PENDAHULUAN
Pada tahun 1550, Fallopius menemukan bahwa terdapat sebuah lumen sempit di
tulang temporal dimana didalamnya terdapat bagian dari perjalanan Nervus VII. Sir Charles
Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang menelitit tentang sindroma kelumpuhan saraf
fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis, pada tahun 1828
berhasil menemukan perbedaan antara Nervus V dan Nervus VII, ia menyadari bahwa Nervus
VII merupakan Nervus yang berperan besar dalam fungsi motorik wajah dan Nervus V
berperan dalam sensibilitas wajah. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk mendiagnosis
setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.
Saraf fasialis (N VII) mengandung sekitar 10000 serabut saraf yang terdiri dari 7000
serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3000 serabut saraf lainnya membentuk saraf
intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisi serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior
lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjar paroti. Submandibula, sublingual, dan lakrimal.
Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu:
Segmen spuranuklear
Segmen batang otak
Segmen meatal
Segmen labirin
Segmen timpani
Segmen mastoid
Segmen ekstra temporal
Bells palsy merupakan suatu kelumpuhan nervus fasialis perifer menyebabkan
kelemahan dari otot pada salah satu sisi wajah, sehingga menyebabkan wajah jatuh.
Kelumpuhan pada nervus dapat pula mempengaruhi indera perasa, produksi air mata, dan
saliva.. Kelumpuhan nervus fasialis diakibatkan proses nonsupuratif, non-neoplastik primer
namun sangat mungkin akibat edema pada bagian bagian nervus fasialis di foramen
stylomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen lima persen dari seluruh lesi nervus
fasialis termasuk dalam kelompok ini. Bells Palsy atau yang lebih sering disebut dengan
Idiopathic Facial Paralysis (IFP) ini adalah suatu paralisis Lower Motor Neuron yang bersifat
akut, perifer, unilateral, yang pada 80-90% kasus dapat hilang sendiri seiring berjalannya
waktu.
Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 1
Bells Palsy adalah salah satu gangguan neurologis yang paling sering menyerang
nervus kranialis dan penyebab kelumpuhan fasial yang paling sering di seluruh dunia,
merupakan bentuk paling sering dari kelumpuhan saraf wajah. Insiden Bells palsy dilaporkan
sekitar 40-70 % dari semua kelumpuhan saraf fsialis perifer akut. Kasus ini terjadi pada
sekitar 10-30 dari 100.000 orang per tahun. Insiden meningkat pada usia di atas 65 tahun,
orang dengan diabetes melitus, atau pada wanita hamil. Sekitar 8-10 % kasus berhubungan
dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit seperti ini.Sebenarnya tidak ada
hubungan antara bells palsy dengan stroke dan TIA, namun kelemahan yang terjadi pada
salah satu sisi wajah harus diperiksa secepatnya.
Sebenarnya tidak ada hubungan antara bells palsy dengan stroke dan TIA, namun
kelemahan yang terjadi pada salah satu sisi wajah harus diperiksa secepatnya.
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI
Nervus Facialis
Ganglion geniculatum
Penyebab Bells Palsy tidak jelas. Pada masa yang lalu, paparan dingin terhadap
wajah, seperti angin dingin, terkena AC terus menerus, dianggap sebagai satu-satunya
penyebab Bells Palsy. Pada tahun 1972, McCormick yang pertama kali menyinggung bahwa
HSV (Herpes Simplex Virus) bertanggung jawab dalam menyebabkan Kelumpuhan Fasial
Idiopatik. Penemuan ini berdasarkan suatu analogi bahwa HSV ditemukan di vesikel-vesikel,
kemudian menetap dan bersifat laten di ganglion geniculatum. Sejak saat itu, sering dilaukan
autopsi pada pasien Bells Palsy dan hasilnya mengarah kepada terdapatnya HSV di Ganglion
geniculatum pada pasien Bells Palsy. Diduga virus ini berjalan melalui akson sensoris dan
menetap di sel Ganglion. Sehingga pada saat stres, virusnya akan mengalami reaktivasi dan
merusak selubung mielin. Inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum menyebabkan
kompresi, iskemia, demielinasi saraf, merupakan salah satu penyebab Bells palsy. Selain itu
penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan Bell Palsy antara lain :
- Infeksi pada telinga bagian tengah
- Fraktur
- Penyakit Autoimun
- Meningitis
- Penyakit Mikrovaskular
- Peradangan
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi pasti dari Bell palsy masih diperdebatkan. Bagian dari nervus facialis
yang melalui sebagian dari tulang temporal sering disebut sebagai kanalis facialis. Terdapat
teori yang menyatakan bahwa edema dan iskemi sehingga menyebabkan kompresi nervus
facialis dalam kanalis facialis ini . Penyebab edema dan iskemia belum diketahui.
