Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM MUSKULOSKLETAL


DENGAN DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR FEMUR
DI RUANG KEMUNING RSUP NTB

DISUSUN OLEH :

MEILDA SARI, S.Kep

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM ISLAM NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

2014
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR FEMUR

A. KONSEP PENYAKIT
1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2000).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2001). Sedangkan Fraktur
femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang terbesar dan terkuat
pada tubuh (Brooker, 2001).
Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas pangkal paha yang
dapat yang dapat di sebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot,
kondisi-kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis.
2. Anatomi Fisiologi
Persendian panggul merupakan bola dan mangkok sendi dengan
acetabulum bagian dari femur, terdiri dari : kepala, leher, bagian terbesar
dan kecil, trokhanter dan batang, bagian terjauh dari femur berakhir pada
kedua kondilas. Kepala femur masuk acetabulum. Sendi panggul
dikelilingi oleh kapsula fibrosa, ligamen dan otot. Suplai darah ke kepala
femoral merupakan hal yang penting pada faktur hip. Suplai darah ke
femur bervariasi menurut usia. Sumber utamanya arteri retikuler posterior,
nutrisi dari pembuluh darah dari batang femur meluas menuju daerah
tronkhanter dan bagian bawah dari leher femur.
3. Etiologi
Smeltzer & Bare (2001) menyebutkan penyebab fraktur adalah
dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Cidera Traumatik
Cidera traumatic pada tulang dapat di sebakan oleh :
1) Cedera langsung bearti pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan
fraktur melintangdan kerusakan pada kulit diatasnya.
2) Cedera tidak langsung bearti pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot
yang kuat.
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada
berbagai keadaan berikut :
1) Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progesif.
2) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul sebagai sebagai salah satu proses yang
progesif, lambat dan nyeri.
3) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain,
biasanya disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang
dapat disebabkan oleh kegagalan absorbs Vitamin D atau oleh
karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan :
Disebakan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada
penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
4. Klasifikasi
a. Fraktur intrakapsuler
1) Terjadi di dalam tulang sendi panggul, kapsul
2) Melalui kepala femur
3) Hanya di bawah kepala femur
4) Melalui leher dari femur
b. Fraktur ekstrakapsuler
1) terjadi di luar sendi
2) terjadi di bagian distal menuju leher femur.
5. Patofisiologi
Patofisiologi fraktur adalah jika tulang mengalami fraktur, maka
periosteum, pembuluh darah di korteks, marrow dan jaringan disekitarnya
rusak. Terjadi pendarahan dan kerusakan jaringan di ujung tulang.
Terbentuklah hematoma di canal medulla. Pembuluh-pembuluh kapiler
dan jaringan ikat tumbuh ke dalamnya., menyerap hematoma tersebut, dan
menggantikannya. Jaringan ikat berisi sel-sel tulang (osteoblast) yang
berasal dari periosteum. Sel ini menghasilkan endapan garam kalsium
dalam jaringan ikat yang di sebut callus. Callus kemudian secara bertahap
dibentuk menjadi profil tulang melalui pengeluaran kelebihannya oleh
osteoclast yaitu sel yang melarutkan tulang (Smelter & Bare, 2001).
Pada permulaan akan terjadi pendarahan disekitar patah tulang,
yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan
periost, fase ini disebut fase hematoma. Hematoma ini kemudian akan
menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dengan kapiler
didalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang-tulang saling
menempel, fase ini disebut fase jaringan fibrosis dan jaringan yang
menempelkan fragmen patah tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa.
Kedalam hematoma dan jaringan fibrosis ini kemudianjuga tumbuh sel
jaringan mesenkin yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi
sel kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar
tulang rawan. Kondroid dan osteoid ini mula-mula tidak mengandung
kalsium hingga tidak terlihat foto rontgen. Pada tahap selanjutnya terjadi
penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa
berubah menjadi kalus tulang.
6. Pathway
Trauma/ cedera

Fraktur

Periosteum, pembuluh darah di kortek

dan jaringan sekitarnya rusak

Perdarahan
Kerusakan jaringan di ujung tulang

Terbentuk hematom di canal medula

Jaringan mengalami nekrosis

Nekrosis merangsang terjadinya peradangan, ditandai :

1. Vasodilatasi
2. Pengeluaran plasma
3. Infiltrasi sel darah putih
7. Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001)
antara lain:
a. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang
berpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi
seperti :
1) Rotasi pemendekan tulang
2) Penekanan tulang
b. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah
dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
c. Ekimosis dari perdarahan subculaneous
d. Spasme otot, spasme involunters dekat fraktur
e. Tenderness
f. Nyeri mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
g. Kehilangan sensani (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/
perdarahan).
h. Pergerakan abnormal
i. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
j. Krepitasi
8. Pemeriksaan Penunjang
a.X.Ray
b. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
c.Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
d. CCT kalau banyak kerusakan otot.
9. Penatalaksanaan
Prinsipnya ada 2 jenis yaitu konservatif dan operatif, kriteria untuk
menentukan pengobatan dapat dilaksanakan secara konservatif (operatif)
selamanya tidak absolut.
Sebagai pedoman dapat dikemukakan sebagai berikut:
Cara Konservatif
a.Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang
panjang
b. Adanya infeksi/diperkirakan dapat terjadi infeksi
c.Jenis fraktur tidak cocok untuk pemasangan fiksasi internal
d. Ada kontraindikasi untuk dilakukan operasi

Cara Operatif dilakukan apabila:


a.Bila reposisi mengalami kegagalan
b. Pada orang tua dan lemah (imobilisasi) akibat yang lebih buruk
c.Fraktur multiple pada ekstremitas bawah
d. Fraktur patologik
e.Penderita yang memerlukan immobilisasi cepat

Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:


a. Pemasangan gips
b. Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi)
Beban maksimal untuk skin traksi adalah 5 kg.
Pengobatan Operatif:
a. Reposisi
b. Fiksasi
Atau lazim disebut juga tindakan ORIF (Open Reductional Internal
Fixation)
10. Komplikasi
Komplikasi dini dari fraktur femur ini dapat terjadi syok dan emboli
lemak.komplikasi lambat yang terjadi delayed union, non union, malunion,
kekakuan sendi lutut, infeksi dan gangguan saraf perifer akibat traksi yang
berlebihan.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
a. Data Biografi
Identitas pasien seperti umur, jenis kelamin, alamat, agama,
penaggung jawab, status perkawinan.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat medis dan kejadian yang lalu
2) Riwayat kejadian cedera kepala, seperti kapan terjadi dan
penyebab terjadinya
3) Penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang lainnya.
c. Pemeriksaan fisik
1) Aktivitas/istirahat
Tanda: Keterbatasab/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder,
dari pembengkakan jaringan, nyeri).
2) Sikulasi
Tanda: Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon
terhadap nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah).
Takikardia (respon stres, hipovolemia).
Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian
kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena.
Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
3) Neurosensori
Gejala: hilang gerakan/sensasi, spasme otot, kebas/kesemutan
(parestesis).
Tanda: deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilang
fungsi.
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau
trauma lain).
4) Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin
terlokalisasi pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat
berkurang pada imobilisasi), tidak ada nyeri akibat kerusakan
saraf.
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
5) Keamanan
Tanda: laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan
warna.
Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-
tiba).
6) Pemeriksaan diagnostik
a) Pemeriksaan Ronsen : menentukan lokasi/luasnya fraktur
femur/trauma.
b) Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: memperlihatkan
fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
c) Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d) Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah
trauma.
e) Kreatinin : trauma otot mungkin meningkatkan beban
kreatininuntuk klirens ginjal.
f) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, transfusi multipel, atau cedera hati.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat
traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi
dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak
nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas,
dan penurunan kekuatan/tahanan.
d. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons
inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan,
luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi dan implementasi keperawatan yang muncul pada pasien
dengan post op frakture meliputi :
a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat
traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
Tujuan : nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Nyeri berkurang atau hilang, Klien tampak tenang.
Intervensi dan Implementasi:
1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
R/ hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif
2) Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
R/ tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukkan skala
nyeri
3) Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
R/ memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan klien
tentang nyeri.
4) Observasi tanda-tanda vital.
R/ untuk mengetahui perkembangan klien
5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
analgesik
R/ merupakan tindakan dependent perawat, dimana analgesik
berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi
dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang
sesuai.
Kriteria Hasil : tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus., luka bersih
tidak lembab dan tidak kotor, Tanda-tanda vital
dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi
1) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
R/ mengetahui sejauh mana perkembangan luka mempermudah
dalam melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka
R/ mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan mempermudah
intervensi.
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.
R/ suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai
adanya proses peradangan.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan
kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
R/ tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan luka
dan mencegah terjadinya infeksi.
5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan,
misalnya debridement.
R/ agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak menyebar
luas pada area kulit normal lainnya.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
R/ balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung
kondisi parah/ tidak nya luka, agar tidak terjadi infeksi.
7) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R / antibiotik berguna untuk mematikan mikroorganisme
pathogen pada daerah yang berisiko terjadi infeksi.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak
nyamanan, kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas,
dan penurunan kekuatan/tahanan.
Tujuan : Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil : penampilan yang seimbang, melakukan pergerakkan
dan perpindahan., mempertahankan mobilitas
optimal yang dapat di toleransi, dengan
karakteristik:
0 : mandiri penuh
1 : memerlukan alat bantu
2 : memerlukan bantuan dari orang lain untuk
bantuan, pengawasan, dan pengajaran
3 : membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat
bantu
4 : ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam
aktivitas.

Intervensi dan Implementasi :


1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan
peralatan.
R/ mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
2) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
R/ mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktivitas
apakah karena ketidakmampuan ataukah ketidakmauan.
3) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
R/ menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
4) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
R/ mempertahankan /meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot.
5) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
R/ sebagai suaatu sumber untuk mengembangkan perencanaan
dan mempertahankan/meningkatkan mobilitas pasien.
d. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons
inflamasi tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan,
luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus. Luka
bersih tidak lembab dan tidak kotor. Tanda-tanda
vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
Intervensi dan Implementasi :
1) Pantau tanda-tanda vital.
R/ mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu
tubuh meningkat.
2) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
R/ mengendalikan penyebaran mikroorganisme patogen.
3) Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infus,
kateter, drainase luka, dll.
R/ untuk mengurangi risiko infeksi nosokomial.
4) Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan
darah, seperti Hb dan leukosit.
R/ penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari normal
bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
5) Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
R/ antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme patogen.
e. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang
terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi,
efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil :
1) Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan
dari suatu tindakan.
2) memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta
dalam regimen perawatan.

Intervensi dan Implementasi:


1) Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang
penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien
dan keluarga tentang penyakitnya.
2) Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan
kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien
dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa
cemas.
3) Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet
makanannya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses
penyembuhan.
4) Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang
materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga
serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, C. B., (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah, Volume


I, EGC: Jakarta.

Doenges, dkk, (2005). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. EGC: Jakarta

Mansjoer, dkk., (2000). Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3. Media Aesculapius:


Jakarta

Price & Wilson, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki.


Volume 2. Edisi 6. EGC : Jakarta.

Sjamsuhidajat R., (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC: Jakarta

Smeltzer & Bare, (2003). Buku ajar keperawatan medical bedah. Volume 3. Edisi
8. EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai