1
BAB 1
PENDAHULUAN
I. Koloid
Sistem koloid (koloid) merupakan suatu bentuk campuran (sistem dispersi)
dua atau lebih zat yang bersifat homogen namun memiliki ukuran partikel
terdispersi yang cukup besar (1 - 100 nm), sehingga menyebabkan efek
Tyndall. Bersifat homogen, artinya partikel terdispersi tidak terpengaruh
oleh gaya gravitasi atau gaya lain yang dikenakan kepadanya; sehingga
tidak terjadi pengendapan.
Sifat homogen ini juga dimiliki oleh larutan, namun tidak dimiliki oleh
campuran biasa (suspensi). Koloid mudah dijumpai dimana-mana. Susu,
agar-agar, tinta, sampo, serta awan merupakan contoh-contoh koloid yang
dapat dijumpai sehari-hari. Sitoplasma dalam sel juga merupakan sistem
koloid. Koloid menjadi kajian tersendiri dalam kimia industri karena
kepentingannya. Di dalam larutan koloid secara umum, terdapat 2 zat
sebagai berikut:
Jenis-jenis koloid:
a. Kondensasi
2
i. Reaksi pengendapan
Pembuatan sistem koloid dengan cara ini dilakukan dengan
mencampurkan larutan elektrolit sehingga menghasilkan
endapan.
ii. Reaksi Hidrolisis
Reaksi hidrolisis adalah reaksi suatu zat dengan air. Sistem
koloid dapat dibuat dengan mereaksikan suatu zat dengan
air.
iii. Reaksi Redoks
Pembuatan koloid dapat terbentuk dari hasil reaksi redoks.
Contoh: Pemurnian emas
iv. Reaksi Pergeseran
Contoh: Pembuatan sol As2S3 dengan cara mengalirkan gas
H2S kedalam larutan H3AsO3 encer pada suhu tertentu.
v. Reaksi pergantian pelarut
Contoh: Pembuatan gel kalsium asetat dengan cara
menambahkan alkohol 96% ke dalam larutan kalsium asetat
jenuh
b. Dispersi
Pembuatan sistem koloid dengan cara dispersi dilakukan
dengan memperkecil partikel suspensi yang terlalu besar
menjadi partikel koloid, pemecahan partikel-partikel kasar
menjadi koloid.
Ada 3 cara dalam pembuatan koloid dengan dispersi, yaitu
secara mekanik, peptisasi, dan Busur Bredig.
II. Emulsi
Emulsi merupakan suatu sistem yang tidak stabil, sehingga dibutuhkan zat
pengemulsi atau emulsifier untuk menstabilkannya sehingga antara zat
yang terdispersi dengan pendispersinnya tidak pecah atau keduanya tidak
terpisah. Ditinjau dari segi kepolaran, emulsi merupakan campuran cairan
polar dan cairan non-polar. Salah satu emulsi yang kita kenal sehari-hari
adalah susu, di mana lemak terdispersi dalam air. Dalam susu terkandung
kasein suatu protein yang berfungsi sebagai zat pengemulsi. Beberapa
contoh emulsi yang lain adalah pembuatan es krim, sabun, deterjen, yang
menggunakan pengemulsi gelatin.
Komponen Dasar
Fase dispersi/fase internal/fase diskontinyu yaitu zat cair terbagi-
bagi menjadi butiran kecil kedalam zat cair lain.
Fase kontinyu/ fase eksternal yaitu zat cair dalam emulsi yang
berfungsi sebagai bahan dasar (pendukung).
Emulgator adalah zat yang berfungsi untuk menstabilkan emulsi.
Komponen Tambahan
Orodis
3
Colouris
Antioksidant: Asam askorbat, asam sitrat dll.
Preservatif: Asam benzoat, fenol, kresol, klorobutanol.
III. Emulsifier
Emulsifier atau zat pengemulsi didefinisikan sebagai senyawa yang
mempunyai aktivitas permukaan (surface active agent) sehingga dapat
menurunkan tegangan permukaan (surface tension) antara udara-cairan dan
cairan-cairan yang terdapat dalam suatu sistem makanan. Kemampuannya
menurunkan tegangan permukaan menjadi hal menarik karena emulsifier
memiliki keunikan struktur kimia yang mampu menyatukan dua senyawa
berbeda polaritasnya.
Emulsifier apabila lebih terikat pada air atau lebih larut dalam air (polar)
maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak dalam air sehingga
terjadilah emulsi minyak dalam air (o/w), misalnya pada susu. Emulsifier
yang lebih larut dalam minyak (non-polar) menyebabkan terjadinya emulsi
air dalam minyak (w/o), contohnya pada mentega dan margarin.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan Topik A
1. Klasifikasi Koloid
2. Pembuatan koloid
a. Kondensasi
1) Reaksi Pengendapan
2) Reaksi Hidrolisis
Reaksi hidrolisis adalah reaksi suatu zat dengan air. Sistem koloid dapat
dibuat dengan mereaksikan suatu zat dengan air.
Contoh: AlCl3 (aq) + H2O (l) > Al(OH)3 (s) + HCl (aq)
3) Reaksi Redoks
4) Reaksi Pergeseran
Contoh: Pembuatan sol As2S3 dengan cara mengalirkan gas H2S kedalam
larutan H3AsO3 encer pada suhu tertentu.
b. Dispersi
Ada 3 cara dalam pembuatan koloid dengan dispersi, yaitu secara mekanik,
peptisasi, dan Busur Bredig
6
3. Metode Sol-Gel
Dalam ilmu material, proses sol-gel adalah metode untuk memproduksi bahan padat
dari molekul kecil. Metode yang digunakan untuk pembuatan oksida logam, terutama
oksida silikon dan titanium. Proses ini melibatkan konversi monomer menjadi solusi
koloid (sol) yang bertindak sebagai prekursor untuk jaringan terpadu (atau gel) baik
partikel diskrit atau polimer jaringan. prekursor khas alkoksida logam.
Proses sol-gel adalah teknik basah-kimia yang digunakan untuk pembuatan kedua
bahan kaca dan keramik. Dalam proses ini, sol (atau solusi) berkembang secara
bertahap menuju pembentukan jaringan seperti gel yang mengandung fasa cair dan
fasa padat. prekursor khas adalah alkoksida logam dan klorida logam, yang mengalami
reaksi hidrolisis dan polikondensasi untuk membentuk koloid. Struktur dasar atau
morfologi fase padat dapat berkisar dari partikel koloid diskrit ke jaringan polimer
rantai-seperti terus menerus.
6. Salah satu aplikasi dari sifat sifat koloid adalah untuk ourifikasi air ataupun
pemurnian gula. Jelaskan aplikasi lain berdasarkan sifat koloid selain diatas, dan
diskusikan dengan kelompok anda, mengapa sifat ini sangat penting?
Pengambilan endapan atau pengotor pada industri, gas atau udara yang dialirkan ke dalam
suatu proses industri seringkali mengandung zat-zat pengotor berupa partikel-partikel
koloid. Untuk memisahkan pengotor ini, digunakan alat yang bernama alat pengendap
Cottrel. Alat cotrrel merupakan alat yang digunakan untuk menggumpalkan asap atau debu
daripabrik. Alat cotrrel berprinsip pada sifat koagulasi (pengendapan) dari koloid.
Pengendap Cottrell digunakan untuk mengurangi polusi udara dari pabrik. Alat ini akan
mengendapkan partikel koloid yang terdapat dalam gas yang akan dikeluarkan melalui
cerobong asap. Partikel koloid berupa aerosol asap dan debu akan terendapkan karena
adanya gaya elektrostatik dengan menggunakan arus DC. Alat pengendap elektrostatik ini
9
berupa lempengan logam yang bermuatan lsitrik yang akan mengendapkan partikel koloid
yang terdapat dalam asap/debu yang keluar dari cerobong asap. Prinsip kerja pada alat ini
adalah elektroforesis dan koagulasi.
Asap dari pabrik sebelum meninggalkan cerobong asap dialirkan melalui ujung-ujung logam
yang tajam dan bermuatan pada tegangan tinggi (20.000 75.00 Volt). Ujung-ujung yang
runcing akan mengionkan molekul-molekul dalam udara. Ion-ion tersebut akan diadsorpsi
oleh partikel asap dan menjadi bermuatan. Selanjutnya, partikel bermuatan itu akan tertarik
dan diikat pada elektroda yang lainnya. Pengendap Cottrel banyak digunakan dalam industri
untuk dua tujuan yaitu, mencegah udara buangan beracun atau memperoleh kembali debu
yang berharga (misalnya debu logam). Pengambilan partikel koloid asap dan debu dari gas
buangan pabrik
Pembahasan Topik B
10
dengan yang lain. Bagian antara dua dinding sel yang berdekatan tersebut dinamakan
lamella tengah (Winarno, 1997). Gambar 2 menunjukkan senyawa pektin pada
dinding sel tanaman (IPPA, 2002).
Pektin tersusun atas molekul asam galakturonat yang berikatan dengan ikatan
- (1-4)-glikosida sehingga membentuk asam poligalakturonat. Gugus karboksil
sebagian teresterifikasi dengan methanol dan sebagian gugus alkohol sekunder
terasetilasi (Herbstreith dan Fox, 2005). Gambar 3 di bawah ini menunjukkan
struktur kimia unit asam galakturonat.
11
Menurut Hoejgaard (2004), pektin merupakan asam poligalakturonat yang
mengandung metil ester. Pektin diekstraksi secara komersial dari kulit buah jeruk
dan apel dalam kondisi asam. Masing-masing cincin merupakan suatu molekul dari
asam poligalakturonat, dan ada 300 1000 cincin seperti itu dalam suatu tipikal
molekul pektin, yang dihubungkan dengan suatu rantai linier.
Tahap akhir dari ekstraksi pektin adalah pengeringan endapan pektin. Ranganna
(1977) menganjurkan pengeringan dilakukan pada tekanan yang rendah agar pektin
tidak terdegradasi. Untuk pengeringan pektin dari kulit jeruk menggunakan suhu
60oC dalam oven keadaan vakum selama 16 jam untuk pengeringan pektin kulit
jeruk.
2. Pektin membentuk senyawa kompleks yang tidak larut dalam air. Hubungkan
dengan sifatnya untuk pembentukan gel.
Pektin merupakan polimer dari asam D-galakturonat (minimum 65%) yang
dihubungkan oleh ikatan 1,4 glikosidik dan banyak terdapat pada lamella tengan
dinding sel tumbuhan. Kelompok asam ini bisa asam bebas atau dikombinasikan
sebagai metil ester atau garam. Gugus aktif pada pektin dpaat digunakan sebagai
salah satu sumber biosorben (Wong dkk., 2008; Mata dkk., 2009). Gambar 1
menunjukkan gambar struktur pektin.
3. Cari mol zat terlarut dari molaritas dengan mengalikan dengan liter larutan.
moles solute
Molarity=
liter of solution
13
4. Sekarang bahwa Anda memiliki mol, pasang kembali ke dalam persamaan dari
langkah 1 dan memecahkan untuk massa molar.
grams
M=
liter of solution
RT
Pembahasan Topik C
Adanya tolakan lapisan rangkap listrik mengurangi laju agregasi dan coalescence.
Semakin besar tolakan lapisan rangkap listrik, semakin stabil emulsi.
Semakin besar perbedaan densitas antara kedua fase, maka kedua fase akan semakin
sulit bercampur dan salah satu fasenya semakin sulit terdispersi. Kecilnya perbedaan
densitas antara dua fase dapat menurunkan laju creaming dan agregasi. Semakin kecil
perbedaan densitas dua fase, semakin stabil emulsi.
1. Ukuran droplet dan volume fase terdispersi berpengaruh terhadap kestabilan emulsi.
Semakin besar ukuran droplet dan semakin banyaknya volume fase terdispersi, maka
akan semakin besar juga peluang terbentuknya agregat. Oleh karena itu, semakin
kecil ukuran droplet dan volume fase terdispersi maka semakin berkurang laju
agregasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecilnya ukuran droplet dan
volume fase terdispersi, maka semakin stabil emulsimpengaruhi kestabilan emulsi
14
2. 2 tipe pembentukan emulsi.
Emulsi ini mengandung air yang merupakan fase internalnya (diskontinyu) dan
minyak merupakan fase eksternalnya (kontinyu). Emulsi tipe w/o umumnya mengandung
kadar air yang kurang dari 1025% dan mengandung sebagian besar fase minyak. Emulsi
jenis ini dapat diencerkan atau bercampur dengan minyak, akan tetapi sangat sulit
bercampur/dicuci dengan air.
Merupakan suatu jenis emulsi yang fase terdispersinya berupa minyak yang
terdistribusi dalam bentuk butiran-butiran kecil didalam fase kontinyu yang berupa air.
Emulsi tipe ini umumnya mengandung kadar air yang lebih dari 31 41% sehingga emulsi
o/w dapat diencerkan atau bercampur dengan air dan sangat mudah dicuci.
1) Creaming
Creaming menunjukkan adanya kecenderungan dua fase dalam emulsi untuk memisah karena
adanya perbedaan densitas. Dalam creaming, ada kecenderungan fase yang densitasnya lebih
kecil untuk terkonsentrasi di atas sistem emulsi. Creaming hanya terjadi pada emulsi yang encer
dan kedua fasenya mempunyai densitas yang berbeda, serta medium pendispersinya adalah
cairan yang mudah mengalir. Jika fase terdispersinya memiliki densitas yang lebih besar dari
medium pendispersinya, maka proses creaming akan berlangsung di bawah sistem emulsi.
