Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Pada tahun 1550, Fallopius menemukan bahwa terdapat sebuah lumen sempit di
tulang temporal dimana didalamnya terdapat bagian dari perjalanan Nervus VII. Sir Charles
Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang menelitit tentang sindroma kelumpuhan saraf
fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis, pada tahun 1828
berhasil menemukan perbedaan antara Nervus V dan Nervus VII, ia menyadari bahwa Nervus
VII merupakan Nervus yang berperan besar dalam fungsi motorik wajah dan Nervus V
berperan dalam sensibilitas wajah. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk mendiagnosis
setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.
Saraf fasialis (N VII) mengandung sekitar 10000 serabut saraf yang terdiri dari 7000
serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3000 serabut saraf lainnya membentuk saraf
intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisi serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior
lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjar paroti. Submandibula, sublingual, dan lakrimal.
Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu:
Segmen spuranuklear
Segmen batang otak
Segmen meatal
Segmen labirin
Segmen timpani
Segmen mastoid
Segmen ekstra temporal
Bells palsy merupakan suatu kelumpuhan nervus fasialis perifer menyebabkan
kelemahan dari otot pada salah satu sisi wajah, sehingga menyebabkan wajah jatuh.
Kelumpuhan pada nervus dapat pula mempengaruhi indera perasa, produksi air mata, dan
saliva.. Kelumpuhan nervus fasialis diakibatkan proses nonsupuratif, non-neoplastik primer
namun sangat mungkin akibat edema pada bagian bagian nervus fasialis di foramen
stylomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen lima persen dari seluruh lesi nervus
fasialis termasuk dalam kelompok ini. Bells Palsy atau yang lebih sering disebut dengan
Idiopathic Facial Paralysis (IFP) ini adalah suatu paralisis Lower Motor Neuron yang bersifat
akut, perifer, unilateral, yang pada 80-90% kasus dapat hilang sendiri seiring berjalannya
waktu.
Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 1
Bells Palsy adalah salah satu gangguan neurologis yang paling sering menyerang
nervus kranialis dan penyebab kelumpuhan fasial yang paling sering di seluruh dunia,
merupakan bentuk paling sering dari kelumpuhan saraf wajah. Insiden Bells palsy dilaporkan
sekitar 40-70 % dari semua kelumpuhan saraf fsialis perifer akut. Kasus ini terjadi pada
sekitar 10-30 dari 100.000 orang per tahun. Insiden meningkat pada usia di atas 65 tahun,
orang dengan diabetes melitus, atau pada wanita hamil. Sekitar 8-10 % kasus berhubungan
dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit seperti ini.Sebenarnya tidak ada
hubungan antara bells palsy dengan stroke dan TIA, namun kelemahan yang terjadi pada
salah satu sisi wajah harus diperiksa secepatnya.

Sebenarnya tidak ada hubungan antara bells palsy dengan stroke dan TIA, namun
kelemahan yang terjadi pada salah satu sisi wajah harus diperiksa secepatnya.

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 2


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI

Nervus facialis bersifat somatomotorik, viseromotorik dan somatosensorik.Serat-


serat Upper Motor Neuron (UMN) dari N. fasialis (N. VII) berasal dari korteks serebrum
hingga nucleus N. fasialis. Daerah motorik pertama berasal dari sepertiga bawah girus
presentralis, serat-serat ini berjalan ke bawah melalui genu dari kapsula interna (sebagai
traktus pontis) ke basis pedunkuli dan berakhir pada N.VII kontralateral. Komponen dari
N.VII yang menginervasi bagian atas wajah berasal dari korteks kedua sisi, sedangkan bagian
bawah wajah berasal dari korteks yang kontra lateral saja. Daerah motorik kedua, terletak di
lobus temporalis.
Serat-serat Lower Motor Neuron ( LMN ) berasal dari nucleus N,.VII ke bawah. Serabut
N.fasialis meningggalkan batang otak bersama N. Oktavus dan N. Intermedius masuk ke
dalam Os petrosum melalui meatus akustikus internus, sampai di kavum timpani bergabung
dengan ganglion genikulatum sebagai induk sel pengecap 2/3 bagian depan lidah. Dari
ganglion ini N. VII bercabang ke ganglion optikum dan ganglion pterigopalatinum. Yang
menghantarkan impuls sekretomorik untuk kelenjar salivarius dan kelenjar lakrimalis. N.
fasialis keluar dari tengkorak melalui foramen stilomastoidium memberikan cabang untuk
mempersarafi otot-otot wajah mulai dari M.frontalis sampai M. platisma. Serabut-serabut
yang berkaitan degnan penutupan mata dan gerakan-gerakan volunteer wajah berasal dari 1/3
bagian bawah dari girus presentralis.