Bagian pertama dari kanalis facialis, segmen labirin merupakan bagian yang paling
sempit dengan diameter hanya sekitar 0,66 mm . Diperkrakan, ini adalah lokasi yang paling
sering terjadi kompresi nervus facialis yang mengakibatkan Bells palsy Krena tempat yang
sempit dari kanalis facialis, sangat mungkin terjadi inflamasi , demielinasi , iskemik , atau
proses kompresi sehingga mengganggu konduksi saraf di situs ini .
GEJALA
Gejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang
secara tiba-tiba, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hariPasien juga mengeluhkan
nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan
sensorik; juga dapat disertai hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi, dan
berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial maupun
komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1-7 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.
Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap etiologi, derajat, sisi lesi, dan
progresivitas inflamasi saraf fasialis, Bells palsy dibedakan dalam 3 fase, yaitu:
DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan
perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi
yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor
apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian
tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis
atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,
atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan
mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan
suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak
vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan
titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis
bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa
gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor
serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor
kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus\ mandibula); dan sarcoidosis saat
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk
menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun
pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan
ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien
diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas.
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara
akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis (reflek
stapedius). Pemeriksaan produksi air mata (tes schirmer). Pemeriksaan gustometri
(pengecapan).
Tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat
sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik
dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan
dahi pada sisi yang lumpuh.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
PENATALAKSANAAN
Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan
farmakologis seperti dijelaskan di bawah ini.
Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca
mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian
lateral kelopak mata atas dan bawah). Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara
halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat
bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini
kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.4,5 Rehabilitasi fasial secara
komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi
pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan
pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik. Rehabilitasi fasial meliputi
edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di
rumah.
Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit,
yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi. Kategori inisiasi ditujukan
pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai
gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai
latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan
menghindari gerakan wajah berlebih. Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien
dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan
tidak terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih
agresif dan reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan
gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan
Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan
simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot
wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi,
namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan
disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan
seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular
di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar
visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.
Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien
dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk
memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada
keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke
bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila
terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi
secara berurutan pada pasien.
Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis
permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama
prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi
hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon
(maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari
tappering off.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui
oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan
dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-
10 hari.
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi)
untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.
Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat
ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.
PROGNOSIS
Prognosis pasien Bells palsy umumnya baik, dapat sembuh tanpa deformitas,
terutama pada anak-anak. Penyembuhan komplit dapat tercapai pada 85% kasus,
1. Hartwig MS. Patofisiologi Ed. 6: Evaluasi Pasien Neurologik. Ed: Price S, Wilson L.
Jakarta: ECG. 2006.
2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy. Eastern Virginia: Medscape. 2010
3. http://www.webmd.com/brain/tc/bells-palsy-topic-overview; Diunduh pada 23 Januari
2014 pukul 08.00
4. Japardi I. Nervus Facialis. Bagian Bedah FK USU. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1961/1/bedah-iskandar
%20japardi62.pdf pada 24 Januari 2014 pukul 02.00
5. Budiman G. Basic Neuroanatomical Pathway ed. 2. Jakarta; FK UI. 2013.
6. Triana W, Munilson J, Edward Y. Diagnosis dan Penatalakssanaan Bells Palsy.
Bagiasn THDT Bedah Kepala Leher FK UNAND. Diunduh dari
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=bell's%20palsy
%20unand&source=web&cd=3&ved=0CDUQFjAC&url=http://repository.unand.ac.i
d/17446/1/DIAGNOSIS_DAN_TATALAKSANA_BELLS_PALSY_.pdf&ei=DnbhU
urgPIHZigff54GoDw&usg=AFQjCNGMYl_3RYhvVJTQGA4LR5kvygDxKg&bvm
=bv.59568121,d.aGc pada 23 Januari 2014 pukul 08.00
7. http://www.springerimages.com/Images/MedicineAndPublicHealth/1-
10.1007_s00405-008-0646-4-3; Diunduh pada 24 Januari 2014 pukul 02.00