Gambar 2. Creaming
2) Flocculation
15
Flocculation diartikan sebagai proses dimana dua atau lebih droplet saling menempel tanpa
kehilangan identitas. Pada flocculation tidak terjadi penggabungan butiran-butiran kecil menjadi
butiran-butiran yang lebih besar. Butir-butir yang mengelompok dapat didispersikan kembali
dengan pengadukan atau pengocokan apabila gaya Van Der Waalsnya lemah.
Gambar 6. Flocculation
3) Coalescence
Coalescence adalah proses ketika dua atau lebih droplet bergabung dan membentuk droplet yag
lebih besar. Coalescence merupakan proses termodinamika yang terjadi secara spontan dan
mempunyai peranan penting pada pemisahan kedua fase di dalam emulsi menjadi dua lapisan
berbeda.
Gambar 7. Coalescense
4) Ostwald Ripening
Ostwald ripening terjadi pada emulsi dimana droplet bertabrakan dengan yang lain membentuk
droplet yang lebih besar dan lebih kecil. Droplet yang berukuran kecil cenderung menjadi
semakin kecil.
16
fase yang dalam keadaan normal tidak bercampur, sehingga keduanya dapat teremulsi.
Emulsifier diperlukan untuk memfasilitasi terbentuknya emulsi, sebab dispersi minyak
dan air tidak stabil (secara termodinamik). Emulsifier dapat digunakan untuk
menstabilkan emulsi karena memiliki kedua gugus penting, yaitu gugus hidrofilik dan
gugus lipofilik.
Secara umum, emulsifier akan diadsorpsi oleh medium pendispersi lebih besar dari zat
yang terdispersi. Kemudian proses adsorpsi emulsifier ini akan menurunkan tegangan
permukaan dari medium pendispersi yang lebih besar daripada zat yang terdispersi,
sehingga terbentuklah suatu lapisan terpisah dan terjadi emulsi. Lapisan ini akan
menyelimuti partikel dan akan mencegah partikel tersebut bersatu dengan partikel
sejenis.
Emulsifier food grade adalah emulsifier yang biasa digunakan dalam industri makanan atau
minuman. Salah satu contoh dari emulsifier ini adalah golongan cake emulsifier. Umumnya,
komposisi kimia dari cake emulsifier adalah monogliserida dan digliserida. Oleh karena itu, berikut
ini akan dijelaskan mengenai proses pembuatan emulsifier monogliserida.
Reaksi gliserolisis menggunakan katalis asam maupun alkali basa, berlangsung pada
temperatur yang tinggi (200-240oC). Hasilnya merupakan suatu campuran kasar dari monogliserida
dan digliserida (tampak hampir sama) serta trigliserida yang tidak terkonversi (konversi overall
90%). Proses pemisahan lebih lanjut biasanya dilakukan dengan distilasi molekular yang
menghasilkan kemurnian monogliserida di atas 90%.
Salah satu contoh emulsifier yang sering digunakan dalam produk pangan adalah
lesitin. Lesitin dapat bersumber dari telur maupun kedele. Lesitin mempunyai struktur seperti
lemak tetapi mengandung asam fosfat, gugus polar dan gugus non polar. Gugus polar yang
terdapat pada ester, fosfatnya bersifat hidrofilik (cenderung larut air), sedang gugus non polar yang
terdapat pada ester asam lemaknya bersifat lipofilik (cenderung larut dalam lemak).
Dalam pembuatan biskuit sering digunakan pengemulsi (emulsifier) guna
mendapatkan adonan lebih kompak dan menghasilkan tekstur biskuit yang kompak dan kokoh.
Pengemulsi yang umum digunakan adalah teluryang dapat melembutkan tekstur biskuit dari daya
pengemulsi lesitin yang terdapat dalam kuning telur dan membuat adonan lebih kompak oleh daya
ikat dari putih telur (Matz, 1968)
18
Roti menggunakan Emulsifier Roti tanpa Emulsifier
Kerugian emulsi:
A. Menurut Lachman:
1. Sulit diformulasikan karena harus mencampur 2 fase yang tidak
19
2. tercampurkan,
3. Mudah ditumbuhi oleh mikroba karena adanya air,
4. Kestabilan fisika dan kimia terjamin dalam waktu lama,
5. Sediaan kurang praktis, Mempunyai stabilitas yang rendah, Takaran dosis kurang teliti,
Tidak tahan lama.