Nervus Facialis

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 3


Perjalanan Nervus Facialis

Ganglion geniculatum

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 4


ETIOLOGI

Penyebab Bells Palsy tidak jelas. Pada masa yang lalu, paparan dingin terhadap
wajah, seperti angin dingin, terkena AC terus menerus, dianggap sebagai satu-satunya
penyebab Bells Palsy. Pada tahun 1972, McCormick yang pertama kali menyinggung bahwa
HSV (Herpes Simplex Virus) bertanggung jawab dalam menyebabkan Kelumpuhan Fasial
Idiopatik. Penemuan ini berdasarkan suatu analogi bahwa HSV ditemukan di vesikel-vesikel,
kemudian menetap dan bersifat laten di ganglion geniculatum. Sejak saat itu, sering dilaukan
autopsi pada pasien Bells Palsy dan hasilnya mengarah kepada terdapatnya HSV di Ganglion
geniculatum pada pasien Bells Palsy. Diduga virus ini berjalan melalui akson sensoris dan
menetap di sel Ganglion. Sehingga pada saat stres, virusnya akan mengalami reaktivasi dan
merusak selubung mielin. Inflamasi saraf fasialis pada ganglion genikulatum menyebabkan
kompresi, iskemia, demielinasi saraf, merupakan salah satu penyebab Bells palsy. Selain itu
penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan Bell Palsy antara lain :
- Infeksi pada telinga bagian tengah
- Fraktur
- Penyakit Autoimun
- Meningitis
- Penyakit Mikrovaskular
- Peradangan

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi pasti dari Bell palsy masih diperdebatkan. Bagian dari nervus facialis
yang melalui sebagian dari tulang temporal sering disebut sebagai kanalis facialis. Terdapat
teori yang menyatakan bahwa edema dan iskemi sehingga menyebabkan kompresi nervus
facialis dalam kanalis facialis ini . Penyebab edema dan iskemia belum diketahui.

Bagian pertama dari kanalis facialis, segmen labirin merupakan bagian yang paling
sempit dengan diameter hanya sekitar 0,66 mm . Diperkrakan, ini adalah lokasi yang paling
sering terjadi kompresi nervus facialis yang mengakibatkan Bells palsy Krena tempat yang
sempit dari kanalis facialis, sangat mungkin terjadi inflamasi , demielinasi , iskemik , atau
proses kompresi sehingga mengganggu konduksi saraf di situs ini .

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 5


Cedera pada nervus facialis pada Bells palsy terjadi di sekitar nucleus saraf . Cedera
ini diperkirakan terjadi di dekat, atau pada ganglion geniculate. Jika lesi berada di proksimal
ganglion geniculate, terjadi kelumpuhan motorik disertai dengan gustatory dan kelainan
otonom . Lesi di antara ganglion geniculate dan chorda tympani juga menghasilkan efek yang
sama , Jika lesi pada foramen stylomastoid , dapat menyebabkan kelumpuhan wajah saja.

GEJALA

Gejala Bells palsy dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang
secara tiba-tiba, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hariPasien juga mengeluhkan
nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan
sensorik; juga dapat disertai hiperakusis, berkurangnya produksi air mata, hipersalivasi, dan
berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf fasialis dapat terjadi secara parsial maupun
komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1-7 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan komplit.

