan Konseling bertugas dalam mengoptimalkan potensi

yang dimiliki siswa. Siswa merupakan remaja dimana remaja dikenal sebagai

masa transisi atau masa badai. Dikatakan demikian dikarenakan pada masa

tersebut emosi belum stabil maka rentan akan prilaku menyimpang. Salah

satu prilaku menyimpang yaitu berkata kasar atau agresi verbal. Jika hal

tersebut dibiarkan maka akan terjadi perkelahian, pembullyan, hilangnya

percaya diri pada korban, perasaan tidak berdaya, kecemasan, sulit bergaul

bahkan hingga depresi. Maka dari itu peneliti akan melakukan penelitian

eksperimen dengan pre-test, treatmen dan post-test. Dengan pemberian

treatment berupa konseling kelompok model kognitif behavior. Dengan

treatment tersebut akan dilihat perbedaan prilaku agresi verbal sebelum dan

sesudah pemberian treatment melalui angket.

30
Siswa
Siswa
Siswa
Remaja Masa Transisi
Siswaatau badai
Rentan prilaku menyimpang
Siswa Siswa
Siswa Siswa
Siswa Siswa

Berkata Kasar
(agresi Verbal)
Siswa
Siswa
Siswa
Perkelahian
Pre-Test
Siswa
Pembullyan Skor awal Siswa
Siswa Siswa
Gambar 1. Kerangka Pikir
Siswa perbandingan
Treatment
HilangSiswa
percaya diri
Konseling Kelompok
Siswa
G. Hipotesis Penelitian Model Kognitif Behavioristik
Siswa Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam
TidakSiswa
berdaya
penelitian ini adalah:
Siswa
H0 : Konseling kelompok model kognitif behavioristik tidak dapat
Siswa
Siswa
kecemasan mengatasi prilaku agresi verbal siswa kelas VIII.8 SMPN 4

Kendari Post-Test
Ha : Konseling kelompok model kognitif behavioristik
Siswa dapat
Sulit Bergaul Siswa
Siswa mengatasi prilaku agresi verbal siswa kelas VIII.8 SMPN 4
Skor akhir Siswa
Siswa Kendari
Depresi
Siswa
Siswa
Siswa
Siswa

31
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian yaitu di kelas VIII.8 SMPN 4 Kendari. Waktu penelitian

yaitu selama tiga bulan dari awal bulan Januari 2017 hingga Maret 2017

dengan rincian waktu pada 2 minggu awal bulan Januari dilakukan pre-test

kemudian 2 minggu akhir Januari dan 2 minggu awal bulan Februari

dilakukan treatment kemudian 2 minggu akhir Februari dilakukan post-test.

Pada bulan Maret akan disusun laporan akhir.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen

dengan model praeksperimen. Adapun nantinya akan dilakukan pre-test

treatment post-test pada penelitian ini. Pre-test merupakan tes awal yang

akan diberikan kepada subjek penelitian sebelum diadakannya treatment.

Sementara post-test merupakan tes yang diberikan kepada subjek penelitian

setelah diberikannya treatment. Treatment terbilang berhasil apabila ada

perubahan yang signifikan antara perbandingan hasil tes sebelum (pre-test)

dengan hasil tes sesudah (post-test) dilakukannya treatment.

32
Adapun tes yang diberikan merupakan instrumen non tes yaitu angket

yang disusun sesuai dengan masalah dan treatment pada penelitian ini yang

telah teruji validitas dan realibitasnya.


C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yaitu dari 27 siswa yang telah didapatkan pada

penelitian awal akan disaring menjadi 8 siswa dengan kecendrungan agresi

verbal yang lebih tinggi yang akan disaring dengan instrumen angket melalui

pre-test. Setelah ditemukan 8 siswa dengan kecendrungan lebih tinggi, 8

siswa tersebut akan ditetapkan sebagai subjek penelitian yang akan diberikan

treatment. 27 siswa tersebut merupakan siswa dari kelas VIII.8 SMPN 4

Kendari.

D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas (Independen)
Variabel bebas adalah variabel yang memengaruhi atau menjadi

sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Jadi variabel bebas

adalah variabel yang mempengaruhi terjadinya perubahan. Dalam

penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah konseling kelompok

dengan model kognitif behavioristik (X)


2. Variabel Terikat
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini yang

menjadi variabel terikat adalah prilaku agresi verbal siswa (Y).

E. Teknik Pengumpulan Data


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa

instrumen penelitian, yaitu alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti

dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih

33
baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah

diolah. Jenis instrumen penelitian yaitu angket (skala Likert) yang harus

sudah teruji validitas dan realibilitasnya.


Data yang dikumpulkan oleh peneliti dalam penelitian ini berupa angka

(kuantitatif). Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan melakukan

pengukuran terhadap subyek penelitian.


Pembuatan instrumen dengan modifikasi skala Likert akan dibuat menjadi

empat macam jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai

(TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS).


Dengan pernyataan diatas, maka instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kuesioner atau angket dengan menggunakan modifikasi

Skala Likert.

F. Analisis Data
Teknik analisa data digunakan teknik uji Wilcoxon signed rank test untuk

menguji hipotesis. Dengan teknik tersebut, akan dilihat ada atau tidak perbedaan

skor antara pre-test dan post-test pada kelompok eksperimen.


Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa angket. Adapun

prosedur yang dilakukan dalam penyusunan instrumen ini adalah:


a. Perencanaan
Pada tahap ini ditentukan mengenai:
1) Materi pokok yang akan diteliti
2) Bentuk angket yang akan digunakan
b. Pembuatan Butir angket
Pembuatan butir angket dilakukan oleh peneliti berdasarkan ciri

agresi verbal yang telah diuraikan sebelumnya, karena untuk menjaga

kemungkinan angket yang mungkin tidak tepat atau rusak.


c. Uji Coba Instrumen

Sebelum angket digunakan pada subjek penelitian, angket terlebih


dahulu diuji cobakan. Uji coba tersebut dimaksudkan untuk mengetahui
validitas dan realibilitas. Dari hasil uji coba tersebut, maka dipilih butir-

34
butir angket yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Adapun alat untuk mengukur validitas dan realibilitas angket akan

menggunakan program SPSS for Windows Release 16.

35

Anda mungkin juga menyukai