B. Menurut Ansel:
1. Emulsi merupakan suatu campuran yang tidak stabil secara termodinamika.,
2. Jika pengocokan ditentukan, tetesan akan bergabung menjadi satu dengan cepat,
3. Biasanya hanya satu fase yang bertahan dalam bentuk tetesan
Yang terjadi pada emulsi selama penyimpanan yaitu Partikel selalu bergerak disebut
Brownian Movement, Terjadi tabrakan antar partikel (jutaan tabrakan tiap detiknya), Terjadi
interaksi antar ingredient, Partikel terkenai gaya gravitasi sepanjang waktu.
Emulsi dikatakan tidak stabil bila mengalami hal-hal seperti dibawah ini :
1. Creaming
Creaming adalah peristiwa terbentuknya dua lapisan emulsi yang memiliki viskositas yang
berbeda, dimana agregat dari bulatannya fase dalam mempunyai kecenderungan yang lebih besar
untuk naik kepermukaan emulsi atau jatuh kedasar emulsi tersebut dengan keadaan yang bersifat
reversibel atau dapat didistribusikan kembali melalui pengocokan. (Ansel, 1989, 388) Creaming
yaitu terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan, dimana yang satu mengandung fase
dispers lebih banyak daripada lapisan yang lain. Creaming bersifat reversibel artinya bila
dikocok perlahan-lahan akan terdispersi kembali. Creaming adalah proses sedimentasi dari tetesan-
tetesan terdispersi berdasarkan densitas dari fase internal dan fase eksternal. Jika densitas relative
dari kedua fase diketahui, pembentukan arah krim dari fase dispers dapat menunjukkan tipe emulsi
yang ada. Pada sebagian besar system farmasetik, densitas fase minyak atau lemak kurang
dibandingkan fase air; sehingga, jika terjadi krim pada bagian atas, maka emulsi tersebut adalah
tipe m/a (minyak dalam air), jika emulsi krim terjadi pada bagian bawah, maka emulsi tersebut
merupakan tipe a/m (air dalam minyak).
2. Sedimentasi
1
yang membutuhkan kondisi perairan yang dalam seperti pelabuhan, dan alur-alur pelayaran, atau
yang membutuhkan kondisi perairan yang jernih seperti tempat wisata, ekosistem terumbu karang
atau padang lamun. Untuk daerah-daerah yang tidak terdapat kepentingan seperti itu,
sedimentasimemberikan keuntungan, karena sedimentasi menghasilkan pertambahan lahan pesisir ke
arah laut. Sedimentasi adalah pemisahan padatan dan cairan (solid-liquid) dengan menggunakan
gaya gravitasi untuk mengendapkan partikel suspensi, baik dalam pengolahan air bersih (IPAM),
maupun dalam pengolahan air limbah (IPAL). Sedimentasi adalah proses pemisahan partikel-
partikel melayang di dalam air oleh pengaruh gaya gravitasi atau gaya berat partikel.
Partikel yang berada dalam sistem emulsi, akan terjadi, misalkan pada Globula lemak:
flocculation and creaming. Bahan padatan (mis : garam mineral): Sedimentasi, kemudian Interaksi
makromolekul
8. Hukum Stokes
Vg=d2 ( ie ) G/18
Vg = sedimentation velocity
2
d = particle diameter
p = particle density
1 = liquid density
G = gravitational acceleration
= viscosity of liquid
3
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 2000. Sistem Dispersi, Formulasi Suspensi dan Emulsi. Gadjah Mada
November 2015].
30 November 2015].
Press.
th
Atkins, Peter Julia. 2006. Physical Chemistry 8 ed. Great Britain: Oxford
University Press.
4
Brown, Amy. 2014. Understanding Food: Principles and Preparation, Fifth
http://documents.tips/documents/sedimen-febri.html. [Accessed 30
November 2015].
Moechtar. 1989. Farmasi Fisika Bagian Larutan Dan Sistem Dispers. Universitas
Gadjah Mada: Yogyakarta.
https://www.academia.edu/9643813/Aplikasi_Tegangan_Permukaan_pada_
Pembuatan_Mayones. [Accessed 20 November 2015].
Paye, et al. 2001. Handbook of Cosmetic Science and Technology. New York:
Marcel Dekker, Inc.
5
Schramm, Laurier L. 2009. Surfactants Fundamentals and Apllications in the Petroleum
st
Industry. 1 ed. Cambridge: Cambridge University Press.
21