Berdasarkan letak lesi,


manifestasi klinis Bells palsy
dapat berbeda. Bila lesi di
foramen stylomastoid, dapat
terjadi gangguan komplit yang
menyebabkan paralisis semua
otot ekspresi wajah. Saat
menutup kelopak mata, kedua
mata melakukan rotasi ke atas
(Bells phenomenon). Selain itu,
mata dapat terasa berair karena
aliran air mata ke sakus
lakrimalis yang dibantu
muskulus orbikularis okuli terganggu.
Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi
dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari sudut mulut. Lesi di kanalis
fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum)
akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan
menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama. Bila lesi terdapat di saraf
Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 6
yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap
suara dan
A. Perifer keras). Selain itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan
B. Sentral
berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.
Tanda dan gejala klinis pada Bells Palsy menurut Chasid (1990) dan Djamil (2000) adalah:
a) Lesi di luar foramen stilomastoideus, muncul tanda dan gejala sebagai berikut: mulu
tertarik ke sisi mulut yang sehatm, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam
pada wajah menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup,
atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
b) Lesi di canalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani. Tanda dan gejala sama seperti
penjelasan pada poin di atas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah 2/3
bagian anterior dan salvias di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah
menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara
pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.
c) Lesis yang tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius. Tanda dan gejala
seperti penjelasan pada kedua poin di atas, ditambah dengan adanya hiperakusis
(pendengaran yang sangat tajam)
d) Lesi yang mengenai ganglion genikuli. Tanda dan gejala seperti penjelasan ketiga poin
diatasm disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telingan dan di belakang telinga.
e) Lesi di meatus austikus internus. Tanda dan gejala sama seperti kerusakan pada ganglion
genikuli, hanya saja disertai dengan tumbulnya tuli sebagi akibat terlibatnya nervus
vestibulocochlearis.
f) Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons. Tanda dan gejala sama seperti di atas
disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus trigeminus, nervus abducens, nervus
vestibulocochlearis, nervus accessories dan nervus hypoglossus.

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral


atau perifer. Kelumpuhan santral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih
dapat berkontraksi karena dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral; Sedangkan
kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 7


FASE PENYAKIT

Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap etiologi, derajat, sisi lesi, dan
progresivitas inflamasi saraf fasialis, Bells palsy dibedakan dalam 3 fase, yaitu:

Fase akut (0-3 minggu)


Inflamasi saraf fasialis berasal dari ganglion genikulatum, biasanya akibat
infeksi virus herpes simpleks. Inflamasi dapat meluas ke bagian proksimal dan
distal serta dapat menyebabkan edema saraf
Fase sub-akut (4-9 minggu)
Inflamasi dan edema saraf fasialis mulai berkurang
Fase kronik (>10 minggu)
Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa individu dengan infeksi
berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga dapat menyebabkan atrofi dan
fibrosis saraf

DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan
perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi
yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor
apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian
tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis
atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,
atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan
mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan
suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak
vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan
titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis
bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa
gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor
serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor
kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus\ mandibula); dan sarcoidosis saat

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 8


ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema
nodosa, dan kadang hiperkalsemia.

PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Fisik

Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk
menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun
pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan
ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien
diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas.

Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara
akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis (reflek
stapedius). Pemeriksaan produksi air mata (tes schirmer). Pemeriksaan gustometri
(pengecapan).

Tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat
sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik
dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan
dahi pada sisi yang lumpuh.

Untuk menentukan derajat kelumpuhan Bells palsy, umumnya digunakan 2 sistem


grading, yaitu House-Brackmann Score dan Yanagihara grading system (Y-system)

Grade HBS Y-system


Normal, fungsi pada semua area simetris I 40
Sedikit kelemahan pada inspeksi mata, bisa menutup mata dengan II 32-38
penuh dengan sedikit usaha, sedikit asimetris pada senyuman dengan
usaha maksimal, sedikit sinkinesis, tidak ada kontraktur atau spasme
Kelemahan yang jelas namun tidak merubah penampakan wajah secara III 24-30
statis, tidak mampu mengangkat alis, penutupan mata yang penuh dan
kuat, gerakan mulut yang tidak simetris pada usaha maksimal, selain itu
terdapat sinkinesis, mass movement atau spasme (walaupun tidak
terlihat saat statis/ menyebabkan disfigurasi)
Kelemahan yang jelas dan menyebabkan disfigurasi, ketidakmampuan IV 16-22

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 9


menggangkat alis, penutupan mata yang tidak penuh dan asimetri mulut
dengan usaha maksimal, sinkinesis yang parah, mass movement, dan
spasme
Hanya sedikit gerakan yang mampu dilakukan, penutupan mata yang V 8-14
tidak penuh, sedikit gerakan pada ujung mulut, sinkinesis, kontraktur,
namun spasme umumnya tidak didapati.
Tidak ada gerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun spasme VI 0-6

Pemeriksaan Penunjang

Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu


dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.

Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk
menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).

Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang


temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI
dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.

Pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik


dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut
setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-
value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo
Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada
pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan
blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu
kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2
hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

PENATALAKSANAAN

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 10


Tujuan penatalkasanaan Bells palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan,
mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka
penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur, serta mencegah
kelainan pada mata. Pengobatan harus dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini.

Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan
farmakologis seperti dijelaskan di bawah ini.

Terapi Non-farmakologis

Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca
mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian
lateral kelopak mata atas dan bawah). Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara
halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat
bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini
kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.4,5 Rehabilitasi fasial secara
komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi
pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan
pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik. Rehabilitasi fasial meliputi
edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di
rumah.

Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit,
yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi. Kategori inisiasi ditujukan
pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai
gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase superfisial disertai
latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan
menghindari gerakan wajah berlebih. Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien
dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan
tidak terdapat sinkinesis.

Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih
agresif dan reedukasi neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan
gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 11


wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per
hari.

Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan
simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot
wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi,
namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan
disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.

Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan
seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular
di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar
visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.
Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.

Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien
dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk
memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada
keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke
bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila
terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi
secara berurutan pada pasien.

Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis
permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama
prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi
hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon
(maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari
tappering off.

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 12


Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang
(lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.

Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus


digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan
bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid.
Penelitian retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan
pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang
hanya diterapi dengan prednisolon. Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan
valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. De Almeida et almenemukan
bahwa kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas
signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung
kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset. Namun, hasil
analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et al dengan 1145 pasien menunjukkan
tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal
angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan
penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih
lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi.

Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui
oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan
dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-
10 hari.

Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi)
untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari.
Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat
ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

PROGNOSIS

Prognosis pasien Bells palsy umumnya baik, dapat sembuh tanpa deformitas,
terutama pada anak-anak. Penyembuhan komplit dapat tercapai pada 85% kasus,

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 13


penyembuhan dengan asimetri otot wajah ringan 10% dan 5% penyembuhan dengan gejala
sisa berat

Deformitas pada Bells palsy dapat berupa:

Regenerasi motorik inkomplit


Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis. Dapat
terjadi akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi
wajah. Regenerasi saraf yang tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan
semua atau beberapa otot wajah. Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa
inkompetensi oral, epifora, dan hidung tersumbat.
Regenerasi sensorik inkomplit
Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia, atau disesthesia
Regenerasi Aberrant
Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut saraf
yang tidak menyambung pada jalurnya, tapi menyambung dengan serabut
saraf yang ada di dekatnya, sehinga terjadi gerakan involunter yang mengikuti
gerakan volunter (sinkinesis)

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 14


BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Hartwig MS. Patofisiologi Ed. 6: Evaluasi Pasien Neurologik. Ed: Price S, Wilson L.
Jakarta: ECG. 2006.
2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy. Eastern Virginia: Medscape. 2010
3. http://www.webmd.com/brain/tc/bells-palsy-topic-overview; Diunduh pada 23 Januari
2014 pukul 08.00
4. Japardi I. Nervus Facialis. Bagian Bedah FK USU. Diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1961/1/bedah-iskandar
%20japardi62.pdf pada 24 Januari 2014 pukul 02.00
5. Budiman G. Basic Neuroanatomical Pathway ed. 2. Jakarta; FK UI. 2013.
6. Triana W, Munilson J, Edward Y. Diagnosis dan Penatalakssanaan Bells Palsy.
Bagiasn THDT Bedah Kepala Leher FK UNAND. Diunduh dari
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=bell's%20palsy
%20unand&source=web&cd=3&ved=0CDUQFjAC&url=http://repository.unand.ac.i
d/17446/1/DIAGNOSIS_DAN_TATALAKSANA_BELLS_PALSY_.pdf&ei=DnbhU
urgPIHZigff54GoDw&usg=AFQjCNGMYl_3RYhvVJTQGA4LR5kvygDxKg&bvm
=bv.59568121,d.aGc pada 23 Januari 2014 pukul 08.00
7. http://www.springerimages.com/Images/MedicineAndPublicHealth/1-
10.1007_s00405-008-0646-4-3; Diunduh pada 24 Januari 2014 pukul 02.00

Bells Palsy | Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf FK UKI 15

Anda mungkin juga menyukai